Just Till The Sun Rises

Hari ini begitu melelahkan, seperti seluruh terik matahari di musim gugur yang dingin dihujamkan ke kepala Dazai. Napasnya sudah berkali-kali menghembus udara lelah, dengan sebuah biola di tangan dan rengut di wajah, ia mengitari kota tanpa niat untuk pulang.

Malam bukan penghalang sebab Dazai sama sekali tidak menginginkan hangat mesin pemanas tempat tinggalnya. Dia mencari entah apa yang dia sendiri tidak tahu hingga kakinya melangkah tanpa arah di jalanan penuh lampu dan gugur daun mahoni.

Pengembaraan mencari hasrat berakhir di sebuah halte mati, tempat bus terakhir melaju tanpa Dazai naiki. Detik berganti menit, angin malam mulai membuat lehernya membeku, Dazai baru menyadari di ujung bangku itu ada sosok lain yang tengah duduk menatapnya.

Senyum mengundang, "Apa yang kau tunggu?" dia bertanya, memaku manik Dazai pada sepasang langit malam penuh bintang.

"Mungkin dirimu." Dazai membalas dengan senyum yang lelah akan penantian. Rasa gundah gulana di air muka berhasil membuat sepasang kaki berbalut jeans biru langit melangkah ke arahnya.

Di tengah malam musim gugur, pemuda itu mengenakan sweater putih berkancing bersama balutan syal coklat, boot hitam tinggi menenggelamkan jeans biru ketat. Ia berhenti lalu duduk dengan jarak satu bangku yang diisi biola, "Harimu buruk?"

"Yah.." Dazai menjawab jujur, "Satu dari sekian."

"Ah, jangan berkata seperti ada yang menolakmu." Jawaban canda tawa menampilkan gigi-gigi putih yang berbaris rapih. Garis-garis kemerahan menyala lembut di pipi. Bahkan dari balik kacamata yang berembun Dazai bisa melihat wajah mempesona.

"Banyak."

Tawa itu berhenti, diganti senyum lembut yang entah kenapa menumbuhkan semangat. Padahal Dazai tidak mengenalnya. Pemuda itu bangkit berdiri kemudian mengulurkan tangan pada Dazai seperti tali penyelamat dari gudang kecewa. Seakan ia mengerti bahwa itulah yang selama ini Dazai butuhkan, padahal mereka hanya asing satu sama lain.

"Ayo," katanya, "Tidak akan ada penolakan untukmu malam ini."

Dazai meraih uluran itu lalu membuat bibir mereka bertemu.

Di tengah jeda yang memancing frustasi kembali muncul di kepala, si pemuda yang Dazai sadari memiliki pinggul ramping, terkekeh kecil. Tangan melingkar di pundak dan dari balik kacamata Dazai bisa melihat bibir manisnya mengukir senyum tipis,  "Aku tidak menolak, kan?"

"Sedikit lebih lama?" Tangannya membelai pinggang, "Berdua." Ia menjawab senyum kembali, membuat Dazai jatuh lebih dalam di kolam pesona. Jauh dari kota dengan gempita keemasan lampu jalan, jauh dari orang-orang yang hidup dengan melelahkan. "Aku ingin lepas."

"Tentu." Jawab si jingga, masih dengan ukiran senyum yang berkilau meski halte begitu gelap.

Dazai menariknya jauh, tidak melepaskan biolanya yang kedinginan sementara sebelah tangan merangkul pundak si mungil.

"Musim gugur memang menyedihkan," Orang itu berkata sembari menimpa punggung tangan Dazai di pundaknya. "Tapi menenangkan."

"Cocok untuk mengenang-ngenang kesedihan?"

"Tepat," ia tertawa membalas senyum Dazai. "Tapi musim gugur juga sempurna untuk memadu kasih." Kepala bersandar di pundak, ia menggumamkan lagu entah apa sebagai pengiring langkah.

"Di balik selimut ranjang murahan, atau dalam bak mandi berisi air hangat, kau suka yang mana?" Seketika ia bertanya, membungkam Dazai sejenak.

"Di balkon sembari menatap daun-daun jingga berguguran." Semu merah muda muncul di pipinya karena sadar bahwa Dazai merujuk pada warna helai-helai lembut yang membungkus wajah.

Dengan langkah manja yang sedikit melawan membuat Dazai hampir hilang arah, sekali lagi ia tertawa, sekali lagi pula Dazai merasa sejuk. 

"Kalau kau bisa mengatakan hal seperti itu, seharusnya hidupmu lebih cerah."

"Jangan menilai orang dari cara bicaranya."

"Kalaupun kukatakan kau seorang Raja terbuang yang memerlukan Ratu, tidak salah, kan?"

Alis Dazai menekuk, tangannya merengkuh tubuh mungil itu lebih erat, "Entahlah..."

Motel di persimpangan menuju pelabuhan, Dazai memesan kamar semalam di lantai dua. Jendela ada, namun sayang yang tampak dibaliknya hanya hamparan laut hitam bersama pantulan bintang-bintang, bukan rimbun jingga cerah penuh kehangatan.

Dengan kedua tangan mungil, ia membawa Dazai naik ke ranjang rendah yang langsung berbunyi mengundang tawa. "Kau berat," ledeknya.

"Yah, karena aku seratus delapan puluh."

Ada tinju di bahu Dazai  yang sekali lagi mengundang tawa. Apa yang terjadi dengan seluruh kelam di kepala sampai-sampai detik ini bibirnya bisa mengukir simpul semanis itu hanya dengan mendengar kekehan lembut dari pemilik surai jingga?

