29 | Memoars

Pernikahan Zack dan Miss Yuni akan dilangsungkan sebentar lagi. Lebih tepatnya dua minggu lagi. Segala persiapan mulai dari tempat hingga segala tetek bengeknya sudah aku urus. Kenapa malah aku yang mengurusnya? Ah, hitung-hitung sebagai balas budiku kepada Zack yang telah berbuat baik kepadaku selama aku berada di Jerman. Seperti yang terjadi sekarang ini, aku berada di rumah sedang memeriksa berbagai tumpukan contoh surat undangan. Zack menyuruhku sebagai panitianya, otomatis aku benar-benar menjadi budak sampai pernikahan mereka berlangsung. Yang benar saja. Iya, yang benar saja. Demi apa aku berada di rumah sambil memilih-milih surat undangan yang ternyata entah bagimana Sheila mendapatkan contoh surat undangan dari teman-temannya. Banyak sekali ada kurang lebih sekitar 4 kardus dan semuanya tercecer dia atas meja. Andai saja kertas-kertas itu uang.

"Capek yah?" Sheila datang sambil membawa secangkir kopi panas dengan uap yang mengepul. Cangkir bergambar Zakumi itu tersaji di atas meja seolah-olah hendak memanggilku untuk segera menikmati isinya.

Aku ambil cangkir itu dan menyeruput isinya. "Rasanya luar biasa."

"Jadi pilih yang mana?" tanya Sheila sambil ikut membantuku untuk memilih-milihnya.

"Aku sendiri bingung, semuanya bagus," jawabku.

"Kenapa sih ikut repot-repot seperti ini? Bukannya lebih baik biar Onkel Zack yang memilihnya?"

"Kamu tahu sendiri bukan kalau beliau sudah berjasa sekali kepadaku, kepada kamu, kenapa kita tidak membalas jasa beliau selama di Jerman dulu?"

Sheila menyunggingkan senyum. Ia meletakkan contoh surat undangan yang tidak ia sukai ke bagian meja yang masih kosong, ia lalu memisahkan surat undangan yang ia sukai dan diletakkan ke samping tempat dia duduk.

"Kalau kerja satu orang lama, mendingan seperti ini aku bantu," ujarnya.

"Boleh," kataku.

Kami pun selama setengah jam memilah-milah contoh surat undangan itu hingga akhirnya aku dapat sepuluh terbaik, Sheila juga dapat sepuluh terbaik. Dari masing-masing yang kami pilih kemudian akhirnya jatuh kepada lima terbaik, setelah itu barulah dipilih yang paling baik. Akhirnya pilihan terakhir jatuh kepda surat undangan dengan bentuk seperti daun yang ketika membukanya akan muncul sebuah pohon besar dengan sepasang pengantin yang sedang bergandengan tangan. Whoaaah.... keren!

"Nah, ini kayaknya yang paling bagus menurutku," kata Sheila.

"Aku setuju," aku menyetujuinya. "Sebaiknya aku segera membawanya ke tempat percetakan untuk dicetak."

"Memang tempatnya sudah dipesan?" tanya Sheila.

"Sudah dong, sejak Onkel Zack melamar Miss Yuni ke orang tuanya ia sudah memikirkan tempat yang cocok untuk pernikahan mereka," jawabku.

"Ya sudah kalau begitu. Oh ya, hari ini kontrol kandungan yah, jangan lupa!" Sheila mengingatkanku sekali lagi. Iya, kami harus kontrol kandungannya.

"Aku tidak lupa koq," aku mengecup keningnya kemudian beranjak sambil membawa contoh undangan yang sudah kami pilih.

Ponselku tiba-tiba berdering. Aku segera melihat di layarnya siapa yang menelponku. Kulihat nama Miss Yuni. Aku mengernyitkan dahi, kenapa dia menelponku?

"Halo?" kuterima teleponnya.

"Halo, Jo?" sapanya di seberang sana.

"Ya?" jawabku.

"Bisa nggak kamu temui aku? Aku ingin kamu membantuku," katanya. Sepertinya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan tapi tidak di telepon dan itu sangat penting.

"Sekarang?" tanyaku.

"Iya. Aku tak ingin Zack tahu. Please, kamu cuma satu-satunya orang yang bisa aku ceritakan masalah ini," jawabnya.

"Baiklah, dimana?" tanyaku.

"Di kafe biasa saja. Aku tunggu ya," katanya. "Dan jangan bilang siapa-siapa. Ini soal aku dan anakku."

"Hah?" aku terkejut. Miss Yuni punya anak?

