25 I Impas

"Wuih, ini kak Sheila yang penyanyi itu ya?" tanya Adelia ketika bertemu dengan Sheila. Ia menjabat tangan Sheila dan menggenggamnya erat.

"Kamu tak salah," jawab Sheila.

"Cieee... Kak Jo dapat cewek artis. Habis ini masuk infotainment nih, hehehehe," goda Adelia.

Aku menguyel-uyel rambut Adelia. Hal itu membuatnya gusar dan memukul bahuku. "Dasar, gimana sekolahmu?" tanyaku.

"Beres kak, tenang aja," jawab Adelia dengan sombong. "Eh, eh, aku ingin ngobrol sama Kak Sheila. Kakak sono aja sama bapak!"

"Lho? Kenapa?" tanyaku.

"Urusan cewek. Yuk, kak! Kita mojok aja. Jauhan dari Kak Jo," Adelia menggeret lengan Sheila. Sheila kemudian melambai kepadaku. Aku cuma terbengong sambil menatap mereka pergi.

Acara wisudaku pun berjalan lancar. Setelah pidato, penyerahan ijazah dan foto-foto bersama aku bersama keluargaku juga keluarganya Sheila minus kehadiran ibunya Sheila makan bersama. Kami makan siang di sebuah restoran yang cukup mewah sekaligus membicarakan perihal yang terjadi antara aku dan Sheila. Sebenarnya semenjak kedatangan bapak dan ibu ke Jerman aku sudah memberitahukan apa yang terjadi. Mereka cukup kaget, terutama ibuku. Namun bapak bisa mengerti kenapa aku melakukan hal ini.

Pada hari itu, sekaligus istilahnya pertemuan dua keluarga antara keluargaku dan keluarga Sheila yang ada di Jerman. Mereka semua cukup ramah dan kami lebur dalam keramahan ini. Sheila menghubungi ibunya lewat video call. Sehari sebelumnya sang ibu juga sudah diberitahu apa yang terjadi dengan kami. Sebagai seorang ibu tentu saja dia gusar. Siapa sih cowok yang bisa merebut hati putrinya? Sheila dan ibunya berdebat panjang hari itu. Namun kemudian akhirnya sang ibu mengijinkannya. Kami juga berbicara sebentar lewat video call.

Bak sebagai seorang tersangka, aku pun diceramahi habis-habisan oleh Mrs. Jamie. Namun akhirnya aku pun mendapatkan restunya sekali pun berat sebenarnya bagi diri perempuan itu melepas putri satu-satunya. Terlebih ketika ia tahu bahwa Sheila sudah berpindah keyakinan. Namun melihat kesungguhanku, Mrs. Jamie yakin aku bisa menjaga Sheila nantinya.

Abelarch juga datang hari ini. Lengkap sudah. Kulihat Abelarch dan Kriez bisa duduk bersama dalam satu meja merupakan hal yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Tak lupa Onkel Zack pun datang. Dia mengucapkan selamat kepada kami atas lamaran ini. Lebih tepatnya Onkel Zack sebenarnya bernostalgia dengan bertemu bapak. Mereka tampak akrab sekali. Hanya satu kata yang bisa aku ucapkan sekarang. "Bahagia"

Pernikahan. Siapa yang menyangka aku bakalan menikah di Jerman? Lucu mungkin dan terdengar konyol karena habis wisuda aku langsung menikah sebulan kemudian. Lebih tepatnya aku ijab qobul di Jerman. Untuk resepsinya akan diselenggarakan di Indonesia nanti. Sebagai seorang cowok aku lebih memilih play safe. Biar resmi dulu, jadi kalau aku ngapa-ngapain Sheila nggak ada yang protes. Begitulah yang terjadi. Di Munich-Freimann Masjid aku mengucapkan kalimat yang bersejarah. "Saya terima nikahnya..."

