Prolog
Kak Johan hari ini sedang memandang langit. Hujan belum reda juga semenjak terakhir kali dia duduk di teras rumah. Sudah hampir tiga jam dia dengan posisi seperti itu. Aku mengagumi sosok seorang Johan Vairus Ghana sebagai seorang laki-laki yang patut dicontoh kisah perjalanan hidupnya yang cukup unik. Lebih tepatnya perjalanan cinta dia.
Dua hari lalu dia datang ke pemakaman bapak beserta anak dan istrinya. Dari seluruh anggota keluarga, aku bisa merasakan kalau kakakku adalah orang yang paling berduka. Kak Jo merupakan cerminan bapak. Dari segala kelakuannya, sifatnya bahkan perawakannya pun mirip bapak. Sebagai anak pertama dia orang yang mendapatkan pelajaran yang lebih banyak dari diriku. Terlebih bapak sangat menyayanginya dibandingkan diriku. Watak Kak Jo keras, sama seperti bapak. Sedangkan aku lebih lembut sebagaimana ibuku mengajarkanku. Dibalik sifatnya yang tegas, kak Jo sebenarnya pandai menyembunyikan perasaannya, sama seperti bapak. Apalagi ya yang tidak dimiliki oleh bapak tapi tidak ada pada diri Kak Jo?
Kak Jo sekarang jadi orang yang terkenal. Tidak seperti dulu. Dia sekarang sudah punya rumah produksi, sudah punya film sendiri yang dia tulis dan sutradarai. Dia juga sekarang sedang mengerjakan proyek film terbarunya, semuanya sesuai dengan cita-citanya. Semuanya juga karena Kak Jo selama empat tahun kuliah perfilm-an di Jerman. Mungkin apa yang dia dapatkan semua ini adalah karena kesungguhan dia serta dorongan dari seorang yang dia cintai. Iya, istrinya. Istri Kak Jo ini seorang penyanyi, dia cakep dan sekarang sudah merilis album ketiga. Perjumpaan mereka sangat unik, aku sangat bersyukur Kak Jo mendapatkan seorang wanita yang sangat mencintainya. Andainya Kak Jo masih terjerat dalam kubangan dosa, mungkin dia tidak akan bertemu dengan Kak Sheila.
"Mau aku ambilin lagi kopinya kak?" tawarku kepada Kak Jo yang masih melamun. Dia terhenyak dan mengusap-usap wajahnya. "Kakak, nggak kenapa-napa?" tanyaku.
"Hahaha, nggak apa-apa koq Del," Kak Jo mengambil cangkir kopinya yang sudah dingin. Ia mengecapnya beberapa kali setelah menyeruput kopinya. "Nggak usah diambilin, cukup ini aja."
"Kak Jo ini masih doyan kopi yah? Setahuku sejak SMP kak Jo mulai doyan kopi," celetukku.
"Lebih tepatnya sejak Taman Kanak-kanak. Kenapa emangnya? Aneh yah?"
"Nggak, aku malah nggak ngerti enaknya kopi itu di mana?"
Mata Kak Jo menatapku dengan dahi berkerut. Ia lantas mengulum senyumnya sambil kembali merebahkan punggungnya di kursi rotan. Kursi rotan ini adalah kursi yang khusus berada di teras rumah kami. Aku masih ingat bagaiman kursi rotan ini dulu dibeli oleh bapak. Beliau membawanya dengan menggunakan sepeda motor sambil membonceng empat kursi rotan di sadel belakang. Kursi-kursi rotan ini punya banyak fungsi selain sebagai tempat duduk. Kami terkadang juga menggunakannya untuk menjemur kasur. Kasur pada masa itu masih memakai kapas, yang mana kalau sudah menipis kami pasti akan memanggil tukang jahit kasur untuk mengisinya lagi dengan kapas yang baru. Maka dari itu dengan menjemur kasurnya berharap kapas itu bisa mengembang sehingga kami tak perlu memanggil tukang jahit kasur. Masa-masa itu kami masih bermain bersama anak-anak kampung. Sekarang bocah-bocah kampung itu entah ada di mana lagi, satu-satunya kenangan yang masih tersisa adalah kursi rotan ini.
"Kamu sebagai orang yang tidak suka kopi nggak bakal mengerti kenapa kopi itu sangat spesial," ujar Kak Jo.
"Jelasin kak!" desakku.
"Kopi itu biasanya berwarna hitam. Warna yang misterius, rasanya juga pahit. Namun pahitnya tergantung dari jenis kopi. Ada yang sangat pahit, ada yang sedikit asam, sedikit kecut. Semuanya berbeda tergantung cara untuk menikmatinya. Rasa pahitnya memang bisa dihilangkan dengan gula, tapi merasakan kopi sebagaimana rasa aslinya lebih aku sukai. Seperti kamu yang lebih suka ama minuman jus, menurutmu kenapa kamu nggak pernah mau dikasih gula ke dalam jus buah yang biasanya kamu minum?"
Aku menipiskan bibirku. Sedikit meresapi apa yang dikatakan oleh kak Jo. "Karena kalau minuman jus itu ditambahin gula jadinya nggak sehat Kak Jo!"
"Alasan lain?"
"Rasanya seperti ada perasa tambahan. Itu seperti merusak rasa buahnya."
