CHAPTER 5

Elias baru sampai di Troan saat dirinya segera digiring menuju ruang takhta oleh dua orang prajurit. Tanpa penasaran sedikit pun, Elias tidak bertanya pada kedua prajurit itu tentang ketergesaan mereka. Pintu ruang takhta yang terbuat dari emas murni menampakkan sinarnya saat cahaya masuk melalui celah-celah. Sungguh pemandangan yang saat berbeda jika dibandingkan dengan istananya. Emas hanya digunakan pada benda-benda tertentu untuk melapisinya—bukan emas murni—untuk keperluan yang memang membutuhkannya. Namun, bukan berarti kerajaan Failos tidak memiliki emas yang cukup untuk menggunakannya, hanya saja Elias lebih memilih membagikan emasnya pada rakyat ketimbang menjadikannya barang yang tidak berguna.

Dua orang prajurit itu mendorong pintu ganda berlapis emas tersebut secara bersamaan dan membiarkan Elias masuk. Di dalam, pandangannya langsung tertuju pada orang-orang yang mengerubungi sosok yang tengah berbaring di atas dipan berhias sutra putih. Di sampingnya, Raja Castor tengah mengusap kepala putranya, matanya sembab seolah belum tidur berhari-hari. Saat melihat kedatangan Elias, lelaki itu langsung menghampirinya dengan ekspresi yang tidak bisa Elias jabarkan. "Terima kasih telah datang," katanya dengan suara yang hampir pecah.

"Apa yang terjadi?" tanya Elias.

"Iblis membunuh putraku. Apa kau belum dengar beritanya? Mereka membuka portal neraka di Dark Alpen ... dan bedebah sialan itu menghasut putraku untuk menghentikan mereka." Kali ini, terdengar nada amarah yang membuat Raja Castor mengepal tangannya keras-keras.

"Siapa?" tanya Elias lagi, yang berharap, bukan nama anak angkatnya yang akan dia sebutkan.

"Siapa lagi? Eira, anak angkatmu!"

Elias menarik napas panjang dengan singkat. Eira tidak menceritakan hal ini padanya saat di istana. Namun, dia juga tidak bisa menyalahkannya. Apa pun yang terjadi, Eira memiliki ceritanya sendiri yang harus dia dengar dari mulut anak angkatnya itu.

"Maafkan aku, tapi aku yakin putramu memiliki alasannya sendiri untuk ikut bersama Eira. Kau tidak bisa menyalahkan satu belah pihak," bela Elias.

Raja Castor membelalakan matanya. "Putraku berbaring di sana tak bernyawa dan kau menyalahkannya atas pilihannya sendiri?"

Elias menunduk, merasa bersalah karena mengatakan hal semacam itu di depan seorang yang tengah berduka. "Maaf," hanya itu yang dia katakan akhirnya.

"Karena itu kau di sini, aku membutuhkanmu." Matanya tertuju pada Elias lekat-lekat, seolah tengah berharap. "Aku membutuhkan darah dan sumpahmu untuk ritual aiseirigh."

Mendengar kalimat terakhir Raja Castor, Elias langsung menolaknya mentah-mentah. "Aku tidak akan melakukannya. Ritual itu sama halnya dengan sihir louminen, terlarang. Dan kau tahu bahwa membangkitkan siapa pun dari kematian adalah hal yang tidak benar. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka yang telah mati jika dibangkitkan kembali. Kau bisa saja memancing iblis untuk bersemayam di tubuh putramu sendiri."

Raja Castor tahu semua risiko itu dan dia telah mempertimbangkan semuanya. "Karena itu darahmu dibutuhkan."

"Kita tidak tahu itu akan berhasil atau tidak, kemungkinannya sangat kecil."

Berapa pun kemungkinan itu, Raja Castor akan mengambilnya. Setelah kepergian istrinya, dia telah kehilangan semua akal sehatnya saat itu. Butuh waktu yang cukup lama untuk dirinya menutup luka tersebut. Dan Raja Castor tidak bisa kehilangan satu-satunya darah daging yang dia miliki. "Aku sudah kehilangan istriku, aku tidak bisa kehilangan putraku. Kau jelas lebih tahu itu dari pada diriku, Elias."