Dengan mas kawin seribu Euro dari hasil tabunganku sendiri dan tentu saja hasil dari jerih payahku bekerja sampingan beberapa bulan ini, aku meminang Sheila. Sheila agak bersedih tanpa kehadiran mamanya di sini. Tapi itu tak jadi masalah. Mamanya menyaksikan acara akad nikah itu dari video call. Setelah acara tersebut aku banjir ucapan selamat. Baik dari rekan-rekan mahasiswaku, dosen dan semua teman-teman Sheila. Yang paling bahagia adalah Sheila. Ia tak terlihat murung lagi. Sangat berbeda dengan yang aku lihat ketika pertama kali bertemu dia. Sekarang kami sudah sah sebagai pasangan suami istri. Tapi aku masih belum punya apa-apa. Jangan ditanya aku bagaimana menghidupi dia nanti, yang jelas aku akan berusaha, menjadi tangannya saat ia tak bisa memakai tangannya, menjadi kakinya saat ia tak bisa berjalan, menjadi matanya saat ia tak bisa melihat. Aku sudah bertekad untuk menjaganya. Dan aku lebih bahagia lagi ketika Sheila untuk pertama kali dalam hidupnya memakai hijab. Ah, aku sekarang benar-benar melihat bidadari turun dari kayangan.

Sengaja pernikahan ini dipercepat. Setelah lamaran langsung ada acara pernikahan tak perlu lama-lama. Karena kami harus segera balik ke Indonesia. Selain karena VISA kami juga yang sudah mau habis, Sheila juga ada kontrak yang harus dia kerjakan di Indonesia. Terlebih juga aku, ada seorang produser yang memintaku untuk membuat sebuah film. Aku setuju dengan konsepnya dan kami telah bersepakat untuk membuatnya sekembalinya aku ke Indonesia.

Hanya saja, persoalan sesungguhnya terjadi setelah kami kembali ke Indonesia. Di sinilah puncak dari ujian cinta kami diuji.

* * *

"Kenapa tanganmu dingin?" tanyaku sambil menggenggam tangan Sheila. Kami sedang dalam penerbangan menuju Jakarta. Kurang lebih dua jam lagi sampai.

"Grogi," jawabnya.

"Lho koq?" aku keheranan.

"Ya, iyalah. Apa nanti yang harus aku ucapkan kepada para wartawan di sana? Pasti banyak pertanyaan yang diberondongkan kepadaku. Terlebih aku sekarang sudah pakai hijab. Pasti mereka akan merasa aneh dengan gadis bermata biru berhijab dan lancar berbahasa Indonesia," terangnya.

Aku tertawa mendengarnya. "Kurang satu."

"Apa?"

"Punya suami ganteng," lanjutku sambil mengangkat mukaku sambil kugaruk hidungku.

"Dasar!" Sheila menoyor kepalaku. Kami tertawa mengingat hal-hal lucu yang sudah terjadi selama di Jerman. Kenangan yang manis dan indah.

Jangan berpikiran yang aneh-aneh dengan malam pertama kami. Sampai sekarang aku belum menyentuh Sheila. Ada perasaan ragu dan takut yang sekarang ini ada di dalam dadaku. Walaupun sekarang aku bisa menyentuhnya kapan saja sesukaku, tapi aku masih takut memenuhi nafkah batin yang satu ini. Sheila sendiri tidak menanyakannya dan tidak menyinggungnya sampai sekarang. Memang aneh, pernikahan tanpa malam pertama seperti ini. Aku sendiri bingung menjelaskannya. Hanya saja bisa jadi kecintaanku kepada Sheila lebih dari sekedar kebutuhanku akan nafsu biologis. Terus terang, Sheila lebih aku sayangi daripada apapun di dunia ini.

Oh iya, kami memang sengaja berangkat terakhir. Bapak, ibu dan Adelia berangkat duluan ke Indonesia. Sedangkan kami berdua berangkat dua hari setelahnya, karena harus mengurus beberapa hal di Jerman. Setidaknya sekarang kami sudah punya SIM kepanjangan dari Surat Ijin Menikah. Hehehe.

Pukul 10:00 pesawat mendarat di landas pacu Bandara Soekarno Hatta. Kami berdua melewati lorong terminal 4. Segera setelah kami berada di luar langsung disambut oleh orang yang kami kenal. Siapa lagi kalau bukan bapak, ibu dan Adelia. Travel bag dan barang-barang dimasukkan ke bagasi setelah itu kami pun melaju di atas jalan raya.

