21 | Bertukar Rahasia
Sudah dua bulan aku berjalan dengan menggunakan tongkat. Onkel Zack bilang kalau aku sebenarnya bisa berjalan tanpa tongkat, tapi aku terlalu takut. Mau bagaimana lagi, tongkat berwarna coklat pemberian bapak merupakan satu-satunya alat yang tak pernah absen aku bawa kemanapun. Tongkat elbow yang mana pegangannya melingar di bahu hingga siku ini merupakan alat yang sudah tak terpisahkan. Agak aneh saja ketika Onkel Zack menyuruhku untuk berjalan tanpa tongkat.
"Kamu itu penakut!" ujarnya di telepon.
"Aku takut terjatuh lagi seperti beberapa waktu lalu," kataku.
"Kamu penakut," lagi-lagi beliau memarahiku.
"Aku bukan penakut," kataku.
"Kalau begitu buang saja itu tongkatmu. Besok aku akan ke asramamu," katanya. "Kamu tak usah protes atau aku akan memulangkanmu ke negaramu biar kamu dimarahi oleh papamu."
"Oh Onkel, yang benar saja!" protesku. Dia langsung menutup teleponnya. Sigh! Aku mendengus kesal. Bisa-bisanya dia sekejam itu. Memang selama aku ada di negara ini Onkel Zack yang selalu mengawasiku. Dia bertanya tentang keadaanku bahkan melebihi bapak. Aku saja sampai heran. Tapi aku memang harus berterima kasih kepada Onkel Zack. Ah sebenarnya panggilan Onkel emang cocok untuk dia. Lagipula usianya seusia dengan bapak bukan?
Aku menatap layar ponselku. Kulihat foto adikku dan diriku yang sedang tersenyum di rumah sakit. Aku mengambilnya ketika masih terbaring di rumah sakit. Sudah tak ada lagi foto Melati atau pun Anton. Aku sudah mulai melupakan mereka. Entah apa kabar mereka. Kuharap mereka bahagia di Indonesia sana. Sudahlah, aku sudah merelakan mereka. Anton dan Melati sudah cocok, hatiku tambah sakit kalau mengingat mereka lagi. Kulihat galeri fotoku, di sana ada Dina. Aku sempat heran dengan dirinya, kenapa dia sangat terobsesi kepadaku? Dengan dia menjagaku selama di rumah sakit saja sudah membuktikan kalau Dina adalah memang menaruh hati kepadaku. Apakah memang kisah hidupku ini seperti cinta yang tertukar? Tapi aku tak mencintai dia.
Memang sih, Dina itu cantik. Dari semua murid SMA yang aku kenal, hanya dia yang kalem. Dia juga cerdas. Berbeda dengan kebanyakan cewek yang ada di sekolahku.
Kugeser layar ponselku. Di sana ada foto cewek lain. Sheila. Di foto itu Sheila sedang duduk termenung di perpustakaan. Entah apa yang dipikirkannya saat itu. Aku juga dengan kurang kerjaan malah memotretnya diam-diam. Terus terang, di dalam diriku ada rasa penasaran ingin mengenalnya. Dia jelas bukan cewek sembarangan, tatapan matanya yang menusuk membuatku berfikir kalau gadis ini tahu semua isi hatiku. Namun yang jelas setiap kali aku bertemu dengannya, ia selalu diam membisu. Tak banyak memulai pembicaraan. Sapu tanganku masih dibawanya sampai sekarang, bahkan aku sendiri sudah mengikhlaskannya.
"Jo, kamu tidak keluar hari ini?" tanya Kotze, teman satu asramaku.
"Ah, iya. Onkel Zack akan kemari hari ini," jawabku.
"Oh, kalau begitu aku boleh pinjam laptopmu hari ini? Aku harus mencatat, berhubung laptopku rusak, aku sama sekali tak bisa kerja," terang Kotze. Pemuda yang rambutnya ikal seperti brokoli ini menampakkan wajah memelasnya. Matanya terlihat lucu dengan mimik wajah seperti itu.
"Iya, silakan pakai. Rusak ganti ya!" gurauku.
"Iya, tenang aja!"
* * *
Siang hari Onkel Zack datang. Kami langsung ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kakiku. Sebenarnya tak masalah kalau aku dan Onkel Zack sendirian, tapi kenapa Sheila juga harus ikut? Kami duduk bersebelahan di kursi belakang, tapi sama sekali tak keluar kata-kata apapun dari mulut kami.
