8 | Keresahan Tak Berujung


Kadang ketika impian seseorang sudah didapat ada sebuah perasaan galau yang tidak akan ada habisnya. Terkadang juga cinta pun mendapatkan ujian dari tempat yang tidak jauh. Bisa jadi ujian itu akan datang begitu saja, bisa jadi ujian itu datang ketika memang sudah pada takdirnya.

Hubungan Johan dan Melati kian erat. Mereka terlihat sering jalan berdua, hingga secara defacto dan deyure sudah jelas bahwa keduanya punya hubungan. Johan bahkan tak pernah menyangkal bahwa wanita yang selalu bersamanya ini adalah pacarnya. Anton dan Dina juga makin lengket, mereka juga telah memproklamirkan diri sebagai sepasang kekasih. Banyak yang shock, bahkan tidak sedikit yang mencibir tentang keadaan Johan. Mereka menyebut Melati sebagai "salah satu korban Johan".

"Kamu tahu gosip yang beredar akhir-akhir ini?" tanya Anton.

"Hmm? Apaan?" tanya Johan yang saat itu sedang membuka-buka halaman sebuah buku tebal tentang "Cara Membuat Film". Mereka berdua ada di perpustakaan.

"Gosip kalau Melati adalah salah satu korbanmu," jawab Anton.

Johan mendengak dan menyipitkan mata. "Salah satu korban? Kebalik, aku yang jadi korban Melati. Dia sudah menawan hatiku."

"Cieh, sok melankolis. Oh ya, ngomong-ngomong kamu tumben baca buku-buku tebal," Anton membalik buku yang dibaca oleh Johan. Ia sedikit terperangah dengan judulnya. "Apaan? Mau bikin film?"

"Begitulah," jawab Johan. Kembali lagi dia membuka-buka buku itu dan mencatat sesuatu di bukunya.

Anton melirik ke buku lain yang ada di meja. Belajar Bahasa Jerman. Anton semakin terperangah. Dia berpikir bahwa otak sahabatnya ini sudah tidak waras. Belajar bahasa Jerman? Itu adalah sesuatu hal yang tidak pernah terpikirkan di benak Anton. Johan belajar bahasa Jerman, sesuatu yang wah sekali.

"Belajar bahasa Jerman?" gumam Anton. "Kamu mau kuliah ke luar negeri?"

Johan menopang dagunya, "Begitulah. Sebenarnya lebih bagus di Inggris sih kalau soal ilmu seni peran dan perfilman, tapi di Jerman ada kenalan bapak yang tinggal di sana. Aku sudah putuskan untuk pergi ke Jerman."

"Hmm.... kita berarti berpisah dong?"

"Kenapa? Kamu kangen kalau aku nggak ada di sisimu? Ihh... sadar Ton, aku normal!" Johan agak menjauh dari Anton.

"Brengsek! Kamu kira aku belok?" Anton melempar buku Belajar Bahasa Jerman ke arah Johan dan langsung ditangkap olehnya.

"Ssshhh!!" seluruh penghuni perpustakaan langsung berdesis menyuruh mereka berdua diam. Johan kemudian menundukkan kepala sambil ngikik. Anton juga menyembunyikan kepalanya di salah satu buku yang ada di meja.

* * *

"Rencanamu apa setelah lulus nanti?" tanya Johan balik kepada Anton. Mereka berdua sekarang berada di kantin untuk mengisi perut.

"Entahlah, aku sampai sekarang belum ada pandangan padahal kita mau lulus. Hahahaha," Anton menggaruk-garuk kepalanya. "Aku sendiri tak tahu ke depannya nanti mau ke mana atau bagaimana Jo."

"Yah, jadi orang jangan sampai nggak punya tujuan dong, Ton?!" Johan menasehati Anton.

Anton menghentikan makannya kemudian tersenyum kepada Johan. Ditatapnya wajah sahabatnya itu, ia mencoba melihat apa yang berbeda dari sahabatnya ini. Kalau dilihat-lihat dandanan Johan lebih rapi, rambutnya lebih tersisir dan sepertinya kata-kata sahabatnya ini makin bijak. Bener-bener seorang cewek bisa mengubah Johan seperti ini.

"Keren yah Melati," ucap Anton.

