24 | Ikatan
Jiwaku terhisap ke dalam arus pusaran berwarna hijau. Hanya aku yang bisa merasakannya, bagaimana jiwaku terombang-ambing hingga kemudian dengan cepat terhisap ke sebuah ruangan berwarna-warni. Di sini aku tidak sendiri. Di sana sudah ada bapak. Beliau sedang berjalan mondar-mandir ke sana kemari. Aku tak pernah menyangka saja ruangan dimensi ini bisa mempertemukanku dengan bapak. Beliau terlihat senang melihatku.
"Johan, bagaimana? Baru pertama kali ya bertemu bapak di sini?" tanya beliau.
Aku mengangguk. "Aku tak pernah menyangka bisa melakukan hal ini."
"Ada banyak hal yang kamu akan sadari nanti. Tapi sekarang ini bapak ingin memberitahumu sesuatu dan ini penting," beliau memberitahukanku seolah-olah sudah tidak ada waktu lagi.
"Apakah ini berhubungan dengan perubahan iklim yang terjadi secara tiba-tiba?" tanyaku menebak-nebak.
"Iya," jawab bapak. "Bumi sudah tidak sabar lagi. Berkali-kali aku berusaha menahannya tapi sepertinya waktu bumi untuk mereset dirinya sudah semakin dekat. Pertama kali iklim akan direset, lalu kemudian timbul gempa bumi di mana-mana, setelah itu akan datang angin topan yang membersihkan semuanya, dan yang terakhir musim dingin yang sangat lama. Hal itu akan terjadi ke seluruh bumi. Ini yang aku takutkan. Tidak, ini yang ditakutkan oleh seorang Geo Streamer. Planet yang marah."
"Apa tidak ada cara lain?"
"Tidak ada. Untuk menghentikan kemarahan planet ini satu-satunya cara adalah mengadakan perubahan yang revolusioner. Pabrik berhenti bekerja, berhenti membuang sampah, berhenti menebang pohon, berhenti membakar hutan, berhenti membuang limbah, berhenti menjalankan mesin, berhenti menjalankan kendaraan," jelas bapak.
"Tapi itu mustahil!"
"Sebagian kerusakan yang terjadi di atas bumi adalah kesalahan dari manusia. Bumi menyalahkan manusia atas itu semua. Lihatlah usia planet ini sudah sangat lama. Jadi wajar saja kalau bumi harus dirawat dan dijaga sekarang ini, tapi kurasa di jaman yang seperti ini sangatlah mustahil. Kalau kita bisa menghentikan bumi dari kemarahannya, belum tentu manusia akan berubah. Maka dari itulah bapak memintamu untuk belajar tentang cara membuat film. Hal ini sangat berguna bagi manusia yang tak mau dinasehati dengan kata-kata," ujar bapak. "Kebanyakan mereka lebih menyukai apa yang disuguhkan daripada apa yang perlu didengar."
"Sheila adalah anugrah terbesar bagimu. Bapak tahu apa yang terjadi dengan kalian. Baru saja bumi menceritakan semuanya," lanjut bapak.
Argh... berarti bapak tahu kalau aku berciuman dengan Sheila kemarin. Aku malu sekali.
"Tak perlu malu, kamu dan Sheila adalah pasangan yang serasi. Bapak setuju saja. Ketika Sheila masih kecil bapak pernah bertemu dengannya. Sekali bertemu bapak tahu bagaimana dirinya," jelas bapak menenangkanku.
"B-bagaimana caranya agar bumi tidak marah?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
"Kamu tahu bahwa kekuatan yang dimiliki seorang Geo Streamer itu sangat besar. Hanya saja, tidak setiap orang sanggup seperti kita. Kita memang seperti manusia biasa, tapi otak kita punya kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia pada umumnya. Sekali pun begitu, kita masih punya kelemahan. Impact dari kekuatan ini mengerikan. Kamu tahu kalau otak kita overload? Kita akan terkena stroke. Otak yang terlalu keras bekerja juga tidak bagus," jawab bapak.
"Iya, aku tahu. Darah akan terlalu cepat terpompa ke otak. Akibatnya kalau tekanan darah terlalu tinggi akan mengakibatkan pecahnya pembuluh darah di otak. Hal itu akan mengakibatkan stroke," sambungku. "Tunggu dulu, bukankah nenek dulu mengalaminya? Terkena stroke?"
"Benar sekali. Sekarang, lihatlah ke sini!" bapak mengajakku ke sebuah titik. Karena tubuh kami hanya berupa elemen halus, maka kami tak perlu berjalan. Kami melayang di ruangan yang spesial ini. Beberap saat kemudian kami melihat benda bulat berwarna merah melayang seperti planet. Tunggu dulu, aku juga melihat kabut-kabut yang lain di sekitarnya. Astaga ini bukan kabut, ini seperti rombongan kunang-kunang yang berbaris dengan pola tertentu. Salah lagi, bukan! Ini seperti bentuk tata surya. Aku ada di mana sebenarnya.
"Aku tahu kamu belum pernah ke sini," tebakan bapak benar sekali.
"Bagaimana bapak bisa mengetahui tempat ini? Dan ini semua, ruangan apa? Ini seperti tata surya," ujarku yang takjub melihat keindahan ruangan ini.
"Kamu tak salah, ini memang seperti tata surya. Tapi ini adalah sistem lain di dalam bumi. Lebih tepatnya adalah ini adalah jantung dari planet ini. Kamu bisa lihat berapa banyak bola berwarna merah yang mengitari sebuah bola berwarna putih? Nah, bola merah ini adalah para Geo Streamer. Jumlahnya sangat banyak namun tidak semuanyaberada di sini. Hanya saja, seiring berjalannya waktu bola merah itu akan hilang, hancur menjadi abu. Itu artinya pengabdiannya telah berakhir," jelas bapak. "Ketika kamu mengetahui bagaimana bumi ini tercipta. Maka kamu akan sadari bahwa usia planet ini sudah milyaran tahun. Sekarang ini bumi dalam fase terakhir. Ibaratnya ia sudah menjadi orang tua."