"Haaahhhh, kangen sekali dengan suasana Indonesia," aku menggeliat.

"Penerbangannya melelahkan ya," celetuk bapak.

"Begitulah pak," jawabku.

"Eh, Kak Jo," Adelia membisikkan sesuatu ke telingaku, "Selama Kak Jo nggak ada dicariin ama dua orang. Katanya setelah Kak Jo sampai ke Indonesia disuruh menemui mereka. Penting katanya."

"Ehmm?? Siapa emangnya?" tanyaku penasaran.

"Anton ama Dina," jawab Adelia.

Aku menelan ludah. Sebenarnya tentu saja aku tak ingin menemui Anton. Aku tak mempedulikannya. Ada apa Dina mencariku? Oh iya, aku lupa mengenalkannya kepada Sheila. Selama di jerman rasanya aku seperti terhipnotis oleh Sheila sehingga melupakan semua perempuan yang pernah aku kenal di sini.

"Ada apa sih kalian bisik-bisik?" Sheila mulai kepo.

"Ah, nggak ada apa-apa koq," jawabku.

"Ehhmm?? Apa hayo? Aku tahu lho," Sheila melotot kepadaku. Ah iya, aku tak bisa berbohong kepada dia.

"Ada yang nyariin aku selama aku di Jerman," ujarku.

"Siapa? Para mantan?" ledek Sheila.

"Bukan," jawabku.

Sheila mengamatiku. Aku yakin dia melihat kejujuran pada diriku. Ia sepertinya lega. Tampak dari wajahnya yang kembali cerah. Dia jadi banyak curiga kalau menyangkut teman wanita. Adelia tergelak.

"Hei, kenapa kamu ketawa?" tanyaku ke Adelia.

"Kak Jo sudah ikutan ISTI ternyata," jawab Adelia.

"Hah?"

"Iya. Ikatan Suami Takut Istri," Adelia tertawa sambil memegang perutnya.

Sheila menjulurkan lidahnya kepadaku. Ia juga tertawa. Aku hanya mendengus kesal. Agaknya hal itu dijadikan alat oleh Sheila dan Adelia untuk membullyku selama perjalanan ke rumah. Otomatis selama perjalanan itu kami tidak bosan dan banyak bercanda.

Ketika sampai di rumah ternyata kami tidak sendiri. Ada Mrs. Jamie di sana. Sheila sangat gembira ketika melihat ibunya. Rumah kami sudah dipenuhi sanak family yang menyambut kedatanganku dan Sheila. Para tetangga diundang dan mulai berdatangan orang-orang yang tidak dikenal seperti awak media. Sigh, aku lupa kalau istriku adalah seorang yang terkenal. Kami kemudian diwawancarai mengenai hal ini. Yang jelas kehidupanku tidak seperti dulu lagi.

* * *

"Sayang?!" tubuhku ditepuk lembut. Aku membuka mataku. Kulihat wajah Sheila berada persis di depanku. Aku langsung terkejut dan hampir saja melompat. "Kamu tak apa-apa?"

Oh iya, aku lupa kalau aku sudah menikah. Sheila ada di hadapanku cuma pakai handuk. Rambutnya basah, aku bisa mencium bau shampoo di badannya. Kehadiran seorang perempuan di kamarku pagi ini benar-benar mengagetkanku apalagi seorang bidadari seperti dia. Baiklah kalau kalian bertanya apakah aku sudah memberi nafkah batin, jawabnya iya. Tadi malam dan tidak disengaja. Koq tidak disengaja? Ya nggak tahu tiba-tiba saja kami berciuman setelah itu jadi deh. Nggak perlu aku ceritain kan bagaimana prosesnya, yang jelas orang dewasa yang cukup umur sudah bakal mengerti apa yang terjadi.

"Kamu kenapa?" tanya Sheila sambil tertawa.

"Aku terkejut aja. Tak biasanya di kamarku ada cewek," jawabku.

"Dasar. Emangnya siapa yang sudah pernah masuk ke kamarmu sebelumnya?"

"Tidak pernah bahkan adikku saja tak pernah," ujarku.

"Menurutku sih, kamar cowok itu exotic," ucap Sheila.