"Hmm?" Johan mendengak. Ia mengernyitkan dahi. "Keren gimana?"

"Ya keren, bisa ngubah kamu kamu jadi seperti ini. Kamu lebih terawat, lebih terurus, lebih bijak. Nggak biasanya kamu nasehati aku untuk bisa punya tujuan. Biasanya aku yang nasehatin," ujar Anton.

Johan tersenyum simpul, "Oh, begitu. Yah, kalau begitu Melati memang cewek yang tepat. Dan aku tak pernah menyesali pernah dihajar ama pacarnya Camelia gara-gara untuk minta maaf kepadanya."

"Ah, itu sih kamunya yang bego."

"Bego? Mungkin. Tapi aku suka melakukannya."

"Aah, bener kata pepatah. Kalau udah cinta tahi ayam rasa coklat!"

"Biar pun nggak berubah jadi coklat pun aku masih suka koq."

"Heleh, dasar."

"Kamu ama Dina bagaimana?"

"Yah begitulah. Kita sering jalan bareng, sering ngobrol bareng, kadang juga aku nemenin dia makan siang."

"Nemenin makan siang?" Johan keheranan mendengar ucapan Anton. "Lha? Kamu makan siang selalu ama aku kan?"

"Aku selalu dibawakan bekal ama dia. Trus habis itu aku nemenin kamu makan siang. Jadi, ku siapkan ruang ekstra di perut ini," Anton menepuk-nepuk perutnya.

"Koq gitu?"

"Soalnya kamu itu tak bisa ditinggal sendiri Jo. Siapa yang nemenin kamu makan siang? Melati? Melati nggak sekolah di sini. Masa' mau makan siang via Skype? Kan nggak lucu. Hahahaha," Anton tergelak.

Johan meresapi makanan yang ada di mulutnya tanpa dikunyah. Jangan-jangan emang Anton ini sedikit naksir dirinya. Kenapa juga sampai melakukan hal seperti itu. Tiba-tiba Johan begidik sendiri apalagi mengingat kebersamaan mereka selama ini.

"Kalian di sini?" tanya Dina yang tiba-tiba ikut nimbrung.

"Eh, Dina," sahut Johan.

"Hai say," sapa Anton.

"Perut kamu masih muat yah rupanya. Tadi katanya udah full?" Dina menggembungkan pipinya sambil menatap Anton.

"Sorry, tapi kamu tahu sendiri kasihan si Jo ini. Dia selalu minta ditemenin buat makan siang," jelas Anton.

"Hei, siapa bilang?" protes Johan.

"Ayolah, kamu tadi yang ngajak aku kan? Aku sih ok aja selama yang nraktir kamu," gelak Anton.

"Hhh...," Johan mendengus kesal. "Sialan."

"Kalian ini, terkadang aku jadi mempertanyakan kemana-mana selalu bersama, seolah-olah kalian ini emang beda orientasi seksualnya," ujar Dina.

"Eh, bentar dong Din. Masa' cuma dengan alasan itu aja bisa ngatain kami begitu?" protes Johan.

"Ya kalau nggak apa coba?" Dina mengangkat bahunya.

"Kamu cemburu ya, say?" tanya Anton.

"Cemburu? Ama Johan? Nggak level!" jawab Dina.

Anton dan Johan pun tertawa. Sekali pun Dina tak suka dengan Johan tapi melihat bagaimana sahabatnya Melati yang ternyata bisa mengubah Johan seperti ini dia sedikit menyadari bahwa cinta bisa mengubah segalanya. Dua orang sahabat, sama-sama menyukai dua orang sahabat. Suatu kebetulan. Namun akhir-akhir ini ada suatu keresahan yang tak berujung di hati Dina. Keresahan itu bermula beberapa hari yang lalu ketika Dina berada di House of Flower.

