CHAPTER 23

"Kita semua akan mati!" teriak Osric panik.

Dengan begitu, orang-orang berhamburan untuk menyelamatkan diri. Beberapa ada yang sudah naik ke sekoci, namun bukannya selamat, arus air yang terlalu kuat membuat mereka semakin tertarik ke pusaran dan menghilang ke dalamnya.

Geladak telah penuh dengan teriakan orang-orang. Kraken yang muncul berlawanan arah dengan charybdis ikut terbawa arus. Membuat monster itu menarik kapal bersamanya menuju pusat pusaran. Membuat semuanya semakin panik dengan berpegangan pada apa pun yang bisa mereka raih.

Kraken yang tidak mau mengalah, mencoba menyerang charybdis dengan tentakelnya, membuat pusaran berhenti seketika. Namun dengan cepat pula, charybdis melawan balik, membuat suara raungan kraken memenuhi telinga. Bersamaan dengan itu, jeratan tentakel kapal terlepas.

"Putar arah!" teriak sang Kapten.

Dengan memanfaatkan pertarungan antara kraken dan charybdis, mereka memutar haluan untuk menjauh dari kedua monster yang tengah mengamuk. Namun, arus yang diakibatkan pertararungan keduanya masih belum bisa membuat kapal seimbang dan terombang-ambing.

Eira yang sejak tadi berlindung memegangi seutas tali bersama Nimue dan Osric mulai mengamati keadaan. Osric yang wajahnya sudah pucat sejak tadi, tidak sanggup untuk berdiri, sedangkan Nimue yang baru saja muntah menambahkan kesialan Eira.

"Kraken dan charybdis tidak tinggal diperairan yang sama, jika keduanya muncul bersaamaan, ini bukan sebuah kebetulan." Masih menelusur sekitar, Eira kemudian menyembulkan kepalanya ke laut, ada bau aneh yang sangat pekat menusuk hidungnya.

Kembali ke geladak, Eira mencari-cari benda agar dia dapat meraih air laut untuk dapat mencium barunya lebih jelas. Sebuah ember kaleng dirampas olehnya dari seorang awak kapal yang tengah meringkuk ketakutan. Tanpa pikir panjang, Eira perlahan turun melalui jaring yang terpasang di badan kapal.

Setelah berhasil mendapatkan air di ember, dia kembali ke geladak. Nimue sudah muntah tiga kali sejak para monster itu menyerang kapal. Osric disampingnya mulai sedikit tenang, sambil menggenggam tangan Nimue, dia berusaha menenangkan perempuan itu agar perutnya tidak mengeluarkan makanan terakhirnya.

Eira yang mengendus ember berisi air laut yang dia ambil mulai mengingat-ingat aroma khas yang cukup unik. "Bubuk perak dan ...." Dia diam sesaat, mencoba untuk mengendus lebih dekat. "Anggrek hitam," gumamnya.

Setelah berhasil menyimpulkan apa yang tengah terjadi, Eira melirik kawananannya. Nimue jelas tidak dalam kondisi yang baik untuk bertarung menggunakan sihir, satu-satunya yang bisa dia percayai hanyalah Osric untuk saat ini.

Dihununskannya pedang Axia dari punggung, kemudian menyerahkannya pada Osric. "Jika monster itu menyerang, gunakan pedangnya. Ada seseorang yang harus kuurus." Belum juga Eira beranjak, Osric sudah menarik lengannya.

"Apa maksudmu? Aku tidak bisa melawan monster-monster itu," ujarnya.

"Monster-monster ini tidak datang dengan sendirinya, seseorang menggunakan sihir untuk memanggil mereka. Sampai aku berhasil menemukannya, kupercayakan pedang Axia padamu." Menghiraukan Osric yang baru saja akan mulai bicara kembali, Eira menuruni tangga menuju lambung kapal.

Di bawah sana, orang-orang lebih tenang daripada di geladak. Seolah mereka telah pasrah dengan nasib mereka yang hampir menjemput kematian. Seorang ibu tengah merapalkan doa bersama kedua anaknya di pojokan, sisanya duduk dengan gemetar sembari sesekali menoleh ke arah Eira, hanya untuk memastikan bukan malaikat kematian yang tengah menjemputnya.

Dengan luasnya kapal, Eira cukup kesulitan untuk mencari sumber sihir. Diingat-ingatnya kalimat untuk menggunakan kekuatan seperti dia menemukan kapal yang dia naiki. "Syn," gumamnya. Penglihatannya kembali menjadi hitam putih, namun warna merah sepanjang tiga meter di depannya menunjukkannya pada sesuatu.

Sambil mengikuti penglihatannya yang berakhir pada sebuah pintu, Eira mulai bersiaga. Apa pun yang berada di baliknya, sudah pasti orang itulah yang memanggil para monster. Yang menjadi pertanyaan Eira, untuk apa dia melakukan hal itu.

