CHAPTER 19
"Kita beristirahat di sini selama sisa malam," kata Eira sambil turun dari kudanya. "Besok pagi kita akan berpisah."
Osric yang mendengar perkataan Eira segera membalas. "Berpisah? Apa maksudmu?" tanyanya.
"Ya, kita akan berpisah besok pagi. Kau tidak akan ikut dengan kami," jelas Eira. Dia sama sekali tidak menghiraukan Osric yang terdengar keberatan.
"Tidak, aku akan ikut dengan kalian." Osric bersikukuh.
Nimue yang merasa kehadiran Osric merupakan hal yang baik-baik saja mulai membelanya. "Eira, aku rasa Osric cukup membantu kita. Lagipula, lebih banyak orang akan lebih bagus, kan?"
Tidak menyetujui, Eira menatap keduanya. "Tidak, kau tidak akan ikut," tegasnya.
Osric memberikan tatapan kecewa sambil melayangkan tangan ke udara. "Mencari pedang Gram dan bertemu monster-monster, kau pikir aku mau melewati semua kesenangan itu? Apa pun keputusanmu, aku akan tetap ikut bersama kalian."
"Kau selalu menganggap semua hal sebagai lelucon, ya?" sindir Eira. "Tidak ada kesenangan dalam perjalan ini, Osric! Aku dan kau hampir mati di rawa tadi, kau ingat?"
"Ya, hidupku bagai lelucon, karena itu lebih baik ikut dengan kalian daripada menjadi bahan candaan orang lain." Kali ini, Osric sedikit terbawa emosi.
Nimue terdiam, begitu juga Eira yang tidak tahu menahu alasan apa hingga Osric pergi dari kawanannya dan menjadi seorang amarok, yang jelas itu adalah alasan yang cukup serius baginya. Sejujurnya, dia tidak mau menambahkan beban dirinya. Namun, Osric sudah terlihat cukup menyedihkan.
"Hanya untuk kau ingat, akan selalu ada seseorang yang mati di setiap pencarian," kata Eira. Dia kemudian melangkahkan kakinya untuk meninggalkan Nimue dan Osric.
"Kau mau ke mana lagi?" tanya Nimue saat melihat Eira menjauhi mereka.
"Berburu tupai akar. Kalian pasti lapar, kan?" Belum sempat Nimue dan Osric menjawabnya, Eira sudah menghilang di tengah kegelapan.
Tidak lama bagi Eira untuk menangkap makan malamnya, setelah berhasil mendapatkan tiga ekor tupai akar, dia kembali pada Osric dan Nimue yang sudah menyalakan api unggun. Diserahkannya buruan yang dia dapatkan pada Osric untuk dipanggang di api unggun.
Selagi menunggu, Eira mulai memikirkan Nero. Hewan itu tidak kunjung menjawab panggilannya sejak mereka sampai di Troan. Dikeluarkannya bulu Nero yang biasa dia gunakan untuk memanggilnya, sambil mengelus-elus berharap kali ini Nero mendengarnya. Namun, berkali-kali Eira mencoba, hewan itu tidak kunjung datang.
"Makan malam siap." Osric berseru.
Setelah membagikan tupai akar pada masing-masing orang, Osric dan Eira mulai melahap santapannya. Sedangkan Nimue yang baru pertama kali mencoba tupai akar hanya memandangi makan malamnya ragu. Memang banyak sekali hal yang dia lakukan untuk pertama kalinya sejak bertemu dengan Eira, namun untuk kali ini, dia sungguh tidak yakin.
"Tidak seburuk kelihatannya, kau coba saja," ujar Osric, mendapati Nimue yang masih saja memandangi santapannya.
Eira sedikit terkekeh. "Ya, tidak seburuk jika kau bandingkan dengan agwo*."
Bergidik, Nimue semakin tidak yakin untuk menyantapnya setelah Eira berkata begitu. Namun, mau tidak mau dia harus memakannya, daripada dia harus kelaparan. Saat gigitan pertama Nimue rasakan dan mulai mengunyahnya, dia tidak menyangka sama sekali bahwa itu tidak seburuk yang dia bayangkan.