Sekarang ada satu orang yang tahu rahasia Dina yaitu Melati. Bersahabat dengan Melati sejak kecil membuat mereka erat, hanya saja memang untuk masalah yang satu itu tidak pernah diberitahukan kepada Melati. Melati sempat marah mengetahui bahwa Dina menyembunyikan sesuatu yang sangat penting. Dina ada alasan menyembunyikannya. Ia merasa seorang anak yang bisa bicara dengan tanaman adalah seorang yang aneh, pemilik indera keenam dan bisa jadi akan jadi bahan gunjingan orang. Dina orang yang perasa, maka dari itulah ia tak mau menceritakan kemampuannya kepada siapapun. Setelah Melati mendengar penjelasan Dina, barulah ia mengerti. Rasanya ia masih ingin terus bersahabat dan tidak akan memutuskan persahabatan ini. Ketika Dina memberitahu kepada Melati tentang bocah yang menyebut dirinya Kapten Bumi, tentu saja Melati tergelak. Lucu saja membayangkan seorang anak kecil dengan memakai baju superhero berbuat seperti itu. Anton hari itu menemui Dina di House of Flower.

"Woaahh, gimana rasanya memelihara sedemikian banyak jenis tanaman di dalam satu rumah?" tanya Anton. Dina saat itu sedang menyirami tanaman-tanamannya.

"Biasa aja kali," jawab Dina. Mereka berdua kemudian berjalan ke tengah rumah kaca. Di sana ada meja dan kursi yang biasanya disediakan untuk para tamu.

"Mau minum apa?" Dina menawarkan.

"Terserah kamu mau nawarin apa," jawab Anton.

"Air comberan boleh?"

"Yaaah, galak amat."

"Hahahaha," Dina tergelak sambil melepaskan beban tubuhnya ke kursi berwarna putih dengan ukiran-ukiran klasik ornamen jawa.

"Lho, nggak ngambilin aku minum?" Anton menangihnya.

"Katanya terserah, ya aku nggak ambilin," ujar Dina.

"Waduh, gawat ini anak. Terserah deh," Anton menghela nafas.

"Iya, iya, bentar yah," Dina pun beranjak. Aton kemudian duduk sambil menunggu Dina kembali.

Dina pergi ke sebuah ruangan kecil di belakang rumah kaca. Di sana ada sebuah pantry kecil. Tak ada minuman yang spesial melainkan kopi dan teh. Dina tak tahu kesukaan Anton apa, akhirnya dia membuat teh hangat. Tak berapa lama kemudian Dina membawakan sebuah nampan berisi dua cangkir teh hangat. Yang menjadi spesial adalah cangkir itu terbuat dari tanah liat yang dibakar. Sebuah ukiran bunga kenanga tergambar di sana. Aroma teh langsung menguar ketika Dina meletakkannya di atas meja. Anton merasa baru kali ini mencium aroma teh yang nikmat seperti ini.

"Aneh ya, koq baunya beda," ujar Anton. Dia kemudian menyeruput teh hangat itu. Sebuah ekspresi yang mengejutkan tergambar jelas di wajahnya. "Wow, luar biasa. Kenapa rasanya begitu beda padahal ini cuma teh melati 'kan?"

Dina tersenyum Anton menyadarinya. "Bukan masalah apa yang kamu minum, tapi masalahnya adalah apa yang kamu rasakan sekarang."

"Oh, kenapa begitu?" Anton mengernyitkan dahi.

"Kamu tahu, kopi itu ibaratnya adalah minuman kejujuran. Sedangkan teh adalah minuman perasaan. Keduanya saling melengkapi. Kalau engkau ingin tahu bagaimana kejujuran seseorang maka cukup beri saja dia kopi, engkau akan bisa melihat ekspresinya apakah dia jujur atau tidak. Kopi memacu adrenalin lebih cepat dibandingkan minuman lainnya. Sehingga ekspresi kejujuran seseorang bisa tergambar jelas di sana. Dan biasanya orang yang suka minum kopi menghindari berdialog tentang perasaan hatinya. Berbeda dengan teh. Ini adalah minuman perasaan, artinya siapapun yang punya masalah dengan hatinya kemudian meminumnya maka akan mendapatkan ketenangan. Maka dari itulah minuman ini lebih membuat orang rileks. Terlebih engkau sekarang berada di tempat yang sangat nyaman," ucap Dina.

Anton nyengir, "Filosofimu, belajar dari siapa?"

"Dari mamaku," jawab Dina.

"Aku tak menyangka Nyonya Hartati sangat pandai dalam berfilosofi. Pasti beliau orang yang luar biasa bisa mengajarkan anaknya seperti kamu sekarang ini," puji Anton. Dia meletakkan cangkir tehnya.

