Mangata
Bagi Nakahara Chuuya, Dazai Osamu adalah cahayanya. Tidak ada arti dari dunia tanpa keberadaan pemilik surai coklat dan satu-satunya sosok yang memberi Chuuya sebuah tatapan hangat.
Hidup Chuuya yang penuh kegelapan sirna tatkala di sebuah musim penghujan ia bertemu dengan Dazai. Luka di lengannya masih basah, lebam biru di paha pun sama. Ketika mendinginkan kepala dan berbagi tangis pada rintik hujan, sebuah payung biru menaunginya. Itulah pertama kali Chuuya bertemu dia. Dengan sebuah senyum dan suara lembut mengajaknya menepi ke sebuah halte sederhana. Bercengkrama, berkenalan, walau Chuuya enggan bercerita namun basa-basi itu masih ia ingat sampai sekarang.
Bertahun-tahun berteman membuat Chuuya perlahan berani melangkah dari keadaan terpuruk. Dengan Dazai di sisinya, sudah cukup menjadi orang yang memancarkan kilau yang sama dengan pemilik manik amber itu.
Seharusnya Chuuya puas dengan hubungan pertemanan mereka yang erat. Masa-masa ketika Dazai selalu ada adalah hal yang paling berharga dalam hidupnya, karena kini Dazai tidak ada lagi. Dia pergi meninggalkan Chuuya di malam ketika sebuah keserakahan akan sebuah perasaan meluap hingga kata cinta terucap dari bibir Chuuya.
Itu adalah lubang hitam.
Sebuah penyesalan yang membuat Chuuya kembali meringkuk di sudut hatinya sebeb cahaya yang selalu ia genggam telah pergi meninggalkannya. Seharusnya ia paham bahwa Dazai begitu istimewa dan tidak boleh meminta lebih. Chuuya hanya sebuah telaga yang sepi, sedangkan Dazai adalah bulan purnama indah yang menaungi langit di atasnya. Bayangan perak itu adalah satu-satunya hal yang menyatukan mereka, namun kebodohan Chuuya memaksa bulan itu tenggelam dalam dirinya.
Kesalahan.
Dan sekarang, Chuuya kembali ke titik terendah keputus-asaan.
Sepi dan sunyi walau ia tidak lagi menjalani hari-hari pedih seperti dulu. Namun, waktu berat ketika ia tidak mengenal Dazai jauh lebih baik daripada masa ketika ia tahu bahwa pria itu ada namun tidak bisa merasakannya. Chuuya dibuang. Ia ditolak. Lalu apa?
Dia tidak ingin bangkit dalam kegelapan. Dia tidak berani lagi berjalan tanpa punggung kokoh Dazai di hadapannya. Chuuya memilih menghilang.
--xxXxx--
Dazai Osamu adalah pengecut. Padahal dia tahu bahwa hatinya sudah direnggut oleh setitik air mata bertahun-tahun lalu di malam hujan, tapi yang ia lakukan malah melarikan diri dari pemilik hatinya.
Padahal sejak menguntit Nakahara Chuuya bertahun-tahun lalu, mengetahui bagian berat hidupnya, mendapat kesempatan berbicara, berteman, lalu yang ia lakukan adalah pergi ketika Chuuya memberikan seluruh dirinya. Dazai Osamu sangat pengecut sampai-sampai tidak ingin Chuuya tahu tentang dosanya jauh ke hari belakang.
Upacara penerimaan di Sekolah Menengah Pertama, adalah hari pertama ia melihat Chuuya duduk di sebuah ayunan taman. Bolos dari penerimaannya dengan luka memar di pipi dan lengan. Angin musim semi dan rasa kantuk pagi masih jelas tergambar di kepala Dazai, wajah sendu Chuuya yang dihujani guguran kelopak Sakura, lalu Dazai mencintainya tatkala ia mulai bernyanyi.
Itulah awal mula sebuah dosa pengukung kehidupan karena Dazai sangat tidak tahu diri dan mengikuti Chuuya yang kesepian kemanapun ia pergi. Dalam dua hari, Dazai sudah tahu nomor kelasnya, ukuran pakaiannya, alamat rumah, bahkan kenyataan bahwa Chuuya disiksa ayah dan ibunya. Astaga. Dia begitu cantik, begitu rapuh, begitu sempurna untuk Dazai rengkuh dan simpan sendiri.
