27 | Tersembunyi


 "Aku mencintaimu, Jo. Sejak dulu, sekarang dan selamanya. Engkaulah pahlawanku yang aku cari selama ini. Aku tahu mungkin ini terlalu mendadak, dan tidak masuk akal tapi ketahuilah. Aku memang bisa bicara dengan tanaman dan aku... aku sangat mencintaimu. Aku tak bisa berharap banyak denganmu sekarang, aku menyadari akan hal itu. Setidaknya, aku ingin engkau tahu yang sebenarnya."

Cinta itu buta. Begitu kata orang. Buta hingga tak melihat apa yang pelakunya lakukan. Sekarang aku ingat Dina pernah berkata seperti itu. Ingatanku kembali kepada bagaimana dia berkata kepadaku tentang kemampuannya. Andai saja aku dulu tidak diberitahu oleh bapak bahwa diriku adalah seorang Geo Streamer. Mungkin sampai sekarang aku hanya akan terbengong-bengong melihat Aprilia bisa mengeluarkan api atau Dina yang bisa bicara dengan tanaman. Namun, semuanya memang nyata.

Kuambil nafas panjang. Di hadapanku adalah bekas bangunan House of Flower. Rumah kaca itu sekarang kosong. Hanya tersisa beberapa pot-pot dan tanaman-tanaman. Tak ada Dina. Tak ada Nyonya Hartati. Kemana mereka? Dari para tetangga aku baru tahu kalau Dina hanya punya seorang ibu. Ayahnya telah tiada sejak ia kecil. Memang Dina tak pernah bercerita tentang kehidupannya. Semuanya serba misterius. Mungkin Anton lebih tahu tentang Dina. Aku rasa sebaiknya aku mencari Anton.

Kutinggalkan House of Flower. Tempat yang penuh kenangan itu kini sepi. Tak ada tanda-tanda ada manusia. Bahkan rumah Dina juga tak terawat. Tanaman rambat terlihat di dinding rumahnya. Rerumputan di halaman rumahnya pun tak dipotong. Kupacu mobilku meninggalkan komplek perumahannya.

Sekarang ini Sheila berada di rumah bersama adikku. Dia memang aku minta untuk menemani Sheila yang sekarang ini sedang shock. Adelia sangat kaget ketika aku menceritakan kejadian bahwa kami melihat sesuatu mengerikan ketika ada acara pemotretan. Bahkan para wartawan pun mewawancarai kami. Aku yang maju untuk bicara, sementara istriku masih shock berat. Semua pertanyaan wartawan aku jawab seadanya, sesuai yang aku lihat. Dalam waktu seminggu saja, berita itu menjadi heboh. Bunuh diri masal. Begitu koran menyebutnya. Namun, apa yang sebenarnya terjadi aku lebih mengetahuinya.

Awan menggumpal. Sebentar lagi pasti turun hujan. Untuk menuju ke rumah Anton tidaklah jauh, lima menit kemudian aku suda memakirkan mobilku di depan rumahnya. Saat aku masuk ke pagar rumahnya seorang pria setengah baya tampak sedang berada di teras membaca koran sambil menikmati secangkir kopi yang tersaji di meja. Dia adalah Tuan Handoyo, ayahnya Anton.

"Pagi Om," sapaku.

Tuan Handoyo menurunkan kacamata silindernya dan mengamatiku. "Johan?"

"Iya om," jawabku. Segera aku menghampiri beliau sambil kucium tangannya. Dalam tradisi kami sebagai orang Jawa ada yang namanya unggah-ungguh atau menghormat kepada orang tua. Sampai sekarang pelajaran yang diberikan bapak kepadaku tetap aku terapkan.

"Apa kabar?" beliau menyambutku dengan berdiri. Beliau menepuk pundakku. "Sudah lama sekali tak berjumpa."

"Baik om. Om sendiri sepertinya makin sehat," ucapku.

"Jangan menghina, om ini sudah tua. Makin banyak penyakit iya," kelakarnya. "Duduk! Anton masih om suruh menemai mamanya ke pasar."

Aku mengambil tempat duduk di kursi yang kosong.

"Mbook!?" panggil Tuan Handoyo ke pembatunya. "Bikinin kopi satu!"