"Please jangan tanya. Ke sini saja!" pintanya.

"I-iya," jawabku kemudian menutup teleponnya. Segera saja aku pergi keluar rumah. "Aku pergi dulu keluar!" pamitku kepada Sheila.

"Hati-hati ya mas!" ujar Sheila.

* * *

Di kafe itu kulihat Miss Yuni duduk sambil memandangi kendaraan yang berlalu-lalang di jalan raya. Suasana seperti ini memberikan efek dejavu. Peristiwa yang seperti ini persis seperti pertama kalinya kami bertemu di kafe ini. Dia dengan segala kegalauannya menemuiku dan hari itu adalah hari di mana kita berdua untuk pertama kalinya akrab satu sama lain.

Aku datang kemudian duduk di depannya. Dia melihatku sambil tersenyum. Sebuah cincin di jari manisnya yang telah disematkan oleh Zack merupakan pertanda bahwa Zack benar-benar serius dengan perempuan ini.

"Makasih sudah datang," katanya.

"Kamu sama sekali tak pernah cerita tentang masalah anak," ujarku.

"Kita ngobrol di jalan saja," katanya. "Yuk! Cabut!"

"Ke mana?" tanyaku.

"Ke tempat Rama," jawabnya sambil mengambil tas yang ia bawa.

Akhirnya mau tak mau aku pun mengantarkan Miss Yuni menuju ke sebuah daerah di pinggiran kota Jakarta. Dan sepanjang perjalanan inilah Miss Yuni mulai menceritakan segalanya.

"Aku sebenarnya sudah lama kenal dengan Jamie. Rumah sakitnyalah yang menyembuhkanku dari depresi berat. Dan tentu saja, aku ternyata baru ingat tentang Sheila. Kami sepertinya berjodoh lagi. Aku kira aku melupakan semuanya ternyata tidak. Aku ingat setiap peristiwa yang aku alami detik demi detik. Sampai sekarang pun aku masih merasa bahwa apa yang aku alami adalah mimpi. Namun semuanya nyata. Aku ingn sekali lari dari kenyataan ini, tapi tak bisa.

"Ketika aku kuliah di kedokteran, aku terkenal di antara kalangan mahasiswa. Mereka semua mengenalku sebagai seorang mahasiswi idaman," lanjutnya. Aku bisa melihat itu, ia memang cantik. Pantaslah kalau misalnya dia adalah seorang primadona di kampus dulu.

"Kemudian ada salah satu senior yang menaksir aku. Dia boleh dibilang terlalu mengumbar kekuasaannya. Menganggap diri sebagai seorang mahasiswa senior sehingga mau semena-mena terhadap mahasiswa lainnya. Tak terkecuali kepadaku. Aku sudah banyak menghindar, mulai dari ajakan dia untuk makan bareng atau pun nonton bareng. Papaku adalah pemilik yayasan SMA Manchurian, sebagai anaknya aku diharapkan bisa menjadi salah satu dokter yang mengurusi ruang UKS di sana. Aku pun hanya konsentrasi untuk itu. Tak ada maksud lain, tak ada keinginan lain. Selama ini papa adalah orang yang paling baik yang pernah aku kenal. Aku tak ingin mengecewakannya. Itu saja.

"Tapi ternyata keinginanku tak semulus apa yang aku inginkan. Seniorku itu pun membuat rencana busuk untuk memperkosaku. Dia dengan teman-temannya menculik dan menyekapku. Aku meronta, melawan tapi aku tak kuasa. Mereka memukulku setiap kali aku melawan, hingga mereka akhirnya memperkosaku saat aku pingsan. Selama dua hari aku diperkosa oleh mereka. Setelah itu aku dilepaskan, namun aku diancam untuk tidak memberitahukan ini kepada siapapun, karena kalau tidak aku akan dibunuh oleh mereka.

"Selama dua bulan aku melayani mereka. Aku tak akan melupakan wajah seniorku itu. Hingga kemudian aku pun berinisiatif sendiri. Setelah penyiksaan tanpa henti itu pun aku akhirnya berencana untuk lepas dan kabur dari mereka. Aku memeriksakan kehamilanku, ternyata aku hamil. Entah anak siapa. Tapi mungkin anak dia. Karena tak ada seorang laki-laki pun yang selama dua minggu terakhir berhubungan denganku kecuali dia. Aku panik, aku resah, aku bingung. Apa yang harus aku lakukan kemudian? Bagaimana kalau papaku tahu. Akhirnya ku putuskan untuk melawan mereka. Ketika itu aku meminta seniorku untuk menemuiku di tempat kosku. Tapi sebenarnya aku merencanakan untuk membalasnya. Aku sudah siapkan gunting di kasur kamarku. Dan kemudian dia pun datang. Ia benar-benar biadab, bajingan. Aku masih bertanya apakah dia mencintaiku. Tapi dia hanya menganggapku sebagai budak seks semata tak lebih. Seandainya ia bilang mencintaiku aku akan mengurungkan niatku, tapi jawabannya membuatku sakit. Saat itu aku menelanjangi dia, kemudian aku ambil gunting dan kupotong kemaluannya.