Sheila kemudian merebahkan dirinya di sampingku. Ia menyingkap selimutku sebentar. Oh iya, aku tak berbusana. Ia kemudian tertawa. Aku cukup aneh, kenapa? Karena aku yang seharusnya sudah terbiasa dilihat tanpa busana oleh cewek-cewek dulu sekarang koq jadi malu dilihat oleh dia.

"Apaan sih?" gerutuku sambil melindungi tubuhku dengan selimut.

"Mandi sana, biar nggak lengket!" suruhnya.

"Iya iya nyonya Johan," aku segera bangkit. Kuhempaskan selimutku hingga tubuhku terekspos di depannya.

"Aww, tidaak! Aku melihat porno aksi," Sheila menutupi wajahnya.

"Ah, jam berapa sih?" tanyaku dan kulihat jam dinding di kamar. Masih jam 5 pagi. Baiklah masih punya waktu, segera aku terkam Sheila.

"Aww, Johan! Apaan sih? Mandi sana! Ntar subuh telat lho!" katanya.

"Bentar aja, aku mau nerkam istriku sendiri," kataku.

"Kyaaaaa!! Pak polisi tolong ada pemerkosaan!" gelak Sheila.

Aku pun menggelitiki dia sambil kuciumi wajahnya. Dan tak perlu kuceritakan lagi apa yang terjadi sesudah itu. Pagi itu aku memaksa Sheila mandi dua kali. Mau gimana lagi, pengantin baru.

* * *

Selama ini aku sudah melupakan Melati dan Anton. Bahkan aku juga sudah tak ingat lagi dengan Dina yang selalu menemaniku di rumah sakit dulu. Melati, bagaimana kabar dia sekarang? Sebenarnya aku bisa saja menggunakan kemampuan Geo Streamer, tapi...aku tak ingin melakukannya.

Tepat seminggu setelah kepulanganku ke tanah air. Tamu yang tidak aku sangka-sangka pun datang. Hari itu sebenarnya aku ingin mengajak Sheila mengunjungi mamanya. Mrs. Jamie sudah kangen berat, bahkan wanita keturunan itu sengaja menginap di rumahku beberapa hari hanya untuk bisa dekat dengan putrinya.

"Masak apa nih?" tanyaku ke Sheila.

"Masak semur lele," jawab Sheila.

Kulihat ibuku juga ada di dapur sedang sibuk memasak bersama Sheila. Semur lele, baru kali ini aku mendengarnya. Biasanya semur itu daging dan sebangsanya.

"Wah, kayaknya enak nih," gumamku. Kulihat Sheila dengan cekatan memotong leher lele. Sedangkan ibuku mempersiapkan bumbu-bumbunya.

"Udah sana! Nggak usah ganggu orang yang sedang ada di dapur!" perintah Sheila.

"Yah, aku kan juga ingin ikut bantu," rengekku.

"Johan, sana pergi! Dapurnya jadi sempit. Kalau mau mesra-mesraan nanti malam aja!" celetuk ibuku.

Aku menggaruk-garuk kepalaku sambil cemberut. Sheila tertawa melihat polah tingkahku seperti itu. Aku pun mencuri cium istriku. Sheila gemas melihat perilakuku. Dengan tawa kemenangan aku pun meninggalkan mereka.

TING! TONG! Terdengar bunyi bel.

Segera aku berlari menuju ke depan rumah. Saat itulah aku terhenyak melihat seseorang berdiri di depan pintu. Seseorang yang aku tidak ingin melihatnya lagi. Dia tersenyum kepadaku seperti seolah-olah tak terjadi apa-apa. Aku tahu senyumannya itu hanya untuk berbasa-basi. Aku tak akan pernah melupakan kejadian waktu itu, di hari di mana dia mengkhianatiku. Anton tampak berdiri di sana menungguku untuk mempersilakan masuk.

"Hai Jo, apa kabar?" sapanya.

"Mau apa kamu ke sini?" tak ada jawaban hanya pertanyaan ketus kulontarkan kepadanya.

"Aku ingin bicara denganmu, bisa kita bicara empat mata?" tanyanya.

