26 | Retakan di atas Bumi
"Hai Jo?!" sapa seorang perempuan ketika aku sedang menikmati secangkir cappucino di sebuah kafe. Aku langsung menoleh ke arah suara itu dan kudapati seorang perempuan memakai scraf berwarna merah dan mantel berwarna coklat berdiri tak jauh dari tempatku duduk.
"Dina?" sapaku.
"Sendirian?" tanyanya sambil melihat kiri dan kanan.
"Iya, sendirian," jawabku. "Silakan duduk!"
Dina tersenyum sambil mengangguk kemudian duduk di depanku. Meja ini memang hanya tersedia dua kursi, jadi kami pun saling berhadapan. Dina sedikit berubah, rambutnya dibuat lebih berombak daripada terakhir kali kita bertemu.
"Sudah lama ya? Kenapa kamu nggak ngundang-undang kalau nikah?" katanya sewot dengan bibir mengerucut.
"Yah, nikahnya di Jerman koq, gimana ngundangnya?" gurauku.
"Ya, aku tahu koq. Setidaknya pas ada acara walimahan diundang dong. Jahat banget nggak ngundang," Dina memukul lenganku dengan buku menu.
"Iya, iya sorry banget. Habisnya keluarga kami juga kepengennya cepet. Mau gimana lagi coba?"
"Aku barusan dari makamnya Melati," ujarnya sambil memeluk bahunya sendiri. "Kamu sudah bertemu dengan dia?"
Aku mengangguk.
"Ah, dunia ini terbatas ya. Orang akan pergi sejalan dengan waktu yang terus merambat pergi," gumam Dina. "Tapi mungkin ada juga orang yang masih tertahan di masa lalu dan tidak ingin pergi."
"Hidup itu harus terus berjalan. Sekali pun sulit untuk melupakan masa lalu," kataku. "Kamu sendiri bagaimana kuliahmu?"
Dina menatapku sambil tersenyum bangga, "Sudah selesai dong. Ini sedang cari kerja. Tapi sebenarnya aku ogah kerja. Lebih sayang kepada bunga-bungaku yang aku tinggalkan di House of Flower."
"Kamu mau pesan apa?" tawarku. "Pesan saja, aku yang akan mentraktir."
"Udah jadi bos nih kayaknya?"
"Hehehe, nggak juga."
"Aku udah lihat film perdanamu. Bagus Jo, aku suka," pujinya kepadaku.
"Film asal-asalan gitu koq disuka," aku merendah.
"Eh, jangan merendah gitu. Aku suka lho filmnya. Pesannya ngena banget. Cerita tentang seorang yang menyemangati orang-orang untuk maju. Jaman sekarang, film-film didominasi oleh horror dan humor nggak jelas. Film dengan cerita yang memberikan harapan dan nasehat itu jarang banget," terangnya.
Aku menggaruk-garuk hidungku.
"Gayamu itu," dia menunjukku.
"Eh, apa?" aku keheranan.
"Gayamu itu nggak pernah berubah, menggaruk hidung. Kamu tahu kalau menggaruk hidung itu biasanya menandakan kalau orang itu sedang berbohong?" jelasnya.
Aku kemudian tertawa. "Hahahaha, masa' sih? Aku nggak pernah mengetahuinya."
"Tapi khusus untuk kamu kayaknya nggak deh Jo," katanya.
"Nggak? Lho, kenapa? Koq bisa?" tanyaku.
"Kamu itu orangnya cukup jujur menurutku," jawabnya.
"Bisa aja kamu. Entahlah sudah kebiasaan. Awalnya hidungku agak gatal gitu waktu itu. Aku dulu termasuk orang yang alergi bunga, tapi seiring pertumbuhanku akhirnya aku tidak alergi lagi," kataku sambil mengingat-ingat tentang masa kecilku.
"Humm? Kamu tidak pernah cerita," Dina sepertinya penasaran dengan kisah masa kecilku.
"Ah, nggak usah dipikirkan. Yang penting sekarang alergi itu sudah hilang dengan sendirinya," ujarku. Aku tentunya tahu ia khawatir karena dia sendiri seorang perempuan yang punya kemampuan bisa berbicara dengan tanaman. Aku masih ingat apa yang dikatakan Melati sebelum dia pergi.
