22 | Einfach im Geiste

Hubunganku dengan Sheila mulai akrab. Sekarang aku sedikit mengerti kenapa dia merindukan sosok Kapten Bumi. Dia bercerita kepadaku semuanya. Tentang segala perasaannya, keluh kesahnya dan betapa merananya dia. Aku tak pernah tahu bagaimana perasaan seorang anak yang broken home sebelumnya. Kini Sheila menceritakannya sendiri kepadaku.

Hari Sabtu aku melakukan jogging untuk memperkuat otot kakiku. Rasanya masih nyeri tapi sudah mendingan daripada sebelum-sebelumnya. Hari ini dimulai dengan berita di televisi yang menyiarkan bahwa terjadi perubahan iklim yang cukup drastis di sebagian benua Eropa. Ketinggian air di Venice sudah mengkhawatirkan, hujan yang melanda London hingga mengakibatkan banjir dan ternyata kemarin banjir juga melanda kota Hamburg. Padahal harusnya ini masih musim semi. Aku yakin hujan itu bukan ulah Sheila walaupun ia bisa memanggil hujan dengan musiknya. Hujan yang terjadi kali ini alami. Berita yang lebih mengejutkan lagi adalah di Maroko turun hujan es untuk pertama kalinya. Besarnya sebesar bola golf. Dilaporan banyak orang yang terluka. Apakah sudah dimulai? Apakah bumi ingin menyembuhkan dirinya? Bumi menganggap manusia sebagai penyakit dan parasit karena kita selalu berbuat yang menghancurkan bumi daripada membangunnya. Kalau seperti ini kepunahan umat manusia di masa mendatang tinggal menunggu waktu. Aku ragu kalau masa belajarku di sini cukup waktunya untuk memperingatkan umat manusia.

Tapi mau bagaimana lagi. Aku dan bapak adalah seorang Geo Streamer. Mungkin sebagian orang akan mengatakan aku seorang superhero. Tapi aku bukan superhero. Aku hanya orang yang melihat dunia secara berbeda. Anggaplah aku orang yang berkemampuan aneh, tapi aku sama sekali tak pernah memintanya. Aku menggunakannya karena ini adalah kewajibanku.

Jogging di pagi yang cerah ini membuatku lebih segar. Aku memanfaatkan air mancur yang ada di taman, kemudian kuminum sambil kubasuh wajahku. Angin berhembus sepoi-sepoi mengantarkan kesejukan musim semi yang sebentar lagi akan berakhir. Hawa panas sudah beberapa hari ini meyengat. Entah apakah iklim berubah sehingga musim bergeser.

Orang-orang banyak menghabiskan waktu mereka di taman. Jogging, jalan-jalan atau sekedar menikmati keindahan taman dengan bercengkrama dengan orang-orang terdekat.

"Johan!?" panggil sebuah suara. Aku menoleh ke sumber suara. Kudapati seorang bidadari berdiri di sana dengan senyumannya.

"Sheila?"

"Aku tahu kamu pasti ada di sini," ujarnya.

"Kamu sekarang sudah jadi cenayang rupanya," kataku.

"Hari Sabtu, memangnya kamu mau kemana selain melatih kakimu biar segera sembuh?"

Aku manggut-manggut lalu beringsut menghampirinya. "Kamu sendiri?"

"Mencarimu," jawabnya singkat.

Aku tatap dirinya. Ada sesuatu yang berbeda sekarang pada dirinya. Sekarang aku menyadari bahwa Sheila juga bisa hangat. Tak seperti sebelumnya.

"Maafkan aku kemarin. Aku, jujur merasa terancam. Aku tidak pernah terbiasa melihat sesuatu yang tidak pernah aku lihat sebelumnya," jelasnya dengan nada menyesal. "Seharusnya aku tahu, seharusnya aku sadar. Maafkan aku."

"Sudahlah, lupakan yang kemarin. Aku telah memaafkanmu," kuhapus keringatku dengan handuk kecil yang aku bawa. "Kamu tak keberatan kalau aku masih bau keringat seperti ini?"

Sheila menggeleng. "Kenapa? Bau tubuh pria itu eksotis." Sheila tersenyum.

Aku mencibir, "Biasanya cewek nggak suka kalau nyium bau badan cowok."

"Siapa bilang? Cewek itu suka cowok yang berkeringat. Kelihatan macho gitu," kata Sheila sambil mengamatiku.

"Aku sudah tidak macho lagi. Lihatlah perutku saja sudah tidak six pack lagi seperti dulu. Aku terlalu banyak berdiam diri," kataku sambil mengelus perut.

"Ikut yuk?!" ajaknya.

"Kemana?"

"Kemana aja asal tidak di sini!" Sheila tiba-tiba menarik lenganku sehingga aku pun ikut saja ke mana dia pergi.

Setelah berjalan mengikuti dia, kami pun akhirnya berhenti di sebuah bangku yang mana di depannya ada sebuah kolam. Tak jauh dari tempat itu ada pohon cherry yang sudah habis bunganya. Kolam itu merupakan kolam kecil dengan air yang sudah keruh dengan warna hijau. Mungkin di dalamnya ada ikan, hanya saja terlalu keruh untuk dilihat apa isinya. Jarakku dengan Sheila hanya beberapa jengkal saja di bangku ini. Dia menyandarkan punggungnya dengan tatapan mata jauh ke tengah kolam. Aku juga demikian.

"Kamu pasti penasaran, kenapa aku sangat ingin bertemu denganmu," katanya.

Agak lama aku merespon untuk mengatakan, "Sejujurnya iya."

Dia menoleh ke arahku. "Ketika aku kecil, ayahmu berkata bahwa ada orang yang bisa melihat dunia ini seperti diriku. Aku sangat ingin sekali bertemu denganmu. Aku ingin bisa berteman denganmu. Sebab di sini aku tak punya teman."

Aku mulai mencerna kata-katanya. Dia ingin bertemu denganku, mengajakku untuk bicara empat mata seperti ini, artinya dia telah menganggapku sebagai orang yang penting. "Bagi seorang anak seperti diriku, melihat dunia ini penuh dengan warna-warni. Aku tak pernah melihat semuanya seperti biasa sejak kecil. Mungkin sejak aku dilahirkan aku sudah mempunyai kemampuan seperti ini. Hal itu membuatku seperti kesepian. Aku hanya mengenal ayah dan ibuku. Mereka adalah orang yang mengajarkanku tentang cinta. Dulu di Jühnde," lanjutnya.