"Tak ada yang perlu dibicarakan. Kenapa kamu harus ke sini segala? Persahabatan kita telah berakhir. Sebaiknya kamu pergi dari rumahku!" Aku mengambil gagang pintu bermaksud untuk menutup pintu.

"Jo, tunggu sebentar! Kumohon!" ia mencegahku.

"Apa sih maumu? Pergi sana! Aku muak melihatmu!" aku pun kembali mendorong pintu tapi sekali lagi Anton menahannya.

"Jo, please! Aku tahu aku salah. Aku mohon sekali ini saja, aku ingin bicara empat mata denganmu. Setelah itu terserah apapun yang engkau inginkan aku ikhlas. Please!" bujuknya.

"Tak ada lagi tempat buatmu. Jadi sebaiknya kamu pergi," usirku.

"Ini berhubungan dengan Melati," ujarnya.

Saat itulah aku menghentikan gerakanku. Aku mendengak menatap ke arah sorot matanya. Ada raut kesedihan di mata itu. Anton seolah-olah bukan Anton yang dulu aku kenal. Iya ia memang banyak berubah, tapi yang aku bisa baca di matanya adalah sesuatu yang lain. Kesedihan. Kehampaan.

"Ikutlah denganku, sebelum terlambat," katanya.

"Ada apa dengan Melati?" tanyaku.

"Ikutlah denganku, kumohon!" sekali lagi ia membujukku.

"Sayang? Mau mencicipi?" seru Sheila sambil memunculkan dirinya. Melihat Sheila ada di rumah, Anton tampak terkesima. Ah iya, dia tidak tahu kalau aku sudah menikah.

"Siapa dia?" tanya Anton.

"Dia Sheila, istriku," jawabku.

"Oh, teman suamiku ya?" sapa Sheila.

"Iya, namaku Anton," jawab Anton.

Sheila menatap ke arahku. Dia seperti membaca sesuatu. Ah iya, aku tak bisa berbohong kepadanya. Dan aku sudah bercerita mengenai Anton kepada Sheila. Juga termasuk tentang Melati. Dia mengangguk kepadaku, "Pergilah! Kalau memang itu penting."

Aku menghela nafas. "Baiklah, tunggu aku!"

Segera aku masuk ke dalam kamar mengambil jaketku. Sebelum pergi aku mencium kening Sheila.

"Hati-hati di jalan!" katanya.

Akhirnya aku dan Anton pun pergi. Kami naik sepeda motor masing-masing menuju ke suatu tempat yang sepertinya tak asing bagiku. Rumah sakit. Ada apa sebenarnya? Setelah turun dari kendaraan, kami kemudian masuk ke rumah sakit.

"Kapan kalian menikah?" tanya Anton.

"Sebulan yang lalu di Jerman," jawabku.

"Sebegitu bencinyakah dirimu kepadaku? Sampai-sampai pernikahan saja nggak ngundang?" tanyanya sinis.

Aku tak menjawab. Sebaliknya aku bertanya kepadanya, "Kenapa mengajakku ke rumah sakit? Ada apa sebenarnya?"

"Kamu juga tahu habis ini," katanya.

Kami pun akhirnya berjalan terus hingga ke sebuah kamar. Di kamar ini aku mendapati seseorang yang aku kenal sebagai saudara kembar Melati, Bandi. Dia ada di luar kamar pasien. Apakah yang ada di kamar itu Melati? Begitu melihatku ia langsung ingin menonjokku, saat itulah Anton mencegahnya.

"Mau apa kamu ke sini?" tanyanya. "Mau ngancurin hidup adikku lagi?"

"Mas Bandi, cukup! Ingat kata Melati. Please! Biarkan dia bertemu Melati untuk yang terakhir kali," kata Anton. Apa maksudnya yang terakhir kali?

"Apa maksud kalian? Kenapa harus terakhir kali?" tanyaku.

"Masuklah! Kamu akan mengerti kenapa," kata Anton.

