CHAPTER 18

"Yang Mulia, hamba sudah memberikan pengumuman ke seluruh Troan, apa Yang Mulia tetap ingin mengirim pasukan khusus untuk mencari dhampir itu?" tanya Jendral Kilorn yang tengah berdiri di hadapan Raja Castor.

"Ya, mencarinya mungkin akan mudah, tapi melumpuhkannya yang akan sulit." Raja Castor yang duduk di ruang penjamuan tengah menunggu para tamu dari kerajaan lain untuk berdiskusi.

Kali ini, tentu bukan mengenai Eira, urusan kerajaan lebih memusingkan ketimbang mengurusi satu kriminal. Walaupun begitu, mengirimkan sebuah pasukan pencari serta memasang bayaran mahal untuk kepala Eira dan Nimue adalah tindakan gegabah. Jika Raja Elias mengetahui hal ini, dia akan sangat murka. Untung saja dia telah lebih dulu mengirimkan para adze untuk mencari Eira.

"Kalau begitu, biarkan hamba yang memimpin pencarian ini, Yang Mulia." Jendral Kilorn tahu bahwa memimpin pencarian tersebut bukan berarti menunjukkan kebolehanya pada Raja Castor, melainkan untuk pembalasan dendam terhadap Eira. Dia tidak pernah membiarkan satu pun tahanan lolos dari pengawasannya. Jika bukan karena dibantu oleh Castro, para tawanan itu tidak akan pernah berhasil keluar dari sana.

Raja Castor mengambil sebuah apel di depannya dan mulai menggigit. "Aku lebih membutuhkanmu di sini Kilorn," ujarnya, menolak permintan sang Jendral.

"Tentu, Yang Mulia. Tapi dhampir itu lolos dari pengawasanku dan penjaramu. Jika mereka berhasil menangkapnya lebih dulu, bukan kah akan jadi pertanyaan mengenai lemahnya penjara Kerajaan Troan?" Jendral Kilorn memanas-manaskan Raja Castor. Dia tentu lebih tahu bagaimana raja akan menanggapi hal tersebut, terutama jika mengenai keraguan pada pemerintahannya.

Raja Castor berhenti mengunyah, dia kemudian meletakkan apelnya di meja sedangkan kepalanya tertunduk. "Jika kutugaskan kau dalam pencarian ini, apa kau pastikan dhampir itu tertangkap?" Kini matanya melirik sang Jendral.

"Aku tidak pernah mengecewakanmu, Yang Mulia."

Untuk sesaat, Raja Castor tengah memikirkan keputusan apa yang tepat dalam menanggapi tawaran sang Jendral. Namun, dia juga tidak ingin pemerintahannya dipertanyakan. Karena itu, sang raja akhirnya menyetujui permintaan Jendral Kilorn. "Pergilah, tapi jangan sampai Castro tahu mengenai ini," titahnya.

Dengan satu anggukan cepat, Jendral Kilorn pergi dari ruangan untuk segera mempersiapkan keperluannya dalam pencarian menagkap buronan kerajaan itu. Di sisi lain ruangan, Castro yang mendengar pembicaran antara ayahnya dan Jendral Kilorn tengah memikirkan rencana untuk menyusup menjadi pasukan pencari.

Setelah kemarin malam Eira memukul wajahnya dengan cukup keras, Castro masih bisa meraskan pening yang kini telah menimbulkan warna keungun. Namun dia berhasil menyembunyikannya dengan daun Cimmeleri* yang dia tumbuk dan dioleskan pada wajahnya.

Walaupun begitu, Castro tidak menyalahkan Eira sama sekali, karena dia tahu jika dhampir itu membawanya, sang raja pasti akan memburunya. Walaupun ada sedikit rasa kekecewaan, Castro masih tetap memercayai Eira.

