CHAPTER 10

Eira terkejut saat Nimue membangunkannya yang tertidur dalam posisi duduk bersandar. "Apa aku tertidur semalaman?" tanyanya yang merasa seolah dia baru berpetualang ke dunia lain.

Nimue menggeleng. "Entahlah aku juga tidur semalaman Aku kira kau berjaga."

Eira yakin, mimpinya itu bukanlah mimpi biasa, apalagi dia mendengar nyanyian para siren. "Dengarkan Aku! Aku baru saja mendapatkan penglihatan mengenai seorang manusia."

Nimue yang tadinya sedang melepaskan ikatan kudanya mulai beralih pada Eira dengan tatapan yang serius. "Tunggu, seorang manusia? Maksudmu manusia terakhir yang mati di danau Mortal?" tanyanya.

Kali ini, Eira yang mengeleng. "Manusia yang bisa mencabut pedang Excalibur dari batunya," Eira mengoreksi.

"Lalu, di mana manusia itu? Apa dia masih hidup?" Serangan pertanyaan mulai dilontarkan oleh Nimue.

Eira yang bahkan masih memproses mimpinya mulai bertanya-tanya. Kenapa semua petunjuk yang diberikan padanya hanya sepotong-sepotong? Pikirnya. Bukan kah akan lebih mudah jika semua petunjuk itu dalam keadaan utuh? Sebuah pertanyaan yang tidak bisa dia pikirkan jawabannya, sekalipun dia bertanya pada para Elf yang bijak.

"Eira?" Nimue mengembalikan kesadaran Eira yang hampir tertelan oleh pikirannya sendiri.

"Ya," sahutnya. "Aku tidak tahu apa dia masih hidup atau di mana kita bisa menemukannya, tapi aku melihat tempat itu, aku melihat gunung yang tinggi menjulang sampai langit dan ada dua jurang di sekelilingnya."

"Ada banyak gunung di Gaia, kita tidak bisa mencarinya satu-persatu, mungkin kau bisa lebih spesifik lagi," pinta Nimue.

Eira mengeleng. "Tidak ada, hanya itu petunjukku," suaranya melemah, tertelan oleh kekecewaan.

"Kalau begitu kita harus melanjutkan untuk mencari pedang Gram." Kini Nimue sudah menaiki kudanya, siap untuk melanjutkan perjalanan.

"Aku rasa menemukan manusia lebih penting daripada menemukan pedang Gram yang kebenarannya masih diragukan." Kali ini, Eira memilih untuk menentukan tujuannya.

Nimue mengerutkan keningnya. "Bukankah kau yang bilang bahwa kau melihat naganya?" nadanya lebih terdengar seperti sindiran daripada pertanyaan.

"Oke, ya, tapi menemukan manusia lebih penting dari itu."

Nimue tidak bisa berkomentar apa-apa, pasalnya kedua hal itu sama pentingnya, hanya saja mereka harus tetap menentukan hal mana yang harus mereka cari terlebih dahulu. Jika Eira lebih memilih untuk menemukan manusia, beda halnya dengan Nimue yang lebih memilih untuk menemukan pedang Gram terlebih dahulu.

"Aku lapar," kata Nimue akhirnya. "Kita bicarakan ini setelah makan."

Setelah berkuda kurang lebih setengah jam, mereka akhirnya menemukan pemukiman. Sebuah kedai yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka berada sekarang, terlihat begitu ramai di luarnya. Sekumpulan dwarf yang kebanyakan adalah pekerja tambang sedang mengerubungi dua orang yang sedang beradu mulut. Salah satu dari kedua orang itu adalah seorang dwarf, sedangkan yang satunya lagi adalah seorang manusia serigala.

Eira yang tidak tertarik sama sekali dengan pertujukkan yang sudah pasti berakhir dengan adu jotos, berjalan begitu saja melewati kerumunan. Nimue, yang menyusul di belakangnya malah tertarik dengan menerobos paling depan untuk melihat apa yang sedang terjadi. Jelas sekali, dia belum pernah melihat pertunjukkan gratis seperti ini, dia akan terkena pukulan jika berada terlalu depan.

Bukan tanggung jawab Eira jika Nimue terkena pukulan salah satu dari mereka, tapi dia juga tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Sambil menghela napas panjang, dia ikut menerobos kerumunan untuk mencapai Nimue. "Kita ke sini untuk membicarakan hal yang penting, kau ingat? Bukan untuk menonton." Eira menarik jubah Nimue untuk menjauh dari kerumunan.

