CHAPTER 1

Memejamkan mata berkali-kali, sengatan memori yang baru saja terjadi membuat Eira tidak bisa memusatkan pikiran. Ditambah dengan udara dingin menyengat yang menusuk-nusuk menembus pakaiannya, dia tidak bisa menahan setiap emosi yang membanjiri. Eira memang tidak pernah menyukai udara di atas sini, tapi Nero sungguh memakluminya dan kadang hewan itu terbang cukup rendah hanya untuk memastikan Eira baik-baik saja. Namun, kali ini dia menunggangi seekor naga yang ukuran tubuhnya berpuluh-puluh kali lipat dari Nero.

Menepuk-nepuk sang naga pelan, Eira memerintahkan untuk melakukan pendaratan mendadak. "Aku butuh udara!" Suaranya hampir tersenggal-senggal.

Sang naga hanya melirik sesaat pada Eira sebelum akhirnya dia menukik untuk turun. Karena berada di tengah-tengah laut, pendaratan mendadak mengharuskan sang naga turun pada sebuah pulau kecil. Merosot dengan cepat, Eira berdiri di tepian pulau untuk menenangkan dirinya.

Ukuran pulau itu cukup kecil untuk ditinggali, sekitar empat kali ukuran sang naga. Mungkin, jika tempat itu berpenghuni, mereka dapat melihat sang naga yang mendarat di pulau. Sedangkan sang naga membiarkan Eira menenangkan diri, dia naik kembali ke udara untuk memberikan ruang.

Bagi Eira, pahitnya hidup adalah makanan sehari-hari. Dia tidak pernah merasa ingin mengeluarkan emosi kesedihannya untuk hal itu. Namun, itu sebelum dia mengenal Nimue, Osric, bahkan Kramor, dan sebelum dia merasakan kepedulian dalam diri Castro terhadapnya.

Memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam, Eira tidak ingin emosi mengmabil alih dirinya. Hingga suara di sebelahnya membuat dia membuka mata dan mendapati seorang nenek tua dengan rambut putih panjang yang menjuntai. Di tangannya, dia memikul keranjang kayu berisi dedaunan.

"Tidak ada yang pernah mengatakan bahwa hidup itu mudah, bahkan bagi kita kaum Eternals. Nyatanya, keabadian hanyalah siksaan hidup yang menyakitkan," ujar sang nenek sambil memandang lautan lepas di depannya.

Menoleh padanya, Eira sangat setuju pada perkataan yang dilontarkan sang nenek. Namun dia tidak menanggapi, hingga wanita tua itu menoleh padanya. Memberikan senyuman tipis sekilas, dia kemudian kembali menaatap lautan.

"Keluarkan saja semua emosimu pada lautan, kadang mereka mendengar apa yang kau keluhkan dan menenangkanmu." Dia kemudian berjalan kembali, kali ini menuju hutan sembari membawa keranjang kayu miliknya.

Mengekor sang nenek, Eira baru sadar bahwa tidak ada jejak kaki yang berbekas di pasir. Wanita tua itu adalah seorang Nixie, mereka berwujud seperti manusia, namun tidak memiliki jejak kaki atau pun bayangan. Manusia sering menganggap mereka sebagai roh air, walaupun sebenarnya mereka bukan makhluk yang telah mati.

Beralih kembali pada lautan, kini suara dibelakangnya mengganggu acara renungan diri yang dia rencanakan sejak tadi. Namun, suara berat yang dikenalinya itu justru menambah amarahnya memuncak. "Eira," ujar suara itu pelan.

Menoleh, Eira tidak habis pikir lelaki itu masih menemuinya setelah kejadian yang terjadi. "Berani-beraninya kau masih menggunakan sigil untuk mencariku!" Eira meraih pedangnya, untuk berjaga-jaga. Walaupun, jika Kazimiez tidak memiliki niat untuk menyakitinya.

"Aku hanya ingin kau mengerti," katanya. Lelaki itu menatap Eira dalam.