Aku menyandarkan punggungku ke kursi rotan yang ada di teras ini. Ah, kursi rotan yang sama seperti yang ada di rumahku. Kursi ini mengingatkanku kepada bapak yang membelinya ketika baru pertama kali pindah ke rumah yang baru. Kursi rotan yang dibeli dengan diangkut memakai sepeda motor. Aku masih teringat bagaimana diriku duduk di sadel belakang membawanya. Saat itu aku masih kecil. Masih bermain bersama Anton menjadi Kapten Bumi.

"Bagaimana kabar Pak Safuan?" tanya beliau.

"Baik om. Alhamdulillah sehat," jawabku.

"Maaf sekali ketika acara pernikahanmu, Om sekeluarga tidak datang. Om ada di luar pulau. Pekerjaan di tengah laut membuat om tidak bisa begitu saja pergi," beliau menghela nafas menyesal.

"Saya mengerti koq om. Tak perlu bersedih," jawabku.

Seorang pembantu datang dengan membawa secangkir kopi di atas nampan yang uap panasnya kulihat mengepul. Kulihat senyumnya dilempar kepadaku. Setelah itu perempuan ini membungkuk untuk undur diri. Sepertinya baru kali ini aku melihat pembantu itu. Dulu ketika aku masih main ke sini, pembantunya bukan itu. Entah siapa namanya, aku tak pernah mengetahui nama pembantunya.

"Tapi aku mengucapkan selamat kepada Pak Safuan setelah aku mendarat di Jakarta," lanjut beliau. "Rasanya benar-benar nostalgia. Hadiah apapun yang om berikan ke ayah kamu tak akan ada nilainya apa-apa dibandingkan jasa beliau selama ini ke om," terang Tuan Handoyo dengan raut wajah yang sedikit sendu.

"Kenapa om kalau boleh tahu?"

"Ceritanya panjang. Semuanya berawal ketika om mengerjakan tender proyek dari salah satu BUMN. Om dijebak ternyata, ada salah satu pejabat yang menyuntikkan dana siluman ke rekening om. Alasannya sih cuma titip, namun dari situlah om difitnah," cerita Tuan Handoyo sambil menatap langit. Aku malah tak pernah diceritakan olehnya soal ini. "Sudah lama sekali kejadian itu, tapi Om masih ingat dengan jelas bagaimana runutan kejadiannya."

Tuan Handoyo mulai bercerita.

"Saat itu Om sedang berjaya. Punya posisi bagus di perusahaan tambang negara. Punya uang yang tidak pernah habis, segalanya tercukupi. Dan uniknya om bisa berteman dengan ayahmu. Pak Safuan memang orang yang luar biasa. Dia tidak pernah memandang siapapun berbeda, semuanya dia anggap setara. Entah itu orang besar atau orang kecil dia punya teman di mana-mana. Bahkan dengan tukang bajaj saja ia kenal. Ayahmu itu orang yang baik, dia selalu menjadi penyemangat teman-temannya ketika mereka sedang dalam keadaan jatuh.

"Kasus Om waktu itu sangat heboh. Berita di surat kabar tak habis-habisnya menghabisi om sekeluarga. Wartawan selalu memburu keluarga om untuk diwawancarai. Om sampai ditahan waktu itu. Keluarga Om terpuruk karena sudah dicap sebagai koruptor. Bahkan jabatan om pun lepas. Om tak punya apa-apa lagi bahkan ketika pengadilan memutuskan bahwa om bersalah musnah sudah semuanya.

"Kamu tahu Johan? Hanya ayahmu yang percaya kepada Om. Satu-satunya manusia yang tetap berkata, 'Pak Handoyo tidak bersalah' sekali pun semua orang menyerang om. Beliau yang memberi makan keluarga om ketika semua kekayaan om disita oleh negara. Anton juga dibiayai sekolahnya oleh ayahmu. Pak Safuan sangat baik melebihi keluarga sendiri. Bahkan keluarga om sendiri saja tak peduli dengan om. Mereka malu punya keluarga seperti Om.