Dalam gigitan pertamanya, ada semburan rasa pahit karena dagingnya yang sedikit gosong. Namun saat Nimue mulai mengunyahnya, ada sedikit rasa manis yang kemudian didominasi oleh rasa gurih, lembutnya daging tupai akar menambahkan rasa yang tidak terduga lainnya.
"Ya, ampun. Aku benar-benar tidak menyangka rasanya akan seunik ini," serunya. Dia kemudian melahap makan malamnya dengan bersemangat.
Dalam gelapnya malam, mereka menghabiskan makan malam dengan penuh ketenangan. Osric dan Eira sudah lebih dulu menghabiskan tupai akar mereka, sedangkan Nimue masih menikmatinya dengan perlahan-lahan.
Osric yang tengah duduk bersantai, kini melirik Eira yang sedang memandangi api unggun. Sesaat dia berpikir bahwa perempuan itu adalah seseorang yang hanya peduli pada dirinya sendiri, terutama keselamatan hidupnya. Namun, semua itu terbantahkan jika mengingat kejadian di rawa, Eira justru menyelamatkan Osric lebih dulu ketimbang dirinya.
"Jadi, bagaimana kau bisa hidup sejauh ini?" Osric mengulangi pertanyaannya yang belum sempat terjawab oleh Eira.
Nimue yang mendengarnya menolehkan muka pada Osric sambil memberikan tatapan sinis. "Yang benar saja?" Ketusnya.
Keheningan menyelimuti untuk sesaat. Eira termenung untuk waktu yang cukup lama. Dia tidak begitu mengingat kejadian pada saat itu, dia bahkan masih sangat kecil untuk bisa mengingat. Namun, dalam setiap mimpinya, kejadian itu menghantui bagai mimpi buruk. Membuatnya selalu enggan untuk memejamkan mata kembali jika terbangun tengah malam.
"Ingatlah Eira, dunia adalah tempat yang kejam, kau tidak akan aman di mana pun selama masih menginjakkan kaki di atasnya," pesan ibunya saat itu.
Sambil menggandeng tangan Eira, Iseult membawanya menuju tengah hutan. Saat itu dia tidak begitu ingat apa yang mereka lakukan, namun dia ingat betul pada saat ibunya membawa Eira pada sebuah gua. Di dalamnya, lilin-lilin mengelilingi dan simbol-simbol aneh digambarkan di dinding gua dengan tinta hitam serta merah.
Yang Eira ingat setelahnya, dia dan ibunya selalu pergi ke tempat itu setiap malam dan kembali ke desa sebelum matahari naik ke permukaan. Iseult adalah seorang pelayan kerajaan, membuatnya harus mengendap-endap setiap malam untuk membawa Eira keluar dari sana.
Eira juga ingat, bahwa dia pernah tinggal di sebuah kerajaan selain di Failos. Namun ingatannya hanya samar-samar, salah satunya adalah dinding ruang penjamuan kerajaan dengan lukisan dinding bergambar orang-orang yang tengah duduk mengitari meja bundar. Setiap Iseult menyajikan makanan, Eira berpura-pura membantunya dengan membawa nampan kosong.
Selain itu, dia tidak ingat sama sekali. Jika, bukan karena Elias yang memberitahu mengenai dirinya, Eira tidak akan pernah mengerti mimpi-mimpi yang selalu menghantui tidurnya. Kadang, dia merindukan ibunya, dan mimpi-mimpi itu menjadi satu-satunya hal yang dapat mengingatkan Eira padanya. Namun, berlarut-larut dalam kenangan masa lalu hanya membuatnya menarik napas dalam-dalam. Ditambah dengan memori indahnya yang telah diambil para siren, kenangan yang dia ingat hanyalah bagian terburuknya saja.
"Jika aku memberitahu siapa diriku sebenarnya, aku tidak yakin kau akan memandangku sama lagi," ujar Eira, membalas Osric yang tidak mau menyerah untuk mendapatkan jawaban tentang dirinya.
