CHAPTER 30

"Cermin Merlin, seperti namanya, cermin ini adalah milik Merlin yang digunakan dahulu untuk membantu manusia dalam berbagai peperangan, bahkan melawan iblis dan makhluk supernatural seperti kita." Nimue yang berdiri di samping cermin menjelaskan sambil memandangi satu-persatu teman-temannya.

Eira yang masih tidak mengira dapat melihat cermin itu maju untuk mengamati lebih jelas. Jari-jarinya kini menelusur ukiran nama Merlin yang terpampang jelas di sana. Jika dilihat lebih dekat lagi, sisi-sisi cermin yang dilapisi perak menggambarkan sebuah cerita yang diukir sepanjang sisinya.

"Lalu apa kegunaan cermin ini?" tanya Osric yang bersidekap sambil mengamati Eira.

"Setelah manusia punah, Merlin tidak pernah menggunakan cermin itu lagi. Bahkan menggunakan sihir Kravat* agar tidak ada yang menggunakannya sembarangan. Legenda mengatakan cermin ini dapat memberitahumu keberadaan sesuatu yang sangat kau inginkan."

"Kalau begitu kau bisa menanyakan cermin itu letak keberadaan pedang Gram," kata Osric, mengumbar rencana perjalanan mereka pada semua orang di sana.

Nimue memelototkan matanya, dia memang tidak memperingatkan Osric bahwa rencana itu adalah rahasia. Namun seharusnya dia tahu bahwa hal itu tidak boleh dia ucapkan di depan siapa pun selain Eira dan Nimue.

"Selalu ada bayaran untuk sesuatu yang sangat kau inginkan," tambah Eira.

Keheningan menyelimuti untuk sesaat. Hingga Kramor menyahutinya. "Jika dia menginginkan koinku untuk mendapatkan koin yang lebih banyak, aku akan mencobanya lebih dulu." Lelaki itu mendorong Osric yang berdiri di depannya untuk menyingkir, hendak menggunakan cermin itu untuk menambah koin-koinnya.

Dengan satu tangan, Eira menahan Kramor sebelum lelaki itu sempat mengucapkan keinginannya. "Setiap bayaran berbeda-beda untuk setiap orang. Bisa jadi cermin itu meminta bayaran atas nyawamu."

Kramor yang mendengarnya langsung bergidik. Dia memang menyukai koin, tapi hal itu tidak akan berharga saat nyawanya sebagai jaminan. Lelaki itu akhirnya mundur, mengurungkan niatnya untuk menjadi orang pertama yang mencoba menuturkan keinginannya.

Kini, Eira menghadap cermin tersebut. Memang bukan tanggung jawabnya untuk menyelamatkan Gaia dari kegelapan abadi para iblis, namun hanya dia satu-satunya yang memiliki kesanggupan untuk menggunakan cermin itu. Bahkan jika sang cermin meminta nyawanya sekali pun.

Nimue yang tahu bahwa Eira berniat untuk menggunakan cermin itu berusaha mencegahnya. "Tidak, kau tidak boleh melakukannya. Kita belum mengetahui pasti akibat dari hal itu." Cepat-cepat dia menghalangi Eira dengan berdiri di antaranya.

"Kita kehabisan waktu dan cermin ini satu-satunya kesempatan kita." Eira menatap Nimue lekat-lekat, berusaha meyakinkan.

"Kau bilang kau tahu letaknya jika memiliki peta," kata Nimue, masih tidak menyetujui rencana Eira untuk mencoba cermin itu.

"Ya, aku hanya mengetahui tempatnya, bukan letak persis keberadaannya. Kita akan membutuhkan waktu lebih lama untuk mencari pedang itu," bantah Eira.

Castro yang sejak tadi mendengarkan mulai penasaran dengan ikut dalam perdebatan keduanya. "Maaf, bisakah kalian menjelaskan apa yang sebenarnya kalian bicarakan?"

"Ya, pedang Gram? Aku dengar pedang itu hanya mitos." Batara menyahut dibelakangnya.

Eira menoleh pada lelaki warlock yang tengah menyandarkan bahunya pada dinding gua. "Begitu juga kita. Kau pikir manusia tidak menganggap keberadaan kita adalah mitos?" cecarnya.