Lalu, tibalah malam penghabisan dimana ia bukan secara kebetulan berada di taman tempat Chuuya dibasahi hujan. Ia mengambil langkah pertama, mendekat dan memayungi Chuuya, melempar senyum yang disambut sebuah pelukan tiba-tiba. Dazai yakin Chuuya spontan melakukannya sebab ia begitu lugu akan perhatian orang lain.
Mereka berbicara banyak, tertawa banyak, dan ia jatuh lebih dalam pada Nakahara Chuuya.
Awalnya Dazai berpikir bahwa suka adalah rasa ingin memiliki sehingga ia selalu berada di sisi Chuuya untuk menjaganya dari orang lain. Namun ternyata, perasaannya lebih dari itu. Mengenal Chuuya, pikirannya, hatinya, semua hal tentang dia lama-lama membuat muak karena Dazai semakin mencintainya sampai-sampai membenci diri sendiri karena melakukan dosa itu pada Chuuya.
Chuuya mengenalnya dengan sebuah jalur yang benar. Sebuah pengertian dan pendekatan penuh kasih sayang, sementara dia tidak bisa memberi apa-apa pada sosok mungil yang lembut itu sebagai pembalasan. Dazai sudah mengikutinya hampir setahun setengah, melihatnya disiksa dan hancur perlahan tanpa ada dorongan menyelamatkannya. Padahal seharusnya ia tahu Chuuya menderita, namun yang ia inginkan malah menjadi sosok pencerah. Ia tidak ingin menemani Chuuya, ia ingin Chuuya merasa ditemani olehnya. Ia ingin Chuuya tergila-gila padanya.
Dan keinginan itu terpenuhi di upacara kelulusan kelas tiga Sekolah Menengah Atas. Dengan pipi sewarna kelopak sakura yang jatuh, matanya sebening laut yang dingin berombak, Chuuya mengatakan dengan jelas sebuah kata cinta. Seharusnya Dazai bergembira karena Chuuya telah jatuh padanya, namun ia malah merasa menelan sebuah batang mawar berduri.
Saat itu Dazai tidak melihat Chuuya. Yang ia lihat adalah seorang pemuda penuh luka, berdarah, yang mengajak Dazai untuk jatuh ke neraka bersamanya. Dazai takut, bukan pada neraka melainkan pada seluruh luka yang berdarah sebab dialah penyebabnya. Dia yang membuat Chuuya mengatakan cinta yang begitu tulus tanpa tahu kejahatan yang telah Dazai perbuat.
Dazai melarikan diri. Pergi. Meninggalkan Chuuya sendiri hanya untuk kembali sepi.
Dazai Osamu adalah seorang pengecut.
--xxXxx--
Musim berganti, tahun terlewati, Chuuya menjalani hidup berusaha melupakan sosok bersurai kopi. Berat? Tentu. Berapa kali ia terluka ketika berada dalam sisi lemah? Berapa banyak tangis pengecut yang berakhir dengan merundung dalam diri sendiri?
Ia ingin melupakan Dazai. Ia tidak ingin melupakan Dazai. Ia ingin tetap mengingat pria itu beserta seluruh keberadaannya, namun ia ingin melupakan pria itu bersama dengan penolakannya. Dan kemudian, keajaiban terjadi. Garis-garis takdir mereka yang saling melintang bertemu pada satu titik.
Pertengahan Agustus, musim panas. Sisi lain peron kereta yang bersebrangan, Chuuya melihat sebuah rindu tengah membaca buku di sebuah kursi tunggu. Buru-buru ia menyebrang menggunakan tangga bawah tanah, bahkan tidak berpikir bahwa keretanya akan segera tiba. Mencari, menoleh kanan dan kiri, Chuuya melihat pemuda itu kini hampir memasuki pintu kereta.
Chuuya berlari, menarik tangannya agar berhenti.
Mata yang bertemu lagi. Perasaan Chuuya sangat gembira sampai ia tidak memikirkan antrian penumpang yang ingin masuk di belakangnya. Semua perhatiannya milik suka cita. Ia terharu dan bahagia dapat bertemu lagi dengan Sang Cahaya.
