3| House of Flower


Tak banyak manusia yang menyukai bunga, jenis mereka, mengetahui bagaimana mereka hidup dan tentu saja berbicara kepada mereka. Setidaknya andai semua kehidupan sesimple menyapa "hai apa kabar?" maka tentunya hal itu akan dilakukan oleh Dina terus menerus. Hanya saja ia tak pandai untuk berbicara terutama kepada seseorang yang disukai oleh bunga-bunga. Dina adalah sesosok gadis yang unik, sebenarnya ada banyak gadis yang unik, namun Dina lebih unik. Dia bisa berbicara dengan bunga dan tanaman, terlebih bunga-bunga yang ada di dalam rumah kacanya.

Orang-orang hanya mengernyitkan dahi ketika seorang Dina dengan telaten bersedih karena salah satu tanaman bunganya mati. Ia bahkan sangat gusar ketika ada hama tanaman yang menyerang bunga-bunganya. Ia bahkan tak pernah menerima kursus tertentu untuk bisa merawat tanaman-tanaman yang ada di dalam rumah kacanya. House of Flowers itulah nama papan nama yang terpampang di pintu masuk rumah kaca miliknya.

"Apa kabar mawar?" sapa Dina pada suatu pagi.

"Pagi Dina," jawab Sang Bunga Mawar. Bunga mawar berwarna putih baru saja mekar pagi ini. Dan Dina menyirami tanaman ini. Iya, bunga mawar yang ada di hadapannya ini bisa menyapanya dan hanya Dina yang mengetahui apa yang mereka ucapkan dan rasakan.

"Cantik sekali kamu hari ini," puji Dina sambil menyentuh mahkota mawar putih.

"Terima kasih atas pujiannya," jawab Bunga Mawar Putih.

"Dina, apa yang akan kamu ceritakan kepada kami hari ini?" tanya Bunga Dahlia.

"Hmm.... apa ya? Entahlah, semoga cerita-cerita yang menarik seperti biasanya," jawab Dina.

"Ngomong-ngomong, kamu sudah tahu siapa 'kapten bumi' yang dulu itu?" tanya Bunga Melati.

"Entahlah, sampai sekarang aku tak menemukannya. Tapi apakah kalian bisa mengenalinya ketika dia bertemu lagi dengan kalian?" tanya Dina.

"Wah, tentu saja!" sahut Bunga Mawar Merah.

"Iya tentu saja!" sahut bunga-bunga yang lain.

"Dia adalah anak spesial yang langsung bisa bersahabat dengan kami," jawab Bunga Mawar Putih.

Dina tersenyum. Andai saja semua orang mempunyai kemampuan seperti yang Dina miliki maka seluruh orang yang ada di bumi akan tahu bagaimana perasaan tanaman-tanaman yang ada di rumah kacanya. Mereka kadang bersedih dengan pencemaran udara, bahkan mereka sendiri tidak suka kalau ada polusi. Mereka sangat bersyukur mempunyai orang seperti Dina yang selalu merawat mereka. Dina sendiri baru menyadari kemampuannya ini ketika masih kecil. Lalu siapa kapten bumi yang dimaksud?

Pikiran Dina kembali kepada ketika ia masih kecil. Saat itu ia masih baru saja bermain-main dengan kemampuan barunya. Dina sedang menanam bunga waktu itu, ia sangat senang menanam bunga dan merawatnya. Terlebih bunga-bunga di taman yang tidak terawat dengan baik. Dina selalu menyempatkan waktu untuk merawatnya, memberinya air hingga banyak bunga-bunga yang berterima kasih kepadanya. Ia cukup sebel dengan anak-anak nakal yang merusak bunga-bunga itu, terlebih para pengunjung taman yang menginjak-injak bunga hingga banyak di antara mereka yang mati. Dina sendiri menangis ketika bunga-bunga itu menangis, hanya dia saja yang bisa mendengar bunga-bunga itu menangis ketika diperlakukan seperti itu.