"Kau membunuh anak malang itu!" maki Eira.

"Aku melakukannya untuk menyelamatkan dirimu!"

"Aku tidak perlu diselamatkan! Kau bahkan sudah tahu bahwa aku tidak dapat mati, Kazimierz!" Adu mulut antara keduanya kini tidak terbantahkan.

Kazimierz menarik napas dalam-dalam sebelum melontarkan kalimat selanjutnya. "Aku tidak bisa membiarkanmu mati."

"Omong kosong!" Mata Eira yang tajam menatap lelaki itu penuh kebencian yang bahkan belum pernah dia tunjukkan pada siapa pun. "Aku salah mengenai dirimu, iblis tetaplah iblis."

Pada awalnya, Kazimierz melakukan hal tersebut karena takut kehilangan Eira. Dia takut saat perempuan itu bangun kembali dari kematian, Eira tidak akan mengenalnya seperti sekarang. Namun, dia salah besar, Kazimierz telah kehilangan Eira saat dia membunuh anak malang itu.

Menarik pedangnya, Eira mengancam Kazimierz sebelum dia hilang kesabaran. "Aku telah kehilangan banyak hari ini. Jangan paksa diriku untuk melakukan hal yang akan kusesali," ujarnya dengan suara rendah.

Memilih untuk mengalah, Kazimierz akhirnya menghilang dari pandangan Eira. Meninggalkannya kembali pada keheningan lautan yang mematikan. Dia baru ingat, mengenai pilihannya untuk menjauh dari orang-orang dan menutup dirinya. Bahwa semakin banyak yang kau biarkan masuk ke kehidupanmu, maka semakin banyak pula kau akan kehilangan.

Sang naga muncul setelahnya, menandakan bahwa mereka harus melanjutkan perjalanan. Naik kembali ke punggung sang naga, kini Eira tahu tempat pertama yang harus dikunjunginya. "Antarkan aku ke Failos," ujarnya.

Selama perjalanan, Eira tidak bisa membayangkan reaksi apa yang akan Elias tunjukkan pada kedatangannya. Sudah lama sekali dia tidak menginjakkan kaki di tanah Failos, tempat di mana dia dibesarkan. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ke sana. Eira selalu menghindari apa pun yang mengarahkan dirinya pada tempat itu, bahkan jika dia harus memburu monster dengan bayaran mahal sekali pun.

Kali ini, Eira lebih memilih mengalah pada perasaan sentimentalnya ketimbang harus membiarkan Kazimierz terus mengikutinya dengan sigil, yang bahkan tidak dia ketahui tertanam di tubuhnya. Satu-satunya yang dapat membantunya saat ini hanyalah Elias. Walaupun begitu, dia tidak ada niatan untuk bermalam. Datang, meminta bantuan, dan pergi, itu rencananya.

Ingatannya kini berlabuh pada kenangan-kenangan yang tidak bisa dia lupa. Saat itu, Elias memberikannya sebuah kalung dengan liontin bulat berwarna merah pekat. "Aku ingin kau mengenakan ini," pinta Elias saat itu seraya mengulurkan benda tersebut padanya.

"Kau tahu aku tidak menyukai perhiasan, Elias," protes Eira pada lelaki yang duduk bersebelahan dengannya.

"Liontin ini terbuat dari darahku yang dibekukan dan diberi sihir agar orang-orang tahu bahwa kau adalah seseorang yang berharga untukku. Jika terjadi sesuatu padaku, tahta kerajaan akan menjadi milikmu."

Eira mengerjap, hal terakhir yang dia inginkan adalah menjadi seorang penguasa. Dia bahkan hampir tidak pernah memikirkannya. Lagipula, apa yang akan terjadi dengan Elias? Lelaki itu sudah memerintah daratan Failos lebih dari ribuan tahun, pikir Eira. Pada saat itu, dia mengenakan kalung tersebut, namun meninggalkannya saat memutuskan untuk pergi.