Terlambat, adu mulut yang Eira sudah prediksikan telah berubah menjadi adu jotos antara kedua orang tersebut. Para dwarf yang menonton bersorak-sorak saat si manusia serigala terkena pukulan lebih dulu, yang kemudian di balas dengan salah sasaran. Manusia serigala itu malah mengenai salah satu penonton yang tidak terima terkena pukulannya.

Kerumunan semakin riuh, terutama setelah salah satu dwarf lainnya ikut terkena sasaran. Eira yang sudah berusaha menarik Nimue tidak cukup cepat saat gadis itu terkena sasaran salah satu dwarf. Nimue sekarang tersungkur di tanah, wajahnya mengeluarkan cairan berwarna merah kental. Untuk pertama kalinya, dia merasa begitu hidup dengan merasakan sakit yang diakibatkan oleh orang lain pada dirinya.

"Nimue!" Eira berseru untuk mencari perempuan itu yang sudah tertelan oleh kerumunan.

Nimue yang baru saja merasa antusias, mulai terkena pukulan lagi dan terinjak-injak oleh orang-orang. "Ini tidak seperti yang aku bayangkan," gumamnya. "Eira! Tolong aku!"

Kericuhan sudah tidak bisa dibendung lagi, bahkan beberapa penjaga tidak mau ikut campur atau mereka juga ikut terkena bogem mentah. Tidak tahan, Eira mengeluarkan pedang besi miliknya sambil berteriak. "Cukup!" suaranya hampir membuat semua orang terkejut, terutama saat melihat pedang yang dikeluarkannya. Kecuali, si manusia serigala yang masih meninju salah satu dwarf.

Di sanalah dia menemukan Nimue yang hampir babak belur. Sambil mengulurkan tangan, Eira memberikan ekspresi kesal padanya. Dia kemudian beralih. "Kau juga, Wolf," ujarnya pada si manusia serigala yang sekarang memperhatikannya. "Ikut aku ke dalam."

"Tidak," seorang dwarf membantah.

Dengan cepat, diarahkannya pedang pada si dwarf yang baru saja mengintrupsinya. "Manusia serigala ini bersamaku dan tidak ada yang boleh menyentuhnya lagi, atau kalian semua lebih menyukai pedangku memenggal kepala kalian." Dan dengan begitu tidak seorang pun dari mereka berani untuk buka mulut.

Di dalam kedai, mereka menjadi perhatian setelah Eira mengeluarkan pedangnya. Beberapa pelayan wanita berbisik-bisik, sedangkan yang lainnya ada yang ketakutan, ada juga yang memeberikan tatapan menilai. Seorang pelayan menghampiri mereka dengan nampan kayu yang dibawanya. "Pesan apa?" tanyanya, sedikit ketus.

"Sarapan untuk tiga orang, tiga bir—"

"Aku air putih saja," sela Nimue.

Eira mengerjap. "Dua bir, air bersih, dan kain untuk membersihkan lukanya," tambahnya sambil melirik Nimue sekilas untuk mengisyaratkan pelayan itu.

Tanpa berkata-kata lagi, si pelayan meninggalkan mereka.

"Kenapa kau menolongku?" si Manusia Serigala mulai bicara.

"Aku tidak menolongmu, aku hanya berusaha mengeluarkanmu dari masalah," jawabnya.

Kini, si manusia serigala melirik pedang Eira yang sudah kembali di punggungnya. Namun pandangannya mengarah pada pedang lainnya. "Pedang itu, terbuat dari apa?"

Eira diam sesaat, seolah lelah dengan pertanyaan yang terus dilontarkan untuknya. "Bukankah kau sudah tahu," jawabnya.

"Bukan itu, yang satunya lagi."

Eira melirik pada si manusia serigala yang seolah mengenali pedangnya tidak biasa. "Titanium, Tungsten, dan Silver," kata Eira akhirnya.

"Campuran sebanyak itu, kau gunakan untuk apa pedang itu? Membunuh monster?" Jelas sekali Eira mendengarkan sebuah sindiran.

Tidak mau berdebat, Eira hanya diam. Karena sudah lelah berurusan dengan Nimue, dia tidak mau menambah bebannya dengan berdebat mengenai hal yang tidak perlu. Namun, Nimue mengangguk untuk memberi isyarat pada si manusia serigala bahwa perkataanya adalah benar.