Suatu ketika dia berjumpa dengan sebuah peristiwa yang tak akan pernah ia lupakan dalam hidupnya. Di mana ia bertemu untuk pertama kalinya dengan Kapten Bumi. Anak-anak bermain di taman seperti biasanya, namun ada beberapa anak-anak nakal yang merusak tanaman-tanaman. Entah apa mau mereka. Dina menjerit ketika ia mendengar salah satu dari tanaman-tanaman itu dirusak.

"Tolooongg jangaaan!" teriak salah satu tanaman.

"Hei kalian!" tiba-tiba Dina dikejutkan oleh teriakan seorang anak kecil yang menghardik anak-anak nakal lainnya.

Dina pun ingin tahu siapa yang mencegah anak-anak nakal tersebut. Dia pun melihatnya dari jauh, seorang anak kecil dengan baju seperti superheroes. Ada sebuah jubah berwarna merah ada di punggungnya. Baju superheroes seperti superman, namun ada hal yang menonjol berbeda dari superman biasa. Baju itu sepertinya dijahit sendiri. Ada sebuah simbol seperti huruf E yang berada di tengah sebuah emblem. Apakah anak itu membuat baju sendiri? Tidak mungkin, pasti kedua orangtuanya yang membuat itu.

"Kalian tidak boleh melakukannya! Kasihan tanaman-tanaman itu tauk!?" seru si anak kecil.

"Emangnya apa urusanmu?!" tanya salah satu anak-anak nakal yang bertubuh paling besar. Mereka berjumlah 5 orang.

"Tentu saja ini urusanku, aku Kapten Bumi manusia super pelindung bumi!" kata anak kecil super tadi sambil berkacak pinggang sambil menggaruk-garuk hidungnya. "Kalau kalian masih merusak tanaman-tanaman yang ada di tempat ini aku akan menghajar kalian semua."

"Hahahahahaha," anak-anak nakal pun tertawa melihat keberanian si bocah kecil tadi.

"Baiklah, sepertinya aku harus menghajar kalian!" ujar Si Kapten Bumi.

"Apa yang akan kamu lakukan? Kamu cuma sendirian. Mau melawan kami??" ejek salah satu anak-anak nakal.

Tiba-tiba Si Kapten Bumi menerjang tubuh si besar. Dia langsung menggigit tangan bocah besar tersebut. Bocah itu pun langsung menjerit dan menangis. Si Kapten Bumi pun langsung beralih ke yang lain dan mendorongnya. Ia lalu mengambil kerikil lalu melempari bocah-bocah nakal tadi. Si Kapten Bumi bagaikan singa kelaparan. Ia sangat gesit bahkan berkali-kali akan ditangkap ia bisa meloloskan diri dengan mudah berkelit kesana-kemari. Si Kapten Bumi mengaum seperti singa, ia seperti hendak menakut-nakuti anak-anak nakal tadi, ternyata berhasil.

"Lari! Lari!" seru anak-anak nakal tadi. Mereka pun lari terbirit-birit melihat kebrutalan Si Kapten Bumi.

Dina tersenyum melihat kejadian itu. Si Kapten Bumi, nama yang akan diingatnya. Si Kapten Bumi kemudian mengambil sebuah selang air yang ada di taman, setelah itu ia putar kran airnya. Disiraminya seluruh bunga-bunga yang tadi diinjak-injak oleh anak-anak nakal tadi. Setelah selesai dikembalikannya selang itu dan dimatikan airnya.

"Maaf ya kawan-kawan. Aku ingin bicara dengan kalian lebih banyak tapi aku sibuk. Sampai nanti! Tugasku di sini selesai," ujar Si Kapten Bumi. Kemudian dia membuat pose seolah-olah ingin terbang, lalu ia pun berlari pergi dari tempat itu.

Dina menghampiri bunga-bunga yang disirami oleh Si Kapten Bumi. Ia menggumam, "Kapten Bumi? Nama yang unik. Aku akan mengingat peristiwa ini."