"Kejadian itu pun membuat gempar semua orang. Seniorku itu entahlah aku tak tahu lagi dimana ia kemudian. Aku depresi berat. Trauma. Aku berteriak-teriak histeris. Seniorku dan teman-temannya ditangkap oleh polisi. Aku tak tahu disana ia sekarang semenjak kejadian itu. Yang jelas mereka tak muncul lagi di kehidupanku. Tapi anak di dalam kandunganku, bagaimana?

"Aku berkali-kali berusaha untuk menggugurkannya. Tapi berkali-kali pula aku dicegah. Aku kemudian masuk ke rumah sakit jiwa. Di sanalah aku kemudian kenal dengan Jamie. Di sana pula untuk pertama kalinya aku mendengar alunan nada dari Sheila. Alunan-alunan melodi yang menyejukkan, membuatku sejenak melupakan tentang apa yang aku alami.

"Tak terasa kemudian anakku pun lahir. Ia kemudian diberi nama oleh kedua orang tuaku. Biasanya kalau seorang ibu akan bahagia melihat anaknya lahir, tapi aku tidak. Memang semua berharap dengan kelahiran anakku berharap itu adalah terapi agar aku sembuh. Ternyata hal itu sama sekali tak terjadi. Aku bahkan lebih trauma ketika menyaksikan Rama lebih mirip dengan orang itu. Aku seketika itu berusaha mencekiknya, mencekik anakku yang baru lahir!" Miss Yuni menangis.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Hanya bisa mendengarkannya saja. Aku mengerti sekarang bagaimana kondisi kejiwaannya. Barangkali memang para pemerkosa itu hanya mendapatkan kepuasan atas apa yang mereka lakukan, tapi apakah kepuasan itu harus dengan melukai orang lain? Mereka hanyalah kambing-kambing pengecut yang lari dari tanggung jawab. Mereka orang-orang hina yang menghalalkan kemaluan mereka demi nafsu sesaat.

Mendengar ceritanya aku melihat kepada diriku sendiri. Bukankah aku juga demikian dulu? Hanya untuk menikmati kepuasaan sesaat aku tega merampas kebahagiaan orang lain pula? Aku juga sama saja seperti para pemerkosa itu, hanya saja bedanya adalah aku tidak memaksa para wanita itu. Tapi aku hanya memberikan harapan-harapan palsu kepada mereka. Kini aku tahu apa yang dimaksud oleh Miss Yuni dengan hujan bisa menghapus luka. Ia selalu memandangi langit berharap hujan turun, agar luka di hatinya bisa sembuh.

"Kita akan bertemu dengan Rama, apa kamu tak apa-apa?" tanyaku. Aku bertanya demikian sebab ia cukup goncang kondisinya sekarang.

"Aku mau tidak mau harus melakukannya. Aku sudah tidak kuat lagi. Aku ingin memeluk anakku dan aku akan ucapkan, 'Rama, bunda mencintaimu'," ujarnya. Terang saja dadaku mencelos mendengar hal itu.

Mau tak mau kita sekarang sudah hampir sampai. Miss Yuni pun terdiam selama perjalanan. Ia mengeluarkan sebuah foto. Foto seorang anak kecil yang tersenyum. Ia mengusa-usap foto itu. Kalau aku perhatikan ia sekarang sedang dalam kondisi bingung. Apakah ia harus mencintai anak itu ataukah harus membencinya. Pilihan yang sulit. Tapi ia harus memilihnya.

Tak berapa lama kemudian kami pun tiba. Mobil kuhentikan agak jauh dari rumah tujuan kami. Miss Yuni menatap nanar ke depan. Dadanya naik turun, nafasnya sesak. Kondisi kejiwaannya sedang goncang. Aku pun berinisiatif memainkan DVD lagu-lagu Sheila yang aku rekam sendiri ketika dia bernyanyi di rumah. Suara Sheila dengan gitar kesayangannya pun mulai terdengar. Kali ini lagu yang dibawakannya adalah Merakit Mesin Penenun Hujan. Suara Sheila yang merdu ditambah petikan gitar akustiknya membuat tenang perasaan kami.