Dia kemudian membuka mulutnya lebar-lebar, tidak percaya. "Kau pemburu monster," simpulnya.

Eira tidak mengangguk atau pun menggeleng.

"Aku Nimue, omong-omong," katanya memperkenalkan diri.

"Aku Osric," balasnya. "Jadi, apa kau pernah membunuh Bukavac* atau Bune*, oh bagaimana dengan Dev*? Apa benar dia bisa merubah seseorang menjadi batu hanya dengan sekali sentuh?"

Pelayan tadi kembali dengan membawa nampan penuh makanan, tanpa perlu repot-repot untuk berbicara, dia pergi lagi. Eira yang masih tidak menghiraukan perkataan Osric, mulai melahap sarapannya. Rasanya, dia tidak ingat kapan terakhir kali makan dengan layak.

"Jadi, apa yang sedang kalian lakukan di sini?" tanya Osric lagi.

"Hey, makan saja dan tidak ada pertanyaan lagi," gerutu Eira.

"Oh, ayolah! Tidak banyak yang mau memburu monster-monster itu, Aku ingin mendengar sesuatu."

Si pelayan datang kembali dengan air bersih, kain, dan 2 birnya. Nimue kemudian mulai membersihkan wajahnya yang terluka, sedangkan Osric masih tertarik untuk mengganggu Eira ketimbang membersihkan luka-lukanya yang mulai mengering.

Tidak tahan karena sarapannya diganggu, Eira akhirnya menyerah, Osric bahkan lebih menyebalkan dibanding Nimue. "Jika kau bisa memberitahuku di mana aku bisa membeli sebuah peta, akan aku ceritakan sesuatu," katanya.

"Setuju," balas Osric kegirangan.

Kini, Eira mulai berpikir untuk menceritakan perburuannya yang bahkan dia hampir tidak ingat. Terlalu banyak kejadian yang dia alami belakangan ini, sehingga membuatnya tidak ingat satu-persatu kejadian apa yang paling dia ingat.

Setelah berpikir kurang lebih satu menit, Eira akhirnya mulai bercerita. "Kau pernah ke Dark Alpen?" tanya Eira sebelum memulai ceritanya.

Osric terkekeh. "Tidak ada yang pernah ke Dark Alpen," katanya, seolah pertanyaan Eira adalah hal yang sangat bodoh.

"Jika aku jadi kau, aku tidak akan banyak menyimpulkan sesuatu dengan tidak ada." Sebuah penekanan di kata terakhirnya membuat Osric mengerutkan kening mendengar perkataan Eira.

Osric mencondongkan tubuhnya ke arah Eira. "Kau kenal seseorang yang pernah ke sana?" tanyanya.

"Ya, diriku sendiri." Sebelum melanjutkan, Eira meneguk birnya. "Saat itu aku berusaha untuk menyusup dalam pertemuan 7 kerajaan di Arlon dan bertemu seorang witch yang ternyata sedang menyusup juga. Dialah yang memberikanku bulu Griffin ini untuk kugunakan." Dikeluarkannya bulu perak yang dia sembunyikan di balik bajunya.

"Bagaimana bisa? Bahkan para elf dan peri tidak pernah berhasil menemukan mereka." Kali ini Osric terdengar lebih antusias.

"Kau tahu kenapa Griffin tidak pernah muncul bahkan saat para elf dan peri memberikan hutan buatan di kerjaan mereka agar hewan itu bisa singgah?" Osric menggeleng sedangkan Eira melanjutkan. "Witch yang kutemui bukanlah seorang witch."

Kali ini, bukan hanya Osric yang semakin antusias dengan cerita Eira yang terdengar sangat menarik itu, Nimue juga mulai mendengarkan dan memberhentikan kegiatan membersihkan luka-lukanya.

"Lalu, siapa sebenarnya dia?" Nimue mulai penasaran.

Eira terdiam beberapa saat. Tidak yakin untuk mengucapkan kebenarannya, namun akhirnya kata itu meluncur juga dari mulutnya. "Seorang manusia."

~***~

* Bukavac, monster yang tinggal di danau atau tempat yang terdapat genangan air dalam. Berbentuk laba-laba raksasa berkaki enam dan bertanduk.

*Bune, monster mirip naga berkepala tiga.

*Dev, monster bertubuh manusia, berkepala kelelawar, berkuku panjang, dan taring yang keluar dari mulut.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top