"Akhirnya setelah tiga tahun Om berjuang. Om mendapatkan bukti-bukti bahwa Om tidak bersalah. Salah seorang anak buah om menjadi saksi dan memberikan sebuah data dan rekaman tentang niat busuk salah satu pejabat yang ingin memfitnah om. Jadilah pejabat itu kemudian yang diserang. Akhirnya nama om yang sudah terlanjur tercemar diperbaiki lagi. Semua kekayaan Om dikembalikan dan om dianggap tidak bersalah. Om bebas dari penjara, jabatan om dikembalikan lagi. Namun Om sudah sangat sakit hati. Om pun tidak menerima mereka lagi. Mereka yang sudah menghina om, menyakiti om, mereka yang mengkhianati om, tidak pernah om peduli lagi kepada mereka. Bahkan keluarga Om yang dulu merendahkan dan mengatakan Om seorang koruptor pun tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya. Ternyata memang benar, bahwa teman yang baik adalah mereka yang tetap percaya kepadamu meskipun kamu dalam keadaan yang benar-benar sulit. Jadi ketika om dalam masa-masa sulit, om sekarang tahu siapa saja yang baik, siapa saja yang buruk.

"Setelah itu Om bekerja lagi mati-matian hingga seperti sekarang. Perusahaan energi luar negeri meminta om untuk menjadi salah satu Manajer mereka. Siapa yang menolak? Daripada dihina di negara sendiri lebih baik dihormati negara lain. Semuanya berkat ayah kamu.

"Saat om keluar dari penjara. Ayahmu memberikan om sebuah lukisan. Mau lihat?" Tuan Handoyo mengajakku masuk ke rumahnya.

Aku pun beranjak dari tempatku duduk mengikutinya sampai ke ruang tamu. Di sana, aku melihat sebuah lukisan yang sangat tidak asing. Sebuah lukisan seekor burung yang sedang memberi makan anak-anaknya. Tiba-tiba saja mataku berkaca-kaca. Ini kan, Geben des Lebens yang asli!

"Ayahmu bilang judul lukisan ini adalah Memberi Kehidupan. Aku bisa mengerti kenapa disebut memberi kehidupan. Seekor induk burung memberikan makan kepada anak-anaknya. Bukan sekedar memberi makan. Mereka mengajari kepada anak-anaknya bahwa engkau nanti juga akan mengalami masa ini. Berikanlah kehidupan bagi orang-orang terdekatmu, karena kalau bukan engkau siapa lagi? Manusia saling membutuhkan satu sama lain. Seekor burung saja mengetahui bahwa dia tidak bisa hidup tanpa burung lainnya, apalagi manusia? Katanya juga ini dari seorang seniman terkenal di Jerman," ujar Tuan Handoyo.

"Namanya Abelarch," jawabku.

"Ah iya, Abelarch," dengan heran Tuan Handoyo menoleh ke arahku. "Darimana kamu tahu?"

"Beliau adalah ayah dari mertua saya om," jawabku.

"Oh, begitu. Pantas saja. Jadi kamu kenal dengan seniman itu?"

"Iya, kenal. Orangnya nyentrik. Jenggotnya lebat seperti Santa Klaus. Dia juga sering memakai baju-baju aneh juga dengan topi pet warna merah kesukaannya," terangku.

"Iya, kelihatannya aneh. Tapi memang seperti itu bukan seorang seniman? Mereka berpikir berbeda dengan kita. Ngomong-ngomong kamu sekarang kerja di mana?" Tuan Handoyo mengalihkan pembicaraan.

"Kerjaan saya bikin film Om," jawabku sambil menggosok-gosokkan jariku ke lubang hidung.

"Wah, hebat dong," pujinya.

"Biasa aja om. Penontonnya nggak terlalu banyak koq," aku merendah.

"Jangan merendah. Membuat film itu sekalipun tidak ada yang menyukainya asalkan kamu suka dengan pekerjaanmu dan puas terhadap hasilnya itu lebih baik. Sama seperti kita memasak sesuatu, kalau kita puas terhadap proses memasaknya dan juga hasil dari masakan kita, maka tak perlu kecewa kalau tak ada yang suka, karena memang selera orang itu berbeda-beda. Suatu saat nanti akan ada orang yang melihatnya dan berkata, 'Filmnya bagus'," tiba-tiba perkataan Tuan Handoyo membuatku seperti mendapatkan inspirasi.

Aku tak pernah menyangka Tuan Handoyo yang aku panggil om ini menceritakan kepadaku kisahnya. Aku jadi lebih mengerti sekarang tentang Anton. Kenapa selama ini dia selalu menjadi temanku, menjadi sahabatku. Semuanya karena memang jalan hidup kami sudah ditakdirka seperti ini. Tidak mempunyai teman, dibenci oleh semua orang lantaran ayahnya dituduh sebagai seorang koruptor padahal sebenarnya tidak bersalah. Ah, koq aku malah kasihan kepada Anton sekarang?