"Miss Yuni, aku tidak tahu tentang perasaanmu sekarang. Hanya saja, Rama adalah makhluk hidup. Ia adalah manusia yang terlahir tanpa dosa. Dosa orang tuanya tak bisa diwariskan ke anaknya, karena jalan hidupnya berbeda. Bahkan alasan dia dilahirkan ke dunia juga berbeda. Aku tahu mungkin engkau melakukan ini agar Zack juga bisa menerima Rama bukan? Jangan khawatir, Onkel Zack sangat mencintaimu. Dan kalau masalah Rama, ia akan menganggap Rama seperti anaknya sendiri. Ketahuilah, di Jerman ia terus memikirkanmu. Aku terkadang melihat beliau duduk merenung sambil memandangi foto di wallpaper ponselnya. Ia sangat merindukanmu. Inilah alasan yang kuat ia tak menikah sampai sekarang, karena ia sangat mencintaimu. Bahkan ia rela membuang semua impiannya di Jerman untuk ke Indonesia, semuanya karena kamu Miss Yuni," terangku.

Miss Yuni memejamkan matanya. Air mata mengalir di pipinya. Diambilnya oksigen hingga paru-parunya penuh lalu dia menghembuskannya.

"Makasih Jo, makasih banyak. Kamu memang sahabat terbaik," ucapnya.

Kemudian ia membuka pintu mobil lalu berjalan menuju rumah kedua orang tuanya. Aku hanya melihatnya saja dari dalam mobil. Entah kejutan apa nanti, aku hanya menunggunya saja. Setidaknya demikian juga dengan orang yang sekarang sedang bersembunyi di kursi belakang. Onkel Zack ikut bersama kami. Aku memang tak memberitahukannya kepada Miss Yuni.

"Bagaimana Onkel?" tanyaku.

Zack kemudian bangun. Ia menepuk pundakku, "Aku makin mencintai dia, Jo!"

Setelah itu ia keluar dari mobil. Karena penasaran dengan apa yang terjadi, aku pun mengikutinya. Onke Zack tampak gagah dengan bajunya sekarang ini. Kami pun akhirnya sampai di depan pagar. Pemandangan yang aku lihat sangat menyentuh. Miss Yuni memeluk Rama erat-erat. Kulihat kedua orang tuanya ada tak jauh dari tempat mereka berpelukan. Zack pun kemudian masuk ke halaman rumah.

Miss Yuni sempat terkejut melihat kedatangan Zack. Ia kemudian menatap tajam kepadaku. Aku memberi isyarat "tak apa".

"Hai Rama," sapa Zack.

"Hai," sahut bocah kecil itu. "Om siapa?"

Zack kemudian berjongkok di hadapan bocah kecil itu sambil mengusap rambutnya, "Aku papamu. Maaf ya, lama nggak berjumpa. Mulai sekarang kita bertiga akan bersama selama-lamanya. Papa berjanji tak akan meninggalkan kalian lagi."

"Papa?" Rama agak bingung, namun ia kemudian mengangguk mengerti.

Tangis Miss Yuni pecah. Ia pun kemudian merangkul Zack dan Rama. Ah, pemandangan seperti ini bikin para ninja pemotong bawang berkeliaran di sekitarku. Ku usap air mataku. Zack dan Miss Yuni, keduanya memang serasi dan sudah jadi takdir mereka untuk bersama.

* * *

Menengok masa lalu. Menengoknya untuk mengubah diri agar lebih baik. Aku tak bisa menggambarkan perasaan bahagianya Miss Yuni dan Zack sekarang. Selama satu jam lamanya aku berada di dekat mereka berbicara dengan Rama. Padahal mereka belum menikah sudah seperti suami istri dengan seorang anak. Hahahaha. Aku pamit setelah itu karena harus mengantarkan Sheila kontrol kandungan. Sore hari aku pun sampai di rumah. Sheila sudah siap berangkat jadi aku tak harus turun dari mobil. Segera kami pun menuju ke bidan yang ditunjuk oleh Sheila.

Percaya atau tidak, ketika semesta sudah berkonspirasi untuk mempertemukan seseorang maka apalah daya manusia yang hanya dijadikan sebagai pion. Aku merasa demikian, keterkejutanku adalah ketika aku sampai di tempat bidan yang ditunjuk oleh Sheila. Aku tentu saja mengenali tempat ini. Tempat aku bertemu pertama kali dengan Aprilia. Apa maksudnya Sheila membawaku ke sini?

