(T/F)ool
Ketika pintu terbuka, Dazai menampilkan senyum seperti yang seharusnya, "Ada paket," sesuai etika ia berucap. Mengangkat topi pada seseorang yang mengintip dari celah terbuka.
Kemudian pintu kembali tertutup, sebuah bunyi besi beradu terdengar disusul mata Dazai yang begitu kaku ketika seluruh daun pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita di sana. Mengenakan handuk yang menutup dada sampai paha. Membentuk lekuk pinggul bersamaan gestur segitiga di antara tungkainya.
Dazai menelan ludah.
"Uh," putus-putus ia berbicara, "Ada- ada paket."
"Bawa masuk," wanita itu berjalan menuju ruang makan secara tidak langsung memaksa Dazai untuk mengikutinya. Melihat kulit paha yang saling beradu dan jejak bokong penuh yang berguncang ketika ia melangkah. Dazai berusaha membuang mata, menatap lukisan-lukisan tumbuhan di sisi ruangan ketika orang itu mengambil sebuah pisau untuk membuka kotak paketnya.
Dazai menyodorkan lembar serah terima, berharap agar sang pelanggan yang menggairahkan bisa segera memberi tanda tangan dan membiarkan Dazai bebas. Namun ia malah dibuat diam melihat garis buah dada yang berujung tutupan handuk. Tengkuk kemerahan dengan garis-garis anak rambut bewarna jingga serta tetes air hangat.
"Huh..." Wanita itu membuka pembungkus untuk mengeluarkan sehelai kain merah yang nyatanya adalah gaun. "Bukan ukuranku."
Ia mencoba mengukur di tubuh dan Dazai setuju karena gaun itu dibuat seksi untuk wanita setinggi seratus delapan puluh, bukan dia.
"Apa Anda tidak melihat ukuran yang pas?"
"Suamiku yang beli." Oh, apa ini kejutan yang gagal? "Untuk selingkuhannya."
Dazai terhentak. "Maaf?"
"Dia membeli hadiah untuk selingkuhannya."
Dari sudut ini Dazai bisa melihat wanita itu tersenyum. Bagaimana bisa ia tersenyum ketika mendapati suaminya berselingkuh?
"Apa kau ada pekerjaan lagi?"
"Ini pengirimanku yang terakhir," mengingat hari hampir gelap dan memang tidak ada lagi barang di daftar pengiriman, Dazai menjawab.
"Bagus," tiba-tiba wanita itu mendorongnya hingga terjungkal ke belakang. Jatuh terduduk di atas lantai kayu dan ditindih tubuh mungil yang hangat.
Mata Dazai terpaku. Ia merasa tidak pantas namun di sisi lain terpesona dan ingin terus menatap. Sang wanita tersenyum melihat respon itu.
"Tuan Kurir," ia bersimpuh sebelum merangkak mendekat pada Dazai yang terpaku, "Apa kau menerima wanita bersuami?" Jari kurusnya mengusap jakun Dazai yang bergerak menelan ludah, tersenyum meski matanya tanpa harapan, "Aku akan berikan rahimku kalau kau mau."
"Anda tidak seharusnya bercanda seperti ini." Karena tangan Dazai bergetar hebat menahan hasrat untuk mengenyahkan handuk itu.
"Aku tidak bercanda." Sebuah mendesah kecewa sebelum ia menarik mundur. Begitu kesepian dan tidak ingin menyerah. Perlahan rayapannya turun, menyusuri tubuh Dazai dengan jari dan hidung. Napas yang samar-samar berhembus melewati pakaian begitu hangat menembus kulit Dazai hingga ia terangsang.
Ketika penelusuran sampai pada bagian vital Dazai, jarinya menari di atas tonjolan itu. "Dia keras," senyum ular yang tampil seakan menelan bulat-bulat. Lalu detik kemudian, bibir lembut mengecupnya.
Dazai terlonjak, ia refleks mendorong wanita itu dari sana. Namun demikian, mulutnya bisu karena tidak bisa menolak raut kecewa.
"Kau juga menolakku?"
"Bukan!" Dazai menjawab cepat, hingga lawannya terkejut, membuat dirinya sendiri terkejut. "Anda seharusnya lakukan ini dengan orang yang Anda cintai."