Ekspresi wajah Sheila kini berubah. Ia sepertinya bersedih. "Aku rindu tempat itu. Aku dilahirkan di sebuah rumah kecil. Di sana sebelum papaku pindah ke Frankfurt, kami hidup bahagia. Sekalipun kami hanya makan seadanya, makan dengan tangan dan hasil jerih payah sendiri. Aku tak pernah melihat oma. Mama bilang nenek sangat menantikan kelahiranku sebelum kemudian oma meninggal dua bulan sebelum aku lahir. Aku tak sempat melihat wajahnya. Kata mama, oma adalah orang yang sangat menyukai musik. Mungkin darah musikku mengalir darinya. Kamu suka musik?"

"Tergantung sih, aku pilih-pilih," jawabku.

"Oh, aku lebih memilih musik yang menenangkan hati. Apapun genrenya asalkan itu bisa menenangkan hati maka aku akan menyukainya," jelasnya. "Jelaskan kepadaku tentang dirimu!"

"Aku?" aku menunjuk diriku sendiri.

Sheila mengangguk.

"Ah, aku tak tahu harus bicara apa. Apa yang bisa aku jelaskan kepadamu?"

"Kamu bilang, kalau engkau adalah monster. Katakan kepadaku!" Sheila memegang bahuku.

Aku melihat ke tangannya. Agak rikuh diriku disentuh seperti ini. Aku menggeleng, "Aku tak perlu menceritakannya." Kutepis tangan Sheila.

"Kenapa?"

"Tidak enak saja. Aku juga tak tahu harus ngomong apa kepadamu ketika engkau menceritakan tentang dirimu. Aku tak pernah mendengar seorang cewek curhat tentang dirinya. Aku selalu berpikir sendiri tentang diriku tanpa mempedulikan mereka," terangku.

"Kenapa kamu melakukan hal itu?"

"Entahlah. Aku cuma punya seorang sahabat dalam hidupku. Aku dan dia selalu bersama, kami selalu bermain bersama, pergi bersama, berjalan bersama. Semuanya dilakukan bersama-sama. Bahkan kami juga masuk sekolah selalu sama. Hanya saja, ia telah mengkhianatiku. Tidak itu saja, kekasihku juga mengkhianatiku."

Kuhela nafasku sejenak untuk memenuhi paru-paruku dengan oksigen. Setelah itu aku menerawang, mengingat kembali semua kenangan yang ada di kepalaku. Kenangan di mana aku seperti monster.

"Aku ini playboy. Banyak wanita yang menjadi korbanku. Aku mengecewakan mereka. Aku anggap mereka seperti mainan. Meniduri mereka satu per satu. Mungkin karena itulah akhirnya aku dikhianati oleh sahabatku sendiri, oleh kekasihku sendiri. Padahal mereka berdua adalah orang yang sangat berarti dalam hidupku. Sekarang aku tak punya teman, tak punya sahabat, tak punya kekasih. Aku menyadari bahwa aku telah merusak diriku sendiri. Dan sekarang di saat mengingat kembali bagaimana dia mengkhianatiku, aku merasa aku akan mendapatkan hal yang sama kalau aku berteman dengan orang lain. Berteman denganmu misalnya, itu saja membuatku takut. Takut kalau engkau nanti meninggalkanku, karena aku merasa karma yang harus aku terima masih belum cukup."

"Lihat ini!" aku menunjukkan kakiku. "Ini adalah salah satu karma yang aku terima. Kakiku patah karena ulah salah seorang wanita yang aku permainkan. Apa aku bisa melukainya saat dia akan melakukan itu? Tidak, aku bahkan tak pernah bisa untuk melarangnya menyakiti diriku. Aku memang orang yang sedikit bodoh, seharusnya aku tidak menyelamatkan kekasihku yang nyatanya akan mengkhianatiku. Seharusnya aku biarkan dia tertimpa tiang lampu itu sehingga aku tidak seperti ini. Tapi aku malah melakukannya."

"Di rumah sakit aku terus menginstropeksi diriku sendiri. Aku memikirkan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Kenapa aku bisa begini? Saat itu aku masih belum sadar. Aku masih sombong dengan diriku sendiri. Aku merasa bahwa apa yang aku terima ini hanyalah kebetulan. Tidak masalah bagiku. Ini tidak seberapa. Yang penting aku masih hidup. Tapi setelah aku sembuh, semuanya berubah. Kalau orang-orang bisa dengan gembiranya disambut oleh orang-orang yang dicintainya, aku justru sebaliknya. Aku tidak gembira sama sekali, terlebih ketika mengetahui kenyataannya bahwa kekasihku mencintai sahabatku sendiri. Kemudian dengan mata kepalaku aku melihat mereka berdua berada di dalam kamar sedang memadu kasih. Barulah saat itu aku sadar semuanya. Ini adalah karma yang aku peroleh," kujelaskan semuanya kepada Sheila, entah ia akan mengerti atau tidak.

Sheila diam saja. Aku tahu ia akan bosan mendengar ceritaku.

"Apakah karena itu kamu tidak lagi ingin berteman dengan siapapun? Termasuk aku?" tanya Sheila. "Apakah karena dikhianai hingga akhirnya kamu tidak ingin lagi mencintai dan dicintai oleh orang lain?"

Aku beranjak dari tempatku duduk. "Sudahlah, aku capek. Ingin pulang."

"Datanglah ke ruang musik besok sore jam tiga!" pinta Sheila.

Aku berhenti sejenak. Aku dengar dengan jelas sekali, Sanggar Seni jam tiga. Entah apa yang dia inginkan. Aku tak ingin menduga-duga atau menebaknya. Kulanjutkan langkahku.

"Aku akan menunggumu sampai kamu datang," katanya.

Aku terus melangkahkan kakiku meninggalkan Sheila.

"Aku menunggumu Kapten Bumi!" serunya. Lagi-lagi aku disebut kapten bumi. Sebenarnya sebutan itu aku benci sejak dulu. Kenapa sekarang malah makin jadi trend di telingaku.

* * *

Aku membeli kopi di supermarket beberapa waktu lalu. Kopi ini adalah spesial kopi dari Indoesia. Di Eropa Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil kopi. Rasa kopi Indonesia cukup khas. Terutama yang aku beli kemarin "Kopi Jawa". Aku cukup surprise ketika melihat bungkusnya di salah satu rak supermarket yang biasanya aku beli barang kebutuhan di sana. Jarang sekali aku temui, tidak malah baru kali ini aku menemui supermarket yang menjual kopi jenis ini. Aku pun penasaran apakah rasanya sama?