"Ini ....," gumamku.

"Kenapa?" tanyanya.

"Oh, tak apa-apa," jawabku.

Sheila hanya menyunggingkan senyumnya kemudian kami segera masuk ke dalam. Begitu masuk ke klinik, kami langsung disambut oleh seorang asisten bidan. Mereka kemudian langsung mempersilakan kami masuk karena tak ada pasien lain yang mengantri. Saat masuk ke ruang praktek tersebut aku mendapatkan kejutan.

"Hai Lia," sapa Sheila.

"Hai Sheila, apa kabar?" sapanya balik. Ya, wanita yang juga bidan ini ternyata meneruskan pekerjaan ibunya sebagai bidan. Dia adalah Aprilia. Semua masa laluku kemudian berputar di otakku.

Aprilia menatapku. Ada perasaan aneh yang berdesir di dadaku. Dia adalah orang yang mencelakaiku dulu dan sekarang ia berada di sini. Apakah ia masih bisa mengeluarkan apinya? Dia hanya tersenyum begitu saja kepadaku sambil kemudian kembali bicara dengan Sheila.

"Mau kontrol yah?" tanya Aprilia.

"Iya," jawab Sheila.

"Naik saja ke ranjang!" pinta Aprilia.

Sheila pun menurut, kemudian dia naik ke ranjang. Aprilia lalu membuka baju Sheila untuk melihat perutnya, memeriksa tekanan darah, kemudian mendengarkan isi perut Sheila dengan alat seperti megaphone kecil. Diketuknya beberapa kali perut Sheila yang sudah mulai membuncit. Setelah diperiksa aku dan Sheila duduk di kursi.

"Janinnya sehat koq," ujar Aprilia. "Tetap dijaga ya pola makannya, ini anak pertama bukan?"

"Iya," jawab Sheila.

Aku sangat canggung dan hanya bisa membisu. Tak percaya saja aku bisa bertemu dengan Aprilia lagi di tempat ini.

"Sekarang masih sibuk dengan aktivitas menyanyi?" tanya Aprilia.

"Iya, begitulah," jawab Sheila.

"Bapaknya jagain lho ya, awas kalau sampai terjadi apa-apa!" Aprilia menatap tajam kepadaku.

Aku cuma nyengir sambil menggaru-garuk kepalaku yang tidak gatal.

"Sudah lama tidak bertemu dengan kalian, sepertinya kalian sangat bahagia sekarang," kata Aprilia sambil mengumbar senyumnya kepada kami. "Sudah berapa tahun ya, lama sekali."

"Aku tak tahu kalau kalian saling kenal," kataku.

"Banyak hal yang terjadi Jo, dan mumpung kamu di sini aku ingin minta maaf atas apa yang aku lakukan," Aprilia bersungguh-sungguh. Senyumannya beda, aku tak pernah melihat dia tersenyum seperti ini sebelumnya. Sejak kapan ia bisa tersenyum seperti itu?

"Tenang saja, suamiku sudah memaafkanmu sejak lama. Ia bahkan tak berusaha untuk menagihnya bukan? Aku tahu hubungan kalian di masa lalu cukup sulit. Tapi semuanya sudah selesai," terang Sheila.

Aku menghirup nafas lega. Dari tatapan mata Sheila dan Aprilia aku tahu kalau mereka berdua saling mengenal sudah lama. Kejadian ini, semuanya sepertinya berhubungan antara satu sama lain. Apakah karena takdir kita yang menyatukan antara aku dan Sheila? Ataukah karena Sheila secara tak langsung telah menyentuh orang-orang itu? Melati telah bertemu dengan Sheila, Aprilia telah bertemu dengan Sheila, Miss Yuni telah bertemu dengan Sheila sehingga secara tak langsung semuanya entah bagaimana serasa mengarah kepadaku. Sheila ibarat orang yang menyatukan jejak-jejak mereka.

Sekali lagi aku melihat wajah kedua wanita yang ada di hadapanku ini. Mereka semua sekarang seperti dua orang sahabat. Bercanda, tertawa di hadapanku. Aku seperti orang ketiga yang tidak penting. Aprilia seperti sudah melupakan apa yang sudah terjadi pada diri kita dulu. Sheila seperti memberikan efek magis yang sukar diungkapkan.

"Aku tinggal dulu di luar deh," celetukku menengahi obrolan mereka berdua.

"Waduh, maaf ya dicuekin. Hehehehe," Sheila nyengir. "Kita udahan koq. Ya udah, yuk kita pulang!"

