31 | Secangkir Kopi dan Hujan - Epilog (End)

Secangkir kopi pahit yang tergeletak di atas meja kerja mulai dingin. Hujan turut mempengaruhi menurunya suhu pada isi cangkir. Aku sekarang berada di antara tumpukan naskah-naskah yang beberapa hard disk portable yang mana ini adalah pekerjaanku ketika sore hari. Setelah menerima berkas dari tim kerja, aku pun mulai mengoreksi satu per-satu naskahnya dan juga file-file hasil editan film. Selain tumpukan naskah dan hard disk, ada sebuah foto keluarga. Ya, foto keluargaku. Aku telah dikaruniai dua orang anak, semuanya laki-laki. Dan satu lagi sedang di dalam kandungan istriku. Menurut hasil USG berjenis kelamin perempuan. Semoga saja. Karena dua jagoan yang sudah ada sekarang ini sedang ngebet ingin punya adik perempuan.

Kulihat hujan makin deras mengguyur kota ini. Apakah ini akibat sudah menyebarnya lagu hujan? Tercatat curah hujan makin tinggi setelah Sheila menerbitkan lagunya itu. Entah bagaimana lagu ciptaannya itu begitu ajaib sampai membuat fenomena yang tidak biasa. Waktu sudah menunjukkan pukul 00.00. tepat tengah malam dan aku masih belum mengantuk.

Aku tutup laptopku, kuakhiri saja pekerjaanku hari ini. Sheila tiba-tiba sudah berdiri di pintu ruang kerja.

"Sudah capek?" sindirnya.

"Hahaha, kamu sendiri koq belum tidur?" tanyaku.

"Bagaimana bisa tidur? Nggak ada yang meluk," jawabnya manja. Ia pun menghampiriku kemudian memelukku.

"Koq tiba-tiba manja seperti ini?" tanyaku.

"Entahlah bawaan orok mungkin," jawabnya.

Kami berdua memandangi pekarangan yang diguyur hujan dari kaca jendela. Sheila mengelus-elus perutnya yang sudah membuncit.

"Menurutmu, siapa kira-kira di antara kedua anak kita yang bakal menjadi Geo Streamer?" tanya Sheila.

"Hmm... entahlah, sudah dua krucil tapi belum ada tanda-tandanya," jawabku.

"Atau jangan-jangan yang ini?" tunjuk Sheila ke perutnya.

"Koq malah kamu yang lebih tertarik?" tanyaku.

"Penasaran saja mas. Ketika pertama kali aku bertemu denganmu tak ada pita suara warna-warni yang muncul. Dan sekali muncul langsung berpendar ke mana-mana," jawab Sheila. "Bahkan sampai sekarang. Warna pita suara mas beda."

"Masa' sih?"

Sheila mengangguk mantab.

"Yah, apapun itu kita harus syukuri. Kamu sudah siap menerimaku sebagai seorang Geo Streamer?" tanyaku lagi kepadanya. Terus terang pertanyaan ini sangat berarti bagiku.

"Aku mencintaimu siapapun dirimu. Dan sebagaimana janjiku kepadamu, engkau tidak sendirian. Engkau sakit aku juga akan merasakannya. Engkau sudah menunjukkan lukamu kepadaku, aku juga sudah menunjukkan lukaku kepadamu. Kita sekarang telah menerima apapun yang ada pada diri kita masing-masing. Perjalanan kita masih jauh. Engkau seorang Geo Streamer atau bukan aku tak peduli. Sebab bukan itu yang aku cari dari hubungan ini.yang aku cari adalah seseorang yang mau menerimaku apa adanya," jawab Sheila.

Jawaban itu cukup bagiku.

Kami masih berdiri sambil melihat hujan. Entah sampai kapan berkah dari langit ini akan terus mengguyur bumi. Yang jelas, bumi sekarang lebih senang mendapatkan air sebagai sumber kehidupan.

* * *

EPILOG

Setahun kemudian di Pulau Merah.....

Aku duduk di atas karang. Aku melihat hamparan laut yang luas. Di sini aku punya sebuah urusan yang sebenarnya harus aku selesaikan sejak lama. Aku telah melihat berbagai tempat di bumi ini di dalam ruangan hijau. Hanya saja, untuk menemukan tempat ini aku harus mengingat-ingat sendiri petunjuk-petunjuk yang diberikan bumi kepadaku.

"Bumi, aku tahu di sini tempatnya. Bicaralah!" kataku.

Angin serasa berhenti. Deburan ombak yang sejak dari tadi bergemuruh kini berhenti. Apakah aku sekarang sudah masuk lagi ke ruangan hijau? Nyatanya tidak, aku masih duduk di atas karang. Aku melihat sekeliling, tak ada yang berubah. Hanya saja keadaan menjadi sedikit aneh. Seekor burung camar tampak terbang di angkasa, hanya saja tidak sembarangan terbang. Hewan itu berhenti begitu saja seperti lukisan.

Apa yang terjadi?

"Johan?" sebuah suara mengejutkanku.

Aku berbalik dan mendapati sesuatu berdiri di sana. Sesosok makhluk jakung tanpa wajah, dengan tangan panjang menjuntai. Tubuhnya berwarna hitam dan mengkilat. Dia tampak lebih seperti alien yang digambarkan di film-film. Hanya saja tanpa wajah.

"S-siapa?" tanyaku.

"Engkau sudah menemukanku, akulah salah satu kesadaran bumi. Apa yang ingin kamu tanyakan kepadaku?" ujarnya.

Aku menelan ludah. Tentu saja, ini sesuatu yang tidak pernah aku sangka sebelumnya. Aku bertemu dengan kesadaran bumi. Sekarang aku harus mempersiapkan pertanyaan yang paling baik agar aku mendapatkan jawaban yang paling baik. Apa yang disampaikan oleh bapak memang benar. Ada kesadaran bumi yang tersebar di banyak tempat di planet ini. Dan tugasku adalah menemui mereka satu persatu.

Kalau usiaku tidak cukup untuk menemui mereka semua, paling tidak anak-anakku suatu saat nanti bisa melakukannya. Sekarang, apa yang ingin aku tanyakan?

==============

dari author:

Huaaaahhh.... akhirnya selesai juga. Endingnya aku buat open. Siapa tahu suatu saat nanti aku mau melanjutkan. Huu sok atuh... hehehehe

Maaf kalau ceritanya sedikit berantakan. Tapi jujur, bercerita dengan model seperti ini adalah hal yang baru bagiku sendiri. Aku sudah berusaha yang terbaik, walaupun masih ada kekurangan di sana-sini. 

Terima kasih atas semua pembaca. Tanpa kalian cerita ini tak akan ada apa-apanya. Dan terima kasih yang sudah mengoreksi segala macam typo dan kalimat-kalimat aneh. 

Apakah petualangan Johan akan berlanjut? Kita lihat saja yah. hehehehe

Semoga kalian puas ama ending dan ceritanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top