"Tapi orang yang kucintai tidak mencintaiku. Aku bahkan merasa aku tidak mencintainya lagi." wanita itu menghela napas, "Kau juga tidak mencintaiku. Bagaimana lagi ya? Kita baru bertemu. Kalau aku memaksa, akan buruk bagimu kan? Karena kau melakukannya dengan orang yang tidak kau cintai."
Ada tawa hampa di tengah-tengah rasa yang bercampur aduk. Orang itu kemudian berdiri, memandang Dazai rendah sebelum melepas handuknya.
Kerongkongan Dazai terasa begitu sempit untuk menelan ludah sendiri.
Di hadapannya ada seorang wanita dewasa setinggi seratus enam puluh kurang dengan tubuh kecil berisi. Sepasang tungkai yang memagari bagian bibir itu ingin sekali ia kejar dengan kegusaran tangan-tangannya. Lalu perut tipis dengan sebuah anugrah yang membuat wanita istimewa. Dan di atasnya, sepasang payudara yang penuh dengan kulit putih kemerahan. Aleoranya bewarna sakura, dilengkapi puncak-puncak tinggi yang memikat gigi Dazai untuk mendarat dan menyiksa.
"Kau harus bernafsu," ucap wanita itu. "Kalau tidak, aku tidak akan bisa hidup tanpa seorang pun yang mendekapku."
Kemudian ia menunduk, mengambil gaun merah yang tadi terjatuh karena rasa kecewa. Ia kenakan gaun itu dan tertawa sarkas. "Terlalu besar," cibirnya, "Memang bukan untukku."
Sebuah tali tipis yang menggantung di pundak sesekali turun hingga buah dada menyembul keluar. Bagian rok yang seharusnya berada di paha kini menyentuh lutut dan membuat Dazai segera rindu pada pinggul indah itu.
"Aku memberimu tubuh, gratis. Kau masih tidak mau? Kau bisa lakukan apapun."
Memang benar Dazai ingin sekali menyentuhnya. Merasakan kulit lembut yang berkilau itu, lalu menikmati sempit liang intimnya. Astaga.
"Aku mungkin gila, tapi rasanya sakit sekali tidak disukai oleh siapapun."
Sebuah luka yang ada di mata birunya lebih dalam dari seluruh samudra yang pernah terselami. Dazai takut menemukan monster apa yang terluka di dasar itu. Ketika menerawang, pandangan Dazai menangkap cincin di jari manis tangan kirinya.
Tampaknya hal itu membuat sang pemilik surai senja sadar. Ia tersenyum manis, lalu melepas cincin terkutuk itu dan meletakkannya di atas meja makan.
"Persetan dengan pernikahan," sekali lagi ia tertawa kasar. "Aku tidak butuh hubungan dimana aku selalu merasa sakit."
"Melakukannya denganku juga akan membuatmu merasa sakit, Nyonya."
"Chuuya," satu kata itu membuat Dazai mendelik heran, "Namaku Chuuya. Panggil aku Chuuya."
"Aku tidak mengerti, Chuuya... -san."
Kalaulah dia mencari seorang penghibur, wanita secantik dia, seindah senyum lirih di bibirnya, pasti bisa mendapatkan seseorang yang lebih baik daripada kurir penuh keringat yang hanya bisa mengangkat barang kesana kemari.
"Tentu, kau tidak akan mengerti." Perlahan Chuuya turun, berdiri dengan lutut sebelum mulai mendekat mengurung kaki Dazai di antara kedua paha sekal. Ia duduk di sana. Mendidihkan darah ke kepala Dazai dengan tumpukan bokong kenyal di atas kejantanan yang sudah menegang.
"Aku wanita menyedihkan," katanya dengan nada yang ingin sekali Dazai tolak. "Aku tidak peduli siapa, aku hanya ingin seseorang sebagai tempat bersandar." Ia membelai pipi Dazai, memaku pandangan mereka dan mengirim semua duka pada pada sepasang carnelian cerah di sana. Berharap sinar itu juga sampai menerangi samudranya. "Menyedihkan, bukan?"
"Chuuya-san- Chuuya?"