"Mama memang orang yang luar biasa. Tahu nggak kalau mama menghabiskan separuh tabungannya untuk membangun House of Flower ini?"

Anton menggeleng.

"Ini bukan sekedar rumah kaca. Terjadi perdebatan panjang antara mama dan papa hanya untuk membangun rumah kaca ini. Namun mama yang memang menyukai tanaman kemudian mempertahankannya dan sepakat bahwa papa tak perlu ikut campur dalam urusan House of Flower. Akhirnya jadilah," Dina menjelaskannya dengan memainkan tangannya.

"Oh, begitu ternyata. That's great!"

KLINTING! Suara bel berbunyi. Saat itulah mereka berdua dikejutkan dengan kedatangan Melati. Melati saat itu memakai cardigan biru celana jins dan kaos warna putih bertuliskan "ANARCHY". Melihat Melati masuk segera Dina melambaikan tangannya. Anton menoleh kepada gadis yang baru saja datang itu.

"Hei?! Apa kabar?" sapa Anton.

"Lho, kamu di sini? Wah, mengganggu nih kayaknya?" celetuk Melati.

"Nggak, sama sekali nggak," jawab Dina.

"Tenang aja, aku nggak berniat membawa Dina kemana-mana koq," ujar Anton.

Melati kemudian mengambil tempat duduk di kursi yang kosong. "Aku ke sini cuma main aja kalau itu yang ingin kalian tanyakan. Aku biasa main ke sini."

"Oh, kukira kamu sedang jalan ama Johan," ucap Anton.

"Nggak, sekarang dia sedang sibuk mempersiapkan diri untuk masa depannya," jelas Melati. "Aku tak mengerti tapi dia sekarang sedang merencanakan sesuatu yang besar gitu. Aku nggak mengerti apa."

"Sesuatu yang besar? Mau ngelamar kamu?" Anton mengernyitkan dahi, karena tak biasanya Johan mempunyai rencana besar.

"Hush! Kita masih sekolah, pacaran aja juga baru mau nyentuh sebulan. Apa hubungannya ama merit!? Sepertinya ia sedang merencanakan untuk kuliah kemana gitu," jelas Melati.

"Oh, koq aku nggak tahu ya?" gumam Anton.

"Syukur deh kalau kamu nggak tahu," Dina menghela nafas.

"Lho, koq gitu?" Anton nggak ngerti.

"Itu artinya kamu emang sudah normal sekarang, nggak jalan ama cowok," ledek Dina sambil terkekeh-kekeh.

"Wanjir!" Anton tertawa seketika. Melati dan Dina ikut tertawa.

"Eh, tapi beneran Johan sebegitunya? Perasaan selama ini yang selalu ngomongin tentang masa depan aku deh," celetuk Anton kemudian.

"Dibilangin koq. Dia akhir-akhir ini mulai bicara soal kuliah, soal pekerjaan, soal masa depan. Sepertinya ada sesuatu yang mengubah dirinya," jelas Melati. "Kamu masa' nggak ngerti? Kan kamu sahabatnya."

"Yee, setiap sahabat nggak harus tahu apa yang ada pada diri sahabatnya kan? Bisa jadi mungkin Johan memang tak mau menceritakannya. Dan aku bisa mengerti itu. Johan itu orang yang paling dekat ama bapaknya, pasti dia baru saja dinasehati ama bapaknya tentang sesuatu hingga seperti itu atau jangan-jangan ini semua karena ulahmu, Mel!" Anton berkesimpulan sendiri.

"Karena aku?" Melati nggak ngerti.

"Iyalah cyiin! Coba kamu ingat-ingat, bagaimana ngebetnya ia kepingin dapetin kamu sampai rela babak belur dihajar ama cowok mantannya. Dia juga rela minta maaf ke orang-orang yang dia sakiti. Apa itu nggak salah satu alasan yang kuat?" tanya Dina dengan wajah serius.

"Yaahh... entahlah," Melati mengangkat bahunya.

"Coba deh kamu pikirin sendiri! Memangnya Johan berubah sedrastis itu karena siapa?" Dina menekan Melati lagi.

"Aku mana tahu hal itu," Melati menggeleng.