Batara bergeming. Perempuan itu ada benarnya juga, pikir lelaki itu. Beralih darinya, kini Eira menatap Castro yang menuntut jawaban. "Kau ingat saat aku mengatakan bahwa kupinjam cincin Andvaranaut untuk menyelamatkan banyak nyawa?" tanya Eira.

Castro mengangguk. Matanya sarat akan keingintahuan tak tebendung.

"Aku melakukan itu untuk mencari pedang Gram dan yang mengetahui letak keberadaannya adalah seekor naga bernama Fafnir. Di mana dikatakan bahwa dahulu seorang bernama Sigurd menggunakannya untuk membunuh naga itu. Namun menurut cerita yang Nimue katakan, Sigurd tidak membunuhnya dan mencuri harta naga. Jika kita menemukan harta yang dicuri oleh Sigurd, kita bisa menukarnya dengan pedang Gram."

"Dan karena itu kau membutuhkan Andvaranaut untuk mencari harta tersebut." Castro menyimpulkan.

"Ya. Pedang ini bisa membantu kita membunuh para iblis dan aku yakin cermin Merlin layak untuk kita coba." Eira kembali menatap cermin yang memantulkan gambaran dirinya.

"Tapi bagaimana jika cermin itu meminta nyawamu?" Kini suara Castro terdengar begitu rendah, dia tidak menginginkan hal itu.

Menghela napas panjang, Eira seolah lelah pada hidupnya yang bahkan ditolak oleh kematian. "Satu nyawa tidak berarti untuk ditukar dengan nyawa banyak orang, cukup adil kedengarannya." Mata perempuan itu masih menatap pada pantulan dirinya di cermin.

Castro yang mendengarnya langsung menggapai bahu Eira, menghadapkannya untuk menoleh pada dirinya. "Setiap nyawa berarti, jika kau tidak menganggapnya begitu, mungkin orang disekitarmu." Matanya menatap lekat-lekat pada Eira.

Sesaat, kesunyian menyelimut tempat itu kembali. Hingga Eira tersadar dan mengalihkan padangan dari lelaki itu. "Hanya ini caranya, sekarang atau semuanya akan terlambat." Menghiraukan Castro, kini dia menatap pada cermin kembali.

Nimue yang tidak bisa mencegahnya lagi, sudah menyerah dan membiarkan Eira melakukannya. Begitu pun Castro, yang tahu bahwa perempuan itu akan berpegang teguh pada tekatnya.

Sesaat sebelum menggunakan cermin itu, Eira menarik napas panjang. Berharap bahwa pilihannya kali ini tidak sia-sia. Mendekat, dia mulai berpikir bagaimana cara kerja cermin itu. Sambil memejamkan mata, Eira memusatkan pikirannya pada pedang Gram, berusaha untuk tidak teralihkan dengan hal lain. Saat dia membuka matanya kembali, sesosok lelaki berjubah putih dengan rambut ikal panjang berwarna hitam terpantul dari cermin tersebut.

"Eira si Terakhir Dari Jenisnya," ujar lelaki itu.

"Aku ingin mengetahui letak keberadaan pedang Gram," kata Eira mengutarakan keinginannya.

Sedangkan yang lainnya tidak bisa mendengar si lelaki penghuni cermin, Kramor yang agaknya bingung menyahut. "Kenapa dia bicara sendiri?" tanyanya.

"Dia sedang berbicara pada cermin itu, kita tidak dapat mendengarnya jika bukan yang menggunakannya," jelas Nimue.

"Aku tahu keinginanmu, tapi sebelum itu aku memperingatkan bahwa kau hanya memiliki satu kesempatan untuk menggunakannya. Jadi, tidakkah kau menginginkan sesuatu hal yang lain?" Lelaki dalam cermin itu berusaha memecah tujuan Eira.

Eira yang sudah bertekat tidak terpengaruh oleh hasutan sang cermin langsung menolak mentah-mentah. "Tidak," sahutnya.

"Mungkin kau ingin bertemu dengan ibumu kembali?" tanyanya dan sesosok perempuan bermata amber seperti miliknya muncul di belakang lelaki itu. "Atau kau mencari sesorang untuk dicintai?" Sosok ibunya kini berganti menjadi Elias dengan senyuman dingin khas miliknya.