Dazai baru melihatnya lima menit lalu, ia tidak tahu seberat apa beban yang diemban bahu mungil itu. Yang Dazai tahu hanya, ia tidak suka goresan yang menodai permata biru indah itu.
"Chuuya," Entah sadar atau tidak Dazai mengusap kening Chuuya hingga poninya tersapu seperti fatamorgana senja di laut biru. "Aku ingin menghapus lukamu hari ini. Tidak apa kalau aku?"
Bibir Chuuya terbuka. Sebuah gejolak yang entah apa namanya- menggema di dada dan ia merasa terancam namun juga nyaman. "Aku tidak memilih," ucapnya, "Kau yang memilih."
Ada sebuah keheningan panjang yang diisi Dazai menatap wajah Chuuya, bertemu pandangan dan mencari-cari kenyataan di balik tirai samudra. Dazai tidak tahu. Dia tidak mengerti. Namun hidup memang bukan sebuah logika dan Dazai terbawa arus gelombang.
"Baik," adalah jawabannya, "Kau mau dimana?"
Bibir ranum tertarik ke atas, Chuuya bangkit lalu kembali memaksa Dazai mengikuti ke sebuah kamar. Ia naik ke tempat tidur, menunggu kurir itu selesai membenahi keraguan sebelum bergabung.
Chuuya tahu ini sebuah kesalahan, namun ia tidak peduli. Lebih baik pasrah dan memberi segala hal pada orang yang tidak dia kenal asalkan bisa mendapat sebuah afeksi walau hanya tubuh. Lebih baik mengganti rasa putus asa dengan pembalasan dendam penuh ketakutan.
Perlahan Dazai bersimpuh di atas tubuh Chuuya . Ini bukan kali pertamanya menyentuh wanita namun semua rasa kelam di manik mata itu membuat ragu berdentam-dentam. Dazai membelai kulit pundaknya, menurunkan tali gaun yang bergerak begitu lancar di kulit lembut itu.
"Aku memang menyerahkan diri, tapi tolong jangan terlalu kasar padaku."
Yang dia inginkan hanya dekapan, tapi tidak ada rasa ragu. Dia benar-benar ingin menodai dirinya, untuk membentuk dosa yang sama dengan pemilik sesungguhnya dari gaun merah itu.
Kecupan Dazai mendarat di pundak, turun ke bawah lalu menyentuh dada. Tangannya perlahan menyibak rok dan membelai paha Chuuya. Memberi rasa geli yang dibuktikan dengan gigitan bibir dan remasan pada seprai.
"Ah-" Chuuya terkejut ketika bibir kewanitaannya diraba. Digesek oleh jari kekar yang tanpa sadar ia apit dengan paha. "Hn.."
Di titik itu Dazai merasa respon itu adalah hal yang manis jika saja perbuatan ini tidak terlarang. Ia melewati apitan itu lalu menyusup ke balik celana dalamnya. Menyentuh lagi, memanjakan dan membiarkan jari-jari mungil meremas seragamnya.
"Hh..." Chuuya menahan lenguh ketika kecupan mendarat di puncak dada. Ia dihisap, lalu dijilat, rasa geli bercampur nikmat yang disadari sebuah ketidaklayakan dan puas akan dendam. "Kau tidak perlu sebaik ini."
Karena nyatanya yang Chuuya inginkan bukan didekap, melainkan dihancurkan. Dazai tahu itu, karenanya ia memberi sebuah kesenangan dengan perlakuan lembut. Menyentuh dan melayani tubuhnya agar merasa senang.
"Kau bisa masuk sekarang, tidak perlu membuatku senang."
Munafik sekali wanita ini.
Dazai tidak ingin membuat ikatan itu lebih erat walau ada secercah hati yang ingin melindungi. Ia mempersiapkan miliknya lalu membuka celana dalam Chuuya. Membiarkan rok merah menutupi ketika ia memulai penyatuan mereka. Melihat Chuuya mengerjap ketika kewanitaannya disusupi ereksi yang besar.
Kemudian, Dazai terhentak lalu menarik lagi dirinya.
"Astaga," ia meninggalkan Chuuya dengan raut kecewa. Ia menatap dalam-dalam pada tubuh mungil yang terbaring itu lalu raut lemahnya. "Ini kali pertamamu."
Kalimat itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. "Berapa tahun kau menikah?"