Mungkin sekarang ini ia kesepian. Dia telah kehilangan aku. Dia juga kehilangan melati. Lalu apa yang dia punyai sekarang? Ketika ayah dan ibunya pergi, ia hanya sendirian saja di rumah. Terlebih ketika aku tidak ada. Bagaimana perasaan Anton sekarang?

Di pemakaman Melati. Aku tak melihat ada raut kesedihan di mata pemuda itu. Hampa. Apakah selama ini dia memang merasakan kehampaan?

"Hei, ternyata ada tamu," suara Anton mengejutkanku. Aku dan Tuan Handoyo menoleh ke arahnya. Terlihat Anton sedang membawa tas plastik belanjaan disusul kemudian seorang wanita paruh baya masuk ke dalam rumah. Dia Nyonya Handoyo. Sudah lama aku tak bertemu mereka selengkap ini.

"Eh, ada nak Johan. Lama nggak ketemu," kata Nyonya Handoyo.

"Tante," sapaku. Aku mencium tangannya.

"Mau ketemu Anton?" tanya beliau.

"Iya," jawabku.

"Ya sudah, sana Ton temeni Johan! Mama bisa sendiri," Nyonya Handoyo merebut tas plastik yang dibawa Johan.

Anton kemudian memberi isyarat dengan kepalanya untuk menyuruhku pergi ke teras. Aku menggeleng, "Sebaiknya kita bicara di tempat lain kalau kamu tak keberatan?"

Anton mengangkat alisnya, "Tak masalah, ayo sob. Lama kita nggak jalan."

* * *

Mobilku melaju di atas jalanan yang ramai. Kami tak bicara satu sama lain selama dalam perjalanan. Tempat yang kami tuju adalah sebuah taman bermain. Dulu kami sering bermain di taman bermain ini ketika kecil. Ayunannya sudah sedikit berbeda dari terakhir kali aku berkunjung. Sekarang ditambahi lagi beberapa jungkat-jungkit dan sepeda, juga mainan seperti jaring laba-laba. Terlihat anak-anak tampak riang bermain di sana dengan diawasi orangtua mereka.

"Kamu masih ingat tempat ini?" tanyaku.

"Masih, ini tempat kita bermain waktu kecil dulu," jawab Anton.

"Kamu tak kerja?"

"Sementara jadi pengacara."

"Hmm? Sungguh?"

"Pengangguran Banyak Acara," jawab Anton sambil terkekeh-kekeh.

"Brengsek!" aku memukul bahunya sambil tertawa. "Serius nih!"

"Sorry, hehehe. Sementara ini nggak ada kerjaan, Jo. Papa sudah menawariku kerja di kantornya, tapi aku tolak. Aku ingin mencari jalanku sendiri dengan caraku," jawab Anton.

"Aku baru dengar sesuatu dari papamu," kataku.

"Apa? Diomongin disuruh dicariin jodoh? Dicariin kerja? Ah, gampang Jo. Aku bisa usaha sendiri," ujarnya sambil menepuk pundakku.

"Bukan begitu, aku jadi tahu apa yang terjadi dengan keluargamu yang selama ini tidak pernah aku ketahui. Aku tahu kamu kesepian bukan?"

Anton terdiam sesaat. Ia menghela nafas berat. Rasanya ada sesuatu di dalam sana yang ia sembunyikan. "Kamu tahu, kenapa aku tak punya rasa bersedih dan merasa kehilangan ketika Melati dikubur? Karena selama di rumah sakit Melati menangis hampir tiap hari. Setiap kali aku menemuinya dia menanyakanmu. Aku melihat penyesalan yang sangat mendalam di matanya. Lebih dari itu, aku baru kali ini melihat sesuatu yang lain."

"Apa?"

"Aku melihat rasa cinta di dalam dirinya. Dia mencintaimu Jo!" ujar Anton.

"Sudahlah Ton, tak usah dibahas lagi!"