Di asramaku aku punya mesin pemanas air. Sebenarnya aku lebih memilih kompor untuk aku rebus airnya. Hanya saja di asrama ini terbatas. Tak ada dapur. Jadi aku tak bisa memasak untuk berimprovisasi. Bahkan untuk makan mie instan saja aku harus ke toko kelontong membeli mie instan cup lalu langsung aku makan di sana.

Sebagai anak muda, adalah hal biasa di sini pergi ke bar, night club dan sebagainya. Kotze sering seminggu sekali. Di sana ia bercerita hanya nongkrong saja dan ngobrol ngalor ngidul. Sering juga ia pulang dalam keadaan mabuk. Terkadang juga aku ditelpon oleh temannya untuk menjemput dia yang kondisinya benar-benar mengenaskan. Hampir seluruh bajunya terkena muntahannya. Paginya aku pasti membuatkan dia kopi untuk menetralisir zat-zat beracun yang sudah ia minum malam harinya. Setidaknya itu yang aku baca dari salah satu artikel jurnal kesehatan. Dan hari ini Kotze mengajakku untuk keluar. Untuk kesekian kalinya pula aku menolak ajakannya.

Kopi sudah aku racik, kini asapnya mengepul di mug bergambar Batman. Kulihat jam di ponselku. Sudah pukul tiga sore. Seharusnya aku menemui Sheila jam segini, tapi aku terlalu malas untuk ke sana. Tak ada yang perlu kita bicarakan sepertinya. Memangnya apa yang perlu kita bicarakan?

Kuambil sebuah komik yang ada di sebuah kotak di bawah tempat tidurku. Ini semua adalah koleksiku dari SMA. Komik Detektif Conan, One Piece, Vagabond. Semuanya aku bawa dari Indonesia. Aku tak punya hiburan selain komik-komik ini. Tak bosan-bosannya aku membaca manga-manga ini. Dari ketiga judul ini, yang paling sering aku baca adalah Vagabond. Selain aku suka denga artwork-nya, manga yang mengusung cerita Miyamoto Musashi ini cukup menarik. Ada banyak versi yang beredar tentang pertarungan Ganryu dengan Musashi. Di manga ini Sasaki Kojiro Ganryu ditampilkan sebagai sosok yang bisu dan tuli. Namun sekali pun mempunyai keterbatasan, Sasaki merupakan samurai dengan kemampuan yang tak bisa dianggap remeh. Hampir setiap orang yang menghadapinya pasti kalah oleh tebasan pedangnya. Uniknya adalah dia dan Musashi pernah tak sengaja bertemu ketika masa perang. Mereka bersama-sama bertempur di pihak yang sama, tapi tidak pernah mengetahui satu sama lain.

Tiba-tiba pikiranku terhenyak. Kuhentikan aktivitasku membaca komik. Kulihat jam sudah pukul 4 sore. Tak masalah kan kalau misalnya aku tidak menemui Sheila? Semoga saja tidak.

Sekali lagi aku mulai memikirkan perjumpaanku dengan Sheila. Ternyata kita pernah sama-sama mengikuti ujian masuk ke SMA 7. Tapi aku kemudian tidak jadi masuk ke sana sekali pun peringkatku merupakan peringkat tertinggi. Kuhirup kopiku yang sudah dingin. Rasa pahitnya mulai menenangkan diriku. Lidahku mulai mengecap rasa asam dan pahit, sebuah rasa khas yang aku sukai. Sejak kecil aku sudah meminum benda ini. Kata bapak, demi meredam efek mual dari penggunaan kekuatan Geo Streamer maka aku harus minum kopi. Entah kenapa seperti itu, tapi memang setelah aku minum kopi tak ada lagi pikiran yang meledak-ledak ada di kepalaku. Karena kemarin aku memakai kekuatanku, otakku serasa meledak hari ini. Maka dari itulah secangkir kopi bisa menetralisirnya. Ah, aku sendiri nggak tahu kenapa seperti ini. Tapi memang begitu bukan pada dasarnya orang yang tidak normal seperti aku pasti punya sesuatu yang bisa meredamnya. Seperti Aprilia misalnya, dia bisa mengeluarkan api. Dia bisa diredam dengan air. Dan efek dari penggunaan kekuatanku maka aku harus meminum kopi. Harus, kalau tidak maka kepalaku akan sakit dan kejang-kejang lalu perutku mual.

Rasanya aku tidak akan bisa hidup normal dengan cara seperti ini. Tapi aku merasa aneh dengan bapak. Bagaimana beliau bisa melewati semua masa-masa seperti ini? Pasti beliau dulu pernah merasakan hal-hal seperti ini. Aku penasaran bagaimana beliau melewati masa-masa seperti ini. Beliau pasti menggunakan kekuatan itu untuk iseng pertama kalinya. Aku sendiri tak pernah punya pikiran untuk iseng sekali pun aku mampu. Misalnya saja ingin mengetahui kabar Melati. Kenapa Melati? Kenapa aku ingin tahu segala tentang dirinya? Tidak. Aku sudah tak mau lagi memikirkannya.

Perutku sedikit keroncongan sekarang, karena dari siang belum makan. Aku segera keluar dari asrama untuk menuju ke rumah makan yang berada di dekat sana. Sebuah rumah makan kecil yang terletak tidak begitu jauh dari asrama ini sebenarnya makanannya enak, hanya saja tak bisa memasak makanan Asia. Akibatnya aku harus merelakan diriku hampir tiap hari menikmati makanan-makanan Eropa. Apalagi di asrama tak ada dapur. Percayalah, makanan di warteg itu lebih nikmat daripada restoran di sini. Aku pun membawa komikku pergi ke rumah makan itu.

Rumah makan kecil itu temboknya terbuat dari kayu. Tampak tulisan "Einfach im Geiste" terpampang jelas di papan namanya. Tulisan itu artinya Sederhana dalam Jiwa. Aku sendiri tak tahu maksud dan artinya. Tapi yang jelas pemiliknya sangat ramah. Namanya Edy. Dia seorang perantauan yang kemudian menetap di Jerman. Aslinya adalah berkebangsaan Perancis. Namun dia bisa berbicara dalam banyak bahasa antara lain Jerman, Inggris, Portugis dan tentu saja Perancis. Edy adalah seorang yang sudah berusia lima puluh lebih. Ia tak punya anak, hanya berdua mengelola rumah makan ini bersama sang istri. Kami pernah bercerita satu sama lain karena dia melihatku bukan seperti orang kebanyakan. Tentu saja aku mempunyai wajah orang Asia yang menurutnya sangat menarik. Orang Asia cenderung ramah dan tidak suka dengan kebiasaan sebagian masyarakat Jerman yang suka berfoya-foya. Mereka sederhana dalam tindakan dan tentu saja dalam masalah makan. Apa yang dipesan selalu dihabiskan, serta selalu menghormati orang-orang yang membuat makanan. Karena itulah Edy sangat menyukai orang-orang Asia seperti kami.