Dina sudah bertahun-tahun tidak bertemu dengan anak kecil tersebut. Ia bahkan sudah putus asa. Anak kecil itu tidak pernah lagi muncul di taman setelah itu. Dia bahkan sudah lupa bagaimana wajah anak kecil itu. Untuk mengenalinya ketika dewasa pun rasanya sulit. Tapi bunga-bunga akan mengenali langsung ketika bertemu lagi dengan anak itu. Mereka bukan makhluk seperti manusia yang mudah lupa, bunga-bunga memiliki memori yang lebih kuat dari manusia pada umumnya. Kabar tentang Kapten Bumi pun tersebar luas oleh angin. Angin membawakan kabar itu dari satu bunga ke bunga lain. Mereka kompak menyebarkannya seperti broadcast radio ataupun televisi. Mereka merasa Kapten Bumi ini bukan anak biasa. Ada sesuatu yang mereka rasa berbeda daripada manusia pada umumnya. Sesuatu yang lain.

Rumah kaca ini sebenarnya sudah cukup terkenal. Pembelinya beragam dan kebutuhan mereka juga beragam. Dina yang bisa berbicara dengan bunga, mencintai mereka dan menyayangi mereka, lalu bagaimana kalau bunga-bunga itu dipetik? Mereka bunga makhluk yang memiliki ruh, berbeda dengan manusia dan hewan yang memiliki ruh. Mereka tidak bisa membalas secara langsung kalau manusia berbuat jahat kepada mereka. Dan yang diinginkan mereka tidak setinggi keinginan manusia. Manusia bisa berkeinginan untuk menguasai manusia yang lain. Namun tidak bagi tanaman. Mereka lebih memilih untuk melindungi bumi, lebih memilih untuk memberikan kehidupan bagi makhluk lainnya. Mereka bisa merasakan sakit saat dipotong, saat diinjak, saat dicabut sampai ke akar-akarnya. Namun mereka akan mengijinkan siapapun yang berusaha dengan baik untuk mengambil sedikit bagian dari tubuh mereka. Dina selalu melakukan hal tersebut. Memang tidak biasa, tapi dia benar-benar melakukannya. Sebelum memotong bunga ia selalu berbisik kepada bunga-bunga itu untuk meminta bagian dari diri mereka dan kalau bunga-bunga itu menolak, maka Dina tidak bisa mengambilnya.

Memang agak rumit menjadi gadis yang bisa berbicara dengan tanaman. Terlebih kalau misalnya saja kemampuan ini diketahui oleh orang lain. Namun Dina merupakan orang yang pandai menyembunyikannya. Sampai sekarang tak ada yang mengetahui tentang kemampuannya ini.

Bicara tentang Kapten Bumi sang superhero kecil yang dulu menyelamatkan tanaman-tanaman di taman, Dina sangat terobsesi untuk mengejar dan ingin mencari tahu tentang anak ini. Ia pun menggambar banyak sekali emblem milik bocah kecil itu agar tak lepas dari ingatannya. Dia terus bertanya kepada tanaman-tanaman dan bunga-bunga apakah mereka tahu anak tersebut. Tidak ada kabar dan tidak ada yang tahu. Si Kapten Bumi seolah-olah pergi begitu saja, mungkin bagaikan pelangi setelah hujan. Keindahannya cuma sesaat. Namun Dina tak putus asa. Dia tahu bahwa tanaman-tanaman tak bisa melihat, mereka hanya bisa merasakan, hanya bisa mengingat dari bau manusia-manusia itu. Uniknya kerja tumbuhan-tumbuhan, mereka bekerja seperti jaringan internet yang saling terkoneksi dengan sangat rumit. Mereka berkomunikasi satu sama lain dengan perantara angin. Di mana angin berhembus, maka ke sanalah kabar itu disebar. Kabar tentang si Kapten Bumi terus disebarkan ke segala pelosok. Namun sampai sekarang tak ada kabar tentang bocah misterius itu. Dina hampir putus asa, tapi dia tidak menyerah. Semua pasti akan ada jalannya. Ia yakin itu. Terlebih ia merasa bahwa Si Kapten Bumi adalah soulmate-nya.