"Kalian kenapa?" tanya Onkel Zack.
Aku mendengak menatap mata Onkel Zack dari kaca spionnya. "Tak ada apa-apa."
"Biasanya teman satu kampus itu saling bertegur sapa. Ngobrol tentang gosip mahasiswa, siapa yang baru jadian, siapa mahasiswa teraneh, siapa dosen teraneh kalau perlu makanan teraneh di kampus. Tidak seperti radio yang kehabisan bateray gini!" ujar Onkel Zack.
"Kenapa aku harus ikut? Bukannya onkel bilang ingin mengajakku jalan-jalan?" tanya Sheila ketus.
"Aku akan mengajakmu jalan-jalan, tapi sebelum itu kita mampir dulu ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi Johan," terang Zack.
"Kenapa begitu? Dia masih akan hidup seribu tahun lagi. Jadi tak perlu dipermasalahkan! Aku tak suka," lagi-lagi Sheila berkata ketus.
"Sebentar saja. Bukannya kamu suka untuk menjenguk orang sakit? Jamie sering cerita kalau kamu suka menjenguk pasien di rumah sakit jiwa, lalu menghibur mereka dengan lagu-lagumu," ujar Zack.
Sheila mengangkat alisnya. Itu artinya selama ini mamanya sering ngobrol dengan Zack dan ia tidak mengetahuinya. Aku pun mulai menebak apakah antara Zack dengan mamanya ada hubungan rahasia.
"Kalian tidak perlu berpikiran yang aneh-aneh, aku dan Jamie hanya berteman. Kenapa tatapan mata kalian begitu kepadaku?" Onkel Zack seakan-akan tahu apa yang ada di pikiran kami.
Sheila menghela nafas. "Aku tak membawa gitarku, apa Onkel tak melihatnya?"
"Aku melihatnya, tapi tak ada salahnya, bukan? Ayolah, aku sudah beberapa bulan ini tidak melihat kalian, aku sudah rindu. Cuma kalian berdua yang mengingatkanku kepada Indonesia," ujar Onkel Zack.
Sesampainya di rumah sakit segera aku diantar oleh Onkel Zack menuju ke ruangan dokter spesialis Orthopedi. Di sana aku juga melakukan sinar X untuk melihat apakah keadaan tulangku baik-baik saja. Sheila tak ikut ke dalam bersamaku, dia lebih memilih untuk berada di luar ruangan. Sedangkan aku dan Onkel Zack bicara serius mengenai kakiku.
"Tak apa-apa," ujar Sang Dokter sambil menimang-nimang hasil rotgen. Dokter ini bernama Isaac. Kacamata tebalnya membuatku menebak ia pasti seorang kutu buku ketika mudanya. Atau mungkin orang yang terlalu lelah karena usianya kutaksir sudah lebih dari 50 tahun.
"Maksudnya tak apa-apa?" tanyaku.
"Dengan minum banyak kalsium dan juga sering berolahraga terutama jogging kakimu akan baik-baik saja. Mulai sekarang kamu tak perlu memakai tongkat lagi," jawabnya. Antara percaya dan tidak aku senang mendengarnya. Kini aku bisa bernafas lega.
"Tapi saya masih merasa sakit," ujarku.
"Itu wajar karena ototmu kaku, kamu harus melemaskannya. Pijat saja tiap hari atau kamu bisa membeli salep untuk mengatasi permasalahan otot. Aku akan berikan resepnya kalau kamu mau," kata Dr. Isaac.
Kusesapi bibirku sendiri, kemudian kupandangi kakiku. Apa memang sakit yang kurasakan itu karena ototku yang kaku? Aku tak tahu siapa yang harus dipercaya. Perasaanku ataukah ucapan dokter ini.
"Aku bicara sejujurnya. Apa yang kamu rasakan itu adalah karena ototmu kaku. Kurang lebih sebulan kamu berbaring benar bukan?" tebakannya tepat. Aku mengangguk. "Nah, karena itulah otot kakimu tidak pernah bergerak. Setelah kamu bisa berjalan dengan tongkat kamu juga berjalan dengan cara yang tidak normal. Hal itu akan memperparah keadaan otot kakimu. Maka dari itu kamu perlu salep pereda nyeri otot. Semoga dengannya rasa sakitnya akan hilang."