Kubuka pintu rumah makan tersebut. Suara bel berdenting membuat Edy yang sedang melayani pelanggan langsung menyapa. "Guten Tag!? Oh, Johan!"

"Guten tag, Hai Edy!" sapaku menyapa selamat siang.

"Lapar? Mau aku buatkan sesuatu?" tanyanya.

"Pizza dengan taburan keju dan daging kalau ada," jawabku. "Plus kebab."

"Minumnya? Ah, tak usah dijawab. Cappucino," katanya. Dia memang sudah faham apa yang aku pesan terutama minuman. Entahlah, Cappucino di tempat ini sangat nikmat. Aku jadi ketagihan dengannya.

Aku langsung duduk di sebuah kursi yang berada di depan meja panjang. Aku melihat bagaimana Edy bekerja, tampak istrinya berada di dapur. Aku bisa melihat bagaimana di usia mereka yang senja tampak mereka bekerja keras. Kulihat ada dua orang pelayan yang merupakan karyawan di rumah makan ini. Satu cewek satu cowok. Yang cewek bernama Angelina, yang cowok bernama Adam. Mereka berdua bukan karyawan biasa. Angelina adalah anak angkat Edy. Mereka mengadopsinya ketika Angelina masih berusia satu tahun. Angelina anak yatim piatu. Karena tak punya keturunanlah yang menyebabkan Edy dan istrinya mengadopsi Angelina, kemudian Adam adalah seorang cowok yang bekerja paruh waktu. Dia kuliah juga di München. Kulihat Adam sedang mengepel lantai sedangkan Angelina tampak membersihkan meja.

Aku lanjutkan membaca komik sambil menunggu pesanan datang. Tak perlu menunggu lama pesanan datang. Yang tiba lebih dulu adalah secangkir cappucino. Yang mengantarkan adalah si cantik Angelina. Rambutnya blonde khas wanita Jerman. Dia tersenyum melihatku.

"Hai Jo, kelaparan?" sapanya ramah. Dan kini ia duduk di depanku.

"Begitulah, dari tadi aku belum makan," jawabku.

"Komik apa itu?" tanyanya sambil mencoba membaca judul sampulnya. "Vagabond? Manga Jepang?"

"Betul sekali," jawabku.

Dia kemudian dengan penasaran mencoba melihat apa yang aku baca, "Ergh... bahasa apa itu?"

"Es tut mir leid, ini bahasa Indonesia," jawabku.

"Ach so, aku kira bahasa Jerman sehingga aku bisa ikut membacanya," katanya dengan sediki menyesal. "Bagaimana kuliahmu Jo?"

Aku mulai menyeruput rasa segar Cappucino. Khas sekali. Pas manisnya, aku bisa merasakan krim dan susunya. Kusesapi buih yang menempel di pinggir bibirku dengan lidah.

"Kamu tidak kuliah?" tanyaku sambil melirik ke arahnya.

"Nein Jo, kamu tahu sendiri keadaan keuangan kami cukup sulit untukku bisa kuliah," ujar Angelina sambil menghela nafas. "Aku sangat ingin sebenarnya."

"Kan ada beasiswa, kenapa tak mencoba untuk mengambilnya?"

Angelina tertawa, "Aku dapat beasiswa? Sulit. Bahkan kalau toh aku kuliah siapa yang akan membantu papa dan mama?"

Aku menoleh ke arah Edy yang sudah selesai membuat kebab. Dia menaruh nampan di jendela pantry. Suaranya yang berat langsung membuat Angelina tersentak, "Angelina, berikan ini ke Johan!"

"Ja papa!" segera Angelina beranjak menuju ke nampan yang berisi kebab pesananku. Tak berapa lama kemudian kebab sudah datang dan terhidang di mejaku.

Karena lapar aku sudah langsung saja memberikan saus dan sambal di tengahnya, setelah itu gigitan pertama langsung membuat potongan kebab masuk ke mulutku. Aku lupa kalau masih panas. "Aduh... uufff..uufff!" Aku membuka mulutku agar uap panasnya keluar sambil tanganku mengipasi mulutku.

"Bodoh, masih panas dagingnya!" ujar Angelina sambil menoyor kepalaku.

"Hahaha, lupa. Habis aku kelaparan," kataku. Kuletakkan potongan kebab itu sambil menunggu dingin dulu.

"Hei Jo, aku ingin cerita kepadamu tentang sesuatu. Kalau boleh," katanya.

Aku mengangkat alisku. Aku lupa kalau setiap kali ke sini Angelina pasti akan bercerita mengenai dirinya. Beberapa waktu lalu ia bercerita disukai oleh dua orang cowok. Terus terang menjadi penasehat cinta amat tidak aku sukai. Aku sendiri gagal dalam percintaan, bagaimana mungkin aku bisa menasehatinya. Apalagi aku seorang playboy insyaf.

"Kalau cerita tentang Trent dan Davie aku sudah bosan," aku berkata jujur.

"Erggh...," ia tampaknya gemas. "Kamu tidak asyik Jo. Ayolah sebentar saja."

"Memangnya kenapa? Apakah kamu diajak kencan oleh keduanya?" tanyaku langsung to the point.

Angelina mengangguk.

"Trus?" lanjutku.

"Aku bingung. Pasti mereka akan menembak aku nantinya ketika kencan. Aku harus bagaimana?" wajah Angelina tampak kebingungan. Wajar bagi dia yang tak pernah pacaran. Ia baru kali ini disukai oleh cowok, atau mungkin cowok-cowok itu baru punya keberanian sekarang menembak seorang cewek yang cukup cantik ini.

Kuhembuskan nafasku. Sebenarnya persoalannya tidak sulit menurutku. Aku tinggal memberinya nasehat agar dia tidak menggangguku tapi juga nasehat yang aku berikan setidaknya berguna untuknya. Aku kembali menyeruput cappucinoku. Kuletakkan komik di atas meja sambil menyandarkan punggungku di kursi. Kulihat Angelina masih menanti jawabanku.

"Kamu ini meminta nasehat kepada orang yang salah. Aku sendiri dalam urusan cinta tak begitu mulus koq," ucapku.