KLINTING! Bel rumah kacanya berbunyi. Seorang baru saja masuk. Lebih tepatnya dua orang.

"Jo, ngapain ke sini?" tanya Anton.

"Lah, ya beli bunga dong," jawab Johan.

"Ck, trik kuno. Siapa lagi nih?"

"Aprilia, aku mau ngajak dia kencan hari ini," Johan nyengir.

"Ealah, ya udah. Aku cuma bisa mengatakan semoga sukses," Anton menepuk pundak Johan.

"Justru itu masalahnya, kamu mau do'ain aku langgeng ama dia apa putus?" tanya Johan menyidik.

"Ya langgeng dong. Emangnya mau kamu kecewain dianya? Ingat lho, Aprilia itu ketua geng The Rose bisa disikat kamu ama anak buahnya!"

"Nggak takut. Kalau dia macem-macem ama aku ya aku akan kasih tahu kalau dia suka ama Hello Kitty, manja di depan orang tua, kekanakan dan kalau tidur masih ngemut jempol," Johan mencibir.

Anton langsung tertawa mendengarnya. "Hahahahaha. Serius?"

"Untuk orang yang pernah.... eh, Dina??" Johan terkesima ketika melihat Dina memandangi mereka berdua.

"Eh, lho? Dina? Kamu koq ada di sini?" sapa Anton dengan malu-malu. Tentu saja, dia sangat suka kepada cewek ini.

Dina menggeleng-geleng. "Dasar kalian ini. Tentu saja aku ada di sini. Tempat ini kan puyaku!"

Anton dan Johan saling berpandangan. Mereka sepertinya baru tahu kalau rumah kaca ini adalah milik Dina. Mereka lalu saling mengangguk.

"Kukira ini milik Nyonya Hartati," gumam Johan.

"Itu mamaku," terang Dina.

"Ooooo....," seru Anton dan Johan bersamaan.

"Ton!? Kamu koq masih mau aja sahabatan ama playboy cap kadal ini?" Dina berkacak pinggang.

"Hehehehe," Anton cuma mengangguk-angguk.

"Apaan sih? Kita udah soulmate Din. Jadi mau gimana lagi?" Johan merangkul Anton.

"Aku tak akan menjual bunga kepadamu Jo, kamu pasti akan gunakan untuk merayu cewek," Dina tampak merengut sewot. "Gila apa. Berapa perempuan lagi yang kamu permainkan?"

"Bukan urusanmu Din!" Johan nyengir. "Yang penting aku ke sini buat beli bunga dan bayar."

"Aku tak akan terima uangmu," ucap Dina.

"Ya udah deh. Ton, kamu aja yang beli!" Johan menepuk punggung sahabatnya.

"Lho? Koq aku?" protes Anton.

"Nggak, sama aja. Kalian berdua pergi aja deh. Toko bungaku nggak akan menerima pembeli seperti kalian!" Dina menggembungkan pipinya.

"Yaaah....!" Johan tampak kecewa.

"Dina! Dina! Dia si Kapten Bumi!" seru Bunga Mawar.

"Hah?? Siapa?" tanya Dina.

Johan dan Anton saling berpandangan. Ia merasa aneh dengan tingkah polah Dina yang tiba-tiba bicara sendiri.

"Kamu ngobrol sama siapa, Din?" tanya Anton.

"Nggak, nggak. Bukan siapa-siapa!" jawab Dina.

Bunga Mawar melanjutkan, "Mereka, salah satunya adalah Kapten Bumi. Kami memang tidak bisa melihat, tapi kami hafal dengan baunya. Si Kapten Bumi punya bau yang lain daripada yang lain."