"Yang jelas, aku senang kalau Johan berubah menjadi orang yang lebih baik daripada nggak?" Anton menghela nafas lega. "Aku juga mengerti bahwa sebenarnya Johan sungguh-sungguh jalan denganmu."

"Emangnya Johan ngomong apa ke kamu?" tanya Melati.

"Setelah dia nembak kamu setelah pertandingan futsal itu dia bilang gini ke aku, 'Aku akan berhenti berpetualang Ton. Kukira Melati adalah orang yang akan aku cintai selamanya. Dia sudah ada di hatiku sekarang ini'. Begitu!" jelas Anton.

Dina mengacungkan jempol ke arah Melati, "Berarti beneran kamu mengubah Johan sampai seperti ini."

Melati hanya nyengir. Mukanya memerah, ia tak pernah menyangka dia bisa jadi acuan penyemangat seseorang untuk berubah menjadi baik. Hanya saja ada sesuatu yang salah. Tapi Melati tak tahu apa itu. Melati masih ingat ciuman pertamanya dengan Johan tadi malam setelah mengajak mereka jalan. Johan mencium bibirnya yang manis. Itu memang ciuman pertama, memang ciuman yang penuh perasaan bagi Johan, hanya saja Melati tak merasakan apapun. Bukannya senang atau bahagia, rasanya hampa. Apakah Johan ini cinta sejatinya? Atau bagaimana? Ia sendiri tak mengerti akan dirinya sekarang. Dia hanya pasrah untuk menjalani saja semuanya. Mungkin karena ia tak pernah mengenal cinta selama ini sehingga tak pernah ada perasaan cinta tumbuh di hatinya. Baru kali ini ada yang mencintai dirinya, tapi ia sendiri tak tahu bagaimana mengekspresikan perasaan cinta itu. Bahagia? Sedih? Atau bagaimana? Dia hanya mempelajari bagaimana orang yang jatuh cinta dari novel-novel romantis, atau dari sinetron-sinetron dan film-film, Melati tak pernah tahu bagaimana rasanya jatuh cinta.

"Begini, aku boleh jujur nggak?" tanya Melati tiba-tiba.

"Ada apa?" tanya Dina. "Ada sesuatu kah?"

Melati mengangguk. Anton menyimak.

"Anton boleh tahu?" tanya Dina.

"Iya, nggak apa-apa. Asalkan Johan nggak tahu aja," jawab Melati. Dia merapatkan cardigannya. Semua orang mengangguk. Anton ditatap matanya oleh Dina, merasa bahwa cowok ini pasti akan membocorkan apa yang dibicarakan hari ini ke Johan.

Merasa tak enak, Anton kemudian membela dirinya, "Kamu percaya deh ama aku. Sekali pun Johan itu sahabatku, aku tidak akan mengatakan apa yang kita bicarakan hari ini."

Dina menghela nafas lega. Namun masih tersirat rasa tidak percaya di wajahnya.

"Rasanya jatuh cinta itu seperti apa sih?" tanya Melati.

DUERRR!

Tentu saja bagai sebuah petir menyambar di siang hari, ucapan Melati ini membuat Dina dan Anton bengong. Mereka bingung bagaimana ucapan ini bisa terucap dari seorang yang sudah menerima tembakan dari cowok lain? Ini ada yang tidak beres.

"Kamu nggak kenapa-napa kan?" tanya Dina. "Nggak kejedot tiang listrik kan? Nggak salah minum obat? Nggak kena tampol jin?"

"Hei, aku baik-baik saja!" kata Melati. "Aku tanya itu karena aku ingin tahu dari kalian. Kalian kan udah pacaran, masa' nggak ada rasa lovey dovey-nya? Aku ingin tahu hal itu. Sebab aku tak pernah merasakannya saat bersama Johan," jelas Melati.

Dina dan Anton saling berpandangan. Mereka berdua kemudian bersandar di kursi masing-masing. Bingung, iya tentu saja bingung bagaimana menjawab pertanyaan ini.

"Ehmm... emangnya selama ini yang Johan lakukan buatmu apa, Mel?" tanya Dina.