"Tapi itu artinya kamu sudah punya banyak pengalaman! Makanya kasih nasehat dari kegagalan-kegagalanmu, Johan!" Angelina matanya berbinar-binar.

"Baiklah, pertama begini. Dari dua orang itu siapa yang paling engkau ketahui sifatnya?" tanyaku.

Angelina berpikir sejenak, "Sepertinya Davie deh."

"Oh ya? Kalau begitu siapa yang keburukannya yang lebih banyak engkau ketahui?" lanjutku.

"Trent, ia lebih banyak aku ketahui kejelekannya," jawab Angelina. "Dulu ketika di Gymnasium dia sering tidur di kelas. Dia juga sering nongkrong tidak jelas. Ah, dia juga pemarah bahkan sering berantem dengan orangtuanya."

"Kalau Davie?"

"Aku lihat sih, dia tidak banyak sifat jelek," ujar Angelina.

"Kamu tak boleh berat sebelah. Kenapa kamu lebih tahu sifat jelek Trent daripada Davie? Itu artinya kamu suka ama Davie. Aku benar bukan?"

"Eehmm...," Angelina tampak gugup. "Sebenarnya sedikit sih. Hehehehe.."

"Dengarlah nasehatku. Biasanya seorang laki-laki akan mengeluarkan semua sisi terbaiknya untuk mendekatimu hingga kamu seolah-olah tak bisa meliha sisi jeleknya. Kalau ada orang seperti ini maka jauhilah dia. Karena ia hanya akan memanfaatkanmu saja. Kalau kalian sampai menjalin hubungan, maka hubungannya tidak akan berlangsung lama," ujarku. Berdasarkan pengalamanku saja. Aku memang berbuat seperti itu untuk menggaet cewek-cewek yang jadi korbanku. Penampilan doang yang keren, seperti merak jantan yang mengembangkan bulu-bulu indahnya untuk menggaet merak betina. Dan aku sangat menyesal mengingat itu lagi.

"Sungguhkah?" tanya Angelina.

"Tapi dibalik itu semua, yang terbaik untukmu adalah dia yang selalu memperhatikanmu. Dia yang selalu ada untukmu dan dia yang selalu menyebutmu dalam setiap do'anya," jawabku. Sigh, sok bijak kamu Johan!

"Sekali pun mungkin engkau tak bisa melihatnya tapi dia tetap akan ada di sana untukmu," lanjutku.

"Oh, soo sweet. Memangnya ada pria yang seperti itu?" Angelina tampak terharu.

Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Kuangkat bahuku. Saat itulah kulihat Adam mengempel lantai di tempat aku duduk.

"Permisi!" katanya. Sesekali ia melirik ke arah Angelina.

Aku mengangkat kakiku ketika alat pelnya membersihkan lantai di bawah kakiku. Dari sikap Adam sendiri aku yakin cowok ini ada sesuatu hal yang ia sembunyikan dari Angelina. Sudah tiga kali ia melirik ke arah Angelina. Ah tidak, sejak aku masuk ke rumah makan ini dia terus memperhatikan cewek yang ada di hadapanku ini. Tapi sepertinya Angelina cuek-cuek saja.

Setelah selesai mengepel lantai tempat aku duduk, Adam segera pergi meninggalkan kami. Dia pergi ke belakang.

"Kamu tahu, Adam itu sedikit berubah lho," ujar Angelina.

"Berubah? Berubah bagaimana?" aku penasaran.

"Yah, semenjak kamu sering mampir ke rumah makan ini. Ia jadi lebih giat dan rajin," jelas Angelina.

Aku mengernyitkan dahi, "Benarkah?"

"Iya. Aku saja baru memperhatikannya. Ia suka mengepel, bahkan membantu mama di dapur. Papa juga heran dengan sikapnya," Angelina menggaruk-garuk kepalanya.

Aku tertawa. "Hahahaha, Angelina. Kamu ini benar-benar lucu."

"Eh, kenapa? Kenapa kamu tertawa?"

"Oh nggak apa-apa. Mau tahu nasehatku?" tanyaku.

Angelina mengangguk-angguk.

"Kadang cinta sejati itu tidak jauh, tapi untuk mendapatkannya perlu perjalanan yang jauh," aku terhenyak. Bagaimana aku bisa bicara seperti itu?

"Maksudnya?" Angelina mengernyitkan dahinya. Ia menerawang. Kebingungan dengan perkataanku barusan.

Tidak terlalu jauh. Aku memahaminya. Sebenarnya bukankah Sheila selama ini tidak jauh dariku. Dia ada di Indonesia, di dekatku. Ah iya aku ingat. Saat itu ketika ban sepedaku bocor, aku melihatnya di antara derasnya air hujan. Dia ada di sana. Dua kali aku melihatnya. Ah tidak, mungkin berkali-kali tapi aku tak ingat. Dia sangat dekat dengan aku bukan selama ini? Hanya saja kami tak bertemu.

Di ujian test masuk SMA 7. Kalau saja aku bisa memperhatikan dia di sana. Kalau saja dia melihatku di sana. Kalau saja aku menghampirinya ketika di antara derasnya hujan itu. Di halte bus. Apakah dia ada di pertandingan futsal terakhirku? Apakah hujan yang turun ketika Aprilia mengamuk waktu itu karena dia? Apakah dia selama ini ada di dekatku?

"Sang dewi hujan," gumamku. Aku melihat waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Apakah Sheila masih ada di sana?

Tidak, dia pasti sudah bosan menungguku kemudian pulang. Aku tahu ini menyakitkan baginya tapi aku memang tak mau dia terluka karena aku. Aku tak ingin melukai siapapun lagi. Aku tak ingin mengecewakan dia. Aku untuk sesaat melamun, tak kuhiraukan apa yang diucapkan Angelina. Bahkan sampai makananku datang semuanya dan sudah terhidang di mejaku.

"Hallo? Johan?! Kamu baik-baik saja?" tanya Angelina.

Aku memejamkan mata.

"Kamu tak apa-apa?" tanya Angelina.

Aku adalah Kapten Bumi, maksudku aku Geo Streamer. Aku tahu aku bisa menggunakan kekuatanku untuk melihat di mana Sheila sekarang. Dalam hati aku berkata, "Bumi bicaralah!"

Sekali lagi rohku melayang, melesat menuju dimensi khusus yang tercipta oleh keberadaan planet ini. Bumi sebagai tempat tinggal kita umat manusia menuntunku hingga sampai ke ruangan itu. Tapi kali ini ruangan yang biasa menjadi tempatku berbicara dengan planet berubah warna menjadi merah. Apa yang terjadi? Kenapa berwarna merah?