Ruangan seperti tata surya itu terlihat sangat indah dengan bintang-bintang yang juga menghiasinya. Aku cukup bersyukur punya kemampuan seperti ini. Bisa melihat semua hal yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Masih banyak yang harus aku pelajari ternyata.
"Seorang Geo Streamer harus melakukan sesuatu hal yang menjadi kewajibannya suatu saat nanti," terang bapak.
"Maksud bapak?"
"Kamu tahu, bola-bola merah itu bukan berarti karena suatu hal ada di sana. Bola merah itu untuk meredam kemarahan bumi. Ketika bola-bola itu berkurang atau bahkan habis tidak ada lagi, maka bumi akan mereset dirinya sendiri. Membersihkan segala yang ada di permukaannya dan mengulang kehidupan dari awal lagi," bapak menjelaskan sesuatu yang membuatku tercengang. "Jadi, keberadaan bola-bola merah itu terkait dengan pengorbanan yang dilakukan oleh Geo Stremer. Lihatlah pusatnya, masih berwarna putih cerah. Kalau pusatnya redup atau bahkan menghitam maka sudah dipastikan tak akan ada lagi yang bisa kita lakukan."
"Sebentar! Apa maksud bapak dengan pengorbanan?" tanyaku.
"Pengorbanan itu adalah seorang Geo Streamer akan menjadi bagian dari planet ini," jawab bapak.
"Itu gila! Maksud bapak tumbal?" protesku.
"Tumbal sebuah konotasi yang negatif. Lebih tepatnya menjadi bagian dari planet ini. Kita akan tinggal di ruangan ini dan berusaha sekuat tenaga untuk melakukan perubahan dengan cara menghalangi titik pusat itu meredup. Kita akan menjadi salah satu dari bola-bola merah itu," jelas bapak. "Nenekmu juga melakukannya, beliau ada di sini." Bapak menunjuk ke sebuah bola merah yang berada di dekat titik pusat.
"Ti-tidak mungkin....," aku mendadak lemas.
"Johan, bapak tahu ini berat. Tapi kamu sudah dewasa, rasanya bapak tak sanggup untuk menjelaskan ini kepadamu. Namun bapak sendiri tak yakin pada awalnya. Namun sekarang bapak yakin kamu sanggup melakukannya," bapak memberikan semangat kepadaku. Beliau tahu aku cukup shock mendengarnya.
"Lalu, apakah aku nanti akan menjadi bola merah itu suatu saat nanti? Demi agar planet ini tidak marah?" tanyaku.
"Bisa iya, bisa tidak. Ada dua macam cara untuk meredam kemarahan bumi, pertama dengan cara ini. Kedua, dengan cara membangun bumi. Merawatnya dari segala polusi. Merebosiasi hutan. Memelihara air dan hutan. Memberikan kehidupan di atas bumi. Dengan cara ini bumi akan bertahan sampai waktu yang lama. Itulah kenapa bapak menyuruhmu untuk belajar tentang perfilm-an. Buatlah sebuah film yang bisa menggerakkan hati manusia untuk menyayangi bumi. Maka dengan begitu titik pusat itu akan terus menyala terang," ujar bapak.
Untuk sesaat aku termenung. Ribuan kunang-kunang seolah-olah berada di kepalaku. Entah mengapa aku mulai takut terhadap kekuatanku sendiri. Kekuatan yang terlalu besar tapi akhirnya aku juga yang suatu saat nanti akan jadi tumbal. Aku mulai memikirkan semua realita yang ada. Kenapa semuanya terasa blur? Kenapa semuanya terasa berat. Punggungku seperti menerima beban yang sangat berat. Apakah itu artinya nanti hidupku tak lama? Aku hanya sebentar di dunia? Aku tak bisa melihat anak cucuku atau bagaimana? Ah, aku terlalu berat memikirkan itu semua.
Tiba-tiba titik putih itu sedikit meredup, warnanya berubah menjadi kelabu. Bapak terkejut, aku juga. Kami melihat bagaimana titik pusat itu meredup kemudian dengan serta merta bola-bola merah mengitari titik putih itu dengan arah berlawanan jarum jam. Bola-bola merah tadi kemudian membungkus titik pusat. Tak berapa lama kemudian titik pusat kembali terang, setelah itu bola-bola merah pun kembali ke tempatnya.
"Kamu lihat? Itu artinya baru saja bumi marah. Di suatu tempat di bagian bumi ini terjadi bencana. Sekarang mari kita lihat di mana bencana itu," bapak kemudian mengajakku keluar dari tempat spesial ini.
Kami melewati kabut tebal dan jalan yang mulus untuk kembali ke ruangan hijau. Di sini kami ingin mengetahui apa yang terjadi. Bumi pun memberikan gambarannya. Sebuah gempa bumi terjadi di Itali. Beberapa bangunan roboh dan jalanan retak karenanya. Di beberapa tempat terjadi fenomena hole sink. Beberapa rumah tiba-tiba ambles ke bawah, mobil-mobil, jalan raya, semuanya seperti tertelan ke dalam lubang sedalam 700 meter.
Menurutku kemarahan bumi cukup unik. Aku memang bisa berbicara dengan planet. Kemarahan yang aku rasakan bukan seperti kemarahan manusia pada umumnya. Kemarahannya lebih kepada bisikan amarah yang aku rasakan. Sangat halus, yang mana susah digambarkan dengan kata-kata. Ibaratnya kita merasakan hawa panas yang tidak ada apinya, namun hawa itu membuat rasa yang dingin di dalm jiwa. Hawa dingin yang menakutkan. Seperti ketika kita berada di sebuah ruang spa yang panas dengan ditemani ribuan hantu yang menakutkan. Atau kondisi seseorang di tengah padang pasir ketika kehausan setelah berhari-hari tidak menemukan air terkapar di atasnya dan burung-burung pemakan bangkai sedang menunggu dia untuk mati.