"Baiklah, trus kabar kalian bagaimana?" tanyanya lagi.
"Kabar kami?"
"Iya, masa' sudah suami istri koq nggak ada kabarnya. Baik atau nggak? Bahagia atau nggak?"
"Ya bahagia dong."
"Syukurlah, aku turut bahagia kalau begitu."
Aku melihat ke arah arlojiku. Sudah sore. Hari ini aku harus menjemput Sheila di studio musiknya. Dina sepertinya juga mau beranjak.
"Mau pergi?" tanyanya.
"Iya, mau jemput istriku," jawabku.
"Baiklah kalau begitu, hati-hati di jalan!" katanya.
"Iya, sama-sama. Dan....," aku belum meneruskan kata-kataku. Ada jeda di sana ketika kulihat lagi Dina yang seperti ini. Aku tahu perasaannya kepadaku. Apa hatinya sakit sekarang ini? Ia pasti sakit. Ia pasti sekarang sedang menyembunyikannya dengan senyumannya.
"Kamu tak apa-apa?" tanyaku.
"Nggak apa-apa, emangnya kenapa?"
"Maksudku... Ah, lupakan saja! Sampai nanti, lain kali disambung," lanjutku.
"Kamu sering nongkrong di sini?"
Aku mengangguk. "Iya, sudah dari dulu."
"Oh, begitu. Baiklah kalau ada waktu besok kita bisa ketemu," Dina melambaikan tangannya.
"Byebye!" aku pun segera mempercepat langkahku untuk menuju ke tempat parkir.
* * *
Dina banyak berubah. Dia sudah tidak seperti gadis SMA yang lugu. Dia masih tetap cantik seperti dulu. Pertemuan kami memang tidak disengaja hari ini. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin aku tanyakan. Aku yakin dia juga begitu. Aku memang agak bersalah karena belum memperkenalkan dirinya ke Sheila. Hari ini aku menemani istriku di rumah. Kalau tak ada kegiatan seperti ini, kami biasanya menghabiskan waktu seharian di rumah. Aku punya kesamaan dengan Sheila yaitu bosan keluar rumah.
Kami lebih suka menghabiskan waktu di rumah sambil bercengkrama. Entah itu soal humor atau hal-hal yang lain. Kami sekarang tinggal di rumah kami sendiri. Awalnya ibuku mencegahku untuk tinggal di rumah sendiri tapi aku sudah memutuskan untuk bisa tinggal di rumah sendiri sekali pun ngontrak. Akhirnya aku mengontrak sebuah rumah yang nggak terlalu besar, tipe 45 dengan tiga kamar dua lantai. Di halamannya ada tanaman-tanaman yang memang sengaja dirawat oleh pemilik aslinya. Kami hanya diberikan wejangan untuk selalu menyiram tanaman setiap harinya. Selebihnya kam dipersilakan memanfaatkan isi rumah dengan sebaik-baiknya. Tak masalah menurutku. Lagi pula harga sewanya cukup terbanting. Terlebih ketika sang empunya tahu kalau Sheila seorang artis.
Memang Sheila itu pakai hijab sekarang, tapi kalau di rumah ia pakai baju seenaknya. Seperti sekarang ini, dia memang sengaja menggodaku dengan tanktop warna merah dan celana jins pendek yang memperlihatkan pahanya yang mulus. Baiklah, memang aku seorang suami. Bebas dong melihat tubuh istriku yang mana aja, bahkan kalau boleh dibilang melihatnya tanpa busana pun boleh-boleh saja. Hanya saja terkadang situasinya tak tepat. Seperti sekarang ini aku sedang membaca naskah yang diberikan oleh pak Produser kepadaku, tiba-tiba dia langsung duduk di sampingku dan memperhatikan apa yang aku baca.
"Apaan sih? Kepo banget," ucapku sambil melirik busana yang ia kenakan.
"Mas, cuacanya dingin yah malam ini," katanya.
"Kalau dingin pake selimut biar anget!" ujarku.
"Selimutin dong!" Sheila memasukkan tangannya ke dalam tubuhku lalu memelukku. Ia kemudian menciumi leherku. Wah, kayaknya dia lagi kepengen.