Aku melihatnya. Melihat memory-memory yang ditunjukkan planet ini kepadaku. Kulihat sampah-sampah yang mengandung zat-zat beracun tampak dibuang ke sungai oleh sekelompok manusia. Limbah-limbah pabrik mencemari sungai-sungai. Ikan-ikan mati terapung di atas sungai yang tercemar. Sementara itu manusia-manusia banyak menjadi korban karena penyakit kulit yang mereka derita akibat mandi di sungai. Wabah muntaber mereka rasakan. Hingga aku melihat kekeringan di mana-mana karena menipisnya sumber air. Hujan turun lebat, membuat pegunungan yang harusnya mampu menyerap air kini tidak lagi bisa. Air dari gunung turun seperti bah, karena sudah jarangnya pepohonan yang tumbuh di sana. Banjir pun terjadi. Ini bukan karena ulah bumi tapi ini adalah realita dari sebab akibat yang terjadi karena ulah manusia.

"Bumi, apakah kamu bersedih?" gumamku.

Hanya terdengar suara dengungan. Aku bisa merasakan keberadaan bumi sedang bersedih. Sayangnya aku hanya bisa merasakan. Dan kami seperti berbicara dengan perasaan. Dadaku seperti disuntik oleh sesuatu sentuhan yang tak bisa terlihat. Dengan itulah aku dan bumi berkomunikasi. Memang sangat aneh, tapi itulah yang terjadi denganku selama ini.

"Aku berjanji akan menolongmu. Tapi sekarang belum saatnya. Katakan kepadaku di mana Sheila?" tanyaku.

Dalam sekejap aku diperlihatkan ke sebuah ruangan. Ruangan itu sepi. Hanya tampak sebuah piano dan seseorang duduk di depannya memainkan benda itu. Orang bodoh mana yang masih menungguku sampai dua jam? Aku segera kembali lagi ke tubuhku.

Saat aku sadar kembali kulihat Angelina menggoyang-goyang tubuhku, "Kau tak apa-apa, Jo?"

"Aku tak apa-apa, hanya sedikit capek. Bisa kamu bungkus saja makananku?" tanyaku.

Ekspresi Angelina masih seperti orang kebingungan. Tapi kemudian dia mengangguk. Ia agak khawatir dengan diriku tadi. Tentu saja. Siapa yang tidak khawatir kalau di depannya ada orang yang jiwanya tidak di dalam tubuhnya? Kalau aku sampai ambruk mungkin aku akan diangkut ke ambulans. Itu tidak baik.


* * *


Setelah makanan yang aku pesan dibungkus, berupa pizza dan kebab yang aku gigit sedikit tadi, aku segera pergi ke kampus. Dasar orang aneh kenapa dia masih menungguku? Aku tidak pernah berjanji akan datang. Lalu kenapa aku juga malah menyusul dia ke kampus?

Kampus sepi tentu saja. Ini hari libur. Dan hanya ruang tertentu saja yang buka seperti ruang musik misalnya. Di sini biasanya ada ekstrakurikuler musik dan para pesertanya berlatih ketika hari libur. Aku sedikit berlari menuju ke kampus yang jaraknya lumayan. Tak kuhiraukan rasa sakit kembali menjalar di otot kakiku. Aku lupa mengoleskan salep tadi pagi pantas saja rasanya nyeri. Dedaunan musim semi berterbangan saat aku melewatinya dan memberikan angin berhembus meninggalkanku. Saat itulah kulihat sesuatu di langit. Awan tiba-tiba bergulung-gulung berkumpul di atas gedung kampus. Apa itu? Kenapa yang lainnya tidak mendung? Aneh sekali.

Baru saja aku menginjakkan kakiku di kampus hujan turun. Anehnya hanya area kampus saja yang hujan. Aku paham. Ini pasti ulah Sheila. Segera aku menuju ke ruang musik. Ruangan itu terbuka sedikit pintunya seolah-olah tahu bahwa akan ada yang datang. Di dalam ruangan itu Sheila sedang memainkan melodi-melodinya di tuts piano. Aku terengah-engah masuk ke ruangan tersebut. Kemudian dengan lambat berjalan ke arahnya.

Sheila memakai sweater abu-abu dengan hoodie menutupi kepalanya. Sementara rambutnya sedikit ia tampakkan ke depan. Ia memakai celana jeans sebetis. Tampak ia sangat enjoy dengan pakaiannya. Lebih ke arah tomboy kurasa. Aku biarkan dia memainkan musik, namun ia menghentikannya tiba-tiba saat menyadari keberadaanku. Dia kemudian berbalik. Oh ya tuhan, dia cantik sekali. Kalau misalnya aku harus memuji kencantikannya aku akan lakukan sekarang. Aku sulit menelan ludah saat ini. Bagaimana Dewi Hujan yang sangat cantik ini bisa ada di hadapanku dan aku mengenalnya? Ini seperti mimpi.

"Kamu tahu? Kamu ini keras kepala ternyata," kataku.

Iris biru safirnya menjelajahi tubuhku dari ujung rambut sampi ujung kaki. Dia tersenyum dengan senyuman yang paling manis. "Kamu kehujanan ya?"

"Itu ulahmu?" kataku sambil menunjuk keluar. Ia tahu maksudku. Anggukannyalah yang akhirnya meyakinkan aku. Kalau dia tidak melakukan hal ini aku tak akan percaya kalau dia Dewi Hujan.

Aku bergerak mendekat. Tinggi Sheila ternyata hanya setelingaku. Hal itu membuat dia sedikit mendengak menatap mataku. Tak ada pembicaraan untuk semenit lamanya. Hanya kedua mata kami yang saling menatap seolah-olah kami berbicara melalui batin kami. Aku menarik nafasku. Aku sangat tidak kuat dalam posisi seperti ini. Rasanya seluruh jiwaku benar-benar sekarang diserap oleh tatapan iris biru safirnya. Tapi untuk memejamkan mataku saja aku tak bisa. Dementor di hadapanku ini benar-benar seperti medusa, membuatku menjadi batu hidup yang baru saja masuk ke dalam guiness book of record.

"Kamu selalu ada di dekatku selama ini?" tanyaku.

"Entahlah, aku tak tahu," jawabnya. Ia juga tak tahu.

"Tapi rasanya aku merasakan kehadiranmu selama ini. Katakan kepadaku, apa aku selalu kamu pikirkan?"

"Kamu ada dalam setiap do'aku."