Melati mulai bercerita, "Johan itu orangnya ramah, lembut, baik. Bahkan ia sangat khawatir kepadaku. Ketika kami jalan tapi aku nggak pakai jaket dia ngasih aku jaket. Dia terkadang ngasih aku bunga. Dia juga ngasih aku kado coklat, kadang juga pas jalan dia megang tanganku biar nggak lepas. Pas makan di kafe juga dia mempersiapkan kursinya untukku. Dia tak pernah memaksakan sesuatu. Dia itu.... apa ya... pokoknya memperlakukanku seperti putri raja."

"Waduh, aku nggak pernah digituin ama cowok jelek ini," Dina mencubit lengan Anton.

"Njir! Aku pernah lho," Anton memprotes.

"Udah, udah. Mau lanjut nggak nih?" tanya Melati.

"OK, Mel. Menarik nih. Teruskan!" pinta Dina.

"Aku sering dikirimi SMS rayuan dari Johan, bahkan bisa jadi ia perayu ulung. Tapi sama sekali itu tak membekas di hatiku. Aku sendiri tak tahu perasaanku kepadanya. Kalau dikatakan cinta, mungkin iya. Tapi perasaan itu seperti apa sih? Aku sekarang tak tahu bagaimana mengungkapkan perasaanku kepadanya. Selama ini ia selalu bilang cinta, aku hanya membalas 'iya aku juga'. Tapi aku tak tahu apakah itu dari hatiku atau tidak. Apakah kalian pernah merasakan perasaan seperti itu?" Melati menghela nafasnya. "Aku sekarang bingung. Ada yang bisa jelaskan kepadaku seperti apa perasaan cinta itu? Aku belum pernah merasakan jatuh cinta."

Anton mengangguk-angguk. Ia sepertinya faham apa yang sedang terjadi kepada Melati. Melati sedang mengalami masa di mana ia baru mengenal cinta, terkadang hati bingung ketika merasakan hal ini. Anton kemudian bertanya, "Apakah seandainya Johan sakit, kamu akan berada di sampingnya?"

Melati mengernyitkan dahi, "Kenapa tanya begitu?"

"Udah jawab aja!" ujar Anton.

"Iyalah, aku akan ada di sampingnya," jawab Melati.

"Kalau misalnya rasa sakit itu dipindahkan ke dirimu kamu mau?" tanya Anton sekali lagi.

"Mmm... mungkin," jawab Melati.

"Kamu mau berkorban untuk dia, kamu khawatir kepadanya, kamu merasa ingin selalu bertemu dengannya itulah yang namanya cinta, Mel!" jelas Anton. "Kadang cinta itu datang dalam bentuk rasa kagum, dalam bentuk rasa kasihan, rasa penasaran dan terkadang dalam sebuah tatapan."

"Oh, begitu," gumam Melati.

"Kamu tumben pinter amat," ejek Dina sambil nyengir.

"Ah, udah biasa itu," Anton membetulkan kerah bajunya.

Melati mulai berpikir apakah dia memang punya perasaan seperti itu kepada Johan. Mungkin iya.

"Kamu pernah merasakan hal seperti itu?" tanya Anton.

"Mungkin pernah," jawab Melati.

"Dari tadi mungkin melulu," ujar Dina.

"Entahlah," Melati menghela nafas.

"Begini saja deh. Kamu kalau memang tak ada sesuatu yang KLIK sama Johan sebaiknya kamu sudahi saja hubungan ini," ujar Anton.

"Lho, koq gitu?" Dina memprotes.

"Iyalah, soalnya Johan itu orangnya tak suka dikecewakan," ucap Anton. "Tabiat anak itu seperti itu. Sebelum terlambat, hendaknya kamu jujur saja ama Johan. Tapi kalau kamu menganggap Johan adalah lelaki yang pantas buatmu, bertahanlah! Aku yakin perasaan itu suatu saat akan tumbuh. Sebab kalau Johan sudah berubah jadi baik seperti ini kemudian kamu putusin aku takut dia akan jadi cowok brengsek lagi."

Melati mengerti apa yang diucapkan Anton. Ia merasa serba salah. Ia kemudian berkata, "Kalian mau kan menyembunyikan ini dari Johan?"

"Iya, kami tak akan bilang ke dia," ucap Dina. Anton pun mengangguk.

"Ah, syukurlah," Melati menghela nafasnya. Dia bersandar di kursi sambil menatap ke pohon kaktus yang ada di belakang Anton.