Pintu kamar pasien itu tak berkaca. Sehingga tak ada yang tahu siapa yang berada di luar. Sebenarnya aku agak ragu untuk masuk, aku bingung kenapa aku harus mengikuti Anton? Kenapa? Dan sekarang ini apa yang aku lakukan? Berdiri di depan pintu kamar pasien. Pasti terjadi sesuatu dengan Melati, tapi kenapa Melati masih memikirkan aku? Masih menginginkan bertemu denganku. Apakah dia menyesal? Kenapa dia harus menyesali perbuatan yang ia lakukan sendiri? Bukankah mengikuti kata hatinya itu sudah benar? Lalu kenapa? Aku sudah tak memikirkan dia lagi. Bagiku dia masa lalu yang tak akan aku lupakan. Tapi bagiku persoalan dirinya dan aku sudah selesai. Tapi ini?

Perlahan aku buka pintu itu. Suara gagang pintunya agak gaduh. Aku masih teringat bagaimana pintu gagang kamar pasien ketika aku masih dirawat. Pasti berisik. Sama seperti ini. Suara as pintu berderit menandakan pintu ini tak pernah diberi oli sampai bersuara seperti itu. Namun keberadaan suara tersebut membuat seseorang yang sedang tergolek lemah di atas ranjang tersadar. Dia sendirian di dalam kamar ini.

Sorot matanya melihatku. Nafasnya tampak terasa berat naik turun. Tubuhnya sangat kurus, bahkan aku bisa melihat tulang pipinya. Sekalipun begitu di wajahnya yang pucat masih tersirat bagaimana aku dulu sangat memuja parasnya. Perempuan itu sekarang berada di hadapanku dalam kondisi lemah dan ironisnya malah memaksakan tersenyum kepadaku.

"Hai," sapanya.

"Hai," sahutku.

Aku berjalan perlahan-lahan mendekat kepadanya. Apa yang terjadi? Kenapa ia seperti ini.

"Ternyata, do'aku terkabul. Aku bisa melihatmu, Jo," katanya.

"Apa yang terjadi? Kenapa kamu seperti ini?" tanyaku.

"Tak apa-apa, semuanya baik-baik saja," jawabnya.

"Baik-baik saja? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kalian sembunyikan dariku? Tubuhmu kurus sekali tinggal tulang. Dan oh tidak,... Mel, apa-apaan ini?" aku tak tahu kenapa aku bisa sesedih ini. Hatiku terguncang dan dadaku bergemuruh.

Melati malah tersenyum kepadaku. "Pegang tanganku, Jo! Aku rindu kamu."

"Tidak, aku tak mau," kataku.

Melati menghela nafasnya. "Kamu masih marah kepadaku? Masih tak memaafkanku. Aku mengerti."

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku.

"Hidupku setiap hari adalah minum obat dan kemoterapi. Awalnya hanya leukimia tapi kemudian mulai ke yang lain. Seminggu sekali aku cuci darah dan entah sudah berapa kali aku melakukannya. Tubuhku sakit semua," jawabnya.

"Apa?" aku terhenyak.

"Anton berusaha menghubungimu tapi seluruh kontakmu tak bisa dihubungi. Engkau seperti menghilang ditelan bumi. Aku sekarang mengerti Jo. Aku sekarang mengerti. Terkadang manusia itu memang egois, hanya mementingkan apa yang dirasakannya saat itu, tapi tidak melihat apa yang dirasakan oleh orang lain. Aku bukan kekasih yang baik. Aku pantas menerima ini, aku siksa diriku sendri sampai seperti ini," jelasnya.

"Kamu gila, kenapa kamu lakukan itu?"

"Karena kamu."

"Karena aku?"

"Aku masih mencintaimu Jo. Aku sadar sekarang betapa kamu sangat tersakiti karena aku. Engkau benar-benar sangat mencintaiku. Aku selama ini buta, aku selama ini tak pernah mencoba melihat dari sisimu. Ah, aku menyesal."

Aku membuang mukaku. Kualihkan pandanganku ke jendela kamar. Dari sini aku bisa melihat pemandangan di luar rumah sakit. Suasana hening lagi. Bukan hening kecanggungan, tapi keheningan yang meratap. Aku bersedih atas apa yang terjadi dengan Melati. Tapi kenapa harus seperti ini?

"Kamu sudah bertemu dengan Sheila?" tanyanya. Aku terkejut. Bagaimana dia bisa tahu Sheila?