"Apakah karena kita orang yang sama. Orang yang sama-sama memiliki kekuatan yang tidak bisa dijelaskan?"

"Bukan hanya itu," Sheila menggenggam tanganku.

"Lalu apa?"

"Kamu bilang, dirimu adalah monster bukan? Aku akan terima monster itu. Aku akan mengubahnya. Lebih baik engkau jujur bahwa dirimu monster daripada kemudian aku mengetahuinya sendiri," jelasnya. "Kita sama-sama dikhianati. Engkau dikhianati oleh sahabatmu. Aku dikhianati oleh papaku."

"Tapi kenapa engkau menungguku sampai berjam-jam padahal bisa saja aku tidak datang," aku memarahinya. "Kamu benar-benar menyebalkan! Kamu tahu itu?"

Sheila tersenyum. Dia mengangguk, "Aku tahu kamu akan datang."

"Mustahil, bohong. Dari mana kamu tahu?"

Dia menunjuk ke dadanya. "Perasaanku yang mengatakannya. Maka dari itulah aku yakin. Kalau engkau Kapten Bumiku aku yakin engkau akan datang."

"Arrghh.. sudah, jangan sebut kapten bumi lagi. Aku tidak suka sebutan itu," kataku.

"Kenapa?" tanya Sheila heran.

"Kamu tahu aku selalu diejek dengan sebutan itu dulu. Aku pernah punya baju superhero yang kemudian selalu aku pakai untuk melawan anak-anak nakal. Aku kemudian diejek dan diketawai dengan sebutan itu dan juga perilakuku. Hampir selama duduk di bangku SD aku dijuluki Kapten Bumi. Barulah ketika masuk SMP julukan itu sudah hilang. Aku menjadi orang baru dan tidak dikenal lagi sebagai Kapten Bumi. Itu hanya julukan," terangku.

Sheila tertawa. "Tak apa-apa. Aku suka."

"Kamu...," aku geram dengan Sheila tapi tak bisa. Aku menahan diriku.

Sheila tersenyum lagi kepadaku. Wajahnya terlihat sangat manis ketika tersenyum seperti itu membuatku meleleh rasanya. Sheila kemudian berbalik lalu duduk di kursi sang pianis.

"Selama ini hanya ada dua teman yang selalu menemaniku. Musik dan mamaku. Sebelumnya aku mempunyai impian yang sangat indah. Aku bersama papa dan mama hidup bersama, bermain, menghabiskan waktu kami di Jühnde sampai dewasa. Sebenarnya kepindahanku ke Frankfurt juga tidak aku sukai. Aku tak bisa berbicara kepada mereka, karena apa yang bisa aku lakukan sebagai anak kecil? Duniaku penuh warna-warni. Aku sudah bersyukur mendapati itu semua terlepas hal itu diketahui oleh kedua orangtuaku.

"Kamu tahu papaku selalu berkata cinta kepada kami. Sayang kepada kami. Aku melihatnya sebagai sosok yang luar biasa. Bekerja untuk keluarganya siang dan malam. Ketika aku kecil ia tak pernah absen menemaniku. Ia selalu datang di pertunjukanku. Ia juga yang kerap kali meninabobokkan diriku. Hanya saja entahlah semenjak ia mengenal perempuan itu, semuanya berubah. Ada yang bilang ia cinta pertama papaku. Bisa kamu bayangkan itu, bagaimana perempuan itu merusak rumah tangga papa dan mama. Impian kami seketika itu musnah. Aku merasa papa mengkhianati semua perasaan cintanya. Di rumah Zack aku dan papa sama sekali tak bicara. Kami terdiam seperti patung. Kamu tak akan tahu rasanya apabila orang tuamu mengkhianati kamu. Rasanya sangat sakit. Aku tak tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh sahabat dan kekasih. Pasti rasanya sakit juga. Tapi ini orang tuaku. Aku terpaksa hidup tanpa figur seorang ayah. Beruntunglah mama yang bijak selalu mengajarkanku untuk menikmati dunia ini, melihatnya tidak seperti orang kebanyakan.

"Di Indonesia aku punya sahabat namanya Firda. Kami sering jalan bersama bahkan terkadang ngamen bersama. Aku sering mempertunjukan lagu-laguku di stasiun, mall dan berbagai macam tempat tongkrongan. Terkadang dibayar, terkadang tanpa dibayar. Entah aku harus berterima kasih kepada papaku atau tidak karena biaya kuliah ini adalah dari uangnya. Seolah-olah ia ingin menebus semua kesalahannya dengan cara seperti ini. Aku sendiri tak percaya dengan hal itu tapi itu kenyataan. Ini memang keputusan pengadilan yang mana papa harus membiayai seluruh kehidupanku sampai aku menikah.

"Jo, tahu kah kamu kalau aku selama ini mencari seorang teman yang bisa mengerti aku? Aku ingin dia bisa mengerti aku. Dengan cara yang sama sebagaimana aku ingin mengerti orang lain. Mungkin kita memang sedikit sinting dengan kekuatan yang ada pada diri kita. Hidup di tengah manusia normal yang tidak sama dengan kita. Aku saja tidak pernah tahu kalau kemampuanku seperti ini. Kamu juga mungkin begitu. Saat tak ada yang bisa mengerti diriku, aku sangat sedih. Merana. Mama sibuk dengan rumah sakit dan aku sendirian. Firda, tak pernah aku beritahu tentang kekuatanku, tentang kemampuanku yang melebihi manusia biasa. Aku bisa menyembunyikannya dengan baik selama ini. Rasanya aku hampir putus asa saat aku tak bisa bertemu dengan dirimu. Tapi aku tetap berharap apa yang dikatakan Safuan benar bahwa aku akan bertemu denganmu di Jerman. Dan sekarang benar-benar terjadi. Kita bertemu di Jerman," cerita Sheila.

Aku menghembuskan nafas. Paru-paruku terasa sesak. Benar sekali. Dia sama seperti aku, bahkan mungkin nasib aku dan Sheila mirip.

"Kamu yakin berteman denganku?" tanyaku.

Dia mengangguk.

"Dengan segala kekuranganku?"

"Aku juga banyak kekurangan," kata Sheila. Kekurangan bagaimana? Kamu itu sempurna. Wajahmu jelita, kulitmu cerah seperti bidadari turun dari kayangan. Suaramu merdu, bahkan kamu jenius. Aku tak mungkin mengatakan kamu banyak kekurangan.

"Aku takut satu hal," kataku.

"Apa?"

"Aku takut jatuh cinta kepadamu," lanjutku.