Untuk beberapa saat, Eira hampir goyah setelah melihat kedua sosok itu. Menundukkan kepalanya, dia berusaha memusatkan pikirannya kembali pada pedang Gram. "Aku ingin mengetahui keberadaan pedang Gram," pintanya lagi.

"Bagaiman dengan keinginan untuk mencintai?" Lagi-lagi, sosok itu berubah, untuk kali ini cermin tersebut memunculkan Castro dengan senyum hangatnya. Lalu berubah lagi menjadi sosok lelaki yang dia temui di danau pertama kali. Tatapan Kazimierz lekat pada mata Eira, berusaha untuk mengoyahkan permintaannya.

Memejamkan mata, Eira menarik napas dalam-dalam. "Pedang Gram dan hanya pedang Gram," gumamnya.

Sang cermin pada akhirnya mengalah. "Baiklah, jika itu yang kau mau." Dengan begitu, dia menghilang dari pandangan. Digantikan dengan sebuah gunung berkawah yang memancarkan api kebiruan seperti sihir yang Eira gunakan, hingga masuk pada sebuah bangunan tua berdinding bebatuan. "Harta yang kau cari ada di sana, nyalakan api sepanjang lorong masuk dan kau akan menemukan penunjuk jalan menuju sang naga. Hanya dia yang mengetahui letak keberadaan pedang Gram."

"Dan bayarannya?" tanya Eira.

"Kau tidak memiliki apa pun yang tersisa sekarang. Kalau begitu, aku akan mengambil kebahagianmu apa pun itu."

Kini cermin kembali memantulkan dirinya. Memperlihatkan teman-temannya yang memperhatikan dengan seksama. Berbalik, Eira akhirnya mulai bicara. "Gunung berkawah dengan api biru, di sana kita bisa menemukan hartanya."

Batara yang mendengarnya langsung menegakkan tubuh. "Hanya ada dua tempat seperti itu. Salah satunya berada di Wana Tirtaganda, sekitar delapan hari berkuda dari sini," jelasnya.

"Kita akan berangkat sekarang." Tidak mau membuang waktu, dia berniat berkemas.

Nimue yang masih berdiri di dekat cermin baru ingat bahwa ada hal yang harus mereka khawatirkan terlebih dahulu. "Eira, ada hal yang harus kau urus lebih dulu." Dia pun melangkah saat dhampir itu berbalik ke arahnya. Berjalan menuju tempat arena di mana Nero masih terkurung di dalamnya.

"Sihir semacam ini, bukan kah warlock seperti Batara bisa membukanya?" Mata Eira mengarah pada lelaki itu.

"Bukan itu masalahnya," kata Nimue rendah. "Nero mengalami sedikit trauma dan aku tidak bisa menjinakkannya."

Beralih, Eira mengarahkan pandangan pada Nero yang tengah meringkuk ketakutan. Dia tidak bisa membayangkan apa yang telah dilaluinya. "Biarkan aku masuk," pintanya.

Menoleh pada Batara, Nimue mangangguk untuk menyetujui. Setelah Batara merapalkan mantra, celah seukuran dirinya terbuka, membiarkan Eira untuk masuk. Lengkingan seketika memenuhi ruangan, setelah arena menutup kembali, keheningan kembali menyelimuti.

Suara lengkingan kini memenuhi telinga Eira dengan membabi buta. Saat ini, dia berharap salah satu kekuatan yang dia miliki dapat meredam suara itu. Namun tidak satu pun yang dapat Eira pikirkan0 seperti sebelum-sebelumnya. Sambil menutup telinganya, dia berusaha mendekati Nero.

"Nero, dengarkan suaraku! Hey!" ujar Eira keras-keras agar hewan itu dapat mendengarnya. Sambil mengeluarkan bulu perak yang dikalungkannya, perlahan suara lengkingan mulai merendah. "Ya, seperti itu."

Perlahan-lahan, Eira mengulurkan tangannya. Saat menyentuh puncak kepala Nero, suara lengkingan menghilang, digantikan dengan geraman pelan. Diusapnya hewan itu lembut.

"Maafkan aku," gumamnya. "Aku tidak akan membiarkan hal buruk terjadi padamu lagi. Aku berjanji."