"Say, mas lagi sibuk nih. Besok harus tanda tangan kontrak soalnya. Mas nggak mau nandatangan kontrak yang naskahnya aja nggak mas baca," aku mencoba menasehatinya.
"Jadi yakin nggak mau nyelimuti aku?"
"Mau dong," jawabku.
"Ya udah, sekarang yuk!"
Nah ini, kalau sudah begini aku bingung. Entah dia tadi makan apa koq sampai horni seperti ini. Kebanyakan makan daging mungkin. Kemudian aku menatap wajahnya, dalam hitungan detik kami perlahan-lahan mendekatkan wajah lalu terjadilah peristiwa menempelnya bibir yang disusul dengan kecupan-kecupan basah. Aku pun berbalik memeluknya, Sheila mulai merebahkan diri ke sofa panjang tempat kami duduk. Yah, mau gimana lagi. Istriku memang orang yang paling bisa menggodaku. Saat kami asyik berciuman tiba-tiba.
TING! TONG! Bel rumah pun berbunyi.
Aku buru-buru duduk di sofa. Sheila segera bangun dan lari menuju ke kamar. Kemudian segera ku beranjak untuk membuka pintu. Wajah seseorang di sana tidak asing. Dina???
"Di-Dina?" aku terkejut.
"Hai Jo, maaf. Mengganggu?" tanyanya.
"Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini?" aku memang heran bagaimana dia bisa tahu aku tinggal di sini.
"Ada deh. Aku kan kepo, hehehe," jawabnya.
"Errmm...," baiklah untuk sejenak birahiku bersama istriku harus ditunda dulu karena ada tamu. "Sayang, ada tamu!"
Dari dalam kamar muncullah Sheila yang sudah berganti baju. Dia kini memakai gamis terusan dengan kerudung lebar. Matanya langsung menatap ke arah Dina. Awalnya ia sedikit terkejut dengan kedatangan Dina. Dia menoleh ke arahku, kemudian ia tersenyum. Sepertinya senyumnya agak dipaksakan. Apa gara-gara ia tak suka dengan kedatangan Dina?
"Hai, apa kabar?" sapa Dina.
"Hai, kamu?" Sheila menjabat tangan Dina.
"Aku Dina temannya Johan. Kalian nggak ngundang-ngundang sih kalau nikah?"
"Maaf, iya soalnya kami mendadak banget waktu itu, sekalian kelulusan. Soalnya VISA-nya sudah habis," terang Sheila. "Kami menikah di Jerman."
"Iya, Johan jahat ya. Sahabatnya malah nggak diberitahu," Dina menampakkan wajah cemberut.
"Aku kan udah minta maaf?" aku membela diri. "Mau minum apa Din?"
"Apa aja deh," jawabnya.
Segera aku menuju ke dapur untuk mengambilkan jus. Sekarang memang terasa aneh karena entah bagaimana Dina bisa tahu rumah kontrakanku. Memang ada sesuatu ketika tadi Sheila melihat Dina. Apakah dia merasakan sesuatu kepada diri Dina? Lagi-lagi pikiranku tentang perkataan Melati terngiang lagi. Dina, seorang manusia yang bisa berbicara dengan tanaman.
Sambil melamun aku menuangkan jus ke dalam gelas. Kuisi tiga gelas dengan jus jeruk yang berada di kulkas. Setelah terisi penuh kemudian aku taruh semuanya di nampan. Aku jadi penasaran juga apa yang mereka bicarakan. Setelah itu aku membawa nampan berisi minuman ke ruang tamu. Namun di sana hanya ada Sheila. Lho?? Dina mana?
"Lho, Dina mana?" tanyaku.
"Oh, dia tadi ada urusan mendadak. Ada telepon masuk trus segera buru-buru keluar. Lain kali disambung. Gitu katanya," jawab Sheila sambil tersenyum kepadaku. Ia kemudian beranjak lalu masuk ke dalam kamar. Kuletakkan nampan di atas meja. Aneh. Secepat itukah Dina pergi? Aku malah merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Segera aku masuk ke kamar. Kulihat Sheila sedang melepas pakaiannya, hingga memakai pakaian seperti tadi sebelum memakai gamis. Ia kemudian menggerai rambut coklatnya yang panjang. Sejurus kemudian ia melompat ke atas kasur.