* * *
Memang berada di dalam ruangan serba hijau itu merupakan kesenangan sendiri. Dengan kekuatanku aku bisa melihat apa yang terjadi di masa lalu. Aku hanya tinggal menyebutnya saja. Namun dengan kemampuanku itu, efek sampingnya adalah aku akan tidak sadar selama beberapa waktu. Kemampuanku ini bukan hanya saja menyerap kekuatan jiwaku, tapi juga kekuatan tubuhku. Bapak berkata, seorang Geo Streamer bahkan tubuhnya seperti orang mati ketika masuk ke ruangan hijau. Mereka akan membatu, mematung seperti tak punya nyawa. Memang kata orang dengan kekuatan yang besar akan muncul tanggung jawab yang besar pula. Tanggung jawabku melindungi umat manusia agar bumi tidak lepas kendali dan menganggap semua manusia adalah penyakit. Makhluk yang satu ini memang sulit untuk ditebak dan dikendalikan, tapi seorang Geo Streamer punya cara tersendiri untuk menenangkannya.
Ah, bicara mengenai efek samping. I'm busted.
Tubuhku terkapar di atas ranjang putih. Ah, bau ini tidak asing. Aku berada di rumah sakit. Bau obat-obatan ini berasal dari meja yang ada di sampingku. Selang infus tampak terpasang di lengan kiriku. Aku membuka mataku dan kulihat seorang perempuan tidur di tepi ranjangku. Sheila??
Aku mencoba menyusun semua hipotesa yang ada di dalam kepalaku. Mungkin ketika aku di asrama Kotze memanggil-manggilku dan aku tidak menjawab sehingga ia memeriksa kondisi tubuhku. Dia panik dan memanggil ambulance. Setelah itu dia menghubungi Sheila lalu Sheila ada di sini. Mungkin seperti itu. Aku bisa mengerti. Aku kehabisan tenaga berada di ruang hijau terlalu lama kemudian di ruang penuh bintang dan bola-bola merah tersebut.
Dari sini aku bisa melihat wajah Sheila dari dekat. Argh, bidadariku sedang tidur. Dia terlihat sangat cantik. Mungkin memang benar kata pepatah bahwa wanita itu akan menampakkan kecantikannya saat ia tertidur. Dan sekarang aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri kenyataannya. Aku membelai rambutnya, menyingkiran lembaran-lembaran yang menutupi dahinya. Kubelai pipinya. Aku tersenyum kepadanya.
"Sheila?" panggilku. Kemudian aku berikan sedikit tepukan di bahunya dan dorongan lembut. Sheila kemudian terkejut lalu terbangun.
"Eh, Jo? Kamu bangun? Kamu tak apa-apa kan?" tanyanya dengan wajah khawatir. "Aku khawatir sekali, kamu kata dokter kecapekan kamu pingsan atau entah apa namanya. Tapi kami tadi sempat kehilangan kamu beberapa menit. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan... dan... kulihat pita warna-warni keluar dari tubuhmu. Seperti ketika engkau berbicara dengan bumi."
Aku tersenyum kepadanya. Bersyukur atas kepeduliannya. Bersyukur atas kekhawatirannya. "Ini efek samping ketika aku menggunakan kemampuan Geo Streamer. Seharusnya kamu tak perlu panik. Ini sudah terbiasa bagiku."
"Terbiasa bagimu tidak bagiku!" protes Sheila. "Aku benar-benar khawatir Jo!" Sheila kemudian memelukku.
Kemudian dari pintu muncul Kotze, "Hei Jo, kamu ini apa-apaan? Bagaimana kondisimu?"
"Aku tak apa-apa," jawabku. Hanya saja Sheila masih tak melepaskan pelukannya. "Sheila, ada Kotze. Lepasin!"
"Nggak mau, aku mau seperti ini terus," ujarnya.
Aku mengangkat bahu kepada Kotze. Ia tertawa melihat kelakukan Sheila yang kekanakan. "Kamu yakin tak apa-apa? Kata dokter kamu kecapekan tapi tadi sempat koma. Sebenarnya apa yang terjadi?"
"Aku tak apa-apa, sungguh," ujarku.
"Kamu membuatku khawatir Jo, aku kira kamu memakai narkoba atau sejenisnya," Kotze menghela nafas lega. "Syukurlah kamu tidak terlibat narkoba. Dokter juga memeriksa sampel darahmu dan kamu aman. Tapi, kamu benar-benar membuat jantungku hampir copot ketika tadi aku bangunkan tidak menyahut seperti mayat. Aku sempat mengira kamu tewas!"
Aku tersenyum melihat kekhawatirannya. Setidaknya ia masih punya rasa sisi kepedulian.
"Aku benar-benar akan mengutuk diriku kalau sampai kamu kenapa-napa. Sebab selama ini kamu sudah baik kepadaku dengan menolongku ketika mabuk. Terus terang, tak pernah ada yang berbuat kepadaku seperti itu sebelumnya," terangnya.
Sheila melepaskan pelukannya kemudian menoleh ke arah Kotze. Kami melihat ketulusan di mata Kotze. Ada sebuah rasa bersalah pada diri Kotze. Dari nada bicarnya ia seperti menyesal.
"Aku berjanji aku tidak akan mabuk lagi. Aku akan jauhi minuman beralkohol. Aku berjanji kepada diriku kalau kamu sadar aku akan berhenti minum," aku Kotze. Tampak dia menghela nafasnya yang tertahan lagi.
"Baiklah, kamu sudah berjanji. Kalau aku sampai melihatmu mabuk dan tidur di pinggir jalan lagi aku tak akan menolongmu lagi," ancamku.
Kotze tersenyum kepadaku. Kami kemudian terlibat perbincangan hangat. Tak hanya mereka berdua yang menjengukku, teman-teman di kampusku juga ikut menjenguk bahkan juga dosen. Aku hanya bilang kepada mereka kalau aku kecapekan dan bisa pulang hari ini.
Setelah dokter memeriksa kondisiku, akhirnya memang benar aku diijinkan pulang. Hanya saja dokter menyarankanku untuk tidak terlalu overwork. Aku bisa mengerti hal itu. Selebihnya adalah rahasia pribadi hanya aku dan Sheila saja yang mengerti.