"Setidaknya kau menawan," senyum dijawab kecupan yang mendarat di pipi kenyal, "Hanya sampai matahari terbit, aku mengizinkanmu memainkanku seperti biola."

"Kau tidak tahu bagaimana caraku bermain biola."

"Tebakanku berkata," Dazai menjauhkan diri dan mempersilahkan jari-jari ringkih mempreteli satu demi satu kancing rompi lalu kemejanya. Di hadapan mata sebuah wajah anggun bersemu penuh nafsu, kurva merah menyulam senyum, kemudian suara indah kembali menyapa telinga Dazai, "...Akan menggairahkan."

Dazai meraup bibirnya. Meraba seluruh lekuk yang meliuk di celah-celah kaos putih. Sedikit demi sedikit, perlahan seakan sosok itu adalah alat musik paling rapuh di dunia. Dimulai dari ujung jari menyapa gumpalan daging paha sebelum membuat remasan pada kilap porselen. Lenguh adalah pemujaan, apresiasi dan segala hal yang membuat Dazai semakin gencar menggesek senar-senar kenikmatan.

"Ah—" Adalah minor rendah karena salah satu puncak dada yang bewarna sakura diapit jari-jari panjang. Sebuah tetes air mata jatuh dari permukaan berlian biru yang indah, beriring lengkung senyum menggoda dan Dazai menyukai alunannya.

Sebuah penyatuan di bagian belakang, intro bertempo lembut seperti nyanyian camar di momen sebelum badai yang siap membuat laut berombak. Dazai menyukai kehangatan momen singkat itu sebagai pengiring sebuah gesekan di tangga nada cepat, naik dua oktaf lalu mengundah desah.

"Liukan yang indah." Pujinya pada permainan sendiri. "Menggairahkan?"

"Lebih- hh..."

Dorongan serta petikan-petikan di ujung senar yang mengencang memperdengarkan pada telinganya sendiri— melodi penuh gairah dan candu. Seakan ia hidup untuk memainkannya, untuk memujanya, untuk menjadikan melodi itu miliknya. Kulit hangat ini tidak bisa dibandingkan dengan dinginnya biola, terlebih karena betapa gencar ia menjawab seluruh panggilan Dazai dengan getarannya.

Satu nada disambut desah, lalu berikutnya dan Dazai semakin gila. Rambut coklat basah terkibas di atas wajah biolanya yang tengah bersemu dan melantunkan musik surgawi, Dazai menyetubuhi lagi, menjadi satu dengan riak melodi memabukkan.

Kaki ramping disampirkan ke pundak, Dazai merasakan dengan lekuk lehernya betapa lembut nan hangat kulit itu. Bertumpu dan berpegangan ketika ia kembali menggesek dan menghentak menciptakan ritme yang indah. Memancing irama syahdu ketika not paling intim dibunyikan.

Seakan seluruh waras hilang direbut kegilaan, iringan sunyi dari malam dan derak kasur lusuh, Dazai bisa menyentuh semua. Setiap titik dari tubuh itu, serta memainkan segala nada yang bisa diciptakan sosok mungil itu.

Di langit gelap tanpa awan yang begitu jujur, tampak anggun tanpa menyembunyikan sinar taburan bintang. Dalam lembaran pesona itu, yang Dazai temukan adalah bibirnya dan bibir sang pemuda berlomba mengambil lebih banyak udara.

Hentakan-hentakan, lonjakan-lonjakan, naik dan turun, persimpangan nada, serta suara yang perlahan menelanjangi waras keduanya. Segala kesedihan luntur malam ini berganti sifat liar jati diri masing-masing yang ingin dimiliki dan yang ingin memiliki. Mereka tenggelam jauh.

Ketika puncak permainan dimainkan, Dazai menekan tubuhnya dalam, membiarkan getaran suara dan seluruh benih cinta membanjiri tubuh mereka.

"Sampai matahari terbit," suara biola itu mengalun bersama sajak-sajak lelah. "Sampai tanganmu lelah dan semuanya pudar."

"Aku tidak keberatan," Dazai meraup lagi bibir itu, bersiap memainkan semua lagu yang ia tahu semalam suntuk.

Seperti biola yang ditempa dari marmer putih terbaik di surga. Dibuat dengan sekeping cahaya senja menawan di langit musim gugur. Dengan pahatan sepasang manik samudra dalam, lalu bibir selembut awan. Dazai akan memainkannya dengan semua yang ia punya. Membuat bait-bait simfoni abadi yang akan ia kenang setiap memandang biola serta malam musim gugur.

Sampai bulan kembali bersembunyi, sampai seluruh gelap kembali berganti, sampai mereka terlelap dalam pelukan masing-masing. Lalu kemudian ketika Dazai bangun disambut sinar pagi dari balik kaca jendela yang berdebu, ia hanya bisa merasakan kehampaan di sisi tempat tidur.

Karena kini ia sendiri. Musiknya telah pergi ketika matahari terbit.

END

15 September 2020
SeaglassNst

.
.
.

Jadi kemaren aku dengerin sebuah lagu dan malam ini jadi gemes pingin ngegas buat dan langsung jadi prok prok...

Sekalian karena aku udah buat fic bertema Autumn dan Romance, maka tidak akan ada lagi fic event sampai seluruh tagihanku selesai.
Sekian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top