"Yuk yang!" ajaknya.
Ah, kalau melihat istriku seperti ini seperti ini, mungkin cuma perasaanku saja yang tidak enak. Kini ia dengan pose menggoda mengajakku untuk segera naik ke atas ranjang. Baiklah. Kalau begitu besok saja aku membaca naskahnya.
Setelah kami bercinta malam itu kami pun terlelap. Aku memeluk istriku hingga sampai lewat tengah malam kami terbangun. Sebuah suara petir membuatku tersentak, begitu juga Sheila. Dalam balutan selimut kami sepertinya masih merasakan hawa dingin. Hujan deras turun di luar memberikan suasana yang romantis. Aku memeluk istriku dari belakang sembari memberikan kecupan hangat di ubun-ubunnya.
"Nggak bisa tidur?" tanyaku.
"Kebangun karena petir. Kamu juga?" tanyanya balik.
Aku mengangguk. "Iya."
Aku tak berani bertanya lebih jauh kepadanya. Aku merasa dia sedang ada permasalahan yang sulit ia keluarkan. Mungkin ia ingin menyimpannya tapi jujur aku penasaran.
"Tadi baik-baik saja?" tanyaku.
"Iya, baik-baik saja," jawabnya.
"Ayolah, kamu tahu aku tidak seperti dirimu yang bisa melihat warna-warna. Kira-kira warna apa yang kamu lihat pada diri Dina?" tanyaku.
Sheila menoleh ke arahku. "Mas, kamu mencintaiku?" pertanyaan yang aneh.
"Tentu saja, kenapa kamu bertanya seperti itu? Aku sangat mencintaimu," jawabku.
Dia tersenyum. "Kalau begitu aku tak perlu menceritakannya kepadamu. Yang jelas, aku akan melindungi orang yang mencintaiku."
"Maksudnya?" Aku semakin tak mengerti.
"Tak apa, tak usah dipikirkan. Peluk aku dong!" ujarnya. Aku pun memeluknya dengan erat. Kami kemudian tertidur sampai pagi, hanya saja dalam tidurku aku masih merasa penasaran dengan apa yang terjadi. Aku yakin Sheila meliha sesuatu yang tidak biasa.
* * *
"Sayang, hari ini kamu keluar?" tanyaku.
"Ada jadwal pemotretan nanti," jawabnya.
"Kita bareng kalau gitu," usulku.
"Ah, nggak usah!" katanya.
"Lho, kenapa?"
"Nggak usah, nanti kamu telat. Katanya mau ada tanda tangan kontrak?" istriku menyerahkan sepotong sandwich roti isi telur ceplok untuk sarapan. Kuterima dan langsung kumakan.
"Tenang aja, tidak terlambat koq," jawabku. "Lagian nanti ketemunya pas jam makan siang."
"Oh, baiklah. Suamiku yang tampan ini baik sekali ternyata," gelaknya sambil mencubit hidungku.
"Awas yah, kamu itu jadi istri suka banget goda suaminya. Nggak tahu apa kalau suamimu ini gampang banget tergoda," ujarku.
"Bagus dong, berarti aku masih bisa menggoda suamiku. Daripada jajan di luar hayooo?"
Aku langsung memeluk pinggangnya.
"Eit, eh apa ini?" Sheila mencoba melepaskan pelukanku.
"Lelaki bodoh yang mau meninggalkan bidadari secantik kamu," jawabku. Sheila tersenyum manis. Dan berikutnya kecupan demi kecupan mendarat di bibirnya.
"Mau sampai kapan pelukan? Nanti telat!" bisiknya.
"Selamanya deh, biarin telat," kataku.
"Ihhh... dasar. Nanti malam dilanjut!" katanya. "Kata orang memang benar, suami itu seperti anak kecil berbadan besar."
"Hehehehe," aku meringis. Sheila mendorong tubuhku sehingga pelukanku terlepas. Kunikmati terlebih secangkir kopi panas sebelum kami berangkat sambil menunggu dia untuk berdandan.
