Putih Seperti Susu Namun Beracun

Mengingat-ingat sebuah perintah lima belas menit lalu yang keluar dari mulut Bos Mafia, Dazai Osamu agak-agak bersemangat untuk melakukannya.

"Apa?" Sosok bersurai jingga yang terbaring di atas ranjang bertanya dengan suara parau. Di tubuh yang berkeringat ada sisa-sisa pertempuran. Jejak darah yang tadi mengalir dari hidung dan mulut sudah Dazai sapu dengan punggung tangan, namun tetap saja nuansa berantakan masih menguar.

"Mori-san menyuruhmu ganti baju," Dazai berbohong.

"Aku tidak bisa bergerak, idiot."

Helaan napas terdengar, Dazai mengambil sepasang piyama dari lemari Chuuya tak lupa celana dalamnya. Duduk di sebelah si mungil kemudian mulai membuka jaket kulit dan cardigan merah.

Sejenak Chuuya mengintrupsi dengan erangan namun tidak bisa melawan sampai Dazai memberi berita, "Mori-san memintaku mengganti pakaianmu."

"Hah?!"

"Jangan teriak, kau membuang-buang tenaga."

Alis mengerut turun, seperti guratan pasir pantai, dan ibu jari Dazai adalah ombak yang menyapunya untuk menenangkan. "Kau bisa tidur kalau lelah, Chuuya."

"Sakit sekali sampai aku tidak bisa tidur."

Chuuya membiarkan jari Dazai turun di garis hidung yang mancung. Mencapai belah bibir berpoles kilap kemerahan bekas darah, Dazai mengecupnya. Mengangetkan hingga Chuuya memekik singkat. Ketika pagut terlepas, Dazai menampilkan cengir kemenangan yang memanggil hela napas.

"Kau mau kutiduri?"

"HAH?!!!"

"Maksudku," kekehan kecil tersirat seakan Dazai mendapatkan reaksi menarik sesuai prediksi. "Maksudku, aku akan membantumu tidur."

Chuuya benar-benar akan meninju wajah tampan itu jika saja bisa bergerak. Seluruh sel tubuhnya seperti pecah. Dia pasti tengah berteriak kesakitan jika tangan Dazai tidak di sana untuk menetralkan perih dari amukan Dewa yang kembali dipaksa tidur dalam kepala.

"Rasanya lebih baik ketika aku menyentuhmu, bukan?" Chuuya bergumam. Memang lebih baik, jauh lebih baik.

"Tapi tetap sakit."

"Tentu."

Tangan Dazai turun ke dada Chuuya meninggalkan belai menggoda lalu menyusup ke balik helai kain putih, menyentuh kulit yang membalut perut dan mengundang tatapan heran.

Dazai menunggu Chuuya untuk mengintrupsi dan pekikan itu muncul ketika rambatan sentuhan sampai pada dua pasang dada bidang yang dibelai dan diremas.

"Apa yang kau lakukan?" Dengan wajah bersemu Chuuya menantang senyum Dazai. "Jangan—"

Gelitik ujung jari telunjuk pada celah yang setelahnya menampilkan tonjolan kenyal membuat Dazai tersenyum semakin lebar. Tubuh Chuuya merespon sentuhan sementara rasa geli akibat godaan dibalas lenguhan dalam.

"Nh.. Dazai, hentikan..." Pintanya.

Dazai menghentikan sejenak lalu menarik mundur tangan hanya untuk melihat helai kain putih menepak kedua puncak Chuuya yang tinggi dan merah muda seperti wajahnya sekarang. "Ayo singkirkan helai ini dan biarkan aku mempermainkanmu lagi."

"Mati saja kau bodoh!"

Namun demikian Chuuya tidak bisa bergerak ketika Dazai menaikkan kaos putih itu, melewati lengan-lengan kurus dan kepala. Hingga tubuh molek tampil tanpa penghalang dan Dazai merasa genderang berdentam-dentum di aliran darahnya.

Ia meraih lagi sebuah puncak, menekan dengan ibu jari dan telunjuk, "Ah..." Chuuya bahkan sulit menahan desah karena Dazai memelintirnya. "Tidak, Dazai hh..."

"Wajahmu memerah," Dazai menarik puncak itu jauh dan Chuuya mengerang, "Bagian ini juga sama."

Kekehan geli menarik sebuah rasa risih namun ketika Dazai mulai mendengus tubuhnya, Chuuya tidak hanya menerima. Napas hangat berjalan dari pusar, diiringi kecupan-kecupan seakan Dazai tengah merasai tiap inchi kulit lembut yang kelelahan. Chuuya mencoba menahan ketika Dazai menyapa putingnya dengan lidah. Rasa panas, liat, dan basah membuat benda merona itu semakin merekah.

"Ahn.." Dazai menggigit ujung puncaknya, memanggil erangan dari sang pemilik keindahan yang tengah ia jamah. "Ah Dazai sakit.." Perkataan yang membuat Dazai menggigit lebih dalam. Menciptakan bekas kemerahan dan jejak yang setelahnya ia hisap.

Rasa perih timbul di dada Chuuya. Getaran manis ketika Dazai mengemut dengan bibir seakan ia adalah wanita menyengat dan menggetarkan. "Hng.. Dazai.. Ah.." Ia memanggil lagi, sedikit asing karena dihisap begitu dalam dan membagi sensasi menggelitik pada jejak luka.

"Ahh.." Dazai melepas hisapan, memperdengarkan suara basah erotis dari kecupan dan tetes-tetes saliva yang jatuh di puncak dada Chuuya. Hawa panasnya begitu memikat sehingga diam-diam Chuuya mengeras.