"Ah, aku ambilin kamu minum dulu yah?!" Dina beranjak dari tempat duduknya menuju ke pantry.

Sambil membuat minuman yang sama dengan apa yang diminum oleh Anton dan dirinya, Dina bersenandung. Ia juga berpikir tentang apa yang dikatakan oleh Melati. Ia bisa memaklumi sahabatnya itu. Sebab sejak dulu belum pernah mengenal yang namanya cinta, jadi wajar saja kalau Melati berkata seperti itu. Setelah menyeduh teh, Dina kemudian melihat ke sebuah tanaman anggrek yang tergantung di tembok. Bunganya tampak layu.

"Wah, maaf. Kamu sepertinya sakit ya?" tanya Dina kepada bunga anggrek yang mahkota bunganya berwarna ungu.

"Udara di dalam sini kurang lembab Dina, aku jadi layu," jawab bunga anggrek.

"Oh, begitu. Mungkin karena akhir-akhir ini suhunya panas ya?" gumam Dina. Ia kemudian mengambil penyemprot air lalu menyemprotkan air ke bunga anggrek tersebut.

"Ehm... koq Kapten Bumi tidak datang hari ini?" tanya bunga anggrek.

"Ada koq. Dia ada di depan sana," jawab Dina.

"Tapi aku tak merasakan kehadirannya, Dina. Kamu yakin dia ada di sini?"

Dian mengernyitkan dahi. Dia menoleh jauh ke tengah House of Flower. Di sana tampak Anton sedang berbicara dengan Melati tentang suatu hal. Dina tak bisa mendengarnya.

"Ada koq, aku yakin itu dia," ucap Dina.

"Tapi kami tak merasakannya Dina, kamu beneran melihat Kapten Bumi? Kalau melihat sampaikan salamku kepadanya yah!?" ucap bunga anggrek.

"Ya, akan aku sampaikan," ujar Dina. Sampai di sini hati Dina mulai resah. Tak mungkin bunga-bunga ini berbohong. Ada sesuatu yang aneh dan ia harus memastikannya untuk kedua kali. Dia segera bergegas membawa minuman buatannya kembali ke tengah rumah kaca.

Melati dan Anton tertawa terbahak-bahak ketika Dina sampai di sana. Mereka sepertinya baru saja bercanda hingga sebegitunya tertawa. Tapi Dina tak mau penasaran dengan apa yang mereka candai, ia lebih penasaran apakah benar Anton ini si Kapten Bumi?

"Kapten Bumi!?" sapa Dina kepada Anton. Ia sangat berharap Anton tahu apa yang dia maksud.

Anton bengong, ia menoleh kiri kanan kalau-kalau Dina bicara dengan orang selain dirinya, "Kamu ngomong ama aku?"

"Eh, tidak. Tidak koq. Aku hanya bergumam aja," ucap Dina. Dia mengutuki dirinya sendiri sekarang.

Melati sepertinya mengerti apa maksud Dina. Ia pun kemudian bertanya kepada Anton, "Oh ya, kamu pernah main-main jadi superhero nggak waktu kecil dan ngalahin anak-anak nakal?" Pertanyaan Melati terlalu to the point.

"Oh, iya dong. Pernah," jawab Anton. Dina dan Melati tampak lega mendengarnya. Hilang keraguan dari hati Melati. Namun keraguan lainnya datang dan Melati tak menyadarinya. "Aku sejak kecil suka berantem, sama Johan juga tentunya."

"Baju supehero-mu masih ada?" tanya Dina.

"Nah itu dia, masih ada tapi mungkin sudah tertumpuk di kardus-kardus yang ada di gudang," ujar Anton. "Oh, aku jadi heran kenapa kamu tanya itu?"

"Itu karena...," Melati ingin menjelaskannya tapi Dina menahannya.

"Aku ingin tahu aja. Bagus deh kalau kamu memang punya. Artinya masa kecilmu bahagia," jelas Dina.

"Yah memang sih. Tahu nggak kalau Johan itu berbohong?" celetuk Anton tiba-tiba.

"Berbohong? Berbohong apa?" tanya Dina.