Tidak ada balasan, Osric rasanya terlalu memberikan tekanan pada Eira untuk membicarakan apa yang tidak ingin dia dengar. Namun pada dasarnya Eira sendiri yang tidak siap untuk dilihat berbeda lebih dari sebelumnya.
"Kau berjaga duluan," kata Eira pada Osric. Dia kemudian membaringkan tubuhnya, tidak berniat memikirkan apa pun lagi selain mengistirahatkan pikirannya untuk sejenak.
Udara malam yang cukup dingin membuat Eira harus menutup rapat-rapat jubah yang dipinjamkan Osric padanya. Untungnya, perlengkapan yang Castro siapkan memuat pakaiannya yang bisa digunakan Eira untuk sementara walaupun sedikit kebesaran. Setelah semua pakaiannya habis terbakar, dia harus segera membeli setelan baru di kota. Tentunya dia akan membelinya setelah keluar dari wilayah Troan terlebih dahulu.
Sesaat, Eira memikirkan Elias, namun tiba-tiba pikirannya berlabuh pada sosok lelaki yang ditemuinya di danau tadi. Rambut hitam legamnya, matanya yang segelap langit malam, hingga suaranya yang mengingatkan Eira pada sesuatu hal berbahaya. Perlahan, matanya terpejam, namun dia masih bisa mendengar suara bisik-bisik pepohonan yang diterpa angin.
"Pembunuh!" Teriak seseorang pada Eira.
"Membusuk kau di neraka!' Teriak yang lainnya.
Eira yang baru saja sampai pada sebuah desa disambut oleh makian dari para warga. Berusaha menghiraukan, seseorang tiba-tiba menerjangnya. "Aku tidak membesarkanmu untuk menjadi seorang pembunuh!" Iseult mencengkram lengan Eira kuat-kuat. Dibalik jubahnya, dia megeluarkan sebilah belati dan menikam anaknya sendiri.
Kesadaran Eira kembali pada langit malam yang hampir sepenuhnya ditutupi pepohonan. Lagi-lagi mimpi buruk menghantuinya. Kali ini mengenai kejadian saat dia masih tinggal di Failos yang bercampur dengan adegan-adegan lain dari ingatannya. Namun yang membuat Eira tidak mau memejamkan mata kembali adalah kehadiran ibunya. Apakah jika saat itu Iseult masih hidup, dia akan merasa kecewa pada apa yang telah Eira lakukan?
Diseberang tempat Eira berbaring, Osric tengah terjaga sambil memandangi Nimue yang tertidur, sedangkan api unggun telah padam entah sejak kapan. Memang lebih baik begitu, ketimbang memberi tahu para prajurit Troan keberadaan mereka di hutan. Lagipula, para monster hutan juga bisa tertarik oleh cahaya api dan bisa menyerang kapan saja.
"Kau bisa tidur, aku akan berjaga," ujar Eira sambil bangkit.
Osric menoleh pada Eira dengan cepat, kemudian mencari posisi nyaman untuk berbaring. Sesaat, sebelum dia memejamkan mata, Osric bergumam pada Eira. "Dia peduli padamu, kau tahu itu."
Eira bergeming, mencoba untuk memahami perkataan Osric, hingga matanya tertuju pada Nimue. Entah apa yang telah mereka perbincangkan selama dirinya terlelap, namun hal itu membuat Osric berempati pada Nimue. Bahkan, Eira sendiri merasa kasihan pada Nimue karena telah menaruh kepercayaan padanya. Dia bukan seseorang yang dapat menjanjikan sesuatu jika hal itu belum pasti. Namun rasa percaya Nimue lebih besar dari tekadnya sendiri.
Meraih pedangnya, Eira berniat berkeliling sekitar untuk berjaga-jaga. Alih-alih, dia mencari ruang dari keduanya untuk berlarut pada mimpi buruknya yang sekarang menghantui pikiran. Menghela napas panjang, Eira memjamkan mata sesaat.
"Terbangun karena mimpi buruk?" Di balik bayang-bayang, seseorang mengamati Eira dengan matanya yang segelap langit malam.
*Agwo, ular yang hidup di dalam tanah atau padang pasir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top