"Aku merindukanmu," ucapnya di tengah-tengah rintihan indah.
Sedikit waktu dibutuhkan untuk Dazai bisa mencerna dan segera ia menarik Chuuya menjauhi peron. Ke sebuah tiang penyangga dan memeluknya begitu erat. Bagaimanapun dia menyalahkan dirinya atas hati yang terluka di masa lalu, Dazai tetap tidak bisa menahan keinginan untuk menyeka air mata itu.
"Jangan menangis. Jangan menangis." Permohonannya dibalas tawa kecil. Astaga, Chuuya adalah wujud terindah dewi musim panas yang memekarkan bunga-bunga matahari.
Sapaan hangat, rengkuhan, sedikit kecupan yang mendarat di pipi. Mereka bahagia hingga lupa pada satu waktu menyedihkan di masa lalu. Tidak ada yang berkomentar, Dazai ingin menghindar dan syukurlah Chuuya tidak menyinggungnya.
Mereka berakhir di rumah Chuuya pada sore setelah makan bersama di kafe khas Amerika. Malam itu hujan turun. Sebuah kebiasaan di musim panas yang selalu membuat Chuuya terlena ingin tenggelam dalam selimut baldunya. Namun sekarang, Dazai di sini. Mereka melakukan banyak hal mengasyikkan dalam malam penuh gemuruh. Sampai akhirnya sebuah futon dibentang di sisi tempat tidur Chuuya untuk Sang Tamu dapat bermalam.
Dazai menahan dirinya untuk tidak naik ke atas kasur itu, menarik Chuuya dalam kecupan selamat malam yang singkat atau mungkin semenit lebih panas. Dia ingin merengkuh Chuuya dan melupakan segala dosa-dosanya seperti seorang pengecut kekanakan yang ingin membuka buku baru dan membakar kisah lama penuh dosa. Namun keinginan-keinginan ini hanya terjadi di kepala. Dazai membatasi dirinya untuk tidak mengintip wajah tidur Chuuya. Ia tersenyum ketika mendengar dengkuran dan memilih ikut mengarungi lautan mimpinya yang biru ketika senja.
Dalam keheningan kamar, hanya detik-detik jam yang mengiringi rinai gerimis di luar. Kegelapan, kesunyian, Dazai merasakan sesak dalam napasnya hingga seluruh pengelanaan di laut senja berhenti ketika dia membuka mata untuk melihat yang lebih asli.
"Ap-" Napas Dazai kembali tercekat karena tangan Chuuya mencekiknya lebih kuat. Bagaimanapun tubuhnya ingin melawan, tapi Chuuya menguncinya dengan sangat baik menggunakan kedua paha dan seluruh berat tubuhnya di perut Dazai.
Di tengah rasa panik dan tidak bisa bernapas, Dazai memikirkan dosanya dan sekilas hatinya menerima bahwa ia layak dibunuh tangan mungil yang selalu ingin ia genggam. Namun Dazai tidak mau seperti ini. Dazai ingin Chuuya menusuknya dengan belati seraya memberi pelukan, tidak dengan cekikan tengah malam yang membuat seluruh selnya menjerit ketakutan.
Di ujung-ujung kesadaran yang memudar, Dazai mendapati pemuda yang berada di atasnya menarik senyum. Senyum lebar yang menggambarkan kesenangan gila. Senyum yang belum pernah Chuuya tampilkan padanya. Seperti bukan Chuuya.
"Chu-" Dazai hampir mati. "Chu-" Ia menutup matanya, memancing sebuah lengah dan ia mendapatkannya. Dua setengah detik yang cukup memutar balikkan posisi hingga kini ia yang berada di atas tubuh mungil itu. Suara pekikan, Dazai menahan tangan-tangan kurus di sisi kepala dan menatap lurus.
"Siapa kau?" Dazai bahkan tidak mengerti bagaimana ia bisa menanyakan hal itu hanya karena melihat sebuah motif lingkaran merah di sisi leher Chuuya. "Chuuya?"
Perlawanan berhenti, motif itu menghilang, lalu dengan sebuah lenguhan lembut Chuuya bertanya, "Dazai?"
Dazai benar-benar tidak mengerti.