"Dia juga punya baju superhero, tapi dia kemudian nggak mau memakainya lagi. Katanya norak, malu-maluin dan dia kemudian tak lagi memakai baju itu," jelas Anton.

"Oh ya? Trus bajunya seperti apa?" tanya Dina.

"Entahlah, yahh... mungkin standar bajunya pake jubah, tahu sendiri kita sangat senang ama tokoh Superman waktu itu. Hanya saja dia bikin sendiri lambangnya pake huruf E seperti sebuah emblem," ucapan Anton ini membuat jantung Dina tertohok dengan sangat keras. Dan selama seminggu inilah Dina galau tiada henti. Namun hal itu disembunyikannya dari siapa pun termasuk Melati.

Dina menatap ke arah Johan. Dia sekarang penasaran dengan cowok yang ada di hadapannya ini. Ada sebuah perasaan aneh menyelimuti dirinya, perasaan bahwa dia sudah salah memberikan perasaannya kepada Anton. Bukan Anton yang dicarinya selama ini tapi Johan. Tapi kenapa Johan tidak mengakui kalau dia pernah jadi Kapten Bumi, kalau dia pernah punya baju model superhero seperti itu. Apa alasan Johan berbuat seperti itu? Dina sama sekali tak habis pikir. Tapi kalau semisal Johan memang Kapten Bumi trus kenapa? Ia tak mungkin memutuskan Anton begitu saja. Terlebih Anton sudah baik kepadanya selama ini. Menjaganya selama ini membantu dia juga selama ini.

Yang diinginkan Dina hanyalah bertemu dengan Kapten Bumi dan mendapatkan cinta dari bocah kecil itu. Tapi sepertinya dia salah pengertian. Bukan Anton yang dimaksud sebagai Kapten Bumi. Dia tidak menyalahkan para tanaman yang memang tidak bisa melihat, mereka hanya mengenali dari bau yang ada pada tubuh mereka. Karena bagi mereka bau setiap manusia sangat unik. Dina memperhatikan Johan dengan seksama. Apakah karena sikap jelek Johan yang membuat dia merasa langsung menilai bahwa Anton adalah bocah yang selama ini dicarinya? Tapi itu sekali lagi tidak mungkin. Jelas sekali Johan tahu bahwa Dina bertanya kepada Johan tapi kenapa cowok ini tidak menjawab dan menyembunyikannya? Apa yang sedang terjadi sebenarnya?

* * *

Johan sekali lagi jalan dengan Melati. Mereka sedang berada di bioskop menonton film drama yang bikin air mata mereka meleleh. Uniknya Johan malah asyik bermain ponselnya. Melati yang mengeluarkan air matanya gara-gara film yang diputar tampaknya jadi ilfil.

"Sayang, kamu apaan sih? Koq aku lagi nangis direkam?" tanya Melati jengkel.

"Tahu nggak, Mel? Kamu itu sedih, ketawa, senang, jutek, bahagia tetep cantik. Aku sampai heran kamu ini manusia apa bidadari sih?" rayu Johan.

"Gombal!" kepala Johan ditemplok dengan telapak tangan Melati.

Mereka berdua lalu tertawa bersama. Johan kemudian kembali menonton layar lebar yang sedang memutar sisa-sisa film yang sebentar lagi berakhir. Melati kemudian memeluk lengan Johan lebih erat. Johan memang sedikit menggombal, tapi entah kenapa tak ada rasa getaran di hatinya. Semuanya serasa biasa. 


Dari author:

Sorry kalau alurnya lambat, tapi sebenarnya juga nggak lambat. Saya mencoba semaksimal mungkin memberikan yang terbaik dalam cerita ini. Setiap susunan kata dan hurufnya akan saya coba untuk lebih baik lagi. 

Dan jangan lupa vote yah, biar cerita ini bisa bertengger masuk ke cerita terbaik. Kalau kalian suka cerita ini bagikan, share ke semua orang! 

Dan jangan pernah untuk Copy PASTE cerita ini karena aku akan sedih banget. 

Kita belum sampai di bagian SHEILA nih. Perjalanannya masih panjang. Bagian SHEILA nanti sedikit lebih panjang. Dia punya cerita khusus, sebagai seorang yang memang tercipta hanya untuk Kapten Bumi. 

So any typos? ;)


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top