Perlahan, pintu didorong olehnya. Di dalamnya, hewan-hewan langka tengah dikurung dalam jeruji besi. Hingga matanya tertuju pada sesosok hewan yang sejak kejadian di istana Troan tidak kunjung menjawab panggilannya.

"Nero!" bisiknya. Namun hewan itu tidak sadarkan diri, beberapa bulunya telah dicabuti. Membuat Eira geram pada siapa pun yang melukai hewan itu.

Dibalik tumpukkan jerami, suara seseorang sedang merapalkan mantra terdengar. "Veni o'r mór, expectantem hirvio." Kalimat itu terus terulang di telinganya.

Menghunuskan pedang, secara diam-diam Eira mendekati sumber suara. Seorang witch tengah merapalkan mantra sembari duduk bersila dengan memejamkan mata. Tanpa bersuara, ditodongkannya pedang padanya. "Hancurkan mantranya," ujar Eira.

Sambil membuka matanya, witch tersebut tersenyum. "Terlambat, semua orang di sini akan mati tertelan charybdis." Bersamaan dengan itu, dua orang lelaki dan seorang perempuan dengan wajah tertutup kain muncul dari balik portal yang menembus ke luar kapal.

Eira melompat saat salah seorang dari mereka menyerangnya dengan belati yang dilemparkan. Belum sempat dia bergerak, bom asap memenuhi ruangan, membutakan Eira untuk sesaat sambil terbatuk-batuk.

"Syn," ujarnya untuk menggunakan kekuatannya.

Dua orang dari mereka tengah menggotong kandang Nero menuju portal. Eira yang tidak mau kehilangan hewan itu, lari cepat-cepat menerjang mereka. Pedangnya yang baru akan diayunkan sudah tertangkis oleh belati si perempuan untuk kedua kalinya. Berputar, Eira mencari celah untuk dapat meraih portal yang hampir tertutup. Sadar tidak akan sampai, dia meraih pisau yang tertancap dan melemparkannya hingga mengenai bahu salah satu lelaki yang membawa Nero.

"Sial!" makinya kesal. Baru saja dia akan berlari menuju geladak saat melihat belati yang tadi hampir mengenainya tertinggal di lantai kayu. Diraihnya belatii itu dan dijejalkan di ikat pinggangnya.

Di geladak guncangan kapal semakin menjadi-jadi, membuat Eira hampir terjatuh, dan harus menyeimbangkan tubuhnya. Matanya kini menelusur, mencari-cari para bandit sialan itu. Kali-kali dia masih bisa mengerjarnya. Sampai seseorang berteriak di belakangnya. "Ravenvale!" matanya tertuju pada sekelompok orang mengendarai kapal kecil yang ditarik oleh hippocampus.

Sedangkan mereka semakin menjauh, Eira hanya dapat menyaksikan Nero yang dibawa secara paksa oleh para bandit. Sekarang, yang menjadi masalah apakah dia bisa keluar dari para monster ini hidup-hidup.

Dilihatnya kraken dan charybdis yang masih bertarung untuk memperebutkan kapal mereka sebagai hadiahnya. Memutar otak, Eira akhirnya memiliki ide gila yang terlintas di pikirannya. Diliriknya, Osric yang masih menggenggam pedangnya kuat-kuat. Secepat kilat, dia menyambar pedang tersebut dengan paksa. Membuat Osric terheran-heran saat melihat dhampir itu penuh emosi.

"Bagaimana? Kau berhasil menemukan orang yang memanggil mereka?" tanya Osric, suaranya hampir tidak terdengar karena raungan para monster.

"Jika iya, tidak mungkin monster-monster itu masih ada di sini," Nimue yang menjawab.

"Mereka menggunakan para monster itu untuk pengalihan. Para bandit sialan itu membawa Nero," ujarnya.

Osric dan Nimue saling bertatapan. Mereka mendengar suara Eira dengan emosi yang tidak stabil. "Kita akan mati di sini," gumam Osric akhirnya. "Aku senang mengenal kalian, tapi aku tidak mau mati di sini."

"Kita tidak akan mati di sini!" Eira masih terus memandang lurus ke arah para monster, memikirkan strategi terbaik.

Nimue yang tahu maksudnya, menarik lengan Eira dan mencengramnya kuat-kuat. "Tidak, kau tidak boleh menggunakan kekuatanmu. Kita belum tahu pasti apa akibatnya jika kau menggunakan kekuatanmu untuk bangkit kembali dari kematian."

"Pilihannya semua orang yang mati atau aku." Dihentakkan lengannya dari Nimue dan meloncat ke laut.