"Tidak, aku harus meluruskan ini. OK, aku salah waktu itu. Tapi kami melakukannya bukan karena apa tapi entahlah, itu terjadi begitu saja. Aku merasa bersalah, bahkan aku sangat bersalah Jo. Melati saat itu berkata seperti ini, 'Kenapa aku sekarang mulai mengerti tentang perasaan Johan kepadaku? Apa yang sebenarnya terjadi kepadaku?' Dia berkata seperti itu saat jarum-jarum itu menusuk tubuhnya. Kamu yang selalu dipikirkannya saat itu. Dia tersiksa perasaan bersalah bahkan saat penyakitnya makin memburuk ia menolak untuk sembuh. Aku memang ada di sampingnya, tapi ia tak pernah menganggap aku."

Anton menghela nafas berat. Ia seperti melepaskan beban yang selama ini ditahannya.

"Sudahlah, apapun yang terjadi aku memaafkan kalian. Semua sudah berakhir. Sudah berakhir Ton," kataku sambil kurangkul sahabatku.

Kami berjalan-jalan menyusuri sebuah jalan setapak yang di kiri kanan kami ada pohon-pohon besar. Kulihat dedaunannya rimbun mungkin karena hujan yang turun hampir tiap hari. Angin berhembus membuat suara dedaunannya berisik. Aku mulai masuk ke pembicaraan tentang Dina.

"Kamu pernah bertemu dengan Dina lagi?" tanyaku.

Anton menggeleng. "Tidak, aku tak pernah bertemu lagi setelah kejadian saat itu."

"Sama sekali?" tanyaku.

"Sama sekali," jawabnya. "Ada apa?"

"Kamu bisa membantuku mencari dia?"

"Memangnya ada apa?"

"Sekarang aku belum bisa bicara denganmu, hanya saja aku ingin bisa bertemu dengannya. Kalau engkau bertemu dengannya, coba hubungi aku! Penting sekali," aku tekankan kata 'Penting sekali' membuat Anton menipiskan bibirnya berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi.

"Katakanlah kepadaku! Aku akan mendengarkannya!" ujar Anton.

"Tidak sekarang," kataku.

"Kenapa? Kamu masih belum memaafkanku?"

"Aku malah takut engkau akan mengatakan aku mengada-ada," kataku jujur.

"Katakan saja! Apapun yang akan kamu katakan aku percaya kepadamu, Jo," terlihat Anton tersenyum kepadaku. Senyumnya terlihat tulus. Selama aku mengenalnya aku tahu dia berbohong atau tidak.

Akhirnya aku pun menceritakan tentang apa yang ada pada diriku. Tentang Geo Streamer, tentang Sheila, tentang Dina, tentang ancaman Dina dan apa yang baru saja terjadi. Tentang pohon besar yang tumbuh di tengah jalan. Tentang orang-orang yang terhipnotis kemudian terjun dari atas gedung.

Kulihat Anton berkali-kali menelan ludah. Sekarang aku tak tahu apakah dia harus percaya kepadaku ataukah tidak. Bercerita tentang hal fantastis seperti ini rasanya membuatku seperti bercerita tentang film garapan Sam Raimi, Guilermo Del Toro atau pun garapan M Night Syamalan.

"Kamu tak percaya kan dengan ceritaku?" tanyaku.

Anton menelan ludah lagi. "Aku antara percaya dan tidak."

"Baiklah aku tak akan memaksamu," ujarku.

"Kalau misalnya kamu punya kemampuan seperti itu, bukankah kamu harusnya mengetahui di mana Dina bukan?" tanya Anton.

"Kalau seandainya bisa, aku sudah menemukan Dina tanpa meminta bantuanmu. Sekarang ini sepertinya bumi berusaha menyembunyikan keberadaan Dina. Entah kenapa, tapi yang jelas ada alasan khusus kenapa bumi tak memberitahuku," jawabku. "Dan bisa jadi ini semua karena kekuatan Dina."

"Aku tak habis pikir bagaimana mungkin orang-orang itu bisa melakukan hal itu hanya karena sebuah pohon?"

"Aku juga tak mengerti tapi sepertinya ada zat yang keluar dari pohon yang ditebang itu kemudian terhirup oleh orang-orang yang ada di sekitarnya lalu melakukan bunuh diri," jelasku.

"Kamu yakin?"

"Yakin sekali, tak ada kemungkinan lain selain ini," ujarku.

"Baiklah, kalau begitu kita tinggal mencari Dina. Kalau Bumi tidak memberitahu keberadaan Dina maka kita harus menemukannya dengan cara kita sendiri. Aku akan mencoba mencari tempat-tempat yang sering dikunjungi Dina, semoga saja aku bisa bertemu dengannya," usul Anton.