Karena itu, dia berniat untuk ikut bersama Jendral Kilorn, namun sudah pasti ayahnya tidak akan mengizinkan Castro untuk ikut. Satu-satunya cara adalah menyusup menjadi salah satu prajurit. Sebagai seorang pangeran, Castro memang tidak cukup ahli dalam bertarung, namun pengetahuan dan kecerdikannya adalah senjata yang tidak bisa diremehkan.

Untuk mengurangi kecurigaan, dia harus membuat ayahnya melihat dirinya sebelum pergi bersama sang Jendral nantinya. "Menunggu seseorang, Ayah?" Castro muncul dari balik ruangan di sebelah penjamuan.

Ayahnya yang tengah tertunduk, menengadah saat sang pangeran muncul. "Castro, duduklah sebentar. Ada yang ingin kubicarakan," pintanya.

Sang pangeran menuruti permintaan ayahnya. Bersamaan dengan itu seorang pelayan menarik kursi untuknya. Pelayan lainnya kemudian berniat menuangkan segelas anggur, namun Castro menginsyaratkan tangannya untuk mencegah si pelayan.

"Aku ingin kau bersamaku selama pertemuan nanti." Raja Castor mulai berbicara.

Castro yang menatap ayahnya tidak yakin harus menyetujui permintaannya, namun tidak ada pilihan selain mengiyakan. Lagipula, sudah dipastikan dia tidak akan berada di sini saat mereka memulai rapat kerajaan. Dia telah merencakan sesuatu untuk pergi bersama pasukan pencari Jendral Kilorn. Namun jika menolak, Raja Castor pasti akan mempertanyakannya.

"Baik ayah." Bersamaan dengan itu, Castro bangkit dari kursinya. Meminta izin untuk pergi dari ruangan saat seseorang prajurit datang.

"Ada seseorang yang ingin menemui anda, Yang Mulia," katanya.

Raja Castor mengambil apelnya kembali dan berniat untuk mengigitnya sebelum berbicara. "Aku sedang sibuk, katakana padanya untuk datang lain waktu!" perintahnya.

"Dia bilang jika tidak menyampaikan hal ini maka perang akan terjadi antara dua kerajaan," tambah si prajurit.

Lagi-lagi, dia terintrupsi untuk memakan apelnya dengan tenang. "Siapa dia?" tanyanya.

"Penasehat kerajaan Failos, Yang Mulia."

Mendengar siapa yang datang, Raja Castor akhirnya mengizinkan untuk menemuinya. Ditambah dengan rasa penasarannya pada apa yang akan disampaikan oleh Tallon. Rasanya akan sangat menarik untuk mendengarkan lelaki itu.

Di depan ruangan, Castro berpapasan dengan Tallon. Tentunya, dia sangat tahu siapa lelaki berambut pirang dengan kulit pucat yang tidak biasa. Selain pernah bertemu dengannya di istana Failos, Castro sudah dapat memastikan dia adalah seorang vampir dari kulitnya saja. Yang menjadi pertanyaannya adalah apa yang dilakukan penasehat kerajaan Failos di istana Troan.

Jika Raja Elias yang mengirimnya, itu tidak mungkin. Karena biasanya dia akan mengirimkan elangnya untuk menyampaikan pesan ketimbang harus mengirim penasehatnya. Kecurigaan Castro membuatnya untuk menguping saat Tallon dipersilakan masuk untuk menemui ayahnya.

Cepat-cepat, Castro menuju ruangan di sebelah untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Di balik lukisan dinding sebelahnya, Castro membuka ruangan tersebunyi untuk dapat melihat dan mendengarkan percakapan. Dahulu, ibunya menggunakan tempat itu untuk bersembunyi saat sedang bermain bersamanya. Sekarang, Castro menggunakannya untuk menguping pembicaraan sang ayah.

"Tallon." Raja Castor menyambut, namun tidak kunjung bangkit dari kursinya. "Jika Elias hanya berniat untuk mengancamku, aku tidak segan untuk menantangnya."