* * *
4 tahun berlalu.
Dalam waktu ini aku melakukan banyak sekali hal-hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Ikut menjadi pecinta alam, menanam tunas pohon, ikut program recycling dan banyak hal lainnya yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Semuanya adalah karena tugasku sebagai Geo Streamer. Aku tidak mau nanti bumi lebih memilih untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Aku lebih memilih manusia yang membantu bumi untuk bisa sembuh sekali pun itu nanti butuh waktu yang lama, hingga sampai anak cucu kita.
Aku sendiri punya tugas akhir membuat sebuah film independen. Aku membuat film tentang bumi, tentang kepedulian sosial. Banyak yang suka dengan film ini, banyak filosofi yang aku tanamkan di film garapanku. Filmnya sih sederhana, tentang seorang anak yang berlari di sebuah tanah yang terhampar tumbuhan hijau yang luas. Banyak bunga-bunga bermerkaran. Pemandangan yang asri, bahkan terlihat burung-burung beterbangan dan juga terlihat danau yang sejuk airnya. Namun tiba-tiba semuanya gelap.Anak itu melepaskan sebuah kacamata Virtual Reality yang dia pakai. Ada indikator Batteray LOW di alat tersebut. Sementara itu di sekelilingnya tampak realita yang sesungguhnya. Bumi yang kering tandus tak ada satu pun tanaman yang tumbuh. Dan di akhir filmnya aku memberikan wejangan "Apakah ini yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita?"
Lain aku lain halnya juga dengan Sheila. Sheila dikontrak oleh sebuah rumah produksi. Clara yang bersama kami di pesawat dulu secara tak sengaja melihat peforma dia di panggung tempat "Der Abstract" dulu digelar. Clara ternyata seorang produser musik dan dia sangat tertarik dengan suara Sheila. Sheila pun membuat rekaman untuk pertama kalinya. Albumnya direkam di Jerman, tapi ia ingin memasarkannya ke Indonesia. Dan hasilnya luar biasa. Ketika single pertamanya dinyanyikan di sebuah radio swasta, langsung mendapatkan respon. Perlu diketahui launching albumnya ditunda sampai Sheila kembali ke Indonesia. Dan saat ia kembali ke Indonesia, Sheila sudah akan memulai proyek album berikutnya. Single yang dia ciptakan hampir tiap hari direquest oleh para penikmat musik. Sehingga secara tak langsung mulai ada orang yang kepo-in dia. Mulai dari akun facebook, instagram, twitter, perlu diketahui follower Sheila di instagram sudah nembus 200.000, twitter sampai 900.000. Cukup fantastis bagi artis pendatang baru.
Sheila pulang pergi Jerman-Indonesia untuk melakukan show. Aku bisa mengerti keadaannya, aku pun tetap menunggunya untuk lulus. Kami berencana wisuda bersama-sama dan pulang ke Indonesia bersama-sama. Ada peristiwa penting selama empat tahun ini. Kotze sudah berubah. Ia benar-benar tidak mabuk lagi dan mengharamkan minuman beralkohol. Matanya mulai cerah dan tidak berkantung. Kotze sangat berterima kasih kepadaku karena sekarang dia sudah mulai bugar. Kami juga sama-sama wisuda di tahun yang sama.
Hubunganku dengan Sheila boleh dibilang never separated. Kami malah seperti adik kakak. Aku sering memarahi dia kalau dia sedang malas. Dia juga sering menyeletukku kalau aku terlalu serius atau sedang murung. Tapi ada yang beda perlakuanku kepada Sheila dengan perempuan-perempuan yang pernah datang ke dalam kehidupanku. Aku tak pernah menyentuh Sheila sama sekali. Kalau dulu aku sekali mendapatkan cewek langsung aku tiduri tapi sekarang tidak. Bahkan aku sendiri tidak berani kalau terlalu lama sendirian dengan dia. Seperti yang aku katakan aura Dementor dari Sheila terlalu kuat seolah-olah aku terhisap ke dalamnya.
Hari ini seminggu sebelum wisuda. Katanya bapak, ibu dan Adelia akan tiba dua hari lagi. Aku mempersiapkan segalanya memikirkan apa saja yang harus aku bawa dan apa saja yang harus aku tinggalkan di asrama ini. Sebab beberapa hari lagi aku akan pergi dari negara ini. Membawa semua kenangan indahku di tempat ini. Kulihat beberapa hadiah dari Sheila di meja belajarku. Mulai dari pigura, kotak pensil, kamera mini dan sebuah ukiran dari kayu bergambarkan seorang prajurit jerman yang sedang memanggul senjata. Aku juga sebenarnya memberikan banyak hadiah kepada Sheila. Aku tak pernah tahu bagaimana isi kamarnya selama ini. Aku juga tak pernah bertanya diapakan semua hadiahku, hanya saja ia menjamin akan menyimpannya.
Ponselku berdering. Dari Sheila. Segera aku angkat.
"Ya Sheila?" sapaku.
"Ah, Jo. Kamu bisa menolongku?" tanyaku.
"Ya? Menolong seperti apa?"
"Aku menunggumu di tempat seperti biasa. Di rumah makan Einfach im Geiste," ajaknya. "Cepat ke sini yah, penting banget."
"Baiklah, tunggu aku!"
Segera aku memakai jaket tebalku. Hawa musim dingin cukup membuatku membeku kalau tidak memakai jaket yang tebal. Dengan berjalan kaki aku menuju ke rumah makan langgananku selama ini. Dari luar aku lihat Sheila di dalam rumah makan itu. Dia melambai kepadaku dari balik kaca. Aku membalas lambaiannya. Segera aku masuk ke rumah makan ini.