"Bagaimana kamu bisa tahu?" tanyaku.

Melati tersenyum. "Oh, berarti kalian sudah bertemu. Syukurlah. Jangan kamu kecewakan dia. Aku akan berdo'a semoga kalian bisa bahagia selamanya."

"Dari mana kamu tahu tentang Sheila?" tanyaku lagi.

"Aku bertemu dengannya beberapa tahun yang lalu. Dia sedang mencari-cari Kapten Bumi. Yang aku tahu Kapten Bumi itu adalah sebutanmu bukan?"

Aku menelan ludah. Ternyata Sheila pernah bertemu dengan dia.

"Dunia ini kecil. Aku berdo'a agar kamu bisa bertemu dengan Sheila dan sekarang sudah terkabulkan. Aku sudah lega. Rasanya beban yang ada di pundakku telah sirna."

"Sejak kapan kamu menderita kanker?" tanyaku.

"Sejak lama, sejak kita pacaran," jawabnya.

"Kenapa kamu tak bilang kepadaku? Kenapa?"

"Entahlah, mungkin saat itu aku merasa aku bisa mengatasinya. Jadi aku tak perlu memberitahu kepada semua orang tentang keadaanku."

Aku lebih mendekat lagi ke Melati. Aku kemudian menggenggam tangannya. Melati tampak lebih bahagia ketika tangannya kugenggam. Hanya saja air matanya meleleh.

"Seharusnya kamu bilang kepadaku," ujarku.

"Tidak, aku bukan orang yang pantas dikasihani," katanya.

"Aku ini seorang Geo Streamer aku bisa bertanya kepada bumi bagaimana caranya agar kamu sembuh," kataku.

Melati menggeleng, "Tak perlu seperti itu. Aku sudah puas dengan kehidupanku sekarang."

"Mel, ini...benar-benar arghh...!" aku tak mampu melanjutkan kata-kataku.

"Sudah, tak apa-apa. Bagaimana kabar Sheila?"

Aku menghela nafas, "Kami sudah menikah."

"Wah, selamat kalau begitu. Dina pasti bakalan cemburu. Kamu tahu kalau Dina sangat mencintaimu," katanya. "Aku turut bahagia kalau kamu juga bahagia, Jo."

"Yang Dina cintai bukan Johan, dia menyukai Kapten Bumi. Aku bukan Kapten Bumi lagi. Aku yakin sekarang ini dia pasti sudah bersama dengan lelaki lain," kataku.

"Kamu salah, cintanya hanya satu. Hanya kamu. Penantiannya selama ini adalah kamu. Dia tak akan mungkin mencari lelaki lain selain kamu. Setiap hari dia dengan bunga-bunga itu menantimu. Kamu tahu kalau Dina bisa berbicara dengan bunga-bunganya?"

"Maksudmu?"

"Ya, Dina memang orang yang spesial. Dia bisa berbicara dengan bunga-bunga. Sesuatu yang memang tak lazim, tapi kami sering berbagi dan dia bercerita tentang keadaannya kepadaku. Dan bagaimana bunga-bunga berterima kasih kepada Kapten Bumi karena telah menyelamatkannya dulu. Kurasa sekarang kamu mengerti apa yang dia inginkan, kenapa dia menginginkanmu."

Sekarang aku mengerti kenapa Dina seperti itu, terobsesi kepadaku. Ada suatu rahasia ternyata. Ia bisa berbicara dengan bunga-bunga? Berarti hampir sama seperti aku yang bisa berbicara dengan bumi.

"Jo, sampaikan salamku kepada Sheila," kata Melati sambil menangis. "Aku sudah menyampaikan apa yang ingin aku sampaikan. Jagalah cinta sejatimu. Aku yang ada di sini hanya bisa berharap semoga kalian bahagia. Sayang sekali hubungan kita harus berakhir tragis. Andai saja sampai sekarang kita tetap bersama. Andai saja...."