Tiba-tiba saja Dina berdebar-debar. Ia melihat kedua pemuda yang ada di depannya ini dengan sedikit berbeda sekarang. Siapa? Anton ataukah Johan? Anton yang supel, Johan yang playboy. Siapa di antara keduanya yang disebut Si Kapten Bumi? Pikiran Dina pun terpenuhi dengan banyak pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa ia jawab sendiri.

Bunga-bunga ini tak bisa melihat. Bagaimana pun juga mereka makhluk yang tidak punya mata, namun mereka mempunyai memori yang sangat kuat dan juga bisa mencium sesuatu di dekat mereka. Mereka bisa merasakan sesuatu yang pernah mereka rasakan dan itu akan menempel kuat di dalam ingatan mereka. Sesuatu yang berbeda yang tidak dimiliki oleh manusia pada umumnya ada pada si Kapten Bumi. Tapi siapa?

"T-tunggu!" kata Dina tiba-tiba. "Aku akan menjualnya kepada kalian tapi jawab pertanyaanku!"

"Yap? Apaan?" tanya Anton.

"Siapa di antara kalian yang punya baju superhero?" tanya Dina.

"Pertanyaanmu aneh Din!" gerutu Johan.

"Sudah, jawab aja!" protes Dina.

"Ya nggak mungkinlah kami punya. Buat apa? Kayak anak kecil aja," jelas Johan.

"Maksudku ketika kalian kecil," kata Dina.

Anton dan Johan menerawang. Mereka manggut-manggut. Johan mengangkat bahunya, "Kayaknya aku nggak punya deh. Aku paling nggak suka baju-baju model superhero dengan jubah gitu."

Dina sekarang menatap Anton. Anton mengangguk, "Aku punya. Baju superhero ketika aku masih kecil emang sedang trend. Aku terkejut kamu nggak punya, Jo. Apakah ada yang salah dengan masa kecilmu?"

"Apa maksudmu?" Johan menatap Anton sambil mengangkat alisnya.

Anton nyengir. "Ayolah, pada waktu itu baju superhero dengan jubah sangat populer. Aku punya dengan jubah warna merah."

Tidak salah lagi! Pikir Dina. Dia Si Kapten Bumi. Anton adalah si Kapten Bumi.

"Emangnya, ngapain kamu tanya itu, Din?" tanya Anton.

"Eh, nggak. Nggak, nggak apa-apa koq," jawab Dina.

"Itu dia orangnya Dina!" seru Mawar Putih.

"Jadi kalian mau beli bunga apa?" tanya Dina.

Anton dan Johan berpandangan. Johan menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal, "Wanita emang aneh, tadi katanya nggak boleh beli. Sekarang tanya mau beli bunga apa? Gimana sih?"

"Kalian beli apa nggak?" suara Dina meninggi.

"Iya, iya, beli. Aku mau beli bunga mawar putih!" ujar Johan.

"Sekalian potnya, Din!" Anton menimpali.

Dina tersenyum. Sikapnya tiba-tiba berubah kepada Anton. Johan memberikan uang kepada Dina. Lalu ia menerima satu pot bunga mawar putih. Johan menerimanya dengan senang hati.

"Yep, sepertinya cukup," ujar Johan. "Makasih ya, Din. Besok-besok kalau aku butuh bunga mampir ke tempatmu aja deh."

"Udah sana pergi!" hardik Dina.

Johan berlari-lari kecil menuju pintu. Sementara Anton mengikutinya dari belakang.

"Eh, Ton!?" panggil Dina.

"Ya? Ada apa Din?" Anton langsung menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Dina. Johan ikut berhenti.

"Anu... ada beberapa soal kimia yang aku nggak tahu pemecahan masalahnya. Kamu bisa bantu??" tanya Dina dengan mengulum senyum. "Kalau bisa aku ingin kamu mengajariku, kukira kamu tahu banget tentang kimia."

Mulut Johan menganga. Anton apalagi. Ia tak percaya Dina memintanya. Meminta belajar bersama, hanya berdua, apakah ini artinya kencan? Wajah Anton langsung memerah.