Sheila terdiam. Dari wajahnya terlihat keraguan, namun tiba-tiba wajahnya kembali cerah. "Bagaimana kalau misalnya aku yang takut jatuh cinta kepadamu?"

"Ah, kalau itu....,"

"Kita jalani saja apa adanya. Kau dan aku berteman. Aku ingin lebih banyak mengenalmu. Kamu tentunya ingin lebih banyak mengenalku bukan?" Sheila berdiri dari tempat duduknya.

"Eh, iya," jawabku.

Kami berdua terkekeh-kekeh tak jelas. Aku kemudian memberikan bungkusan plastik yang berisi pizza tadi. "Aku dari tadi belum makan, kalau tak keberatan kita makan bersama."

"Baiklah, yuk?!"

Itulah awal kedekatanku dengan Sheila. Dekat dengan sedekat-dekatnya. Tapi ini adalah awal kami menjajaki pertemanan. Akan ada banyak jalan terjal yang harus kami lewati.


* * *


Hari itu aku mengantar Sheila sampai ke apartemennya. Tak ada pelukan, tak ada kecupan perpisahan. Kami hanya berteman. Ingat itu! Aku tak mau merusak hubungan ini. Tak ada yang bisa aku lakukan selain bertingkah seperti anak baik. Aku sudah bosan menjadi bad boy.

Waktu menunjukkan pukul 20.00 saat aku kembali ke asramaku. Kulemparkan komik Vagabond milikku ke atas kasur. Aku kemudian mulai melakukan shalat maghrib. Waktu maghrib di Jerman jam 20.00. Dan selalu bergeser. Maklum matahari terbit dan tenggelamnya tak senormal di Indonesia. Bahkan ada negara di belahan bumi lain yang waktu tenggelam mataharinya hanya empat jam.

Setelah mengambil air wudu dan shalat. Pikiranku sedikit fresh hari itu. Kembali aku bertaubat atas semua dosa-dosa yang telah aku lakukan. Dengan penuh penyesalan aku haturkan semua kepasrahan kepada sang Pencipta. Selesai shalat aku pun mulai menghibur diri dengan browsing-browsing. Saat itulah ada video call untukku dari Dina. Aku segera menerimanya.

"Hai Johan?!" sapanya.

"Hai," jawabku. "Apa kabar?"

"Baik. Kamu bagaimana?" tanyanya balik.

"Baik juga."

Dina saat itu memakai kaos biasa. Dia sepertinya sedang di rumah. Dia masih seperti dulu. Ramah, ceria, rambutnya juga tak banyak berubah. Masih lurus dan panjang. Hanya saja ia tampak sedikit lebih kalem dari dulu. Mungkin efek kampus. Biasanya anak-anak mahasiswa memang seperti itu.

"Bagaimana Jerman? Beda ya ama negara kita?" tanyanya.

"Ya tentu saja. Kamu di mana ini?" tanyaku penasaran.

"Aku ada di kamar kost. Aku sudah kuliah dong. Gimana sih?"

"Oh, aku kira kamu nggak kuliah dan langsung kerja. Hehehe."

"Enggak dong. Aku kuliah, ngambil jurusan Bioteknologi di Bogor," ujarnya dengan bangga.

"Wow, selamat. Hebat dong. Salut deh," ujarku sambil mengacungkan jempol.

"Oh ya, ngomong-ngomong kamu sudah bertemu dengan Dewi Hujanmu?" kenapa Dina tiba-tiba bertanya sepeti itu.

Aku mengangguk, "Sudah. Aku sudah bertemu."

"Waaahh.... kenalin ke aku dong!"

"Yah, nanti kapan-kapan aku akan kenalkan," ujarku.

"Baguslah! Kalau kamu bahagia aku juga turut senang koq," Dina tersenyum tapi sedikit dipaksakan.

"Oh ya, salam ke bapak dan ibuku ya kalau kamu ketemu. Ke Adelia juga," aku mengetuk kamera laptopku.

"Iya, aku akan sampaikan," Dina mengangguk. "Ngomong-ngomong, siapa namanya?"

"Nama? Siapa?"

"Dewi hujanmu kalau boleh tahu."

"Oh, dia. Namanya Sheila. Sheila Amara Berg," ucapku.

"Namanya bagus. Indah. Aku tak sabar ingin bertemu dengan dia," ada nada yang aneh dari bicaranya. Aku tak tahu apakah harus menyelidikinya ataukah cukup diam saja.

"Dina, kamu tak apa-apa?" tanyaku.

"Tak apa-apa. Tak apa-apa koq, Jo. Santai saja. Aku tetap Dina yang ceria seperti sebelumnya," jawabnya. "Eh, udah dulu ya. Aku laper mau makan dulu."

"OK, baiklah kalau begitu," aku melambai ke arahnya

"Sampai jumpa. Bye!" dia pun mematikan video call.

Aku menghela nafas. Kurebahkan diriku ke tempat tidur. Malam ini entah aku bisa tidur atau tidak kalau wajah Sheila selalu terbayang di dalam benakku. Argh, aku tak bisa tidur. 

=========================================

Dari author:

Hari ini satu kantor pusing semua karena gajiannya terlambat. Alhasil banyak yang bad mood dan berkali-kali refresh tampilan internet banking kalau-kalau gajiannya sudah masuk. Hahahaa. Sembari menunggu pulang aku pun meneruskan tulisanku ini. 

Argh, ada beberapa missed di sini. tapi apa ya? Aku bahkan terkadang ragu sendiri terhadap tulisanku. Misalnya saja tentang sifat karakternya terkadang tertukar-tukar. Ini harusnya begini yang itu nggak boleh begini. Memang aku sudah buat listnya. Cuma terkadang untuk beranjak ke list itu lagi males. Alhasil beberapa tulisanku tidak terstruktur. Contohnya aku mengganti beberapa paragraf tulisan yang sudah aku tulis ini. 

Maklumlah part time writter, mau gimana lagi. 

Thx atas atensinya. Semoga kalian bisa menikmati cerita ini sampai ending. Ceritanya sedikit berkembang karena aku kurang bisa  nyari kata-kata yang pas. Sebenarnya sudah ada jalan cerita yang aku buat, tapi kalau terlalu sedikit nulisnya juga nggak bagus akhirnya babnya agak mengembang. Tapi it's OK. Asalkan jariku masih belum keriting nggak masalah kalau banyak bab. 

please voments. :)

Baiklah, silakan pendekar typo beraksi. Hehehehe ;)

kosakata asing:

Einfach im Geiste : Sederhana dalam Jiwa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top