Mendekati daratan Failos, Eira berusaha untuk menarik napas panjang sebelum menghadapi memorinya yang dia kubur dalam-dalam. Matahari hampir menampakkan warna kejinggaannya di ufuk. Di ujung dia dapat melihat istana Failos dengan menara-menaranya yang menujulang, tempat dia sering berlarian saat kecil untuk menghindari pada pelayan kerajaan.

Di bawahnya, pedesaan yang setiap harinya tidak terkena cahaya matahari karena pelindung tabir surya yang menyelubungi. Sihir yang dibuat oleh seorang warlock ribuan tahun lalu. Bukan berarti, pada vampir tidak dapat merasakan cahaya matahari, hanya saja mereka tidak menyukainya. Ya, kekebalan mereka didapatkan karena mutasi sihir. Walaupun begitu, mereka tidak kuat berlama-lama terkena cahaya matahari langsung, hal itu dapat membakar kulit dengan penyembuhan yang cukup lama.

Para penjaga yang melihat penampakan sang naga terdiam dengan mulut yang hampir terbuka. Tepat saat Eira turun di salah satu menara yang dia tunjukkan, sang naga menurunkannya perlahan di sana dan pergi meninggalkannya. "Aku akan tahu saat kau membutuhkanku," katanya sesaat sebelum menghilang ke langit.

Eira memang membenci tempat itu karena kenangan manis yang bercampur dengan mimpi buruknya. Seperti manisan yang ditaburi bubuk ilu¹, akan ada rasa pahit ditenggorokan setelah kau menelannya. Namun begitu, dia tidak pernah lupa setiap inci tempat itu. Bahkan seperti saat ini dia telah turun tepat di balkon kamarnya dahulu.

Didorongnya pintu jendela perlahan, kegelapan di dalam membuat Eira harus membuka lebar kelopak matanya. Menggunakan kekuatannya, dia mencari lentera di sekitar untuk menerangi kamar. Satu persatu Eira menyalakan lentera hingga dia melihat kamarnya yang persis seperti terakhir kali ditinggalkannya.

Seprai putih sutra, rak buku di sudut, bahkan sampai lukisan yang pernah dibuatnya masih tersusun rapi di meja. Satu-satunya yang tidak dia lihat dari kamar yang telah ditinggalkannya dahulu sekali yaitu ketiadaan debu yang seharusnya dapat dia lihat menghiasi setiap sudutnya. Namun, tempat itu bersih seperti Eira tidak pernah meninggalkannya.

Derap kaki dari luar membuat Eira tersigap. Jika para penjaga yang datang, dia sudah siap untuk mengacungkan pedangnya. Tepat saat kedua daun pintu di depannya terbuka, Elias muncul dengan jubah tidurnya. Kakinya tidak beralas dan wajah pucatnya begitu kontras dengan cahaya lentera.

"Eira!" ujarnya tidak percaya.

Butuh waktu beberapa saat untuk dhampir itu menjawabnya. "Aku butuh bantuan," balas Eira.

"Ya, apa pun untukmu. Tapi kita bisa bicarakan setelah sarapan."

Eira menggeleng, tentu tujuannya bukan untuk bersantai. "Aku ke sini bukan untuk duduk dan menyantap makanan mewah, Elias."

"Aku tahu, tapi kau butuh bantuanku. Dan aku akan membantumu setelah kita sarapan." Lelaki itu kemudian berbalik, berjalan mendahului Eira menuju ruang penjamuan.

Menghela napas pasrah, Eira tidak bisa menolak tawaran Elias kali ini. Hal yang tidak pernah berubah darinya yaitu selalu menuntut Eira tanpa penolakan. Seperti terakhir kali saat Elias meninggalkannya di hutan karena berusaha menyerang dhampir itu. Dan jika diingat-ingat, keduanya belum bertemu kembali setelahnya.