Tallon menunduk sesaat untuk memberi salam, matanya kemudian tertuju pada sang raja. "Tidak Raja Castor, hamba ke sini atas kehendak hamba sendiri. Raja Elias tidak tahu-menahu tentang ini. Dan hamba ingin tetap seperti itu."

Raja Castor yang mendengar perkataan Tallon semakin antusias. Apa yang membuat si penasehat kerajaan Failos datang jauh-jauh hanya untuk menghianati rajanya. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya.

"Raja Elias telah mengirimkan pada adze untuk mencari si dhampir, aku ingin kau mendapatkannya lebih dulu." Tallon menatap lekat-lekat sang raja. "Sebagai gantinya, aku ingin kau membunuh dhampir itu."

Lagi-lagi, penyataan tidak terduga keluar dari mulut si penasehat kerajaan Failos. Kali ini, Raja Castor menyeringai. "Bukan hanya kau yang menginginkan dhampir itu mati. Tapi kenapa? Maksudku, aku tahu dhampir itu memiliki hubungan ayah-anak dengan Elias. Lalu kenapa kau ingin dia mati?"

Tallon terdiam. Dia tidak ingin mengkhianati rajanya sendiri, namun untuk menyingkirkan satu-satunya halangan bagi kepentingan seluruh rakyat Failos, dia harus rela memberikan informasi yang cukup berharga. "Eira memang dibesarkan di istana Failos oleh Raja Elias dan telah mengaggapnya sebagai anak sendiri, namun tidak dengan dhampir itu. Dia mencintai Raja Elias. Sayangnya, perasaan itu tidak sama, Raja Elias selalu melihatnya sebagai gadis dhampir kecilnya."

Raja Castor membenarkan posisi duduknya, percakapan ini semakin menarik bagi dirinya. Selagi Tallon melanjutkan, Raja Castor memerhatikan lelaki itu lekat-lekat.

"Karena tidak terbalaskan perasaannya pada Raja Elias, dia pergi meninggalkan Failos. Dhampir itu bahkan tidak pernah kembali ke Failos sampai sekarang. Namun, walaupun Eira pergi dari Failos, Raja Elias tetap menyaanginya, selama ini dhampir itu telah menjadi penghalang untuk Raja Elias dalam bertindak."

Raja Castor terdiam untuk waktu yang cukup lama sebelum akhirnya menyimpulkan. "Jadi, si dhampir menyukai Elias namun perasaannya tidak terbalaskan. Ini informasi yang sangat berguna, terutama jika Castro mendengarnya. Perempuan itu memang membawa sial, bahkan sampai Castro rela membelanya."

Castro yang mendengar pembicaraan itu, menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya meninggalkan ayahnya dan Tallon, tidak ingin mendengar sisa percakapannya. Jadi, itukah alasannya Eira selalu menolak permintaan Castro. Seharusnya, semua itu sudah cukup untuk menjadi alasan dirinya untuk tidak mengejar Eira dan membiarkan ayahnya menangkap dhampir itu. Namun, Castro bukanlah seseorang yang mudah percaya pada perkataan seseorang yang mengkhianati Rajanya sendiri.

Lagipula, Castro juga tidak bisa membiarkan ayahnya melenyapkan satu-satunya mahkluk yang masih memiliki darah campuran manusia. Tekatnya sudah bulat, dia akan tetap menyusup dalam tim pencari Jendral Kilorn.

Cepat-cepat dia kembali ke kamar, mempersiapkan barang-barang untuk kepergiannya. Sebuah belati pemberian ibunya tidak luput masuk ke daftar persiapannya. Sebagai seorang dwarf, belati memang sangat jarang digunakan untuk pertarungan, mereka lebih menyukai senjata berat seperti kapak dan palu. Namun, karena ibu Castro adalah seorang witch dan dia tidak bisa mewariskan darah witch pada putranya, karena itu dia memberikan belati sebagai gantinya.

