CHAPTER 1
Sepasang mata berwarna amber memasuki sebuah bar tua di pinggir kota Troan, Wajahnya begitu lelah, dibuktikan dengan adanya lingkaran hitam yang begitu kentara di bawah matanya. Jubahnya yang ternodai lumpur di beberapa sudut menunjukkan dia baru saja dari hutan, sedangkan dua buah pedang di punggungnya menimbulkan banyak pertanyaan bagi para dwarf yang sedang bersantai sambil meminum bir.
Sebagai satu-satunya ras dhampir yang tersisa, Eira memiliki banyak reputasi buruk dikalangan para bangsawan. Bukan karena sikap tempramennya yang kadang tidak bisa dikendalikan, melainkan karena dirinya bisa menjadi ancaman bagi beberapa kerajaan besar.
"Dua bir, tolong," pintanya pada pelayan bar. Dia kemudian mengeluarkan koin dari saku dan mulai menghitung.
Hari ini, bukan hari keberuntungannya, bukan berarti hari-hari biasanya dia juga beruntung, melainkan dia baru saja kalah taruhan sebanyak 3 kali dalam satu hari. Setelah menghitung sisa koin yang ternyata hanya cukup untuk makannya sampai malam ini, Eira menjejalkan kembali koin ke saku. Besok malam dia akan makan tupai akar lagi jika tidak mendapatkan koin malam ini.
Dua orang dwarf menghampiri Eira yang tengah sibuk memikirkan hidangan makan malamnya besok. Diliriknya kedua dwarf itu bergantian, salah satunya bukan tipe yang susah untuk dikalahkan jika mereka berniat untuk berkelahi, tapi bukan juga tipe yang suka mencari keributan selain untuk mendapatkan koin. Para dwarf suka bertaruh koin hanya untuk melihat sebuah perkelahian dan situasi ini bisa dimanfaatkan oleh Eira.
"Ada masalah, Lads?" tanya Eira tanpa menoleh pada kedua dwarf itu.
"Tidak, kami hanya ingin tahu apa yang membawa seorang perempuan sepertimu datang ke bar malam-malam begini?" tanya dwarf dengan jenggot panjang yang dikepang.
Eira menoleh pada dwarf itu. "Sama seperti orang-orang kebanyakan, hanya untuk bersenang-senang," jawabnya.
"Tidak dengan kedua pedang milikmu," sahut dwarf di sebelahnya yang terlihat lebih muda dari dwarf berjenggot.
Dua gelas bir diletakkan oleh pelayan bar, saat Eira melirik pelayan itu untuk memberikan koinnya, si pelayan menunduk tanpa berkata apa-apa, matanya bahkan tidak berani untuk menatap. Memang bukan urusannya untuk ikut campur. Eira kemudian memberikan tiga keping koin terakhirnya sambil meminum segelas bir dalam satu tarikan napas.
"Kau bukan seorang witch, dan telingamu juga tidak runcing seperti para elf, tidak juga dengan sayap peri." Si dwarf berjenggot kepang melirik Eira sekilas dengan sebuah tatapan yang menilai.
"Kilorn, kita di sini bukan untuk menilainnya," sahut si dwarf muda.
Dwarf berjenggot yang dipanggil Kilorn itu membuang muka kesal sambil mendengus. "Kau saja yang tanya padanya," ketusnya dan meninggalkan Eira dengan si dwarf muda.
Dwarf muda itu menghela napas panjang seolah lelah dengan sikap temannya. "Kau lihat dwarf di sebelah sana," katanya sambil menunjuk ke arah sekumpulan dwarf berseragam prajurit. "Mereka bilang kau adalah pemburu monster, apa benar?"
Eira mengambil segelas birnya lagi sambil terkekeh. "Tergantung pada siapa yang bertanya," timpalnya.
"Kau tahu apa ini?" Dwarf itu mengeluarkan koin emas berlambang palu sambil menunjukkannya pada Eira.
Tentunya, Eira tahu betul mengenai koin itu. Koin Frocrint kerajaan dwarf yang hanya dimiliki oleh bangsawan dwarf dan bernilai seribu koin emas Clovrint. Jika dia mendapatkan satu koin itu saja, maka Eira tidak perlu repot-repot memikirkan tupai akar untuk dia makan besok.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Eira sambil menatap pada dwarf muda itu. Jika dilihat-lihat ukuran tubuh dwarf muda itu tidak seperti dwarf kebanyakan, jauh lebih tinggi sedikit, sedangkan rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai dengan rapih. Dia terlihat lebih bersih dari setiap dwarf di bar ini.