Pemotretan itu diselenggarakan di sebuah redaksi majalah wanita yang cukup terkenal. Rencananya Sheila akan mengisi sampulnya. Ketika aku datang ke studio tempat pemotretan langsung saja Sheila digelandang oleh penata rias untuk dirias. Sembari dia bersiap aku duduk di kursi sofa yang disediakan oleh karyawan di sana. Ada koran pagi yang bisa kubaca ternyata.
"Ini mas, silakan diminum," ujar seorang wanita yang sepertinya karyawan di kantor majalah ini.
"Wah, makasih lho," kataku. Kopi dan koran. Mantab kalau begini caranya.
Kulihat empat buah cangkir kopi panas tersaji di sana. Ah, ini yang namanya surga. Kopi ada di mana-mana, batinku. Kulihat asapnya mengepul pelan. Kuambil satu cangkir dan kucium aromanya. Sedap. Tanpa banyak bertanya lagi aku kemudian menyeruputnya. Cairan kopi berwarna hitam kecoklatan itu mulai menyentuh bibirku kemudian melewati sela-sela mulutku hingga diterima oleh ludahku. Ujung-ujung syaraf perasaku segera mengantarkan respon yang aku terima ke otak. Rasanya sedikit beda dari buatan istriku. Yang ini terlalu manis. Tapi tak apalah daripada tak ada kopi. Rasanya otakku sedikit fresh setelah meminumnya. Kerongkonganku sudah basah, ada rasa lega dan hangat yang aku rasakan sekarang. Kini aku pun melanjutkan membaca koran. Aku pun membaca headline. Aku membaca judul Pohon Besar Tiba-tiba Muncul di Tengah Jalan.
"Apa ini?" gumamku.
Pohon setinggi 10 meter tiba-tiba saja muncul dari dalam tanah. Hal itu terjadi tepatnya di jalan Soedirman. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya kecelakaan beruntun, bahkan juga terjadi kemacetan panjang. Kejadian yang mengejutkan ini membuat orang-orang bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dilaporkan tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini tapi masih membuat beberapa orang shock.
"Tiba-tiba saja pohon itu muncul dari dalam tanah, seperti film saja," kata Adi (20) salah seorang saksi mata yang melihat langsung kejadian itu.
"Entah dari mana tiba-tiba muncul pohon dari jalan raya. Saya panik akhirnya mengerem, akibatnya mobil-mobil yang ada di belakang saya nabrak," ujar Kasdi (40) sopir truk yang mengalami tabrakan beruntun.
Aku menggaruk-garuk hidungku. Ini benar-benar aneh, bagaimana mungkin pohon sebesar itu bisa muncul begitu saja dari dalam tanah? Apa mungkin ada sesuatu yang menyebabkannya seperti itu? Tapi dipikir-pikir dengan ilmu sains pun sangat tidak masuk akal tiba-tiba ada pohon setinggi itu muncul begitu saja. Kira-kira apakah bumi bisa menjawabnya? Apa aku harus bertanya kepada bumi?
Kulihat disekelilingku. Banyak manusia di sini. Kalau terjadi apa-apa ketika aku melakukannya bisa jadi semuanya panik dan akan membawaku ke rumah sakit seperti dulu. Aku tak mau itu terjadi. Aku pun mengurungkan niatku dan kembali membaca berita yang lain. Aku menoleh ke arah Sheila. Dia sudah mulai masuk ke sesi pemotretan. Ia tampak cantik dengan busana yang dipakainya. Iris mata biru safirnya menatapku dari kejauhan. Pandangannya benar-benar sejuk. Aku rasanya tak kuasa kalau terus melihatnya. Aku hanya bisa melempar senyum kepadanya.
Ruangan ini ada jendela kaca, sehingga kami bisa melihat gedung yang berada di seberang jalan. Hanya saja ketika pemotretan ini gordennya ditutup agar cahaya matahari tidak mengganggu efek pencahayaan ketika sesi pemotretan terjadi. Sekali pun gorden itu ditutup, kami masih bisa melihat bayang-bayang yang ditimbulkan akibat efek sinar matahari yang kuat. Ini memang musim penghujan namun bukan berarti pagi hari tak ada sinar matahari terlebih ini Jakarta yang mana matahari lebih sayang kepada kami daripada awan.