"Aku akan mencoba mencari tempat yang banyak pohon atau tanamannya, bisa jadi Dina bersembunyi di sana," kataku.

Anton menghela nafas, "Tapi jujur, aku baru kali ini melihat hal seperti ini. Kamu seorang Geo Streamer. Dina bisa bicara dengan tanaman, Sheila bisa melihat suara dengan pita warna-warninya. Semuanya seperti mimpi Jo."

"Aku mengerti perasaanmu sekarang. Bingung, tak percaya dan sebut saja sesukamu. Tapi aku jujur, kamu tahu kalau aku jujur atau pun bohong," ujarku.

"Aku tetap merasa aneh sekarang Jo. Sekarang aku melihatmu bukan seperti Johan yang dulu. Kau berubah. Sangat berubah," Anton mengamatiku dari atas ke bawah.

"Berubah bagaimana? Jadi jelek gitu?"

"Jadi baik. Berbeda aja rasanya," terang Anton.

"Syukurlah kalau begitu," ucapku.

"Ngomong-ngomong kamu nggak lapor ke polisi kan tentang masalah ini?"

"Sinting kau ini! Aku bisa dianggap penguni rumah sakit jiwa yang kabur kalau bilang seperti itu. Polisi mana bisa menjerat orang yang punya kemampuan supernatural seperti Dina? Nggak ada bukti!"

"Lah, trus Aprilia?"

"Itu beda kasus. Aprilia merusak fasilitas umum dan melukai banyak orang. Dia masuk RSJ kalau nggak salah. Aku tak tahu nasib dia sekarang bagaimana."

Anton manggut-manggut, lalu menepuk-nepuk pundakku.

Semilir angin membelai kami siang itu. Memberikan kesejukan sendiri kepada kami. Aku tak tahu di mana Dina, aku sudah berkali-kali mencoba untuk berbicara dengan planet ini, tapi planet ini sepertinya mengkhianatiku. Bumi tak ingin memberitahunya. Kenapa?

* * *

Sore itu aku bertemu dengan bapak. Beliau sedang menyiram tanaman di halaman rumah. Beberapa hari ini beliau sering terlibat langsung mengurusi tanaman-tanaman hias itu. Biasanya orang yang paling telaten mengurusinya adalah Adelia. Semenjak Adelia kuliah lalu bekerja tak ada lagi yang merawat tanaman ini kecuali ibu. Kucium tangan bapak. Terlihat sudah kerutan di kulit beliau, namun sekali pun begitu beliau masih terlihat gagah. Usia mungkin boleh bertambah, tapi semangat hidup masih terpancar di matanya.

"Ada yang ingin aku tanyakan ke bapak," ucapku.

"Bapak tahu kamu akan ke sini," katanya. "Bapak juga melihatnya."

Aku menghela nafas. Berarti aku tak perlu menjelaskan panjang lebar kenapa dan bagaimana. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Dina tidak bisa dilihat?"

"Sudah saatnya Jo. Sebentar lagi," ucap bapak sambil mengarahkan airnya ke tanaman-tanaman yang lain.

"Maksud bapak?"

"Beberapa bulan dari sekarang bumi akan terjadi sesuatu. Kamu tak pernah lagi ke ruangan itu?"

"Aku belum melihatnya."

"Intinya sudah meredup. Kita tak bisa lagi tinggal diam. Bumi mengetahui kemampuan temanmu dan menjadikannya sekutu. Sekarang, kita hanya tinggal menunggu," jelas bapak.

"Tapi, pak. Kita tak bisa berdiam diri seperti ini. Bagaimana dengan Sheila? Dan...dan... mereka. Orang-orang itu, mereka mati begitu saja. Mereka semua tewas di hadapanku!"

"Setiap yang hidup pasti mati Johan. Bapak, kamu, semua orang pasti mati. Mungkin takdir mereka memang seperti itu. Kita hanya bisa berusaha untuk menjalaninya dengan lebih baik. Tak ada cara lain, kita harus menunggu atau mencari sendiri keberadaan Dina. Tapi itu akan sangat mustahil. Selama bumi menyembunyikan Dina, kita tak bisa berbuat banyak. Sekarang seluruh flora yang ada di bumi sedang mendukung temanmu itu. Tak cuma itu, bumi juga mendukungnya. Kita menghadapi musuh yang tidak biasa sekarang ini. Bapak akan lebih banyak pergi ke ruangan itu lagi. Bapak akan lebih banyak berbicara dengan planet ini. Meyakinkannya tidak mudah, sangat tidak mudah."