Ada yang banyak berubah dalam empat tahun ini. Angelina telah menikah dengan Adam. Mereka sekarang yang mengelola restoran ini menggantikan Edy dan istrinya. Aku juga datang di pernikahan mereka berdua. Angelina memang terlihat bahagia di pernikahannya. Ia sendiri tak menyangka saat itu ketika Adam mengutarakan perasaannya. Selama ini Adam selalu berusaha melindungi Angelina dan juga memperlakukan Angelina spesial. Dan Angelina pun tak akan pernah menduga bahwa Adam adalah pria pujaannya selama ini yang mencintai dia dibalik layar. Dan sekarang Angelina sedang hamil besar. Usia kandungannya sudah mencapai 6 bulan. Mereka berdua tampak bahagia, setiap hari Adam selalu berbicara dengan calon jabang bayinya.
Melihatku masuk ke rumah makan ini, mereka langsung menyapaku.
"Ah, Johan! Apa kabar sobat?" sapa Adam.
"Baik," jawabku. "Aku pesan seperti biasa."
"Aku tahu, incoming!" seru Adam.
Aku segera duduk di meja tempat Sheila berada. Dia tersenyum kepadaku dengan posisi tangan menyangga dagunya.
"Ada perlu apa?" tanyaku kepada Sheila yang terus memperhatikanku dari tadi.
"Ah, entah kenapa ya. Kamu makin hari terlihat makin tampan," puji Sheila.
"Oh tidak, mukaku jadi merah," gurauku.
"Aku serius," ujar Sheila dengan pipi memerah. Kucubit hidungnya. "Awww! Sakit!" dia tersenyum. Kami bercanda beberapa saat sampai pesananku datang. Angelina yang mengantar. Aku melihat kandungannya yang mulai terlihat besar.
"Wah, ini dia ibu hamil," ucapku.
"Angelina, sudah berapa bulan?" tanya Sheila kepada Angelina.
Angeline meletakkan pesananku ke atas meja. Dia tersenyum sambil memperhatikan kami berdua. "Sudah enam bulan. Ngomong-ngomong kapan kalian menikah?"
Aku dan Sheila berpandangan. Kami tertawa dengan nada yang aneh. "Eh, itu... entahlah enaknya bagaimana?" aku mengangkat alisku sambil menatap Sheila.
"Aku sih terserah kamu," ujar Sheila.
"Kalian ini koq malah saling bertanya. Udah kalau memang sudah yakin menikah saja!" Angelina menasehati kami. "Takutnya akan ada sandungan nanti kalau kalian tunda-tunda."
Aku mengerti apa yang dimaksudkan oleh Angelina. Sheila tak menanggapi Angelina hanya memperhatikan mimik wajahku yang sekarang mungkin tampak sangat aneh. Entah kenapa aku agak malu hari ini.
"Ya sudah, aku tunggu undangan kalian," kata perempuan tadi yang kemudian meninggalkan kami berdua.
Ku tatap mata Sheila dan kugenggam tangan kanannya dengan tangan kiriku sementara tangan kananku menyeruput Cappucino yang sudah ada di tanganku. Terkadang dalam pertemuan seperti ini kami tak bicara. Sheila mencoba membaca semua aura yang aku pancarkan. Atau yang dia bilang pita warna-warni. Dia berkata kalau sekarang sudah bisa keluar pita warna-warni itu. Warnanya selalu pelangi, selalu berwarna-warni. Katanya warna yang seperti itu adalah warna kejujuran.
"Sebentar lagi kita wisuda, menurutmu apa yang sebaiknya kita lakukan dalam waktu dekat ini?" tanyaku. "Dua hari lagi kedua orangtuaku akan datang. Aku bingung juga."
Tampak rona wajahnya berubah. Ah, aku mengerti. Bicara soal orang tua, berarti bicara soal ayahnya. Sheila sampai sekarang belum pernah berdamai dengan ayahnya. Aku juga tak tahu bagaimana hubungan mereka sekarang. Baik-baik saja ataukah tetap diam.
"Kamu sudah menghubungi papamu?" tanyaku.
Sheila mengangguk tanpa bicara. Ia mengalihkan pandangannya keluar rumah makan. Salju masih terlihat menumpuk di tepi jalan. Hari ini memang tak turun salju tapi hawa dinginnya masih tak bisa ditolerir. Tapi aku mulai terbiasa karena sudah lama berada di negara ini. Masih aku ingat ketika aku sangat excited melihat salju. Ternyata memang dingin, bahkan aku untuk pertama kalinya merasakan salju meleleh di dalam mulutku. Benar-benar seperti mimpi tapi aku memang sudah berhasil berada di sini. Impianku sudah terkabul semuanya.
"Aku ingin bicara dengan papamu," celetukku tiba-tiba.
"Kenapa? Ada apa?" tanya Sheila keheranan.
"Aku mulai menanggapi serius apa yang dikatakan oleh Angelina tadi. Aku ingin menikah denganmu kalau kamu tak keberatan," jawabku.
"Kau serius?" tanya Sheila sambil memperhatikan mataku.
"Kamu kira aku berbohong? Coba lihat emangnya aku berbohong?" tanyaku untuk menguji kemampuannya.
Dia menggeleng. "Tidak koq. Kamu jujur. Aku bisa melihatnya. Kamu masih dikelilingi pita pelangi."
"So?" tanyaku
"So... apa harus ketemu dengan papaku?"
"Permasalahannya adalah di agamaku wali seorang anak perempuan adalah papanya. Aku tak mau melangkahi aturan di dalam agamaku," jawabku.
Sheila mengangguk-angguk faham. Dia menghela nafas, "Kamu tahu Jo. Ini aneh sekali."
"Aneh? Kenapa aneh?"
"Kamu di sini melamarku?"
Aku mengangguk.
"Masalahnya aku tak merasa 'wow' gitu. Aku berharap rasanya seperti reality show yang aku lihat. Mereka merayu pasangan mereka kemudian memberikan cin...," belum sempat Sheila menyelesaikan kata-katanya aku memasangkan cincin di jari manis tangan kanannya. Mulutnya tercekat.
"Maksudmu cincin ini? Sudah ada di jarimu," ujarku.
Sheila menggigit bibirnya. "Kamu bercanda. Awww...," Sheila membenamkan wajahnya ke lengannya.
"Kamu kenapa?" tanyaku.