"Aku bertaruh 10 keping pada setiap orang jika kau bukan seorang pemburu monster, akan kuberikan kau 2 keping jika kau berkata tidak pada mereka," tawarnya.
Eira terkekeh, bukan karena si dwarf muda yang berusaha untuk curang dalam taruhan, melainkan karena kenyataan yang diinginkannya. Sayangnya, dia tidak punya pilihan untuk menolaknya, selain itu tawaran koinnya cukup bagus jika dia tolak.
"Aku bukan seorang pemburu monster," seru Eira tiba-tiba yang hampir membuat semua orang menoleh padanya.
Si dwarf muda tersenyum sambil memberikan dua keping koin secara diam-diam yang langsung disembunyikan oleh Eira dengan cepat.
"Kalian dengar, Lads? Kalian kalah," sorak si dwarf muda kegirangan.
"Huh, sudah kukatakan kalian akan kalah. Mana mungkin dia seorang pemburu monster," sahut Kilorn dari kejauhan.
Sejujurnya, Eira tidak akan berkata apa-apa lagi jika Kilorn tidak menilainya seperti itu dan membungkam mulut lancangnya. Dia sudah puas dengan 2 keping Frocrint miliknya, tapi perkataan Kilorn bukan suatu hal yang Eira bisa toleransi. Selama hidupnya, semua orang meragukan dirinya, dan Eira tidak akan membiarkan siapa pun mencoba untuk meragukan dirinya lagi.
Eira bangkit dari duduknya dan menghampiri Kilorn yang duduk di tengah ruangan. "Kenapa kau begitu yakin?" tanyanya sinis.
Kilorn terlihat terkejut karena Eira dengan berani menghampirinya. "Kau sendiri yang mengatakannya, kan?" Kilorn terkekeh, seolah mengolok Eira yang menelan ludahnya sendiri.
Eira tersenyum masam, kemudian diam sesaat, seolah menimbang-nimbang untuk tidak melakukan apa pun. Hingga akhirnya dia memilih diam dan berbalik untuk kembali pada birnya yang tinggal setengah. Namun, saat Eira baru saja mengalah pada tempramennya yang kadang tidak bisa dikendalikan, Kilorn terkekeh seolah merendahkan pilihannya untuk tetap diam.
Bagaikan kilat yang menyambar di siang hari, Kilorn terkejut saat Eira mengancamnya dengan salah satu pedang yang sudah menghilang dari punggunya dan berakhir di lehernya. Keributan mulai terdengar, begitu juga dengan para prajurit yang sekarang sudah bersiaga dengan senjata mereka.
"Kau tidak tahu berurusan dengan siapa? Jika kau memenggal kepalaku akan ada hukuman yang sangat berat untukmu," ujar Kilorn yang menatap penuh kebencian, seolah jabatannya yang tinggi itu bisa membuat Eira menurunkan pedangnya.
"Aku tidak peduli siapa dirimu, aku tidak tunduk pada satu pun kerajaan, yang berarti aku punya hukumku sendiri." Eira meninggikan pedangnya agar Kilorn berdiri.
"Tunggu!" Kali ini si dwarf muda yang mengintrupsi. "Akan kuberikan kau 2 koin lagi jika membebaskannya," tawarnya sambil mengeluarkan dua koin Frocrint dan meletakkannya di depan Eira.
Benar-benar taktik yang bagus untuk mendapatkan koin tambahan dari yang Eira duga. Diambilnya koin emas itu dan dijejalkan ke saku, sedangkan tangan kananya masih mengarah pada leher dwarf malang itu. "Jika kukatakan aku bukan seorang pemburu monster, bukan berarti aku tidak bisa bertarung, Jenderal."
Sebelum pergi, Eira memberikan goresan pada wajah sang Jenderal dengan pedangnya. Tentunya, itu yang akan dia lakukan bahkan sebelum si dwarf muda menawarinya 2 keping Frocrint lagi, namun dia juga tidak akan pergi tanpa meninggalkan bekas. Bagi Eira, itu akan menjadi sebuah pelajaran bagi sang Jenderal agar tidak mudah menilai seseorang dari luarnya saja. Sedangkan bagi Kilorn sendiri, dia akan ingat sebagai hinaan karena telah mempermalukannya di depan prajuritnya sendiri.