"Exactly! Kamu tentunya nggak mau rasa masam dari buah Strawberry diganggu oleh rasa gula tambahan. Hal itu akan membuat kamu tidak dalam merasakan bagaimana alam membentuk buah itu sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi kita. Sama seperti kopi. Kopi memacu adrenalin, memacu kinerja jantung, membuat otak lebih terjaga, membuat mata lebih terjaga, hal ini akan membuat semangat. Tapi terlalu banyak kopi juga tidak baik, kebanyakan minum kopi akan mengakibatkan darah akan teracuni, karena hati terlalu banyak mengeluarkan gula darah. Akibat yang lain, perut menjadi kembung, gangguan asam lambung, sakit perut, dan yang terparah adalah gangguan ginjal. Maka dari itu cukup dua cangkir sehari, hal itu bisa memacu tubuh untuk membentuk anti-oksidan. Ah, aku terlalu ngaco."
"Hahahaha, tipikal Kak Jo," aku tertawa geli ketika Kak Jo kembali menggelar pengetahuannya. "Baiklah, aku faham koq kak."
"Kamu tahu kopi ini akan terasa hambar tanpa kehadiran hujan," ujar Kak Jo dengan senyumnya. Dia seperti teringat akan sesuatu.
"Maksud kakak?" tanyaku nggak mengerti.
"Perjumpaanku dengan Sheila adalah karena Secangkir Kopi dan Hujan," jawabnya yang malah membuatku makin tidak mengerti. Aku masih terbengong-bengong karenanya. Dia sepertinya tahu bahwa aku tidak mengerti apa yang diucapkannya. "Aku akan ceritakan suatu saat nanti. Yang jelas ini semua berhubungan dengan Kisah Secangkir Kopi dan Hujan. Hehehehe..."
"Sayang? Masih di luar?" kudengar panggilan Kak Sheila.
"Wah, Kak Jo! Dipanggil Kak Sheila tuh," kataku.
"Iya, ada apa?" seru Kak Jo.
"Fatih bangun, bisa minta tolong nggak?" terdengar lagi suara Sheila.
Hujan masih belum berhenti. Kemarin bendera palang hitam dengan layar berwarna putih masih berkibar di pagar rumah kami. Tadi malam Pak RT sudah mengambil bendera tanda berduka cita tersebut. Kak Jo menghela nafas. Ada rasa bahagia di matanya, tapi juga sekaligus rasa kesedihan yang mendalam. Dia berdiri.
"Makasih Del. Kita udah lama nggak ngobrol seperti ini," katanya. Kalau dipikir-pikir memang demikian. Aku dan Kak Jo sudah lama tidak bertemu. Bahkan Idul Fitri kami lewati tanpa pernah bertemu. Ah iya, lebih tepatnya semenjak Kak Jo menikah. Itu perjumpaan terakhirku dengan Kak Jo. Kak Jo kemudian masuk ke dalam rumah, punggungnya kemudian menghilang dari hadapanku.
Dari teras aku masih melihat tumpukan kursi yang kemarin dipakai sebagai tempat duduk para tamu yang berbela sungkawa. Rumah kami kedatangan banyak sanak family, terutama dari pihak keluarga kami dan juga Kak Sheila. Nanti malam ada acara tahlilan yang berlanjut sampai seminggu. Ah, bapak. Andai bapak masih hidup, ia pasti bangga dengan Kak Jo. Aku memang berduka, tapi tidak sedalam Kak Jo. Mungkin karena aku tak begitu dekat dengan bapak, makanya aku hanya menangis ketika hari pemakaman, sekarang hatiku serasa kosong. Mungkin seandainya ibu yang pergi aku akan lebih banyak menangis. Mungkin karena ibu yang paling dekat denganku.
"Adelia?!" terdengar suara ibu memanggilku.
"Iya bu," jawabku.
"Bisa bantu ibu sebentar, nduk?"
"Iya," sahutku.
Kutinggalkan teras tempat aku dan Kak Jo tadi duduk. Hujan masih turun dengan deras. Genangan-genangan air mulai terlihat di halaman rumah. Suara derasnya air hujan yang jatuh dari talang air makin keras. Beberapa kilat menyambar, tapi tak begitu keras suaranya. Kusudahi hari ini, dengan pergi ke kamar ibu. Sekarang beliau sedang sendirian dan butuh teman. Aku bertekad untuk menjaga ibu setelah ini. Mungkin aku bisa tinggal dengan beliau sekarang. Karena siapa lagi yang akan menemani beliau selepas bapak pergi kalau bukan aku. Aku bisa tinggalkan pekerjaanku dan kembali ke rumah ini. Kak Jo, tentu saja tak bisa meninggalkan pekerjaannya. Aku akan cari pekerjaan baru di kota ini. Dengan pengalaman dan ijazahku, aku yakin akan dapat pekerjaan yang bagus. Semoga.
----------------
Dari author:
Entahlah, mungkin saya agak excited setelah lama tidak menulis. Ide ini muncul sudah lama dan sekarang saya mengeksekusinya. Baiklah kita masih prolog. Kalau ada tanggapan jangan sungkan-sungkan memberikan saran. Kritik juga boleh. Apa sih yang tidak bisa dikritik dari penulis amatir ini? Hahahaha.
Saya pakai backsound Yura Yunita feat Glen Fedly: Antara Cinta dan Rahasia. Cocok deh untuk cerita ini.
Oh ya kak, koq judulnya aneh? Iya judulnya pake bahasa Jerman. Artinya Secangkir kopi dan Hujan. Koq pake bahasa Jerman? Emangnya ada apa dengan Jerman? Hmmm...kalau dijelaskan sekarang itu namanya spoiler. Nanti aja deh. Perjalanan Johan masih sangat panjang di cerita ini. Entah nanti sampai berapa bab.
Moga kalian suka cerita saya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top