Elias menatap Raja Castor ragu. Dia tidak yakin pada apa yang harus dia lakukan. Menyetujui hal itu sama saja mengantarkan Raja Castor pada kematiannya sendiri. "Castor ... kau tahu ritual ini membutuhkan satu nyawa yang memiliki ikatan darah—"

"Aku akan melakukan apa pun untuk putraku, bahkan nyawaku sekali pun. Sama halnya seperti kau yang rela melakukan apa pun untuk anak angkatmu."

Lelaki vampir itu menarik napas panjang-panjang. Dalam keputusasaan Raja Castor, dia hampir melihat dirinya sendiri. "Baiklah," ujar Elias pada akhirnya.

Mengangguk, Raja Castor mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. "Terima kasih." Dia kemudian menoleh pada kumpulan orang yang tengah mengerubungi jasad sang putra. "Ayo, kita mulai ritualnya," sahutnya pada mereka.

Sepasang suami-istri berjubah mewah dengan corak khas dari wilayahnya mengangguk bersamaan. Elias mengenali mereka dari beberapa pertemuan, Ratu dan Raja dari Batavia. Dia juga mengimpor beberapa rempah-rempah dari wilayah kerajaan mereka, namun hubungan kedua kerajaan hanya sebatas itu, Elias tidak begitu mengenal mereka dan juga sebaliknya. Di belakang keduanya, dengan mudah Elias dapat mengenalinya sebagai putra mereka, karena wajahnya yang hampir mirip dengan sang Raja. Sejak tadi, lelaki itu hanya menunduk dengan wajah sendu, sesekali dia melirik wajah Castro.

"Raja Elias," sapa Raja Anggakusuma sambil memberikan anggukan.

Sang Ratu yang berada disampingnya menyambut dengan memberikan senyuman lemah, dia kemudian mengeluarkan sebuah belati dengan sihirnya. Meyodorkannya pada Elias untuk digunakan sebagai pengikat sumpah dan darahnya. "Gunakan keris ini saat kami merapalkan mantranya," pinta sang ratu sambil mengulurkannya pada Elias.

Diambilnnya belati itu sambil mengamati. Elias belum pernah melihat belati secaman itu, gagang yang terbuat dari kayu dengan ukiran yang begitu detail di setiap pangkal, sedangkan bilahnya bergelombang.

Selagi dia mengamati, Raja Castor menghampirinya kembali. "Elias, aku tahu hubungan kerajaan kita sedang tidak baik belakangan ini. Tapi, jika ritual ini berhasil, aku ingin kau menjaga Castro untukku. Aku ingin kau menjaganya seperti putramu sendiri, seperti kau menjaga anak angkatmu, Eira," pintanya, yang kemungkinan adalah permintaan terakhir.

Elias terdiam, kenangan malam saat Iseult datang kepadanya untuk meminta menjaga Eira memenuhi pikirannya kembali. Menyeruak, seseolah sesuatu menjalari perutnya dan mengalir ke seluruh tubuh. Dia tidak pernah menyangka, momen ini akan dirasakannya kembali. Yang dia takutkan adalah bagaimana cara Elias untuk menjaga kedua anak yang dititipkan padanya saat situasi bahkan semakin rumit dan buruk.

Menunggu Elias yang tidak memberikan jawaban, Raja Castor mulai mendesakknya kembali. "Berjanjilah padaku, Elias! Bersumpahlah atas nama raja-raja!"

Untuk kedua kalinya, Elias dipaksa untuk mengemban tanggung jawab yang bahkan dirinya sendiri tidak pernah mengira dapat melakukan hal itu. Dan untuk kedua kalinya, dia masih saja ragu pada apa yang tengah disodorkan padanya. Tentu, jika Elias telah mengucapkan sumpahnya, dia tidak pernah mengingkarinya. Sungguh, sumpah itu hanya akan terputus saat kematian menjemputnya.

"Sialan kau, Elias! Ucapkan sumpahmu!" Raja Castor mengumpat.

"Aku akan berusaha untuk menjaga Castro untukmu," kata itu yang akhirnya Elias lontarkan.

"Aku percaya padamu dan aku juga ingin kau merahasiakan ritual ini dari siapa pun. Hanya orang-orang yang berada di ruangan ini yang tahu." Terlalu banyak permintaan untuk seseorang yang bahkan berusaha menghukum mati anak angkatnya. Namun, Elias hanya mengangguk.

"Kita mulai ritualnya sekarang," ujar Raja Anggakusuma yang sudah siap untuk merapalkan mantra.