"Aarggghh.... aku malu," Sheila masih menutupi wajahnya kali ini dengan telapak tangan kirinya.
"Jadi... besok aku akan pergi ke Frankfurt bertemu dengan papamu," kataku.
"Tak perlu, papaku besok ke sini koq. Sekalian liburan katanya untuk mendampingiku wisuda minggu depan," terang Sheila.
"Baiklah, aku akan mempersiapkan mentalku untuk bertemu dengan beliau," ujarku.
Sheila tergelak. "Iya, papaku galak. Dia pasti akan membunuhmu karena akan mengambil putrinya."
"Oh, aku takut sekali. Kamu bisa merasakan tanganku menggigil bukan?" gurauku.
"Iya, aku bisa merasakannya. Kamu bakalan ditendang nanti."
"Apa sebaiknya aku culik saja dirimu?"
"Kamu berani menculikku?"
"Tentu saja aku berani."
"Yang diculik bakalan kena Stockholm Syndrome. Bahaya itu."
"Tapi itu tindakan pengecut, percuma dong aku beli cincin ini," kuelus jemari manis Sheila. Kemudian aku tarik tangannya dan kucium.
Mata Sheila berbinar. Kami saling menyentuhkan kening masing-masing. Saat itulah rasa kesejukan datang menghampiri dadaku. Sheila berbisik kepadaku, "Aku bahagia Jo. Aku ingin minta satu hal kepadamu."
"Apa itu?"
"Aku... ah, bagaimana mengucapkannya," Sheila menghela nafas, menjauhkan wajahnya dariku.
"Katakan saja!"
"Aku ingin seperti kamu."
"Maksudmu?"
"Aku ini dulu agnostik. Papa dan mamaku agnostik, sekali pun mereka sering ke gereja. Tapi sebenarnya mereka agnostik. Namun seiring pertumbuhanku aku mulai mempercayai tentang tuhan. Namun aku tak pernah belajar tentang tuhan. Kemampuanku yang bisa melihat suara, membuatku mulai percaya tentang penciptaan, tentang pengaturan, bahkan ketika bertemu denganmu aku makin percaya kepada-Nya. Maka dari itu selama ini aku memperhatikanmu. Kamu sudah banyak berubah. Bukan. Lebih tepatnya aku tak pernah melihat keburukan dalam sikapmu, sifatmu. Kamu penyayang, kamu peduli terhadap teman-temanmu, kamu juga begitu mencintaiku. Kamu bahkan bisa dengan mudah akrab dengan orang-orang di sekitar tempat ini. Satu hal yang membuatku heran adalah saat kamu berdo'a. Semenjak kamu bisa mengeluarkan pita warna-warni itu, kulihat cahaya memancar ketika kamu berdo'a. Aku tak pernah bertanya kepadamu bagaimana kamu melakukannya. Tapi aku percaya pasti ada jawaban dari itu semua. Dari situ aku ingin bisa seperti dirimu, maukah kamu mengajarkanku?"
Sheila menggenggam tanganku erat-erat. Ia pun melanjutkan perkataannya, "Ajarkan aku cara berdo'a seperti dirimu. Ajarkan!"
"Kamu sungguh-sungguh?" tanyaku untuk meyakinkan diri.
Sheila mengangguk. "Toh nanti sebagai istri aku akan mengikutimu. Hidup dan matiku selalu bersamamu. Mau kamu ke surga aku akan ikut kamu ke surga. Mau kamu ke neraka pun aku akan ikut."
Aku menghela nafas lega. Ku tepuk-tepuk punggung tangannya dan kugosok-gosok cincin di jari manisnya. "Aku tak akan membiarkanmu untuk masuk ke neraka. Kita akan ke surga bersama-sama. Kalau begitu ayo ikut aku setelah ini!"
Hari itu semuanya berubah. Sheila aku ajak ke sebuah masjid besar di München. Di sini untuk pertama kalinya dia mengucapkan dua kalimat syahadat. Keputusannya untuk masuk ke dalam Islam merupakan kebahagiaan terbesar bagiku. Dia dituntun oleh salah seorang ustadzah yang termasuk istri imam besar di masjid ini. Sheila kemudian diajarkan bagaimana cara shalat, kapan saja waktu shalat, cara berpuasa, hingga kemudian untuk pertama kalinya dia melantunkan surat Al-Fatihah.
"Aku pernah mendengar orang-orang berkali-kali melagukannya. Aku kira ini semacam lagu yang kalian pakai untuk beribadah," ujar Sheila.
"Bukan, ini bukan lagu. Ini adalah firman Allah dan kami selalu membacanya ketika beribadah. Cara membacanya memang dilagukan," terang sang ustadzah.
"Aku bahkan sudah menghafalnya. Johan juga sering membacanya. Sehingga apa yang dibaca aku pun menghafalnya dengan baik. Boleh aku membacanya?" tanya Sheila.
"Silakan!"
Sheila mengambil nafas dalam-dalam. "Bismillahirrahmaanirrahiim...". Sheila kemudian membaca surat pertama di Al-Qur'an itu. Ya tuhan. Tak pernah aku mendengar suara semerdu ini. Ini benar-benar luar biasa. Bagaimana Sheila diberi anugrah suara semerdu ini. Ayat demi ayat ia lantunan sebagaimana aku pernah memperdengarkan untuknya surat Al-Fatihah. Setelah ia selesai melantukan ayat-ayat suci itu. Tak terasa air mataku meleleh. Dia adalah orang pertama yang aku ajak memeluk Islam. Aku yang hina dan banyak berkubang dosa ini mengajak kekasihku masuk ke Islam. Aku pun semakin yakin untuk melamarnya kepada papanya.
* * *
"Papaku sudah berada di hotel, kamu ingin bertemu dengannya?" tanya Sheila.
"Benarkah?" tanyaku di telepon.
"Iya, kalau kamu ingin bertemu dengannya aku akan mengajakmu makan malam bersamanya," terang Sheila. "Aku sekarang sudah ada di hotel dan bertemu dengannya. Kamu tahu, aku... entah kenapa sekarang bisa memaafkan beliau."