"Bukankah masih terlalu pagi untuk sarapan?" tanya Eira sambil mengikuti Elias di belakangnya,

"Tidak. saat ada seseorang yang sudah lama tidak pulang, aku harus menjamunya dengan sangat baik." Elias kemudian berbalik, matanya naik dari ujung kaki ke kepala Eira. "Dan kau terlihat kurus," tambahnya dan berjalan kembali.

Saat sampai di ruang penjamuan, para pelayan tengah sibuk mundar-mandir meletakkan berbagai hidangan. Sudah lama sejak terakhir kali dia melihat makanan sebanyak ini, tentunya dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Sambil menarik kursi untuk duduk, diambilnya piring terdekat dan mulai melahap. Elias yang duduk berseberangan dengannya hanya memerhatikan anak angkatnya itu dengan sekilas senyuman yang hampir terlihat seperti seringaian.

Tepat saat Eira melahap hidangan ke tiganya, Tallon masuk untuk mengintrupsi. Dengan begitu, hilang sudah semua nafsu makannya. "Maaf Yang Mulia, ada berita duka dari Troan. Anda harus segera ke sana secepatnya."

Elias mengerutkan kening, dia tidak yakin ingin meninggalkan Eira yang baru saja sampai, namun Raja Castror tentu tidak akan mengundangnya jika bukan karena hal penting. "Aku akan segera bersiap." Dia kemudian menoleh pada Eira yang menundukkan wajahnya. "Kau bisa katakana pada Tallon apa yang kau butuhkan, aku akan kembali secepatnya." Dengan begitu, Elias bangkit dan segera bersiap menuju Troan.

Masih menunduk, Eira tidak tahu apa yang lebih dia kesalkan. Antara berita mengenai kabar duka dari Troan yang sudah pasti mengenai kematian Castro atau kenyataan bahwa dia harus meminta bantuan pada Tallon.

"Apa yang kau butuhkan, Eira?" Tallon memecahkan keheningan.

Mengangkat kepalanya, dhampir itu menatap tajam Tallon yang berpura-pura baik padanya, jelas sangat dibuat-buat, bahkan jika dia belum mengetahui semua kebusukan yang telah dilakukan lelaki itu terhadap dirinya. "Tidak perlu berpura-pura baik padaku, Tallon," celetuk Eira.

Tallon terdiam, dia bahkan tidak terkejut sama sekali. "Kalau begitu bagus. Aku di sini hanya karena Raja Elias memintaku. Jadi katakan saja apa yang kau butuhkan."

"Kau tahu bahwa Eira yang sekarang tidak akan menangis atau kabur saat kau berusaha untuk membunuhnya."

"Cukup omong kosongmu, Dhampir! Katakan apa yang kau butuhkan dan aku akan pergi."

Eira menyeringai. "Aku butuh seseorang yang dapat mendeteksi sigil di tubuhku dan menghilangkannya."

Tidak ingin berdebat lebih lama, Tallon mengurungkan niat untuk menanyai lebih lanjut mengenai permintaan Eira. "Aku akan menyuruh pengawal untuk membawamu pada Siobhan, dia seorang Mage, mungkin dia bisa membantumu."

Beranjak pergi, Tallon mulai melangkah untuk meninggalkan Eira. Sesaat sebelum itu, Eira melanjutkan kalimatnya yang belum sempat dia selesaikan. "Eira yang sekarang akan langsung menusukkan pedangnya ke jantungmu dan membakarnya."

Sesaat, Tallon menghentikan langkahnya. Dia berniat untuk bicara, namun lelaki itu menahan emosinya dan berjalan kembali, menghiraukan ancaman Eira yang tentunya bukan hanya gertakan semata.

~ ••• ~

1. Ilu, bubuk biji tumbuh-tumbuhan yang digunakan untuk penambah nafsu makan. Biasanya digunakan untuk anak-anak yang memiliki selera makan rendah. Atau digunakan untuk orang yang sakit agar dapat menelan makanan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top