"Dua."
Dazai mengusap wajahnya dengan tangan. Tidak menyangka bahwa kondisi ini lebih serius dari yang ia kira. Ia bukan hanya akan mengambil keperawanan seorang gadis, melainkan mencuri istri seseorang. Lalu apa lagi? Selama dua tahun, si cantik ini menahan dirinya untuk tidak disentuh dan menyentuh seorang pria?
"Apa kau tidak mau?" Chuuya bertanya penuh pengharapan namun juga tidak berharap. Ia akan membiarkan Dazai pergi jika menolak. "Kau orang baik, aku tahu."
Namun Dazai menyerah.
Ia merasa tersihir sehingga menjadi sangat peduli pada orang yang baru ia temui. Perlahan Dazai menggenggam tangan itu, lalu menciumnya. Membuat Chuuya terkejut dan tidak bisa berkata.
"Peluk aku," tangan yang kurus dan lembut itu Dazai papah menuju pundaknya. Perlahan ia memeluk Chuuya dan mengecup pipinya. Lalu kembali memulai penyatuan mereka.
Chuuya mengerjap karena rasa perih. Ia merasa seluruh sel tubuhnya tercabik ketika disusupi walau Dazai bergerak dengan sangat perlahan. Ia menenggelamkan wajah di pundak pemuda itu, bernapas dengan udara yang diisi aroma shampo dan peluh keringatnya.
Ternyata begini rasanya disentuh oleh pria. Hangat- dan aman. Menyakitkan namun Chuuya ingin terus memeluknya.
Kehangatan itulah yang memulai seluruh hubungan beracun mereka. Ketika Chuuya bertanya apa Dazai selalu bekerja, apa dia akan datang jika jika ada barang datang. Chuuya membuat Dazai menjadi miliknya, mnjebak Dazai dalam permainan penghibur.
Chuuya membeli barang secara online dua minggu sekali, secara tidak langsung meminta Dazai untuk datang menemani dan walaupun sadar hanya digunakan sebagai pengalih rasa sakit, Dazai tidak keberatan.
Ia iba. Kasihan. Simpati. Karena Chuuya selalu menanggung rasa sakit kesepian sendiri, Dazai ingin berbagi. Dan sesuai ketakutannya, rasa yang lebih besar dari sekadar iba muncul.
Sampai hari itu tiba, ketika Dazai menemukan sebuah luka di pipi Chuuya.
"Kenapa ini?" Dazai membelainya lembut. Begitu cemas namun juga marah. "Siapa yang melakukannya?"
Warnanya biru dan bengkak. Seperti dihantam dengan sebuah benda tumpul atau paling sederhana adalah pukulan tangan.
"Suamimu?" Tudingnya, "Suamimu kan? Chuuya???"
"Dia tahu hubungan kita." Chuuya berkata sendu namun buru-buru menggelengkan kepala dan memperbaiki kalimatnya, "Dia tahu aku selingkuh, tapi dia tidak tahu dengan siapa, jadi dia marah."
Detik itu Dazai dipenuhi emosi yang terbakar.
"Brengsek." Ia menghela napas panjang, membelai lagi memar itu dan meringis dalam hati.
Andai mereka bertemu dua tahun lebih cepat, mungkin Chuuya memiliki cincin emas yang sepasang dengannya. Mungkin mereka sudah memiliki satu atau dua anak, dan bercinta penuh panggilan sayang.
"Chuuya, hentikan ini. Aku akan membawamu lari," Dazai berkata demikian namun Chuuya hanya diam termangu. "Aku tidak sekaya suamimu, aku hanya kurir yang bekerja pagi hingga petang. Tapi aku selalu ada jika kau meminta, bukan?"
"Dazai," Ada sebuah hal yang selalu mengganjal di hati Chuuya sejak memulai permainan konyol penuh kabut racun ini. Di waktu awal ia hanya ingin Dazai menjadi teman, namun sekarang Chuuya tahu Dazai benar-benar menyayanginya- dan ia tidak bisa melakukan apa-apa selain membalas rasa sayang itu sedikit demi sedikit.
Hal itu membuat Chuuya malu. Ia merasa berdosa.