"O-OK, a-aku bisa," Anton sendiri tak tahu kenapa dia jadi gugup.

PLAK! Johan menepuk pantat sahabatnya.

"Aku duluan nyet!" Johan segera pergi dari tempat itu. Sementara Anton masih terkesima dengan ucapan Dina barusan.

"Bagaimana?" tanya Dina.

"Ka-kapan?" tanya Anton.

"Besok malam?"

"OK, besok malam."

"Ya sudah. Aku tunggu besok malam yah?"

Anton mengangguk. "O-OK, besok malam." Ia kemudian mundur teratur sampai kemudian ia keluar dari pintu. Dina mengedipkan matanya kepada Anton, seketika itu Anton langsung berlari keluar. Dina tertawa.

"Dinaaaa!? Dia si Kapten Bumi!" seru bunga mawar merah.

"Iyaaa, aku tahu!" ucapnya. "Akhirnya aku bertemu dengan dia lagi. Hehehehe."

Hari itu tak ada yang tahu apa yang terjadi di House of Flower. Semua bunga menyanyi, semuanya tertawa ketika Dina bahagia. Mereka menyoraki Dina yang telah menemukan si Kapten Bumi yang selalu ia impikan. Ia tak menyangka hari ini tiba. Kapten Bumi pun akhirnya ketemu.

* * *

Anton dan Johan sedang berboncengan dengan sepeda motor meninggalkan House of Flower. Mereka melaju dengan kecepatan sedang menyelip di antara mobil-mobil yang melaju pelan. Anton tampaknya tak suka dengan posisinya sekarang. Ia berada di kursi belakang sambil membawa pot bunga mawar putih yang dibeli Anton tadi.

"Ugh, repot banget bawa sekalian potnya," ujar Anton.

"Udah nggak usah protes, nikmati saja tempat duduk sebagai penumpang. Emangnya kamu ingin aku nyetir sambil bawa pot bunga? Yang benar saja," kata Johan.

"Ngomong-ngomong, emangnya kenapa sih harus beli bunga sekalian potnya?" tanya Anton penasaran. Memang sahabatnya ini terkadang punya kebiasaan aneh.

"Aku dulu pernah bermimpi kalau bunga-bunga itu bisa bersedih kalau aku hanya membelinya cuma setangkai dan itu dipotong. Itu pun mimpi sampai berhari-hari. Aku akhirnya semenjak itu tak pernah lagi membeli bunga dengan memotong tangkainya. Aku lebih memilih membeli bunga sekalian aja dengan potnya. Agar aku bisa merawat bunga tersebut nantinya dan kemudian aku pelihara sampai bunganya mekar lagi," jelas Johan.

"Kamu ini terkadang aneh ya Jo," ujar Anton.

Johan hanya nyengir.

"Ngomong-ngomong kenapa Dina tanya tentang kita punya baju superhero atau nggak?" Anton menggaruk-garuk helmnya.

Johan mengangkat bahu. "Entahlah, aneh aja. Tapi.... kayaknya kalian bakal kencan nih. Hahahahaha"

Wajah Anton memerah. "Aku harus ngapain ya besok? Sialan. Jadi berdebar-debar gini."

"Hahahaha, dasar! Kayak nggak pernah kencan aja."

"Aku emang belum pernah, Jo. Kamu yang paling pengalaman di antara kita."

Johan hanya menyunggingkan senyumnya. Ia pun makin cepat menggeber motornya untuk bisa sampai ke rumah.

* * *

Anton duduk termenung di dalam kamarnya. Ia senyum-senyum sendiri mengingat kejadian hari ini. Sampai sekarang pun ia tak pernah mengerti kenapa Dina bertanya tentang baju superhero segala. Anton sudah mengenal Dina lama. Lebih tepatnya sejak SMP. Walaupun mereka satu sekolah tapi Anton tak pernah bertegur sapa. Namun di saat kelulusan SMP waktu itu ia menyesal sekali kenapa tak pernah menyapa wanita pujaannya itu dari awal. Ketika lulus Anton bertanya langsung kepada Dina, "Mau melanjutkan ke mana?"