"Lho, emang udahan?" tanyaku.

"Sudah koq, jangan lupa dijaga makannya ya?!" nasehat Aprilia kepada kami. "Sheila itu kalau sudah ngobrol denganku seperti nggak ada habisnya."

"Oh begitu," aku manggut-manggut.

"Nah, besok Minggu ada konserku sebelum cuti hamil. Dateng yah!" Sheila mengeluarkan sebuah tiket dari tasnya. Di sana tertulis huruf VVIP berwarna biru.

"Waduh, nggak apa-apa nih?" tanya Aprilia. "Tapi aku mana bisa datang?"

"Ayolah Lia, cuma sekali aja. Kamu belum pernah ke konserku kan?"

"Ehmm.... gimana yah?" Aprilia agak ragu-ragu.

"Sekali saja, ya?" bujuk Sheila. "Sekali-kali kamu perlu refreshing, sekali-kali kamu lihat aku di atas panggung."

Aprilia menghela nafas. Sepertinya ia menyerah. "Baiklah. Aku akan datang."

Setelah menyerahkan tiket itu aku dan Sheila pun pamit pulang. Di jalan aku hanya melihat Sheila senyum-senyum sendiri. Aku jadi penasaran kenapa dia seperti itu bikin aku tidak konsen di jalan saja. Aku berkali-kali menoleh ke arahnya lalu ke depan.

"Kenapa?" tanyanya.

"Kamu itu bikin penasaran, kenapa senyum-senyum sendiri?" terangku.

"Kamu tahu nggak? Di dalam tadi kulihat pita warna-warni saling berpendar di antara kalian," jelasnya.

"What?"

"Hehehehe, efek mantan emang luar biasa."

"Itu..."

"Kamu masih ada rasa sama dia?"

"Nggak koq."

"Ayolah, kamu nggak bisa bohong lho. Kalian berdua kulihat masih saling ada rasa."

"Kamu tak pernah bilang kalau sudah kenal lama dengan Aprilia."

"Sudah lama koq, sejak dia masih di rumah sakit jiwa aku sudah kenal dia. Setelah kita balik ke Indonesia aku mengunjungi dia lagi. Kami saling bercerita satu sama lain. Dia senang banget ketika tahu kita sudah menikah. Katanya 'Johan lebih pantas mendapatkanmu'."

Aku mengangkat alis. Sheila hanya tersenyum jahil kepadaku. "Jelek kamu!" Aku mengerucutkan bibir.

"Idiiih yang ngambek," godanya.

"Ngomong-ngomong, kamu sudah tidak terlihat seperti orang Jerman lagi. Logatmu sudah hilang," kataku.

"Sudah lama. Sejak aku SMP logatku sudah berubah. Lagipula mama mengajarkanku bahasa Indonesia selama aku di Jerman jadinya bahasa ini sama sekali tak asing bagiku," terang Sheila tentang dirinya.

"Jadi ketika papaku ada di Jerman hanya kamu yang tahu apa yang dibicarakan?"

Sheila mengangguk. "Aku tak menyangka saja akhirnya kita bisa bertemu, seolah-olah setiap hembusan angin, setiap cahaya, setiap rotasi bumi ini menuntun kita untuk bertemu."

Aku meraih tangan Sheila dan menggenggamnya. "Menurutku juga begitu."

Mobil terus melaju dengan kecepatan stabil. Sheila sudah tertidur di kursi sebelahku. Ia tampak bahagia hari ini. Mungkin karena mengetahui bahwa kandungannya baik-baik saja ia sudah sangat bahagia. Hari sudah malam ketika kami sudah sampai di rumah. Setelah itu kami pun masuk ke rumah istirahat.

Hari ini banyak hal yang sudah aku lakukan. Dan di antaranya adalah mengetahui bagaimana kebahagiaan Onkel Zack dan Miss Yuni.

* * *

Hari konser pun tiba. Aku mengantarkan Sheila ke pertunjukannya. Walaupun dengan kondisi hamil, tapi ia masih bersemangat bahkan mampu bernyanyi dengan baik. Entah mungkin sengaja atau bagaimana Sheila menyuruhku untuk duduk di kursi VVIP bersama dengan Aprilia. Dia pasti sengaja melakukannya. Pasti begitu. Dan lucunya kursi VVIP ini berada di sebuah ruangan khusus yang ada di atas dengan kursi sofa, AC, kulkas berisi softdrink dan cemilan tersedia di sini plus aku hanya sendirian bersama Aprilia. Ternyata ruang VVIP ini memang dipesan khusus oleh Sheila. Aku memang awalnya terkejut dengan melihat Aprilia berada di dalam, tapi karena tahu ini pasti ulah Sheila, maka aku pun menghela nafas maklum. Dia pasti punya alasan khusus mempertemukan aku dan Aprilia di tempat ini.

