CHAPTER 27
Sudah setengah hari saat kapal yang ditumpangi Castro tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari geladak. Lelaki itu memang lebih memilih berada di lambung kapal dan bersembunyi untuk menghindari para prajurit Troan, terutama Jenderal Kilorn. Karena itu, saat orang-orang naik karena rasa penasaran mereka, Castro hanya diam di tempatnya, tidak tertarik pada apa pun yang mereka perbincangkan di atas sana.
Seorang vampir yang ikut dalam kapal itu tiba-tiba turun melalui tangga tergesa-gesa dengan wajah yang ketakutan. Seorang elf perempuan yang duduk berseberangan dengannya menegur lelaki itu. "Apa yang kau lihat di atas sana?" tanyanya.
"Mengerikan, seperti medan perang. Seseorang meyakini bahwa Kraken baru saja berada di sini dan kalau benar begitu, kita akan mati." Lelaki vampir itu menatap nanar si elf dengan penuh ketakutan.
Castro yang akhirnya penasaran memberanikan diri untuk melihat langsung apa yang orang-orang ributkan. Dengan tudung yang dia kenakan untuk menutupi wajahnya, dia naik ke geladak. Di mana ekspresi orang-orang penuh dengan berbagai spekulasi, ketegangan, hingga rasa penasaran.
"Apa yang terjadi di sini?" Salah seorang lelaki yang berdiri di samping Castro bertanya-tanya.
Sejauh matanya memandang, cairan hitam memenuhi laut dengan sisa-sisa api yang membakarnya. Kapal berlayar pelan agar tidak membangunkan apa pun yang baru saja muncul ke permukanan. Kewaspadaan meningkat, sang kapten memerintahkan awak kapal untuk memasang mata ke segala sudut kapal, kalau-kalau sesuatu menyerang mereka dari bawah.
Dari kejauhan, sebuah jubah terapung di dekat genangan-genangan cairan hitam. Castro yang mengenali jubah itu membelalakan mata untuk melihat lebih jelas. Lelaki itu yakin, jubah yang tengah mengambang di tengah lautan adalah miliknya. Jubah yang dia simpan di perbekalan saat berniat ikut bersama Eira. Yang membuatnya penasaran, apakah Eira mengenakan jubah miliknya?
Semakin jauh, akhirnya sang kapten memerintahkan awak kapal untuk mempercepat haluan. Yakin bahwa tidak ada pergerakan sedikit pun yang dapat mengancam keselamatan penumpang dan awak kapal, mereka akhirnya melesat lebih jauh. Castro melangkahkan kakinya kembali untuk turun ke lambung kapal, berharap tidak ada yang mengenalinya tadi.
Keeseokan paginya, kapal mereka sampai di pelabuhan Jayakarta. Castro yang turun paling terakhir berusaha untuk menelusur sekitar, kalau-kalau lelaki dwarf bernama Kramor dapat dia temukan di sini.
Jenderal Kilorn dan pasukan pencarinya tentu saja langsung menuju istana Batavia. Mereka adalah salah satu kerajaan yang memiliki hubungan baik dengan Troan, tentu saja mereka akan sangat disambut di sana dengan berbagai jamuan kerajaan.
Sedangkan Castro yang telah kehilangan jejak harus menemui teman lamanya untuk membantu pencarian. Mengikuti Jenderal Kilorn, Castro menuju istana Batavia, namun saat sampai di depan gerbang istana dia menguping pembicaraan sang Jenderal yang disambut oleh seorang Jenderal Batavia.
"Jenderal Nirmala! Senang bertemu denganmu lagi, kau terlihat ... menawan," puji Jenderal Kilorn.
Perempuan berkulit sawo matang itu memberikan senyum tipis. "Terima kasih. Bagaimana perjalannya?"
"Tidak begitu buruk, tapi kau tentu tahu, aku benci lautan." Keduanya tertawa, seolah mengingat masa lalu yang mereka bagi bersama. "Apa Raja tidak sibuk?"
"Raja Anggakusuma sedang ada urusan di luar bersama Ratu Laksmini, sedangkan Pengeran Batara katanya ingin menemui temannya yang seorang blacksmith* di pusat kota," jelasnya.
Kini, keduanya berjalan bersamaan menuju pintu istana. "Ah, begitu," gumamnya. Dengan begitu, mereka menghilang dari pandangan Castro.
Lelaki itu sudah tahu tujuannya kini. Terakhir kali dia ke Batavia sekitar setahun yang lalu, saat itu Batara mengajaknya pergi ke pusat kota untuk membeli sebuah pedang dari seorang vulcan bernama Silas. Katanya, semua senjata yang dibuat Silas merupakan barang dengan kualitas bagus. Pisau milik ibunya yang sekarang milik Castro juga dibuat di sana, katanya.