"Sungguh?" tanyaku.
"Bersama denganmu aku belajar banyak. Bahkan sekarang aku mulai membaca sebuah buku karya Aidh Al-Qarni. Di sini, beliau menjelaskan bahwa memaafkan lebih baik. Dengan memaafkan perasaan jadi lebih tenang dan tidak terbebani oleh dendam. Johan... aku berterima kasih kepadamu," ujarnya.
"Aku akan selalu ada untukmu," kataku.
"Danke," Sheila berterima kasih lagi kepadaku. "Datanglah nanti malam. Aku dan papa akan menunggumu."
Cuaca malam ini sedikit turun salju. Tapi tidak terlalu lebat. Aku harus memakai baju tebal untuk menghangatkan tubuhku. Sekali pun hasilnya tidak begitu bagus. Aku masih menggigil bahkan dari mulutku keluar uap yang tebal seperti lokomotif.
Taksi yang aku tumpangi berhenti di depan sebuah hotel. Aku langsung masuk ke restorannya. Di sana suasana lebih hangat daripada di luar. Salju masih turun saat aku tiba. Beberapa trotoar terlihat mengkilap, menandakan licinnya jalan. Bahkan ketika aku masuk ke restoran, aku melihat seseorang terpeleset di trotoar itu.
Beberapa saat ketika aku mencari keberadaan Sheila, kulihat wajah tak asing berada di dalam restoran itu. Wajah Sheila dan seorang yang sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Kriez. Aku segera menghampiri mereka. Melihat kedatanganku tampak wajah Sheila cerah sekali. Iris biru safirnya seolah-olah menghipnotisku. Sama seperti iris biru safir sang ayah. Mereka berdua memang mirip. Hanya saja kali ini Sheila berbeda. Apakah benar dia telah memaafkan papanya?
"Guten abend," kuucapkan selamat malam kepada mereka berdua.
"Guten abend. Selamat datang Johan, duduklah!" Kriez menyuruhku duduk. Rambut abu-abunya ia betulkan. Sekali pun tidak melakukannya ia sudah terkesan rapi. Dia tersenyum kepadaku, kubalas senyumannya.
Setelah memesan kepada pelayan, kami pun mulai beramah tamah. Selama berbasa-basi Kriez serius menatapku. Mungkin di dalam hatinya ia bertanya-tanya, "Siapa sih orang yang berani mengambil hati putriku?"
Aku menelan ludah berkali-kali selama pembicaraan. Sebab aku merasa grogi. Bagaimana tidak? Anak bau kencur kemarin sore ini berniat untuk membawa Sheila pergi.
"Jadi Johan, kamu dari Indonesia?" tanya Kriez.
"Iya, saya dari Indonesia," jawabku.
"Kenal Sheila berapa lama?" selidiknya.
"Dari semenjak kita bersama naik pesawat, tapi kalau perjumpaan kami sudah lama bertemu sebelumnya," jawabku.
"Sheila sudah bercerita banyak tentang dirinya dan dirimu. Aku hanya ingin mendengarnya langsung darimu," ujar Kriez. "Kamu tahu, dia putriku satu-satunya, bahkan Jamie juga pasti tidak akan melepaskan putrinya begitu saja dengan lelaki lain. Aku hanya ingin tahu kepribadianmu. Dan dari apa yang aku lihat engkau punya kepribadian yang baik."
"Danke," kataku. Kulirik Sheila. Ia diam saja sambil sesekali tersenyum kepadaku.
"Kedua orangtuamu katanya akan kemari?" lanjut Kriez.
"I-iya, begitulah," jawabku.
"Kudengar ayahmu teman lama Zack. Kenapa kamu tidak bilang?" tanya Kriez. "Sheila juga tak menceritakannya kepadaku. Temannya Zack juga temanku, kami merintis bisnis bersama-sama, rasanya tidak pantas saja kalau aku tidak memperlakukan teman Zack dengan baik."
Sheila tiba-tiba berdiri, "Aku permisi mau ke toilet dulu." Dia kemudian bergegas pergi meninggalkan aku dan Kriez sendirian di meja makan.
Tak lama kemudian pesanan kami datang dan para pelayan menata makanan pesanan kami. Makanan khas Jerman yang aku sendiri belum pernah merasakan masakan di restoran mewah seperti ini.
"Sebenarnya aku tak mempermasalahkan hubungan kalian. Asal aku bisa melihat kebahagiaan di wajah Sheila, aku rela melakukan apa saja. Dan... aku sudah dengar dari Sheila, ia pindah keyakinan. Aku menghormatinya. Aku sadari satu hal, ia lebih bahagia. Bahkan...," bibir Kriez tiba-tiba gemetar.
Aku tak berani memotong kata-katanya jadi aku menunggu. Semenit dua menit dia menutup wajahnya. Ia mengeluarkan sapu tangannya kemudian membersihkan air mata yang menggenang.
"Kamu tahu, dia dulu segini," katanya sambil memberikan isyarat tinggi Sheila ketika masih kecil. "Dan sekarang, dia berkata 'Aku memaafkan vater. Dan aku dilamar oleh seseorang'." Kriez terisak. "Aku tak menyangka kalau waktu benar-benar telah menipuku. Kamu sungguh-sungguh mencintainya?"
"Dengan segenap hatiku," jawabku.
"Jagalah dia, cintailah dia sebagaimana cintaku kepadanya!" pesan Kriez kepadaku.
"Maaf, aku belum mengatakan maksudku...."
"Tak perlu," potongnya. "Aku tahu. Aku tahu. Ketika melihat cincin melingkar di jari manisnya aku sudah tahu."
Aku tersenyum mendengar persetujuan Kriez.
"Anda tak keberatan?" tanyaku memastikan.
"Demi kebahagiaan Sheila aku akan melakukan apapun," jawabnya.
Aku menghela nafas lega. Melamar seorang yang aku cinta itu tidak mudah. Sangat tidak mudah. Aku sendiri ragu keputusanku ini tepat. Namun siapa yang bisa melepaskan perempuan seperti Sheila begitu saja? Sekarang aku lega sekali. Benar-benar lega.