Raja Castor mengangguk, dia kemudian menuju dipan kedua yang telah disiapkan untuknya. Setelah berbaring, Raja dan Ratu Batavia beserta putranya membuat lingkaran di antara kedua dipan. Tangan mereka saling bergandengan dan mulai merapalkan mantra bersama. Elias yang harus menampung darah di cawan, berdiri tepat di samping Castro.

Lelaki itu mengamatinya untuk beberapa saat, sosok sang putra Raja Castor. Merasa kasihan karena terlalu cepat meninggalkan dunia dan terlalu muda untuk ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Karena, walau ritual ini berhasil, Castro akan menghadapi hidup sebatang kara dan menjalahkan sebuah kerajaan. Kombinasi yang sempurna untuk akhir yang kesepian, seperti dirinya.

"Seko getih lan anam, dha manéhna dide idop." Kalimat itu diucapkan berulang-ulang oleh ketiganya secara bersamaan.

Udara di sekeliling tiba-tiba menghangat saat rapalan mantra yang mereka ucapkan ke tiga belas kalinya. Keris yang diberikan pada Elias kemudian berpendar, sang Ratu yang menyadarinya langsung meminta Elias untuk segera memberikan darahnya ke atas cawan. "Cepat, lukai tanganmu!" perintahnya.

Digoreskannya keris itu di telapak tangan Elias, dia tidak meringis sedikit pun saat darah mengalir dari sana. Namun, ada sedikit sensasi menusuk-nusuk yang mengalir melalui pembuluh darahnya. Saat dia telah selesai, Ratu Laksmini langsung menghampiri dan mencelupkan dua jarinya ke cawan. Warna merah meliputi seluruh jari yang dia masukkan tadi, kemudian berjalan ke sisi kepala Castro dan mengoleskannya di atas dahi lelaki itu.

Keheningan menyelimuti untuk beberapa saat, bahkan Elias seolah menahan napasnya takut kalau-kalau hal yang mereka tidak inginkan terjadi. Saat dia melirik ke dipan kedua, Raja Castor menoleh pada putranya untuk memastikan ritualnya berhasil, namun tidak ada tanda-tanda kehidupan darinya.

Raja Castor yang agaknya kecewa baru akan bangkit dari tempatnya berbaring saat tiba-tiba dia terjatuh dari dipannya. Elias dan Raja Anggakusuma cepat-cepat berlari ke arahnya, berusaha untuk menolong. Namun saat keduanya sampai, sang Raja telah meregang nyawa. Ratu Laksmini yang masih berdiri di samping Castro tiba-tiba mendapati bahwa olesan darah di dahi lelaki itu memudar secara perlahan-lahan, seolah meresap ke pori-pori kulitnya.

"Ini berhasil," gumamnya.

Batara yang mendengar sang ibu langsung menghampiri untuk memastikan. Darah itu memudar hingga tidak meninggalkan bekas sedikit pun dan bersamaan dengan itu, Castro membuka matanya. Irama jantungnya naik-turun dengan sangat cepat, sengatan memori membanjiri pikirannya yag baru kembali dari kegelapan, sedangkan napasnya terngah-engah serta sedikit tercekat, seolah dia baru tahu bagaimana caranya bernapas.

Menghampiri sahabatnya, Batara mencoba menenangkan Castro untuk membantunya mengikuti irama yang dia ajarkan. "Naik, turun, perlahan," katanya. Namun, Castro barang sedikit pun tidak mendengar omongan lelaki itu, yang dia perhatikan adalah gerak tubuhnya dan dia pun mengikuti.

Secara berangsur-angsur, deru napasnya mulai teratur, jantungnya juga perlahan seirama. Ingatannya yang tumpah ruah bagaikan air laut membanjiri pulau kini mulai mulai berpadu dan terpusat. Sampai pandangan Castro tertuju pada sang ayah yang tengah dibaringkan di atas dipan di sampingnya. Matanya kemudian tertuju pada Batara dengan ekspresi keterkejutan. "Apa yang telah kau lakukan?" sembari bangkit, cepat-cepat Castro menghampiri sang ayah yang sudah tidak bernyawa.