"Kau menyukainya?"

"Hng!"

Dazai sengaja mencubit sebelah puncak yang sedari tadi menanti untuk disentuh. Ia mengapit ujung keras bagian itu dengan jari tengah dan telunjuk, lalu menariknya, mengulur, menarik lagi, mengulur lagi, beberapa kali hingga Chuuya terpaksa menahan rasa sakit dan menjegat tangan Dazai.

"Hentikan.."

"Sakit?" Ada erang yang bergema karena Dazai menaruh perhatian sembari memelintir puting keras yang tengah mekar. "Kau suka, kan?"

"Ah.. Dazai— tidak.. Hn..."

"Kau keras Chuuya," Dazai tersenyum pada mata sayu yang basah. Ada tetes manis liur jatuh di celah bibir mungil yang kemudian Dazai seka dengan ibu jari. "Kau lebih sensitif setelah menggunakan Ojoku."

"Tubuhku sakit." Ada titik embun di permata biru yang membuat Dazai menarik diri, bukan untuk menyudahi karena ia tidak memiliki niat berhenti, melainkan sebagai jeda agar Chuuya bisa menangis sejenak, melepas perih di tubuhnya.

"Aku akan cari cara lain agar kau tidak terlalu sering menggunakan Ojoku." Tangan Dazai membelai helai senja lembut, mengecup pipinya dan mengelus pundak yang lemah.

"Bagaimana?" Chuuya bertanya, "Kau bahkan lebih lemah dariku."

Ada rada tersentil dan tersindir, namun Dazai hanya tertawa. "Yah akan kupikirkan," ia kembali duduk. Kini memposisikan diri lebih baik di antara kaki Chuuya yang ia biarkan bernaung di atas pahanya untuk memberi rasa rileks. "Mungkin ada orang di luar sana yang bisa melewati Ojoku."

"Terdengar mustahil..." Chuuya hampir menutup mata ketika celananya diturunkan. Tidak ada pilihan selain percaya pada Dazai untuk mengganti pakaiannya, namun semua terhalang karena detik kemudian tangan Dazai membelai kepemilikan Chuuya. "Sial— Hentikan bodoh!"

"Kalau tidak bisa satu orang, aku akan cari dua." Chuuya melenguh karena Dazai mengusap ujung miliknya, mengabaikan penolakan dan berbicara topik serius seakan Chuuya hanya radio penghibur. "Tidak perlu pikirkan itu, kau cukup jadi milikku saja."

"Ha—ah!" Hanya jari-jari tangan yang bisa Chuuya gerakkan untuk mencengkram seprai. Sensasi bergairah yang Dazai beri ketika memijat batang itu dari bawah ke atas membuat kepala Chuuya panas. Ia sulit menahan lenguh karena memang selalu nikmat ketika Dazai menyentuhnya.

"Chuuya tidak perlu pikirkan itu lagi.."

"Sial. Hng!" Entah bagaimana cara Dazai melakukan gerakan cerdas sembari membicarakan hal rumit, tapi Chuuya risih. Dia kedinginan, tubuhnya lelah, dan dipaksa untuk menikmati godaan yang nyatanya benar-benar tidak ia benci. "Dazai—"

"Hushh..." Akhirnya Dazai menjawab panggilan dengan melirik bersama senyum menang. "Jangan pancing aku untuk berbuat lebih jauh dengan suara seperti itu," ucapnya, "Kau yang lelah pasti tahu hasil jika aku serius."

Chuuya semakin bersemu, "Brengsek.."

Gairah mengaung-ngaung di dada Dazai. Ia ingin sekali melepas kepemilikannya untuk masuk ke sangkar yang lebih indah. Tapi melihat Chuuya di sana dengan engah nikmat sudah cukup membuatnya terbang. Satu jari menyusup ke antara bongkah daging bokong dan Chuuya terlonjak, Dazai mengusap celah yang tertutup dan disambut gelengan.

Chuuya tahu tubuhnya tidak akan bisa menikmati ini lebih lama karena ia merasa puncaknya dekat dan Dazai tak henti menggoda. "Tidak, tidak. Tidak sekarang.." Ia memohon, manik biru memelas sakit dan Dazai dengan berat hati menarik mundur jarinya, tanpa selesai memainkan ereksi Chuuya.

"Astaga Dazai..." Lingkar jari Dazai naik turun lebih cepat. Mengukung sekaligus memijat, menari sekaligus menyiksa, Chuuya mendesah dalam. Dada yang seharusnya begitu lelah kini membusung dengan kedua puncak berkontraksi begitu cerah. Detik setelahnya cairan keluar membasahi jemari Dazai hingga ia tersenyum.

Deru napas Chuuya memburu, dadanya naik turun, mata tertutup dan Dazai menyejajarkan diri untuk bisa melihat biru laut lebih dekat. "Bagaimana?"

"Ah, sial.." Aduh Chuuya parau, "Aku lelah. Aku sangat lelah.."

Piyama diambil, namun ketika Dazai hendak memakaikannya, Chuuya sudah jatuh dalam lelap. Pipinya masih merona, bibir merah terbuka sementara bayangan bulu mata menimpa kelopaknya.

Senyum terbit di wajah Dazai. Diusapnya helai jingga yang menutup dahi Chuuya lalu memberi kecup di sana. "Sekarang kau bisa tidur dengan nyenyak," katanya sembari menyelimuti Chuuya.

END

21 September 2020
SeaglassNst

.
.
.

Ini adalah hasil kebringasanku dan EllenNa222
Sori ya telat hahahah..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top