Castro tidak begitu ingat letaknya, namun dia masih bisa meraba-raba jalanan yang hampir sama seperti setahun yang lalu. Dan kalau tidak salah ingat, dia akan menemukan sebuah pondok yang di depannya bertuliskan Silas's Armoury.
Setelah menelusuri jalanan sesuai dengan ingatannya, lelaki itu akhirnya menemukan tempat itu. Membuka pintu, Castro mendapati Batara yang tengah mengobrol dengan Silas. Kedua orang itu langsung menoleh untuk melihat siapa yang datang.
"Castro!" Batara berseru. "Aneh, aku baru saja memikirkan tentangmu."
Lelaki itu tersenyum. "Jika itu berkaitan dengan hal yang seksual, berarti bukan diriku."
Keduanya tertawa, namun Batara menggeleng. "Tidak, serius. Seorang perempuan baru saja mampir dan membeli sekumpulan peralatan, dia membayar dengan Frocrint, dan setelan bajunya terlihat seperti kalangan atas."
Castro mengerutkan keningnya. Penggambaran Batara terlihat seperti seseorang yang dia cari. "Rambut dikepang, mata berwarna emas, dan agak kasar?"
"Ya, itu persis seperti yang kau gambarkan. Tunggu ... bagaimana kau bisa tahu?"
"Apa dia sudah lama pergi dari sini?"
"Beberapa menit yang lalu, aku rasa."
Cepat-cepat, Castro melangkahkan kakinya untuk menyusul Eira yang baru saja mengunjungi tempat itu. Berharap dia dapat menemukannya tidak jauh dari sana. Namun dengan cepat Batara menghalanginya. "Hey, ada apa? Apa perempuan itu mencuri sesuatu darimu?"
"Aku harus menemukannya, Batara." Castro berusaha menghindari lelaki yang menghalangi jalannya.
"Dia mungkin sudah pergi entah ke mana. Batavia tempat yang luas, kau tidak akan menemukannya walaupun dia baru saja pergi dari sini beberapa menit yang lalu," kata Batara, berusaha menenangkan temannya itu.
Menghela napas, Castro memang tahu akan hal itu, dan karenanya dia menemui Batara untuk meminta bantuan. "Karena itu aku ke sini. Aku ingin meminta bantuanmu untuk mencarinya."
"Kalau begitu, itu adalah pilihan yang tepat. Lagipula, aku mungkin tahu ke mana dia akan pergi. Kulihat dia membawa pisau dengan lambang Ravenvale."
"Ravenvale?" tanya Castro, tidak pernah mendengar tentang hal itu sebelumnya.
"Mereka adalah komplotan bandit. Jenderal Lestari telah mencari mereka beberapa bulan belakangan ini, namun jejak mereka susah untuk ditemukan. Kejahatan mereka menyangkut perdagangan ilegal hewan-hewan langka," jelas Batara.
"Dan bagaimana kau bisa menemukan mereka?"
Batara mengangkat sebelah alisnya, berusaha untuk membanggakan diri pada apa yang telah dicapainya. "Kau tidak ingat aku seoerang warlock? Aku melakukan banyak improvisasi dan kemajuan, kau tidak perlu khawatir, kita akan menemukan mereka dan membawa pasukan untuk menyergap."
Castro yang tentu saja tidak ingin keberadaannya diketahui menolak mentah-mentah tawaran Batara untuk membawa pasukan bersamanya. "Tidak, ini hanya antara kau dan diriku. Jenderal Kilorn sekarang berada di istana dan dia tidak tahu aku berada di sini. Aku ingin tetap seperti itu."
Batara tertegun untuk sesaat, sedikit curiga. "Oke, kita akan pergi saat matahari sudah tenggelam. Tapi sebelum itu, katakan padaku sejujurnya apa yang terjadi dan siapa perempuan itu dan mengapa kau mencarinya, setuju?"
Sebagai salah satu sahabatnya, Castro telah mempercayai Batara bagaikan saudaranya sendiri. Namun begitu, dia tetap ragu pada kejujuran yang harus dia katakan. "Setuju," ujar lelaki itu pada akhirnya.
***
Matahari telah tenggelam seutuhnya saat Eira dan gerombolannya menelusuri hutan Selatan. Mengikuti petunjuk bartender, mereka akhirnya menemukan sebuah gua dengan batu berlubang di tengahnya. Eira hendak membisikkan kata-kata ajaib untuk membuka pintu masuk ke gua saat seseorang melesatkan pisau ke arahnya.