Castro mematung, ekspresinya menggambarkan kesedihan mendalam. Tentu dia belum tahu apa yang terjadi, namun dalam ingatannya cukup jelas bahwa dirinya telah mati. Memori terakhir yang dia ingat adalah menyaksikan Eira yang tengah bertarung dengan seorang lelaki yang sosoknya samar-samar diingatan. Di belakangnya, Batara memberikan dukungan emosional sambil menekankan tangannya di pundak Castro.

Elias yang menyaksikan hal itu teringat akan dirinya pada saat sang Raja Vampir—ayah angkatnya—gugur dalam pertempuran. Umurnya yang pada saat itu masih terbilang muda untuk ukuran vampir, mengharuskan Elias mengambil alih kepemimpinan. Membuatnya mengemban tugas yang cukup berat, ditambah menjadi seorang ayah untuk Eira. Dia bahkan tidak menyangka dapat melewati semua itu sampai titik ini.

"Dia akan baik-baik saja." Raja Anggakusuma yang memerhatikan Elias meyakinkan lelaki itu untuk tidak khawatir. "Castor telah meninggalkan surat wasiat untuknya. Akan kuberikan saat dia telah siap setelah upacara pemakamannya dua hari lagi."

"Aku harus kembali ke istana Failos. Aku akan datang saat upacara pemakamannya," ujar Elias, dan dengan tergesa-gesa dia meluncur pulang. Tentu, dia harus berbicara pada Eira, namun bukan berarti dia akan mengatakan kebenaran yang telah terjadi.

Sesampainya di istana, dia tidak mendapati Eira di mana pun, sampai Elias menanyakannya pada Siobhan kalau dia ada di halaman belakang istana dekat tebing. Di sana, dia melihat anak angkatnya yang tengah berbaring, menikmati hembusan udara yang hampir mendekati musim dingin. Menghampirinya, Elias duduk di samping Eira tanpa mengatakan apa-apa. Sedangkan mata perempuan itu masih terpejam, namun dia menyadari kehadirannya.

"Apa yang terjadi di Dark Alpen?" tanya Elias setelah menunggu keheningan sesaat.

Eira, tentu tahu cepat atau lambat lelaki itu akan menanyakan hal tersebut. Terlebih setelah dia baru saja kembali dari Troan. "Aku tidak ingin membahas hal itu dan aku yakin kau tahu apa yang telah terjadi," jawab Eira, sedangkan matanya masih terpejam.

"Eira ... aku ingin kau jujur padaku," pintanya.

Membuka matanya, Eira menatap Elias yang tengah mengintrogasi. "Iblis, itu yang terjadi," katanya kesal sembari bangkit, berniat untuk pergi. Seperti tujuan sebelumnya, dia akan pergi setelah Elias kembali.

"Duduk, aku ingin kita bicara," ujar lelaki itu dengan tegas.

"Aku tidak," balas Eira.

Sembari bangkit, Elias menyusul Eira yang berjalan menjauhinya. "Berhentilah membuat semuanya menjadi rumit dan bicaralah padaku."

Mendengar Elias, dia berhenti dan berbalik. "Membuat ini menjadi rumit? Aku tidak pernah memintamu untuk peduli padaku." Emosinya mulai naik kembali.

"Aku berusaha untuk menjagamu dan menjadi tanggung jawabku karena Iselut menitipkanmu padaku."

"Ya, saat aku masih kecil. Sekarang, aku bisa menjaga diriku sendiri." Tidak mau memperpanjang, dia berusaha untuk memanggil sang naga agar membawanya kembali, namun tidak tahu bagaimana caranya. Tidak seperti Nero yang memberikan bulu perak padanya, sang naga hanya mengatakan bahwa dia akan tahu saat Eira membutuhkannya.

"Dengan apa? Mempertaruhkan nyawa seseorang?"

Tepat saat itu juga, Eira bergeming di tempatnya. Elias mengenalnya sejak kecil, tentu dia sangat tahu bagaimana cara membuat dirinya merasa bersalah.

"Aku memang bukan ayahmu, tapi—"

"Kalau begitu berhentilah bersikap seperti itu, karena kau bukan ayahku dan tidak akan pernah," potong Eira dengan cepat. Emosi membajiri setiap kata-katanya.

Kalimat terkahir yang Eira lontarkan membuat Elias terdiam. Setelahnya, sang naga muncul dari sisi tebing. Eira yang sudah meledakkan emosinya langsung pergi menjauh dari Failos bersama naga Fafnir. Tujuannya sekarang, Arlon.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top