"Aku hanya memperalatmu," menggunakan rasa sayang Dazai sebagai pundak tempat beristirahat. Chuuya jahat. Chuuya tahu dirinya jahat. Chuuya tidak bisa memaafkan dirinya yang jahat. "Padahal kau sudah berjuang untukku. Tapi aku tidak bisa lari dari Dia, Dazai."
Ada air mata di pelupuk Chuuya dan Dazai tidak keberatan menyeka walau Chuuya sudah mengaku hanya menggunakannya sebagai alat.
"Aku bodoh dan tidak bisa lari, jadi aku hanya melakukan kesalahan besar dan berharap dia yang meninggalkanku."
"Bodoh, ya?" Andai Chuuya tahu bagaimana bodoh Dazai yang mengutuk keputusannya menerima Chuuya di hari pertama mereka bertemu- Oh, Dazai tidak akan mengutuknya. Ia bersyukur karena telah menerima Chuuya. "Kau tidak perlu memikirkan itu, aku akan membawamu."
Chuuya seharusnya percaya karena Dazai sudah melakukan segala hal untuknya di titik terendah. Membodohi diri untuk menjadi sebuah mainan pengobat kejenuhan hati, namun Dazai masih membelainya dengan sepenuh peduli. Tapi Chuuya takut. Hubungannya yang sekarang membuatnya takut meski tahu Dazai adalah yang terbaik.
"Perlahan," kata Dazai, "Kau bisa melupakan hal buruk perlahan. Aku juga akan memberimu hal baik perlahan."
Karena Chuuya begitu rapuh, "Kita tidak perlu buru-buru." Dazai akan terus memaksanya, perlahan.
Lupakan si brengsek yang mewarnai dua tahun Chuuya dengan kegelapan, Dazai akan mewarnainya dengan sebuah senja yang cerah sesuai dengan warna jiwa Chuuya.
"Lucu sekali," Bibir Chuuya mengukir senyum sendu sementara tangannya mencari jemari Dazai untuk bertaut. "Aku menggunakan uangnya untuk belanja online hanya agar bisa bertemu denganmu."
"Aku bisa datang di luar hari kerja-"
"Aku tidak ingin itu, Dazai." Ada sebuah napas yang Chuuya hembuskan. Ia menyandarkan pipinya di dada pemuda itu, mencari kehangatan, memberi luka. "Aku tidak ingin masuk ke dalam hidupmu selain dari pekerjaan ini. Tapi ternyata aku sudah melakukannya, benar kan?"
"Aku tidak keberatan.."
"Sekarang aku menyesal karena menarikmu ke dalam neraka."
"Aku juga tidak keberatan."
Tautan di jari itu lepas karena Dazai memilih mengelus punggung Chuuya. Memberinya sebuah ketenangan ketika mata begitu mendung pertanda gerimis.
"Aku hanya keberatan kalau kau menetap setelah dia menyakitimu," katanya, "Aku melakukan ini untuk membuatmu senang, bukan membuatmu terluka."
"Kau mau aku pergi?"
"Ya."
"Denganmu?"
"Ya."
Tidak akan Chuuya temui lagi sosok sehangat kopi di sore hari musim gugur seperti Dazai. Tidak akan ia dapatkan lagi aroma rumah tempat bernaung seperti Dazai. Chuuya tahu ia memang harus memilih Dazai, dan ia akan melakukannya.
"Aku ingin rumah di dekat taman," ucap Chuuya yang membuat Dazai tersenyum.
"Apapun untukmu, selama aku mampu."
"Aku ingin kau menjadikanku satu-satunya."
"Chuuya..."
Pelukan Dazai mengerat, karena tubuh Chuuya mulai bergetar. Ia tertawa lembut, memberi kecup-kecup kecil di surai wanita itu.
"Tapi aku kesulitan kalau kau belanja terus," candanya.
"Aku akan berhenti belanja online," Chuuya mencibir. Rasa sungkan di dadanya menghilang karena hidup yang akan datang adalah sesederhana air di dalam gelas kaca berisi setangkai iris yang diganti setiap hari. Tidak akan kotor dan setia membuat si liar itu mekar dengan cantik. "Tapi aku ingin anak kembar."
Dazai tertawa.
END
05 November 2020
#GratisOngkir10Bulan
#FFAOktober
SeaglassNst
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top