Kini, Eira bisa pergi dengan tenang, apalagi setelah kantungnya terisi penuh dengan koin emas Frocrint dwarf. Setelah membeli 2 kantong daging segar, Eira pergi menuju hutan. Dirabanya sebuah bulu burung besar berwarna perak yang diikat menggunakan tali kulit dan digantungkan di lehernya. Tidak lama setelah itu, seekor burung besar berkepala elang dan berbadang singa muncul dari langit, perlahan-lahan turun menghampirinya.
Griffin, hewan yang hampir tidak pernah ditemukan keberadaannya, menjadi hewan kramat bagi para peri dan elf. Pasalnya, hewan itu tidak pernah muncul di permukaan, bahkan para peri dan elf telah membuat hutan khusus untuk Griffin agar suatu saat nanti mereka bisa melihatnya.
Sedangkan Eira, dia bahkan tidak mengira bisa menunggangi seekor Griffin. Saat itu, dia berniat untuk menyusup dalam pertemuan 7 kerajaan di Arlon saat Eira bertemu dengan seseorang bernama Venus yang ternyata berasal dari dunia berbeda dengannya. Venus mencari seorang penjahat yang kabur dari dunianya dan bersebunyi di Gaia. Eira yang secara tidak sengaja bertemu dengannya, setuju untuk menolong Venus. Dari sana lah dia bertemu dengan Griffin, namun hewan itu tidak berniat bertemu dengan Eira pada awalnya, dia lebih menyukai Venus yang begitu mengejutkannya adalah seorang manusia. Setelah Venus menyelesaikan urusannya, dia kembali ke tempat asalnya, yang kemudian memberikan bulu perak pemberian Griffin untuk Eira gunakan.
Sampai sekarang, makhluk itu menjadi kendaraan Eira untuk berpergian. Namun karena reputasi Griffin yang sangat terkenal, Eira selalu datang dan pergi dari hutan agar tidak ada yang melihat dia menunggangi seekor Griffin.
"Satu kantong untuk sekarang dan satu kantong untuk nanti," katanya, seraya mengeluarkan sekantong daging segar dan memberikannya pada Nero-nama dari si Griffin.
Tentunya, Eira dan Nero tidak berteman begitu baik, setidaknya itu yang Eira pikirkan. Pasalnya, hewan ini lebih menyukai pemilik sebelumnya yang seorang manusia berdarah murni ketimbang Eira yang hanya setengah darah manusia. Walaupun begitu, Nero selalu datang saat dia memanggilnya. Mungkin, hanya dhampir itu saja yang berpikiran Nero tidak menyukainya.
"Ayo, Nero, aku sudah lelah sekali." Eira kemudian mengusap puncak kepala hewan itu lembut, yang dibalas dengan dengkuran malas. Namun, akhirnya hewan itu menunduk agar Eira bisa naik.
Perlahan-lahan hewan itu mengepakkan sayapnya, hingga mereka melesat dengan cepat menembus pepohonan. Udara malam di atas cukup dingin, membuat Eira sedikit menggigil. Nero yang menyadari bahwa Eira tidak terbiasa dengan udara malam, mencoba untuk terbang lebih rendah.
"Terima kasih," gumam Eira.
Perjalan mereka cukup jauh, Eira tinggal di daerah Arlon, dekat sungai Celebes yang menyatu dengan laut Haetra. Daerah Arlon memiliki banyak hutan yang menjadikan tempat itu sangat cocok untuk tempat tinggal Nero si Griffin dan Eira sendiri. Jauh dari banyak orang dan pemukiman, walaupun dia lebih sering berkelana daripada tinggal di rumahnya yang terletak di hutan.
Sudah hampir dua minggu ini, Eira tidak pulang ke rumah. Dia lebih banyak menghabiskan waktu berburu dan berkelana. Tinggal sebagai satu-satunya ras dhampir yang tersisa membuat Eira tidak pintar memiliki teman. Satu-satunya teman yang dia miliki adalah Nero. Bahkan sebelum hewan itu menjadi temannya, Eira kadang berbicara dengan pedangnya atau kuda yang dulu menjadi tunggangannya.
Baginya, rumah bukan lagi tempat di mana dia tinggal, melainkan tempat di mana dia merasa tenang dan mengingatkan akan semua kenangan pada masa lalu. Walaupun memori tentang hal itu tidak begitu dia ingat. Namun mimpi-mimpi yang bagaikan kenangan memberi tahu bahwa dirinya pernah bahagia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top