Tak banyak yang aku bicarakan lagi dengan Melati saat itu. Begitu aku keluar dari kamar pasien perasaanku bercampur aduk. Anton kemudian mengantarkanku ke taman yang ada di rumah sakit, sementara Bandi kembali masuk ke kamar adiknya. Kami duduk di sebuah bangku yang ada di bawah pohon beringin. Pandanganku menerawang jauh. Ku mencoba untuk tidak terlalu melankonlis tapi air mataku meleleh juga.

"Aku bodoh ya Ton?" tanyaku.

"Bodoh kenapa?" tanya Anton balik.

"Harusnya, aku memperjuangkan Melati lebih keras. Harusnya aku menjaga dia."

"Ck, sudahlah buat apa kamu punya pemikiran seperti itu? Yang terjadi biarlah terjadi."

Kami pun terdiam. Hanya keheningan alam yang kami nikmati di taman itu. Suara burung-burung, suara gesekan dedaunan dan suara angin seolah-olah mencoba menghibur kami. Aku sendiri sekarang dipenuhi aura penyesalan. Kenapa aku harus pergi dulu? Kenapa aku tidak di sini saja memperjuangkan Melati? Aku memang orang bodoh. Tapi itu sudah berlalu. Melihat keadaan Melati seperti ini aku jadi bersedih.

"Kankernya sudah stadium empat, tinggal menunggu waktu saja sebenarnya. Suatu keajaiban dia masih bisa bertahan sampai sekarang. Ia hanya ingin meminta maaf kepadamu. Aku bertahun-tahun mencari kontakmu tapi kamu seperti menghilang ditelan bumi, keluargamu juga sepertinya diam seribu bahasa. Aku bingung waktu itu harus bagaimana. Tapi kamu lihat Melati? Dia benar-benar berjuang hanya demi melihatmu," jelas Anton. "Aku menyesal Jo. Seharunya kau tidak kupukul waktu itu."

Aku tak bersuara.

"Kalau kamu mau membalasnya pukul aku sekarang," katanya.

Aku menghela nafas. Kemudian aku beranjak dari tempat dudukku. Kutarik kerah bajunya kemudian aku pukul dia dengan keras. Anton langsung tersungkur.

"Hei, bilang kalau mau mukul! Dasar!" protesnya.

"Sekarang kita impas," ujarku.

Anton meludah. Tampak bibirnya robek, darah segar mengalir di sana. "Sial, keras banget pukulanmu."

"Aku mau pulang. Istriku sedang masak enak di rumah," kataku sambil berlalu pergi.

"Aku boleh mampir?" tanya Anton.

"Ck, jaga Melati saja sana. Dia lebih membutuhkanmu daripada aku," kataku.

Anton tersenyum, "Ya, baiklah. Sampai nanti kalau begitu."

"Sampai nanti," kataku.

Hari itu adalah perjumpaan terakhirku dengan Melati. Dua hari kemudian aku hadir di pemakamannya bersama Sheila. Tak perlu aku gambarkan bagaimana perasaanku saat itu. Yang jelas aku ikut kehilangan. Sekali pun dia pernah mengkhianatiku tapi sekarang aku seperti Sheila, memaafkan orang yang telah mengkhianatiku. Rasanya dadaku benar-benar plong. Mungkin seperti ini juga perasaan Sheila saat memaafkan papanya. Anton dan Melati telah aku maafkan. Rasanya tak ada lagi beban. Tubuhku rasanya ringan sekali. Tapi persoalannya belum berakhir.

Terkadang dendam itu terjadi karena sesuatu yang tidak terbalaskan. Namun terkadang dendam juga terjadi karena sesuatu yang tidak bisa dimiliki. Aku tak akan melupakan kejadian setelah ini. Ujian di mana aku sebagai seorang Geo Streamer harus mengeluarkan kekuatanku sampai puncaknya. Banyak nyawa yang dipertaruhkan di sini. Hingga aku kehilangan orang yang aku sayangi. 

=====

dari author:

So, dari sini mungkin sudah bisa ditebak arah ceritanya kemana. Well, aku bukan bermaksud terlalu cepat. Memang sudah waktunya ke konflik utama. So terima kasih buat para pembaca atas atensinya. Dan juga mbak-mbak editor yang berkenan membabat habis ceritaku. Hahahaha.

Teruskan perjuanganmu mbak. 

Masih menerima komentar dan vote. ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top