"Dazai, sakit. Bisa lepaskan aku?"
"Chuuya, apa warna payung yang kugunakan meneduhkanmu ketika pertama kali kita bertemu?"
Hening menjawab. Dazai tahu bahwa Chuuya yang ia kenal tidak akan melupakan hari dimana ia bertemu penyelamat dan keheningan itu membuatnya terluka. "Siapa kau?"
Garis bibir yang tadinya menekuk sedih, perlahan menggores senyum.
Dan kemudian dia bernyanyi.
Sajak merdu yang mengalun melunakkan hati gundah Dazai, namun kemudian ia malah semakin marah karena paham bahwa lagu itu adalah lagu yang dinyanyikan Chuuya di taman sakura. Lagu yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Dazai menggeram. Sorot matanya begitu dingin sampai dia berjanji akan membunuh dirinya sendiri jika Chuuya yang asli melihatnya demikian. "Berhenti bermain-main."
"Aku tidak pernah bermain-main dalam membunuh, Dazai Osamu." Chuuya- seseorang yang berada di tubuh Chuuya, menaikkan dagu. Matanya yang biru bersinar merah menatap remeh pada wajah kebingungan Dazai. "Kau ingat lagu itu? Lagu yang membuatmu jatuh cinta pertama kali padaku?"
Dazai menahan diri untuk meneguk ludah karena seharusnya Chuuya tidak pernah tahu bahwa Dazai mengupingnya bernyanyi dan menguntitnya selama delapan belas bulan lebih.
"Ketika kukatakan, 'padaku', maksudnya adalah diriku yang yang tadi ingin membunuhmu, bukan Chuuya si lugu yang selama ini kau cintai. Dia tidak pandai bernyanyi."
"Apa yang kau katakan?" Dazai menggelengkan kepala membuang segala pemikiran yang bergemuruh dan berusaha agar fokus pada situasi yang tidak masuk akal ini. Dazai menarik tangan itu guna memberi sebuah kontraksi lebih menyakitkan agar ia bisa fokus. "Kepribadian ganda," ia menyimpulkan dan lawannya tersenyum sebagai respon bahwa itu adalah benar. "Baik. Beritahu aku siapa namamu dan apa maumu?"
"Aku tidak menyangka kau orang yang lurus- maksudku, sejauh ini kau sering membuat Chuuya berputar-putar dalam kebingungan hanya untuk melihatnya kesal, bukan? Aku tidak melihat keuntungan kalau aku menjawab tanpa basa-basi."
"Maka kita akan berada di posisi ini sampai pagi."
Tawa menjawab begitu lepas dan Dazai sama sekali tidak terganggu. Pemuda itu berusaha menyamankan posisinya di bawah tindihan lalu menarik napas, "Arahabaki," jawabnya. "Aku lahir dari kemarahan Chuuya pada segala hal yang membuatnya terluka."
"Apa yang kau inginkan?"
"Balas dendam? Bukan. Aku hanya membencimu dan membenci Chuuya, itu saja."
Udara malam di awal musim panas memanglah menyejukkan hingga Dazai bersyukur ketenangan bisa membuatnya tidak takut menghadapi Chuuya, atau tepatnya Arahabaki. "Kenapa kau membenciku?" Ia bertanya singkat dan padat.
"Kau bertanya pada orang yang kau mata-matai setahun lebih? Kau serius?" Mata biru itu bukanlah keindahan laut melainkan sebuah rawa penuh racun. Belum selesai Dazai menekan rasa cemas, ukiran merah kembali menjalar dan kini merambat ke salah satu sisi pipi hingga rawa itu berubah menjadi kawah merah yang membakar.
"Kau membiarkannya kesakitan padahal kau bisa membantu, lalu kau bertanya kenapa aku membencimu? Apa kau waras?"
Hal itu adalah tabu bagi Dazai sebab dia tidak ingin ada yang menguak dosanya. Dia ingin lupa dan ingin membuka sebuah pintu untuk keluar dari labirin hina itu. Karenanya, hatinya begitu dongkol sebab Arahabaki mengatakan dengan jelas betapa seluruh dunia kecewa pada Dazai Osamu.
"Kau sendiri tidak membantunya!"
"Aku tidak bisa."