Secara bersamaan, Eira dan gerombolannya meloncat. Matanya menelusur sekitar mencari sumber yang baru saja menyerang mereka. Tidak ada siapa pun yang berhasil mereka temukan di sekitar, namun mata dhampir itu lebih tajam dari siapa pun di antara teman-temannya. Sosok berjubah tengah bersembunyi di atas pohon, mengamati keberadaan mereka.
"Di atas!" Eira berseru, membuat semua mata mengarah pada sosok yang tengah mengintai mereka.
Lagi-lagi, pisau dilesatkan olehnya. Nimue yang melihat sosok itu segera menggunakan sihir dengan menjeratnya dengan sulur-sulur. Mengeliat-geliat, sosok itu berusaha melepaskan sulur-sulur yang menjalari kaki dan tangannya menggunakan pisau bermata ganda. Namun, Nimue berhasil membuatnya kehilangan keseimbangan dan tergelincir hingga terjatuh.
Eira yang sejak tadi mengamati situasi kini mulai melesatkan aksinya. Pedang dihunuskan dari punggungnya, menyerang sosok yang kini telah terjatuh di bawah. Namun dengan cepat pula, dia menahan pedang Eira dengan pisau bermata gandanya. Kini, keduanya saling beradu satu sama lain.
"Siapa kau?" cecar Eira.
"Bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang berusaha membunuh bandit-bandit sialan seperti kalian," katanya penuh emosi. Dia kemudian melesatkan serangan kembali yang membaut Eira kewalahan karena gerakannya yang cepat dan lincah.
Di saat seperti ini, kemampuan untuk melihat pergerakan lawan adalah hal yang tetap untuk digunakan. Namun, Eira belum juga hafal dan terbiasa pada kalimat-kalimat sihir miliknya itu. Bahkan pada awalnya, dia tidak begitu mengerti mengapa semua kalimat itu muncul di otaknya seolah saat ia membutuhkannya.
Butuh waktu beberapa saat hingga sebuah kalimat terlintas di kepalanya seperti sebelum-sebelumnya. "Zavtra," gumamnya sambil memejamkan mata. Dalam sedetik, Eira membuka kembali matanya yang kini telah berubah menjadi kelabu. Perlahan, dia dapat membaca gerakan lawannya dan berhasil mengungguli.
Jubah yang menutupi kepala sosok itu merosot, menampakkan wajah perempuan berambut pendek menutupi kuping dengan mata cokelat gelap yang penuh akan emosi membara. "Aku akan membunuhmu," ancamnya.
"Posisimu tidak mengatakan demikian," balas Eira. "Lagipula, kami bukan Ravenvale. Kami di sini untuk mengacaukan acara mereka."
Sesaat, ekspresi perempuan itu mengendur, namun kembali lagi saat melirik pisau yang menggantung di pinggang Eira. "Kau memiliki pisau Ravenvale, kau berbohong."
Eira yang tidak percaya bahwa kesalahpahaman ini hanya karena pisau yang dia simpan dari para bandit itu. "Pisau ini kuambil saat mereka berusaha membunuhku dan seisi kapal dengan memanggil kraken dan charybdis," bebernya.
Lagi-lagi, ekspresi perempuan itu mengendur, namun kali ini dia benar-benar menurunkan senjatanya. "Mereka juga berusaha membunuhku, berkali-kali. Tapi tidak satu pun berhasil."
Mengembalikan pedangnya kembali ke tempatnya, kini Eira dapat menyimpulkan bahwa perempuan itu memiliki tujuan yang sama dengan dirinya. "Mereka mengambil sesuatu dariku dan aku akan mengambilnya kembali."
Nimue, Osric, dan Kramor yang kini telah berhasil membuka pintu masuk ke gua memanggil Eira untuk tidak membuang-buang waktu lebih lama. "Sekarang atau tidak sama sekali." Kramor berseru padanya.
Eira mengangguk, dia kemudian beralih pada perempuan itu, mengingat bahwa dia adalah sosok yang berdiri tidak jauh dengannya saat mereka berbicara di bar tadi pagi. Dia pasti mendengarkan pembicaraan mereka dengan bartender. "Aku akan masuk, jika kau ingin bergabung, kau bisa ikut."
Perempuan itu mengangguk. Tentu dia tidak akan menolak tawaran untuk mengobrak-abrik tempat bandit-bandit itu, terlebih dia mendapatkan batuan. "Aku Darani," katanya memperkenalkan diri.
~~~●●●~~~
* Blacksmith, seorang pandai besi yang dapat membuat berbagai senjata khusus. Persenjataan yang mereka buat memiliki nilai tinggi, karena itu biasanya hanya para bangsawan yg bisa membeli dari mereka. Biasanya para blacksmith adalah seorang vulcan dan sangat jarang ditemukan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top