Wajah Sheila berubah. Dari yang tadinya cerah tiba-tiba ia seperti merasa melihat sesuatu yang aku sendiri tak bisa mendeskripsikannya. Dia menatap ke gorden. Aku pun menoleh ke sana. Tak ada apa-apa.
"Tidak! Tidak!" tiba-tiba ia menjerit.
Aku segera melempar koran yang aku baca kemudian beranjak ke arahnya. Semua orang terkejut dengan sikapnya. Aku yakin pasti dia melihat sesuatu dan aku ingin jadi orang yang pertama tahu apa yang dilihatnya.
"Sheila, kamu tak apa-apa? Ada apa?" tanyaku khawatir.
"I-itu...kegelapan...!" ia menunjuk ke arah gorden.
Terus terang, hanya Sheila yang bisa melihat pita warna-warni. Sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang seperti aku. Ada sebuah bayangan yang berkelebat di sana. Lalu bayangan-bayangan yang lain muncul lagi. Apa itu? Karena penasaran aku segera membuka gorden. Saat itulah aku melihat ada benda yang jatuh dari atas. Orang-orang yang ada di ruangan pun keheranan dan mendatangiku. Mereka juga ingin melihat apa yang terjadi. Tunggu dulu ini bukan benda. Ada yang jatuh lagi. Kami semua mendongak ke atas. Hingga kemudian kami sadar apa yang sebenarnya jatuh dari atas. Salah seorang karyawan wanita menjerit keras.
Aku bisa memaklumi dia kenapa menjerit. Juga kenapa Sheila sampai seperti itu tadi. Itu karena yang jatuh ke bawah bukan benda melainkan manusia. Mereka semua jatuh ke bawah seperti air hujan. Aku pun mundur menuju ke Sheila agar dia tidak melihatnya.
"Tutup matamu! Tutup matamu!" pekikku.
Sheila kemudian segera menutup matanya. Hal berikutnya yang terjadi adalah kupeluk dia dengan erat. "Jangan membuka sebelum aku yang menyuruhmu!"
* * *
Total ada 70 orang yang tewas. Semuanya terjun dari atas gedung. Bunuh diri? Atau dibunuh? Kalau dikatakan dibunuh bagaimana cara membunuh mereka? Aku dan Sheila sekarang berada di sebuah kamar. Aku harus melihatnya. Aku harus melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kami masih berada di kantor redaksi majalah. Polisi dan petugas medis masih sibuk mengurusi mayat-mayat yang tergeletak di lantai bawah.
"Mas... aku takut," Sheila gemetar memegang tanganku.
"Jangan khawatir, aku tak akan lama. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi," kataku.
"Aku akan berada di sini sampai kamu bangun," ujarnya. Aku tersenyum mendengar ucapannya itu. Ia sangat setia sebagai seorang istri. Kuusap lembut pipinya yang merona merah. Kuhapus sisa-sisa air mata yang tadi keluar.
Aku kemudian memejamkan mata. Berbisik kepada bumi, "Bumi bicaralah!"
Seketika itu jiwaku terhisap lagi oleh sebuah arus pusaran berwarna hijau. Melesat jauh meninggalkan tubuhku. Jiwaku kemudian dengan cepat menuju ke sebuah cahaya dan berakhir di sebuah ruangan itu lagi. Ruangan tempat aku melihat seluruh memory dari planet ini.
"Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi," kataku.
Ruangan hijau itu pun kemudian terbentuk sebuah layar. Aku melihat sesuatu. Kulihat orang-orang beraktivitas seperti biasa. Tak ada yang aneh. Kulihat juga ada sebuah pohon besar tumbuh di tengah jalan. Apakah itu yang ada di berita koran tadi? Aku sampai melihat retakan di tanah. Akar pohon itu telah menghancurkan aspal. Besar juga akarnya. Bagaimana bisa pohon sebesar dan setinggi itu tiba-tiba saja muncul? Kemudian aku diperlihatkan lagi orang-orang yang sibuk memotong pohon itu hingga tumbang. Hanya saja ada yang aneh. Beberapa orang melihat ke atas. Ada apa di atas? Aku tak melihat apa-apa. Kemudian mereka tiba-tiba berbalik arah. Mata mereka menatap kosong ke depan seperti terhipnotis. Apa yang mereka lakukan?