Nero menggeram pelan kembali. Seolah dia mempertanyakan janji yang Eira ikrarkan.

"Aku berusaha, Nero. Aku berusaha untuk setidaknya menyisihkan rasa kemanusianku yang tersisa. Dan kau akan membantuku." Masih mengelus pelan, Nero kemudian meletakkan kepalanya di pundak Eira. "Aku juga merindukanmu."

Bersamaan dengan itu, dinding arena perlahan terbuka dan menghilang. Castro yang berdiri mengamati Eira tersenyum penuh bangga. Itulah mengapa dia memilih perempuan itu. Sesuatu yang istimewa tumbuh dalam diri Eira, hanya saja perempuan itu tidak melihatnya begitu.

"Kita akan tetap berangkat sekarang?" tanya Osric pada Nimue.

"Ya, tapi kita membutuhkan karavan untuk Nero, dia belum cukup kuat untuk berpergian jauh."

"Aku akan mencarinya di pusat kota." Osric yang tidak akan dikenali oleh para prajurit Troan mengajukan diri. Dia pergi setelahnya dan kembali sembari membawa karavan yang entah bagaimana caranya dia bisa dapatkan.

Castro yang sudah berniat ikut bersama Eira mengucapkan salam perpisahan pada Batara. Sahabatnya itu tentu tidak kuasa menahan Castro yang sama keras kepalanya dengan sang Raja Troan. "Kirimkan aku surat setidaknya," pinta Batara.

"Sejak kapan kita saling berkirim surat?" Castro tertawa.

"Aku akan merindukanmu. Sejujurnya aku akan lebih merindukan Nimue," bisiknya.

Castro memutar bola mata sambil tersenyum.

Di sisi lain, Kramor tengah mempersiapkan dirinya untuk ikut dalam pencarian pedang Gram bersama Eira. Dia telah mengurungkan niatnya membawa dua tawanannya itu untuk ditukarkan dengan Frocrint. Walaupun Eira telah melarangnya untuk ikut.

"Kau pergi ke tempat harta karun yang bahkan hampir tidak bisa ditemukan, bagaimana bisa aku menolak?" ujarnya sembari mengumpulkan perlengkapan.

Dengan bertambahnya dua anggota baru dalam pencarian itu, Eira hanya dapat berharap tidak ada hal buruk yang akan menimpa mereka. Selagi dia memasukkan Nero ke karavan, Darani menghampirinya. Eira baru saja akan menolak jika dia memohon untuk ikut bersamanya juga.

"Tidak, aku tidak berniat untuk ikut bersamamu. Tapi aku ingin mengatakan bahwa kau tidak seperti yang aku pikirkan," ujar Darani.

"Setiap orang memiliki pandangannya masing-masing tentang diriku, tapi aku sama sekali tidak keberatan dengan hal itu."

Darani tersenyum. "Aku harap kita memiliki waktu lebih lama agar aku bisa belajar berburu darimu."

"Aku titipkan Batavia padamu dan mungkin menjaga si pangeran dari dirinya sendiri agar tidak terlalu egosentris," kata Eira sembari melirik Batara yang tengah berbicara dengan Castro.

Keduanya tertawa. "Aku seorang Ebu Gogo*, Batavia adalah rumahku. Lagipula, harus ada seseorang yang memburu para bandit itu."

"Ya, dan sampaikan salamku untuk mereka." Wajah Eira mengisyaratkan sebuah pukulan untuk para bandit itu. "Oh, dan maaf soal senjatamu."

"Tidak apa, aku akan mencari yang baru."

"Untuk itu, aku sarankan kau membelinya dari seorang vulcan bernama Silas. Katakan padanya, kau mencari sesuatu yang mirip dengan pedangku," pesan Eira.

Mengangguk, Darani akhirnya mengucapkan salam perpisahannya. "Semoga beruntung. Aku yakin kita akan bertemu lagi."


~~~***~~~

* Kravat, sihir yang digunakan untuk mengikat penggunanya dengan perjanjian untuk membayar apa pun yang diminta.

* Ebu Gogo, jenis yang memiliki ukuran tubuh lebih kecil sedikit dari dwarf dengan telinga panjang. Mereka dapat memanjat pohon dengan cepat dan memiliki ingatan yang kuat.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top