Aku menghela nafas berat. Rasanya beban di punggungku makin berat.

"Lho, Johan?" ibu terlihat muncul dari dalam rumah. "Kapan datang?"

Segera aku mencium tangan ibuku. "Barusan koq bu."

"Wah, nggak masuk dulu. Udah makan belum? Ibu masak enak lho," ucap beliau.

"Belum, masak apa bu?"

"Masak sambel teri kesukaanmu."

"Wah, boleh boleh!" aku segera ikut saja ketika ibu menggeretku masuk ke dalam rumah.

"Kamu nggak boleh membiarkan istrimu kerja kecapekan. Kasihan jabang bayinya. Biasanya kalau masih hamil muda seperti itu rawan lho nak!"

"Hah?" aku terkejut.

"Lho, kamu belum diberitahu sama Sheila?"

"Bune, kan Sheila bilang mau bikin kejutan ama suaminya koq malah dikasih tahu sih?" terdengar suara bapak menggerutu.

"Lho, beneran Sheila hamil?"

"Ealaaah... keceplosan hahahahaha," ibuku malah tertawa.

Aku seperti orang bego yang bengong, "Lho, cuma aku yang nggak tahu?"

"Iya, Sheila udah telat tiga bulan. Sengaja nggak beritahu kamu, katanya biar buat kejutan," gelak ibuku. "Maunya sih ngerjain kamu."

"Waduh, ibu ini. Berita sepenting ini koq malah mau dibuat ngerjain aku. Mana telatnya tiga bulan. Maaf bu, Johan pamit dulu. Mau pulang," segera aku berlari keluar rumah.

"Lho? Nggak jadi makannya?" tanya ibuku.

"Kapan-kapan wis bu. Mau ketemu istriku dulu!"

Bapak sama ibu tertawa melihatku segera pulang.

Di jalan aku menggerutu kenapa Sheila tidak membicarakan hal ini kepadaku. Padahal ini berita penting sekali. Agak sedikit ngebut aku pun akhirnya tiba di rumah. Namun aku sangat terkejut melihat keadaan rumahku sekarang. Apa-apaan ini?

Kumelihat rumahku tertutup tanaman rambat. Lebat sekali bahkan aku sampai tidak melihat bentuk rumahku. Aku segera berlari menuju ke rumahku, kubuka pintu pagar namun macet. Kulihat lilitan tanaman rambat menghambat pagar rumahku agar bisa terbuka.

"Sheila! Kamu baik-baik saja? Adelia!" aku memanggil istri dan adikku yang berada di dalam rumah. Kutarik tanaman-tanaman rambat yang melilit pagar rumahku. Kuputus sulur-sulurnya, hingga aku kemudian bisa menarik pagarku.

"Kak Jo!?" panggil Adelia di dalam.

"Kamu baik-baik saja?" tanyaku.

"Kami baik-baik saja. Tapi kami tak bisa membuka pintu!" terangnya.

"Sayang, apa yang sebenarnya terjadi di luar sana?" tanya Sheila.

Aku tak menjawabnya. Bagai kesetanan aku pun menarik dan memutuskan sulur-sulur tanaman rambat itu, hingga akhirnya lilitan-lilitannya yang menghalangi pintu rumahku terbuka akhirnya bisa hilang. Segera aku membuka pintu. Tampak Sheila dan Adelia segera keluar dari dalam rumah. Mereka terkejut mendapati apa yang ada di luar rumah. Semua tanaman rambat menutupi rumah kami. Sheila langsung memelukku, ia sangat ketakutan. Badannya gemetar.

"Sheila, rasanya kita harus pergi ke rumah bapak. Kita pindah hari ini juga!" kataku. 

dari author:

Mendekati akhir. Btw, apa kalian ingin versi cetak dari cerita-ceritaku yang sudah tamat? 

Kalau memang ingin, kira-kira cerita mana yang ingin kalian punyai untuk versi cetak?

Sebutkan alasannya kenapa?

Kalau sampai ada request cetak sampai 100 buku aku akan cetak deh. Dan untuk 3 orang yang punya alasan yang paling baik aku akan berikan gratis nantinya. 

Tengkyu. ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top