Selama pertunjukan dimulai sampai pertengahan pertunjukan kami hanya di diam sementara itu Aprilia menikmati pertunjukan sambil makan cemilan dan minum softdrink yang tersedia. Gila, dalam kondisi secanggung ini dia masih bisa menikmati pertunjukan ini dengan tanpa beban.

"Kamu sudah punya pacar?" tanyaku iseng.

"Belum," jawabnya singkat.

"Kenapa belum? Kamu kan cantik, seorang bidan, dan juga banyak yang berubah dari kamu," ujarku.

"Entahlah. Padahal temen-temen satu gengku sudah pada nikah semuanya," Aprilia menyeruput softdrink kalengnya.

"Lho, beneran?"

Aprilia mengangguk kemudian menoleh ke arahku, "Kenapa kamu tanya seperti itu?"

"Nggak apa-apa, aku penasaran saja," terangku. "Kamu tahu kita dulu punya masa-masa yang sulit."

"Iya, aku sudah tahu itu. Aku sudah memaafkannya Jo, kita sudah dewasa," senyum Aprilia membuatku sedikit lebih tenang. Pasti ia melewati masa-masa yang sangat sulit selama ini.

"Aku minta maaf karena tidak bisa menemanimu di saat-saat yang sulit dalam hidupmu," kataku.

"Aku yang harusnya minta maaf. Aku terlalu egois. Kuharap sekarang semuanya sudah terbayar. Kita impas tak ada dendam."

"Iya, tak ada dendam," lanjutku.

"Menurutku, kamu memang cocok jadi bidan," pujiku.

"Benarkah?"

"Iya, aku tak menyangka akhirnya kamu mengikuti profesi ibumu jadi bidan."

"Hehehe, aku dulu telah mengambil hidup seseorang, sejak saat itu aku telah berencana untuk memberikan kehidupan bagi orang lain," terangnya. Itu sungguh suatu jawaban yang luar biasa menurutku.

"Waow, darimana kamu dapat kata-kata itu? Memberi kehidupan, seperti nama sebuah lukisan dari kakeknya Sheila," ujarku.

"Oh ya, memangnya ada lukisan yang berjudul memberi kehidupan?"

"Ada. Bahasa Jermannya Geben des Lebens. Kamu tahu, mungkin semua perjalanan hidupku ini adalah agar aku bisa bertemu dengan Sheila seperti sekarang. Dari semenjak aku kecil sampai dewasa seolah-olah bumi dan langit ingin mempertemukan kami," kataku. "Pertemuanku denganmu, lalu pertemuanmu dengan Sheila, semuanya terjadi bukan karena kebetulan semata."

"Aku juga merasa seperti itu, Jo. Dan aku tak pernah menyesal kita pernah bertemu. Sebab dengan perjumpaan denganmu aku tahu yang namanya cinta sejati itu seperti apa," ucap Aprilia sambil tersenyum.

Akhirnya kami pun menikmati pertunjukkan Sheila malam itu sambil bicara tentang banyak hal. Tak ada lagi cinta di antara kami. Tak ada lagi perasaan itu. Aprilia menganggap aku teman biasa. Demikian juga aku. Hari itu kami seperti menegaskan tentang diri kami sendiri bahwa hubungan cinta di antara kita sudah berakhir. Hingga pada saat pertunjukannya usai kami masih berada di ruang VVIP untuk menunggu Sheila menuju ke ruang VVIP sebagaimana yang dia katakan sebelum pentas akan menyusul kami setelah pentas usai.

Konser malam itu cukup menarik sebenarnya dengan diselingi drama teather. Sheila yang menjadi penyanyi utamanya tak banyak gerak, total ia hanya memainkan dua alat instrumen yaitu piano dan gitar. Di akhir pentas ia meminta do'a kepada semua penonton untuk kelancaran kehamilannya. Hal itu disambut sorak-sorai para penonton yang ada di gedung. Ternyata banyak juga yang mengidolakan dia. Aku hanya tahu kalau jumlah followernya di akun sosial media cukup banyak terutama instagram, sampai ratusan ribu. Itu kalau misalnya semuanya mention dirinya bisa dipastikan ponselnya bakal sibuk seharian berbunyi.

"Sheila koq lama ya?" gumamku.

"Dicari sama-sama yuk?" ajaknya.