"Eira!" Nimue berteriak. Osric yang terkejut juga menorehkan kepalanya ke bawah untuk mencari dhampir itu.

Menyembulkan kepalanya, Eira susah payah untuk bisa mengatur napas, sedangkan ombak laut terus-menerus menerjangnya. Menyelam kembali, dia berusaha meraih tentakel kraken untuk lebih dekat dengan arena pertempuran.

Saat dia telah berhasil menggapai salah satu tentakel, monster itu mengayun-ayunkannya untuk menyerang charybdis. Membuat Eira ikut terayun-ayun, menyelam, naik ke permukan, dan begitu terus menerus. Hingga dia mendapatkan waktu yang tepat untuk melompat ke kepala kraken.

Sejujurnya, Eira tidak tahu rencana apa yang harus dia lakukan untuk membunuh kedua monster itu. Erangan para monster, ditambah percikan air yang terus-menerus membasahinya membuat dia harus berpengangan erat pada kraken. Tubuhnya yang licin dan berlendir membuatnya semakin susah untuk menyeimbangkan diri.

Kraken terus menyerang charybdis, hingga dia mengeluarkan cairan hitam tepat ke mulut besar lawannya, membuatnya mengerang semakin kencang sembari mundur perlahan. Charybdis menyerang balik menggunakan bagian belakang tubuhnya yang berhasil mengenai kepala kraken.

Eira yang kewalahan, tergelincir dan terperosok kembali ke air. Lagi-lagi, kraken berusha melawan dengan mengeluarkan cairan hitam dari tentakelnya yang kali ini mengenai mata sang lawan. Sembari berusaha naik, cairan hitam itu ikut terciprat mengenai tubuh Eira. Seluruh tubuhnya tercium seperti lumur rawa waktu itu.

Seketika ide itu muncul. "Melawan monster dengan monster," gumamnya.

Dengan begitu, dia naik kembali ke atas tubuh kraken, kali ini berusha untuk menuju bagian depan kepalanya untuk mendapatkan perhatian. Kraken yang menyadari kehadiran Eira, mulai berusaha menggapainya menggunakan tentakel. Namun, belum sempat dia mengayunkan tentakelnya, charybdis sudah menyerangnya kembali.

Cepat-cepat, Eira menghunuskan pedangnya pada tubuh kraken yang membuat monster itu meraung-raung sambil mengeluarkan cairan hitam ke segala arah. Kali ini, dia butuh mengarahkannya untuk kembali menyerang charybdis. Hanya butuh beberapa saat bagi Eira untuk mendapatkan momen penyerangan.

Di atas kapal, Nimue dan Osric hanya bisa mengamati Eira yang tengah bertarung melawan para monster. Sedangkan orang-orang masih sibuk untuk menyelamatkan diri. Hingga seseorang berteriak sambil menunjuk ke arah para monster. "Lihat! Seseorang berusaha melawan monster-monster itu!" seru seorang lelaki dwarf.

"Gila, siapa pun dia benar-benar mencari mati. Dia tidak akan selamat," ujar yang lainnya.

Nimue dan Osric tentu tahu apa yang akan terjadi setelahnya, namun Nimue tidak akan membiarkan Eira mati dalam pertarungan itu. Dengan susah payah dia berdiri, berusaha menyeimbangkan tubuhnya. Osric yang memegangi tubuh Nimue berusaha untuk menopang perempuan itu.

"Apa yang kau lakukan?" tanyanya saat melihat Nimue merapalkan mantra.

"Memanggil para siren, setidaknya mereka bisa membantu Eira," jawabnya. Diambilnya percikan air yang menggenang di kapal, sambil menangkupnya di tangan, Nimue membisikan pesan. Setelah itu, dilemparkannya air tersebut kembali ke laut, berharap para siren mendengar apa yang dia kirimkan.

Tepat saat kraken menyemburkan cairan hitamnya, charybdis meloncat dengan mulut terbuka, siap untuk melahap lawannya. Bersamaan dengan itu, Eira mengeluaran kekuatannya. "Llosgi!" Api menyambar cairan hitam yang mengarah tepat ke mulut charybdis. Percikan api juga mengenai tubuh kraken yang dipenuhi cairan hitam miliknya.

Kedua monster itu meraung saat tubuh keduanya terbakar. Menggeliat-geliat berusaha terbebas dari api yang menyambar. Namun cairan hitam yang sudah memenuhi laut juga ikut terbakar, membuat kedua monster itu tumbang dan tenggelam.

Eira baru saja akan berenang menjauhi kedua monster itu saat kepalanya terhempas tentakel kraken, membuat dirinya ikut tumbang ke laut. Bersamaan dengan itu, penglihatannya mengabur. Namun tidak jauh dari tempatnya sekarang, sekumpulan makhluk bersayap dengan ekor berenang cepat ke arahnya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top