Suara ketukan di pintu, membuat Castro tersadar dari lamunan yang membawanya pada semburan ingatan ibunya yang sekarang telah tiada. Diletakkannya belati tersebut di atas meja, kemudian membuka pintu dan mendapati seorang perempuan berdiri di hadapannya.

"Hefelda, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Castro. Senang melihat sahabat kecilnya berada di Troan.

Hefelda yang sudah lama sekali tidak bertemu dengan Castro langsung memeluk lelaki itu untuk melepaskan rasa kerinduan. "Aku datang bersama ayahku, Raja Castro mengadakan rapat kejaraan dan ayah di undang. Karena aku tahu dia akan ke Troan, jadi aku memintanya untuk ikut."

Bukannya tidak menyukai kedatangan Hafelda, tapi waktunya sangat tidak tepat. Alih-alih menyuruh perempuan itu masuk untuk berbicara, Castro mendorongnya untuk mengajaknya mengobrol di halaman istana.

Terlanjur, Hafelda yang telah melihat persiapan Castro di kamarnya mulai bertanya-tanya. "Kau akan pergi ke suatu tempat?" tanyanya.

"Oh, tidak, aku hanya sedang membersihkan kamar. Mengeluarkan barang-barang peninggalan ibuku untuk dibuang," jawabnya berbohong.

Hafelda terdiam, dia menatap mata Castro yang tidak mau menatapnya balik. "Aku mengenalmu sejak kecil, Castro. Aku tahu saat kau berbohong."

Menggaruk tengkuknya, Castro tidak bisa mengelak. "Ya, aku akan pergi. Tapi aku mohon jangan katakan ini pada ayahku," katanya memohon.

Hafelda menghela napas panjang. "Kau tetap tidak berubah ya," katanya. "Aku tidak akan memberi tahu ayahmu tapi dengan satu syarat."

Castro mengangguk.

"Katakan sejujurnya padaku kau akan pergi ke mana," pintanya.

"Baiklah." Castro kemudian menarik Hafelda untuk masuk ke kamar. "Kau mendengar kabar tentang ayahku yang akan menghukum mati seorang dhampir?"

Kali ini, Hafelda mengangguk.

"Ayahku mengirimkan pasukan pencari dan aku ingin ikut. Dia tidak seharausnya dihukum mati, jadi aku akan menyelamatkannya sebelum Jendral Kilorn menemukannya."

Setelah mendengar pernyataan Castro, Hafelda tidak bisa berkata-kata. "Tidakkah itu terlalu berbahaya? Bagaimana jika ayahmu tahu, dia pasti akan sangat marah."

"Aku sudah cukup tinggal di istana ini, aku butuh melihat dunia luar dan Eira satu-satunya seseorang yang bisa menjadi alasanku untuk hal itu."

Sekali lagi, Hafelda terdiam mendengar pernyataan Castro. Sebagai teman masa kecil, Hafelda telah menyukai Castro sejak lama. Namun, dia tidak berani untuk menyatakan perasaannya. Hafelda takut menghancurkan hubungan yang selama ini telah dia bangun bersama Castro. Dia lebih memilih memendam perasaannya ketimbang mengorbankan persahabatannya.

Hafelda memang sudah lama tidak bertemu dengan Castro karena harus pindah ke Afemir. Dahulu, ayahnya adalah salah satu tuan tanah di Troan, sedangkan ibunya adalah anak dari salah satu Raja di Afemir, wilayah Auglire. Namun karena ayah dari ibunya meninggal dunia, mereka harus pindah untuk menggantikan posisi Raja.

Sekarang, setelah lama tidak berjumpa, Castro justru akan pergi untuk mencari seorang perempuan yang bahkan baru dia temui belum lama ini. Membuat rasa kekecewaan bercampur aduk dengan kekesalan serta kecemburuan dalam diri Hafelda.

*Cimmeleri, tumbuhan obat berbunga ungu, bisa digunakan untuk menyembuhkan luka luar. Namun bunganya beracun jika dimakan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top