Aku pun setuju. Kami segera beranjak menuju ke panggung. Ruangan VVIP ini ada sebuah pintu yang kemudian langsung terhubung ke tribun penonton. Kami segera menuruni tangga satu per satu hingga kemudian sampai di stage bawah, lalu kami naik untuk menyapa para kru yang sedang berberes.

"Mas, Sheilanya di mana ya?" tanyaku.

"Lho, bukannya tadi sudah keluar ya mas?" tanyanya balik.

Aku mengernyitkan dahi. "Nggak tuh."

"Coba mas cari di backstage!" ujar mas-mas kru tersebut.

Aku dan Aprilia berjalan menuju ke backstage. Di belakang panggung ini terlihat beberapa penari latar yang sudah melepas baju pentasnya beberapa kru sekuriti tampak hilir mudik. Tapi orang yang aku cari tak ada. Kemana Sheila?

"Ada yang tahu di mana Sheila?" tanyaku kepada semuanya.

Mereka semua tampak terbengong-bengong melihatku.

"Bukannya tadi sudah keluar mas?" tanya seseorang kru.

"Lho, tadi malah katanya mau ke ruang VVIP dulu koq sesudah pentas," jawabku. Sekarang perasaanku tak enak.

"Waduh saya nggak tau mas," ujarnya.

"Semuanya tolong cari Sheila. Sekuriti! Cari Sheila!" seruku panik.

Akhirnya beberapa orang sekuriti yang ada di sana pun sibuk mencari Sheila. Konser malam itu berakhir dengan kekacauan, yaitu hilangnya Sheila.

Ketika semua orang sibuk mencari, aku juga sibuk mencari Sheila bersama Aprilia. Kami hingga sampai mencari ke atap. Di atap tak ada apa-apa, kosong. Hanya saja, ada pemandangan yang tak biasa ketika aku dan Aprilia ada di sana.

Kulihat seorang gadis berparas cantik sedang duduk di bibir atap. Rambutnya panjang tergerai tertiup angin. Matanya yang tajam, irisnya menari-nari melihat aku dan Aprilia. Aku sebenarnya tak ingin bertemu dia di tempat ini apalagi dengan kondisi seperti ini. Hanya saja, entah bagaimana perjumpaanku dengan dia memang harus terjadi sekarang dan saat ini juga.

"Dina!?" gumamku.

"Hai Jo," sapanya. "Apa kabar?"

"Kenapa kamu ada di sini?" tanyaku.

"Menonton pertunjukan Sheila. Kamu tahu, pertujukannya cukup menarik, aku sampai bisa menikmati lagu-lagunya. Congrats ya!" ucapnya memberi selamat kepadaku.

"Kamu yang membawa Sheila?"

"Kenapa kamu langsung menuduh begitu?"

"Karena apa yang telah kamu lakukan sebelumnya membuktikan itu!"

"Bagaimana kalau Sheila sendiri yang ingin pergi? Apakah kamu tidak pernah berpikir sampai ke sana?"

"Maksudnya?" aku tak mengerti.

"Coba kamu pikir baik-baik, kenapa dia membiarkan kalian berdua di ruangan itu? Lagipula kalau aku yang membawa Sheila pasti sekarang ini ia bersamaku," jawabnya. Dina kemudian berdiri dari tempat duduknya.

"Omong kosong! Katakan di mana Sheila!" bentakku.

"Hai Aprilia, apa kabar? Sepertinya kamu sudah sehat. Kamu adalah wanita yang sangat aku benci karena telah menyakiti sang Kapten Bumi. Kita akan bertemu lagi," ujar Dina sambil menatap tajam ke arah Aprilia.

Aprilia membalas tatapan tajam Dina. Mereka berdua sepertinya menyimpan berbagai amarah yang ingin rasanya tertumpah. Dina berjalan di bibir atap hingga kemudian dia menjatuhkan dirinya. Aku segera mengejarnya, namun ternyata sebuah pohon besar menahan Dina. Dengan lembut pohon itu membentuk sebuah pembaringan yang teranyam dari dahan dan ranting seolah-olah seperti tangan. Perlahan-lahan Dina dengan gerakan yang sangat lembut dan halus mendarat dengan nyaman di atas tanah. Dari ketinggian dua puluhan meter ini dia sekarang sudah ada di bawah.

"Dina! DINAAAA!!! KEMBALIKAN SHEILA! KALAU KAMU MENYAKITINYA AKU TAK AKAN MEMAAFKANMU!" teriakku.

Dina hanya tersenyum dan menghilang dalam kegelapan.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top