Ah, tiba-tiba aku ingin mengatakan sesuatu kepadanya tentang Abelarch. Aku tahu ini bukan urusanku. Hanya saja, suatu saat mereka juga kan bakal jadi bagian dari keluargaku. Benar bukan?
"Anda masih marahan dengan Abelarch?" tanyaku.
Kriez mendengak, ia agak terkejut mendengar ucapanku. "Kamu kenal dengan mein Vater?" tanyanya apakah aku mengenal ayahnya atau tidak.
Aku mengangguk.
"Ia pasti bicara omong kosong kepadamu," ujarnya sambil tertawa sinis.
Aku menggeleng. "Anda salah besar."
"Maksudmu?"
"Aku punya kewajiban menceritakan ini kepada Anda. Pasti Anda mengira selama ini kehidupan Abelarch dan istrinya hancur karena ulah Abelarch bukan?"
"Iya, tentu saja. Dia pemabuk, meniduri perempuan jalang dan kemudian menceraikan ibuku. Siapa yang tidak marah atas kejadian seperti itu? Johan, aku tak ingin kamu melakukan hal yang sama seperti Abelarch. Kalau kamu melakukannya aku akan membunuhmu!"
Aku sedikit merinding disko mendengar ancamannya. "Aku akan pastikan aku tidak akan melakukannya. Aku bukan peminum. Agamaku melarangnya."
"Ya, aku pernah dengar seperti itu. Sheila juga mengatakannya kepadaku," ujarnya.
"Anda tahu kejadian yang sebenarnya terjadi?" tanyaku.
"Tentang apa?"
"Tentang kenapa Abelarch harus menceraikan istrinya?"
"Tentu saja karena ia sudah tak mencintai istrinya."
"Anda salah."
Kriez mengangkat alisnya. "Maksudmu?"
"Sebenarnya saya ingin Abelarch mengatakan hal ini langsung kepada Anda, hanya saja saya yang ingin melakukannya sekarang mumpung Anda ada di sini," ucapku.
Aku kemudian melanjutkan, "Abelarch menyesal sekali waktu itu. Ia sangat menyesal telah berbuat hal itu dalam keadaan mabuk. Bukan hanya itu saja. Karena perbuatannya itu ia tertular gonorhea. Atas alasan itulah ia meninggalkan sang istri sampai penyakitnya sembuh. Jadi bukan karena alasan ia sudah tidak mencintainya lagi. Apakah Anda tahu karena kerinduannya terhadap sang istri ia sampai berubah haluan dalam melukis. Dari abstract kemudian berubah ke natural. Sesuatu yang sangat sulit dipercaya. Bahkan ayah Anda kemudian menyerahkan satu-satunya lukisan kenangan dari ibu Anda kepada ayah saya. Kalau Anda pergi ke Der Abstract mungkin akan anda temui Replica Gebens des Lebens. Coba Anda lihat lukisan tersebut, sekali saja. Anda akan lihat bagaimana perasaan sesungguhnya Abelarch di lukisan itu."
Kriez terdiam. Entah ia mendengarkanku bicara atau tidak. Tapi yang jelas sekarang ini mungkin ia sedikit galau kalau mendengar cerita tentang ayah dan ibunya. Terlebih cerita ini dari orang yang baru saja ia kenal seperti aku.
"Aku mengerti niatmu baik dalam menceritakan hal ini. Hanya saja, kamu tak perlu melakukan semua ini," ujar Kriez.
"Kalau Anda tak keberatan. Sekali saja, temui Abelarch dan lihat lukisan itu. Sebagai calon menantu Anda, aku ingin Anda melakukannya demi aku dan Sheila," bujukku.
Kriez menghela nafasnya. "Baiklah, sekali saja. Aku ingin tahu apa ceritamu itu benar. Kalau memang demikian kenapa vater menyembunyikannya dariku selama ini?"
"Ia tak punya keberanian menemuimu, sebagaimana engkau yang tidak punya keberanian selama ini menemui orang yang masih engkau cintai," jawabku. Ya, aku tahu kalau dia masih mencintai Jamie. Terlihat di tangannya tak ada cincin kawin. Pertanda setelah bercerai dengan Jamie dia menduda sampai sekarang.
"Kamu.....," ia tak meneruskan kata-katanya.
"Sheila sangat mencintai Anda. Dia sudah memaafkan anda sekarang. Dan aku ingin impian terakhirnya terwujud. Yaitu Anda bisa kembali kepada ibunya. Anda pasti sudah bosan dan menyiksa diri selama ini dengan hidup menduda," kataku to the point.
Kriez mengambil anggur yang ada di gelas. Setelah itu ia meminum seteguk. Ia mengecap rasa fermentasinya. Dadanya mungkin sekarang terasa sesak. Namun ia mencoba menyembunyikan semuanya serapi mungkin dari raut wajah datarnya. Tak lama kemudian Sheila datang. Dia langsung duduk. Dengan gaun warna coklat, ia terlihat anggun sekali.
"Entschuldigung, apa ada yang aku lewatkan?" tanya Sheila.
"Ya, engkau sudah melewatkan bagian yang paling seru," jawab Kriez tiba-tiba.
"Apa itu Vater?" tanya Sheila antusias.
"Papa setuju," jawab Kriez.
Sheila langsung memeluk papanya. "Papaaa.... aku sayang sekali sama papa." Kriez tampak sedikit terkejut. Mungkin ini adalah pelukan pertamanya setelah sekian lama mereka berpisah. Kembali mata Kriez terlihat teduh. Aku tahu ia bukan orang yang suka menangis, tapi ia sekarang lebih bahagia dari sebelumnya.
Sheila kemudian melihat ke ayahnya. "Papa menangis?"
"Tidak apa-apa, kamu tahu. Ini untuk pertama kalinya engkau memeluk papamu setelah sekian lama," jawab Kriez.
Sheila kemudian memeluk papanya lagi. Ah, makan malam yang menyenangkan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top