"Pembohong. Kau hampir membunuhku, tidak mungkin kau tidak bisa melakukan sesuatu saat itu."
Kini wajah milik Chuuya yang termakan amarah membentuk raut serius dengan rimbunan kecewa dan sesal. "Aku tidak bisa," ucapnya. "Yang Chuuya butuhkan saat itu bukan keberanian, tapi kekuatan. Dia punya keberaniannya sendiri namun dia begitu lemah sampai tidak punya kesempatan melawan, aku pun sama. Aku berharap padamu untuk membantu, kau tahu? Tapi kau tidak melakukan apapun selama setahun lebih dan hanya melihat? Kau tahu berapa kali tubuhnya ini masuk rumah sakit? Kau pasti tahu. Kau selalu disana untuk melihatnya. Hanya melihatnya."
Dazai tidak bisa menjawab karena setiap kalimat adalah fakta yang membuatnya semakin terperosok ke jurang penghukuman. Wajah Arahabaki mengeras diiringi lingkar merah yang semakin menyala. "Astaga, Dazai." Dia mendesah marah. "Andai kau tahu betapa senang aku, diriku, Arahabaki, ketika kau menunjukkan dirimu di malam hujan itu. Andai kau tau betapa senang aku duduk di tepi danau hati Chuuya hanya untuk melihatnya menikmati cahaya pagi bersamamu. Andai kau tahu betapa inginnya aku membunuhmu ketika kau tinggalkan dia-"
"Aku tahu."
Arahabaki mendengus sarkas, "Kau melucu."
"Aku tahu," Dazai mengulang ucapannya seraya melepaskan cengkraman pada tangan si mungil hingga ia terheran. Kemudian Dazai berpindah untuk duduk di sebelah pemuda itu dan menatap bekas-bekas luka yang tampak di balik celana pendeknya. "Aku mencintainya, aku tahu aku mencintainya, jadi aku tinggalkan dia."
Arahabaki tidak mengerti tapi ia tahu pria itu jujur. Ia bangkit dari duduknya dan mengambil ancang ancang kembali menerjang, namun batal karena Dazai bertanya dengan sendu, "Mana Chuuya?"
"Tidur," jawabnya jujur.
Dazai menatap tatami yang bergerak karena si mungil mendudukkan diri. Di tengah keresahan ia bertanya, "Kenapa kau membenci Chuuya?"
"Huh?" Adalah respon pertama sebelum pemuda itu melanjutkan karena tidak ada gunanya menutupi sesuatu dari seseorang yang akan ia cekik sampai mati.
"Dia begitu berani sebelum bertemu denganmu," ucapnya. "Ia tetap berjuang dengan sayap-sayap yang koyak dan bertahan. Kau seharusnya tahu bagaimana rusak di dalam sana." Ia menunjuk pada dalam diri Chuuya di masa lalu, pada tubuhnya yang hancur dan penuh luka. "Ketika bertemu denganmu, kau berikan dia segalanya. Benar-benar segalanya. Kau melindunginya dari apapun, menuruti keinginannya, memberi yang ia minta. Aku benci karena dia benar-benar bodoh dan terlena karena seluruh sikapmu yang menghancurkan keberaniannya. Lalu ketika kau pergi, dengan keberanian yang telah kau renggut, kau tinggalkan Chuuya sendirian bersama rasa takut." Sekali lagi Arahabaki mendengus sarkas, "Kalian benar-benar bodoh."
Dazai menyimak dengan baik, mencerna, dan mendapat kesimpulan. "Kau tidak membencinya," Suara Dazai memanggil hingga pemuda itu menoleh. "Kau menyukainya."
"Hah?
"Kalau kau membenci Chuuya, kau pasti sudah melenyapkannya sejak dulu. Kau pasti sudah memiliki tubuh itu untuk dirimu sendiri, tapi apa? Kau melindunginya, bukan? Kau menggantikannya di waktu-waktu sulit. Kau memberinya tempat aman untuk bersembunyi." Arahabaki terdiam. Tidak berbicara. Hanya menatap datar.
"Kau menyukainya, menyayanginya. Kenapa tidak jujur saja dan biarkan dia memilikimu? Dengan begitu kau tetap bisa melindunginya."
