Say

Mereka bilang perpisahan bukanlah hanya mengatakan jarak. Jauh dan tidak menyatu adalah kalimatnya, namun bagi Dazai, perpisahan tidak pernah ada. Bahkan ketika Nakahara Chuuya tidak lagi di dunia mendampingi, nyatanya mereka tetap bersama.

Tidak tergapai. Entah dia berada di atas awan dengan para bintang, atau di surga seberang lautan, Dazai selalu merasa Chuuya berada di sisinya. Tanpa sentuhan, tetapi tetap ada. Di bayangan dan di pikiran. Mengenang-ngenang, lalu menangis karena ternyata memang benar Chuuya sudah tidak ada dan tidak akan pernah lagi.

Dazai katakan pada dirinya untuk berhenti. Berhenti memanggil-manggil nama Chuuya dalam sadar tapi mimpi selalu berkhianat dan menampilkan manik samudra dalam. Dazai ditinggalkan, sendirian tanpa arah, tersesat, hilang, penuh keraguan.

Tidak ada lagi senyum yang menyebalkan. Tidak ada lagi raut manja penuh pengharapan. Tidak ada lagi keangkuhan yang membangun Dazai ketika hancur berantakan. Tidak ada lagi Chuuya.

Yang Chuuya harapkan hanya menemani Dazai hingga akhir, tidak menyangka akhir itu adalah umurnya. Yang Chuuya harapkan hanya agar Dazai bahagia, bahkan jika tidak bersama. Namun sekarang, di atas tempat tidur itu hanya ada seorang pria yang kehilangan cahaya. Mati dan gelap.

"Bangun," bisikan Chuuya selalu bisa membuka matanya, walau sekarang hanyalah fana dalam buih mimpi penghabisan. Tapi Dazai bisa mengetahui kalimat setelahnya adalah, "Sedikit demi sedikit, bangkit."

Chuuya masih di pikiran Dazai dengan sikap pemaksa. Masih tertawa dan penuh kebohongan manis menyayat dan menghangatkan. Rindu adalah segala hal yang bisa Dazai pikirkan ketika mengusap mata menatap lantai kamar.

"Hari ini pun aku bermimpi tentangmu," Dazai mengucapkan pada sisa-sisa kenangan di hari-hari bahagia ketika kopi hangat diseduh dan ia akan berceloteh tentang bagaimana petualangan dan kegelapan bunga tidurnya. "Dan aku juga dengar kau membangunkanku."

Di atas meja ada sebuah bingkai kayu tanpa foto. Kosong dan memang tidak ingin dipenuhi. Dazai meraihnya, merasakan sisa-sisa sentuhan Chuuya yang tidak pernah bisa memilih lembaran gambar untuk mengisi kekosongan itu. Tapi bagi Dazai, hampa adalah hal yang indah.

Meraba, Dazai selalu bisa menemukan ukiran yang dibuat dengan mata pisau di belakangnya. Beberapa baris yang ditinggalkan Chuuya jauh sebelum kematian karena memang sudah menjadi harapannya.

"Kuharap harimu penuh dengan kebahagiaan." Baris itu terletak di atas, tertuju pada Dazai karena memang dia yang selalu menjadi ujung afeksi Chuuya. "Kuharap namaku tidak pernah terasa pahit di hatimu."

Chuuya tidak tahu berapa banyak mutiara yang Dazai torehkan di ukiran nama Chuuya dalam hatinya. Begitu indah dan berharga. Penuh rasa syukur bertabur kehilangan.

Sebuah baris yang baru, masih cerah dan tidak ingin Dazai baca. Penuh ketulusan dari Chuuya yang percaya pada perpisahan, "Siapapun yang mencintaimu," katanya, mengkhianati Dazai yang hanya ingin dicintai oleh Chuuya, "Kuharap mereka tahu kau sempurna."

Chuuya tidak mengerti bahwa hanya bersamanyalah Dazai lengkap. Hanya bersamanyalah Dazai sempurna. Dia pergi tanpa mengerti bahwa hanya bersamanyalah Dazai bahagia.

END

Dedicated to:
Nakahara Chuuya Dead Day
22 Oktober 2020
SeaglassNst
Music : Birdy - If This Is It Now

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top