Mereka ada puluhan orang, semuanya adalah orang-orang yang mengelilingi pohon itu. Mereka berjalan meninggalkan pohon itu. Para pekerja yang tadinya memotongi dahan pohon pun ikut serta. Bahkan orang-orang yang ada di sekitar tempat kejadian pun berjalan meninggalkan pohon tersebut. Mereka berjalan terus hingga sampai ke kantor redaksi majalah tempat Sheila melakukan pemotretan. Semua orang itu dicegah satpam agar tidak masuk. Namun satpam malah dipukul hingga ambruk. Semua orang itu naik ke lantai paling atas, masih dengan tatapan kosong. Berikutnya semuanya berjalan di atap. Setelah itu satu per satu menjatuhkan diri ke bawah.
Kenapa mereka melakukan hal seperti itu? Kenapa mereka sampai melakukannya? Pohon itu? Pohon itukah yang menyebabkannya? Ada apa dengan pohon itu?
"Bumi apakah kamu tahu kenapa pohon itu bisa ada di situ?" tanyaku.
Memori-memori yang ditunjukkan bumi meredup. Gelap. Tak ada. Seolah-olah bumi tak mempunyai memori tentang kenapa pohon itu bisa ada di sana. Kenapa? Terlalu banyak pertanyaan yang ada di dalam otakku. Aku pun kembali ke tubuhku.
Saat aku kembali Sheila masih ada di sana menggenggam erat tanganku. Dia tampak khawatir melihatku.
"Kamu tak apa-apa?" tanya Sheila.
"Iya, aku tak apa-apa. Aku tahu apa yang terjadi," jawabku.
"Apa yang terjadi?"
"Pohon itu. Pohon yang tumbuh di tengah jalan itu. Hal itu yang menyebabkan orang-orang terjun dari lantai atas," jelasku. "Tapi permasalahan bagaimana pohon itu bisa ada di sana, bumi tak memberitahuku."
Perutku terasa mual. Sheila dengan cekatan langsung memberiku segelas kopi yang memang sudah dia siapkan sejak dari tadi. Aku pun segera menenggaknya. Butuh waktu beberapa detik hingga rasa mual itu pun reda.
"Aku tadi melihat kegelapan," ucap Sheila.
"Kegelapan?"
"Pita berwarna gelap berpendar di ruangan tadi," Sheila gemetar menjelaskannya.
"Katakan kepadaku, apa yang kamu lihat!"
"Sayang, aku tak akan berpisah denganmu. Apapun yang terjadi aku akan berada di sisimu. Aku akan terus mencintaimu," katanya.
"Iya, tentu saja. Aku juga seperti itu," ujarku. Kupeluk Sheila dengan erat. Sepertinya ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku. "Katakan, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini ada hubungannya dengan Dina kemarin?"
Sheila mengangguk. Aku kemudian mendorongnya dan kulihat matanya.
"Katakan kepadaku! Jangan berbohong. Aku tak bisa melihat orang bohong atau tidak seperti kamu. Aku ingin tahu apa yang kamu lihat!" pintaku.
"Dina, kemarin berkata 'Aku akan merebut Kapten Bumi darimu. Kalau kamu tidak menyingkir aku akan berikan persembahan untukmu besok. Dan ini cuma peringatan. Semakin kamu tidak mematuhiku, akan ada banyak korban lagi nantinya' itu yang dia bilang," ujar Sheila.
Aku terhenyak. Dina berkata seperti itu? Aku segera mendekap Sheila. Dia menangis dalam pelukanku.
"Aku tak mau berpisah denganmu, mas. Aku tak akan mau berpisah denganmu," ujar Sheila sambil menangis.
"Tak akan terjadi apa-apa. Aku akan selalu ada di sini," kataku sambil mengusap-usap punggungnya.
Dina, apa yang sebenarnya engkau inginkan? Aku yakin pohon yang ada di tengah jalan itu, pasti karena Dina. Hanya dia yang bisa berbicara dengan tumbuhan. Aku akan menemuinya, tapi sebaiknya aku harus menenangkan Sheila dulu, karena dia shock berat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top