"Kau benar-benar pandai membuatku muak."
"Karena aku benar." Dazai mencondongkan tubuh hingga jarak mereka berkurang. Ia menarik dagu lawan bicaranya dan menatap jauh pada safir favorit yang kini bewarna merah. "Aku juga menyukainya," ucapnya. "Kita sama-sama menyukainya, lalu kenapa kita melukainya?"
"Kau yang melukainya. Kau meninggalkannya."
"Ya, dan itu alasanmu mencoba untuk membunuhku?"
"Chuuya punya perasaan yang lebih rapuh dari semua manusia. Perasaan yang dia bentuk perlahan ketika dirinya sudah menjadi rusak. Rapuh sekali, Dazai Osamu." Arahabaki menatap lurus ke dalam kawah bewarna malam, mencari sesuatu, mengantarkan sesuatu. "Kau menghancurkan perasaan rapuh itu karena pergi tanpa mengucap barang satu kata."
"Tapi Chuuya masih mencintaiku."
"Karena kau adalah cahaya baginya. Seperti bumi memerlukan matahari, begitulah kau untuk Chuuya." Arahabaki menghela napas. "Aku tidak peduli pada manusia, tapi melihat dia meringkuk di sudut gelap dan putus asa, aku ingin menghancurkanmu."
"Tapi kau tidak bisa karena Chuuya mencintaiku."
"Aku benci semua ini."
Tangan Dazai membelai pipi, melihat pahit di sorot mata sang monster dalam wajah Chuuya yang ia sukai dan di balik tirai safir itu ia tahu Chuuya di sana, "Bisa kau panggil dia?"
"Tidak."
"Kenapa?"
"Aku tidak mau."
"Kenapa?"
Karena Chuuya akan merasakan sakit. Wajah sendu Dazai akan memunculkan sebuah sedih, bekas di lehernya akan menumbuhkan rasa bersalah, dan Sang Monster tidak ingin pemuda itu kembali menjadi abu.
"Aku rasa," Dazai mengerti dengan baik bahwa rasa peduli Arahabaki di hadapannya begitu besar. Ia sangat mengerti karena dirinya juga sudah kehilangan hak untuk disebut manusia ketika ia menghancurkan satu-satunya anugrah Tuhan yang ia punya. "Aku harus mengatakannya." Karena Dazai tidak ingin menipu lebih lama dibalik perasaan tulus ini.
"Tidak," Jawaban yakin itu tidak berubah. Arahabaki benar-benar kukuh mengunci dan menjaga Chuuya melihat kembali pengkhianatan di depan matanya.
"Kumohon."
"Tidak."
Hanya dalam waktu singkat setelah jawaban itu, jarak menghilang karena Dazai mempertemukan bibir mereka. Arahabaki memekik, mendorong Dazai hingga tubuhnya sendiri terjatuh ke belakang.
"Apa-apaan kau?!" Ia marah. Tidak ada hal selain kemarahan di wajahnya yang kembali memunculkan ukiran-ukiran merah lain. "Kalau kau serius padanya, seharusnya kau lakukan itu dengan Chuuya!!"
Dazai menyejajarkan posisi, "Aku serius, itu cara tercepat agar kau menurut." Kini wajah Dazai tidak lagi bernuansa lembut. Hanya ada ancaman dan suaranya begitu dingin, "Panggil dia."
"Tidak."
"Kalau begitu akan kulakukan hal lain."
"Apa yang salah denganmu? Sial!"
"Aku ingin Chuuya-ku. Berikan dia padaku." Bahkan walau hatinya tidak siap, Dazai ingin melakukannya. Ia ingin menghentikan sandiwara dan membuka semua rahasia yang menyakiti Chuuya.
"Aku tidak akan memberikan dia pada orang yang sudah membuangnya!"
"Seharusnya kau mengerti aku tidak akan melakukan itu."
"Kalau begitu untuk apa-"
"Itu bukan hal yang harus kuberitahu padamu." Dazak memotong tegas sebelum menarik lengan Arahabaki mendekat. "Jawaban itu untuk Chuuya. Panggil dia."
"Tidak."