"Ke Sekolah Internasional Manchurian," jawab Dina singkat.

Sebenarnya ini adalah percakapan perdana mereka setelah Anton selalu menahan diri. Tapi akhirnya kesampaian juga. Entah bagaimana dia spontan menyahut, "Aku juga mau ke sana."

"Sama dong!" ujarnya. "Tapi tesnya berat sih. Kalau lolos aja udah senang koq."

"Oh ya?" tanya Anton. Ia mengerti bahwa sekolah yang sangat difavoritkan di seluruh negeri itu akan menjaring siswa-siswa pilihan. Testnya katanya sangat berat, bahkan untuk remaja yang otaknya tidak encer seperti Anton akan sangat sulit untuk bisa masuk. "Aku sepertinya juga mau ke sana."

"OK, sampai ketemu di sana," Dina tersenyum kepadanya kemudian berlalu.

Anton yang saat itu terperangah dengan sikap Dina segera menggeret sahabatnya. Siapa lagi kalau bukan Johan.

"Jo, kamu mau ke SMA mana?" tanya Anton.

"Ke SMA Negeri. Gini-gini juga hasil ujianku tertinggi," jawab Johan berkacak pinggang sambil menggaruk-garuk hidungnya.

"Songong banget! Eh, aku mau ke SMA Internasional Manchurian," ujar Anton. "Kamu ikutan ke sana yah?"

"HAH??? Eh, gilak! Serius?" Johan terkejut.

"Iya, beneran. Pleeeaassee!!" Anton menyembah-nyembah. "Kan selama ini aku ngikutin kamu ke sekolah mana kamu berada. Kali ini kamu ikutin aku yah?"

"Ton, sebenarnya aku sih mau-mau aja. Cuman apa otak kamu sanggup menghadapi testnya?" pertanyaan Johan ini jelas membuat jleb.

"Yaahh.... nggak juga sih," jawab Anton lesu.

"Nah, sudah jelas 'kan?"

"Tapi aku akan berusaha Jo! Aku nggak akan menyerah. Pokoknya kita harus masuk ke sana!" Anton mengepalkan tangannya kemudian mengangkatnya ke udara.

"Parah nih anak. Terserah deh," ujar Johan. Dia tampaknya mengerti kenapa sahabatnya seperti ini. Apalagi kalau bukan karena Dina.

Anton terus merenung hingga ia lupa segala-galanya. Besok belajar bersama dengan Dina. Besok belajar bersama dengan Dina. Hanya itu saja di pikirannya saat ini. Dia selama ini khawatir kalau-kalau Dina sudah punya pacar dan itu sama saja dengan mengganggu hubungan orang lain. Tapi ketakutannya hari ini sepertinya sudah terjawab. Dina masih belum punya gandengan. Ia juga tak menyangka kalau selama ini Dina mempunyai rumah kaca yang sekaligus menjual tanaman di sana. Anton pun punya keinginan untuk bisa tiap hari dengan modus atau pun tidak pergi ke sana.

* * *

---------------

from Author:

Hei, kenapa ceritanya koq mengarah ke sini? :p

Sudah aku bilang di awal cerita ini agak beda dari cerita-ceritaku sebelumnya. Prolognya memang memberitahukan akhir perjalanan dari Johan. Tapi untuk menuju akhir ada sesuatu proses yang sangat luar biasa. Bagaimana sih hubungannya Johan, Anton, Sheila, Melati, Dina, Miss Yuli ama Aprilia? Koq bisa berakhir seperti di prolog?

Tetap ikuti. Karena kita masih menggerus jejak-jejak masa lalu yang ditinggalkan keduanya. Sampai sekarang saya belum menceritakan Sheila. Karena dia adalah gadis yang spesial.

Any typo?



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top