Mata mereka sama-sama teguh. Bahkan ketika Sang Monster merasakan tertekan di bagian lengan, dia tetap tidak melakukan apa-apa selain menatap. Begitu pun Dazai yang tahu kalau cengkramannya akan meninggalkan bekas di kulit Chuuya, tapi dia juga tidak ingin berhenti.
Dia ingin bertemu namun tidak ingin Chuuya kesakitan karena ulah konyol dan akhirnya menghentikan cengkramannya. Ia mendesah pasrah, menundukkan kepala, dan memohon, dengan begitu tulus, pancaran harap yang amat dalam dari sepasang manik amber sebagai kerendahan seorang manusia di hadapan Dewa.
"Kumohon," ucapnya. "Aku ingin bertemu Chuuya."
"Aku disini."
Dazai segera menarik lehernya dan mendapati manik biru dalam tepat di hadapannya. Rasa rindu tiba-tiba mengalir, membuatnya hanyut hingga tanpa sadar memeluk tubuh mungil yang ia sayangi. Padahal mereka hanya berpisah beberapa jam, tapi seakan dua ribu tahun terlewati penuh penungguan.
"Chuuya..." Dia membaui aromanya, benar-benar Chuuya. Nakahara Chuuya yang namanya tertulis di jiwa. "Aku rindu.."
"Aku bertemu dengan seseorang tadi," dengan pelukan yang tidak terhenti Chuuya berbicara.
"Dia juga menangis dan memelukku. Aku tidak tahu siapa dia, Dazai. Tapi rasanya kami sudah mengenal sangat lama.. Seakan, dia selalu bersamaku, berada di sisiku, dan membantuku-"
"Ya," Dazai mengeratkan pelukan. "Dia orang yang sangat menyayangimu."
"Kau tahu dia?"
"Dia orang yang memberiku kesempatan bertemu lagi denganmu, Chuuya.." Dazai ingin melepas pelukannya lalu mulai berbicara serius pada Chuuya. Namun ia masih nyaman, masih belum siap melepas rindu sehingga memilih untuk memeluknya lebih lama.
"Chuuya?"
"Ya?"
"Kau mau dengar pengakuan dosaku?" Dazai sengaja tidak melepas pelukannya walau Chuuya sempat mendorong untuk menjauh. Karena Dazai takut melihat wajah orang yang sangat berharga yang pernah ia kecewakan.
"Pengakuan dosa? Apa itu jawaban kenapa kau meninggalkanku?"
"Bukan. Kalau itu, jawabannya karena aku sangat menyayangimu..." Dazai memisahkan pelukan dan melihat wajah bingung pujaan hatinya. Sesaat dia meninggalkan kecupan di kening Chuuya lalu kembali memeluknya.
"Kenapa?"
Dazai memantapkan hatinya kalau mungkin ia akan dibenci, namun, bagaimanapun, Chuuya begitu suci dan layak mendapat jawaban atas luka di hatinya yang rapuh. "Aku sangat menyayangimu." Deru napas Dazai memburu dan di bisikan pelan itu Chuuya bisa mendengar degup jantung yang terburu. "Aku menyayangimu sampai-sampai aku hanya melihatmu sengsara di masa lalu dan berandai-andai akulah yang menjadi penyelamat untukmu. Aku melihatmu setiap hari, dipukul dan dibenamkan dalam air es yang dingin, dan tidak melakukan apa-apa selain terpesona pada wajah cantikmu yang teguh dan hampa."
Chuuya terdiam. Terkejut dan tidak mengerti apa yang ia rasakan sekarang.
"Dazai?" Panggilnya lembut namun yang menjawab adalah suara bergetar seakan pengakuan ini menyiksa Dazai lebih dari tenggelam dalam api hitam. "Dazai?"
Dazai menggigit bibir sejenak, menarik Chuuya lebih dekat hingga tubuh mungilnya terpaksa naik ke pangkuan. Kehangatan ini adalah hal yang ia rindukan. "Ketika kau mengatakan cinta, Chuuya. Aku tidak bisa merasakan hukuman yang lebih pedih daripada senyum tulusmu- pada rendahan sepertiku. Aku.. Chuuya..."
"Aku ingin melihatmu." Dazai menggeleng sebagai jawaban karena ia tidak punya muka yang layak ditunjukkan pada berlian biru milik Chuuya kesayangannya. "Dazai, aku ingin melihatmu."
"Jangan lihat aku." Dazai merintih. "Aku terlalu kotor untuk berkeinginan melindungimu, melindungi yang kau cintai, menjaga dan selalu membuatmu bahagia. Apakah aku masih layak? Tidak."
"Dazai lihat aku," Chuuya merasakan rengkuhan di tubuhnya mengerat dan ia memilih mendengar lebih lama.
"Aku meninggalkan lubang besar di hatimu, tapi kita tidak berbeda sebab ketika kau tidak ada, dunia menjadi mendung yang nyata. Aku sulit menghadapinya tanpa keberadaanmu. Chuuya, kalaulah aku mataharimu, maka kau adalah duniaku."
"Itu terlalu banyak..." Chuuya mengerti dengan baik apa yang Dazai ucapkan sampai-sampai dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa sebab begitu banyak rasa yang kini beriak di kolam hatinya. "Dazai, aku ingin melihatmu," Dorongan ringan terakhir merelakan Dazai memisah rengkuhan, memaksa keberanian lahir untuk melihat pria kecil yang ia sakiti.
"Matamu yang tidak pernah pandai berbohong." Chuuya menangkup wajah si brunette, melihat segala sisi dan kedalaman bongkahan amber yang dimakan rasa bersalah, "Aku tahu."
"Eh?"
"Aku tahu kau mengikutiku," mata Dazai melebar. "Aku tidak tahu, tapi ada yang memberitahuku. Katanya kau menjagaku."
"Aku tidak-"
"Shh... Biarkan aku selesai." Jemari-jemari Chuuya bermain dan membelai sisi-sisi helai cokelat. Merasakan lembut seraya menikmati kehangatan dari napas Dazai yang begitu dekat. "Syukurlah kau tidak pergi karena membenciku."
"Chuuya-"
"Aku tidak memikirkan tentang penguntitan itu, kau tahu? Merasakan bahwa aku memiliki seseorang yang dekat bahkan walau kau hanya membatu melihat, itu cukup karena bagiku kesepian sangat menakutkan." Chuuya mengukir sebuah senyum, "Jadi kau mencintaiku?"
Dazai mengangguk dengan tergagap. Air matanya jatuh melihat keajaiban karena Chuuya masih melempar senyum yang sangat lembut padanya. Tangan Dazai melingkar erat dan dengan keraguan wajahnya maju mendekat. Namun canggung membuat Chuuya tidak sengaja mundur hingga Dazai juga kembali memasang jarak. Setelah detik penuh rasa malu dan enggan, Chuuya kembali mengukir senyum tipis dan mendekatkan wajah. Dazai mengambil gestur itu dan menekan bibir Chuuya dalam pagutan manis. Ia tahu bahu pasangannya menegang karena ini adalah pertama kalinya mereka saling berciuman diiringi lenguh manis yang meluncur hingga Dazai merasa ditimpa begitu banyak bahagia.
"Itu cukup." Chuuya begitu dekat walau pagutan terpisah. Hidung mereka yang bersentuhan dan udara yang mereka bagi membuat Dazai sengaja mendekatkan pinggul Chuuya padanya. "Mengetahui kau juga mencintaiku, itu cukup."
"Kau memaafkanku?"
Si sinoper mengangguk, "Berjanjilah untuk tidak meninggalkanku lagi, ya?"
"Tidak akan.." Sekali lagi Dazai memeluk Chuuya, bukan hanya Chuuya namun juga seorang yang membantunya mengakui kesalahan. "Terima kasih," adalah adalah kata sederhana, ditujukan untuk pemilik lukisan merah yang membuat Dazai kembali mendapatkan Chuuya.
END
5 Juli 2020
SeaglassNst
#SixOtherSide
#MonthlyFFA
.
.
.
Terserah orang berkata apa tapi emang asik banget ngumpul pas deadline. Btw, ini cerita absurd banget sih. 3,5ribu kata tapi isinya ga jelas terutama di bagian mereka cakap-cakap. Yah emang, aku kurang ide disitu. Bodo amat. Pokoknya aku mencintai hubungan Soukoku ama Arahabaki dan pingin buat Arahabaki muncul lagi kapan kapan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top