Aku hanya mengangguk tanpa tahu apakah salep itu akan manjur atau tidak.
Setelah selesai urusan dengan Dr. Isaac aku pun keluar. Kami menebus obat di apotek, kemudian Onkel Zack mengajak kami untuk menuju ke sebuah tempat yang menurutku unik. Lapangan Badminton. Ada sebuah gelanggang olahraga di München. Aku melihat banyak orang yang masuk untuk antri tiket. Ternyata Onkel Zack mengajak kami untuk menyaksikan pertandigan badminton. Kami masuk di tribun penonton sebelah timur. Di dalam sudah ada yang bermain, namun penontonnya sepi. Para penonton terlihat banyak pada tribun bagian utara dan juga pada baris depan. Sisanya sepi.
Lapangan bulu tangkis itu ada empat. Kesemuanya sedang dipakai. Satu lapangan tampak sedang berlangsung pertandingan satu lawan satu. Sisanya pertandingan ganda. Dan yang membuat mataku tertarik adalah sebuah bendera yang sedang dibentangkan oleh sekelompok penonton. Bendera merah putih. Aku yakin itu bukan bendera negara Monaco atau bendera Polandia. Terlebih ketika aku mendengar teriakan "INDONESIA" dengan irama yang unik dengan iringan tepukan.
"Pertandingan badminton?"gumamku.
"Yup, ada pertandingan German Open. Negaramu sedang bertanding melawan Jepang sekarang," tunjuk Zack ke sebuah lapangan.
Kami kemudian duduk begitu saja di kursi yang kosong. Aku tak tahu apa maksud Onkel Zack mengajakku melihat pertandingan ini. Selama pertandingan berlangsung aku hanya bisa diam. Tak ada pembicaraan apapun baik aku dengan Onkel Zack maupun Sheila. Semuanya serasa hambar dan datar. Kalau melihat Onkel Zack sekarang ini kumerasa beliau sedang ada permasalahan. Sheila menoleh ke arahku, sepertinya ia mengerti apa yang sedang aku rasakan sekarang.
"Onkel Zack, kami mau beli cemilan dulu kalau tidak keberatan?" celetuk Sheila tiba-tiba. Dia pun melotot kepadaku agar aku punya pemikiran yang sama dengan dirinya.
Zack melihat kami berdua. "Tumben kalian kompak, baiklah. Silakan. Aku tunggu di sini."
Kami berdua kemudian beranjak dari tempat duduk kami. Sheila memimpinku untuk berjalan di depan. Kami menghampiri sebuah stand yang ada di atas tribun. Di sana ada yang menjual makanan kecil dan minuman ringan. Onkel Zack melihat kami dari kejauhan. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke lapangan setelah aku menatapnya.
"Ada yang aneh dengan Onkel Zack," ujarku.
"Kamu merasakannya juga?" tanya Sheila.
"Iya, menurutmu? Ada apa dengan Onkel Zack?"
Sheila mengangkat bahunya. "Aku tak pernah melihatnya begini."
"Masalah cinta?" tebakku.
"Sembarangan. Memang siapa yang sekarang sedang mengetuk hati Onkel Zack?"
"Mamamu?" tebakku lagi.
"No way. Tidak! Itu terlalu konyol. Akan sangat konyol kalau sampai mama menikah dengan Onkel Zack, papaku itu rekan kerjanya. Bisnis mereka bisa hancur gara-gara itu," sanggah Sheila.
"Lho, sebentar. Aku tidak bicara ke pernikahan," kusanggah balik. "Aku hanya menebak saja. Adapun apa yang sebenarnya terjadi hanya Onkel Zack yang tahu."
"Lagipula mamaku dan Onkel Zack tidak pernah bertemu setelah sekian lama," Sheila ganti melakukan pembelaan.
"Tapi kamu tahu sendiri bukan kalau mereka diam-diam berhubungan jarak jauh?!" kembali aku menyanggah.
"Itu tetap tidak masuk akal. Mamaku tidak suka hubungan jarak jauh," sekali lagi Sheila membela diri.
"Apa kamu sudah pernah tanyakan kepada mamamu soal itu?"
"Soal apa?"
"Soal bahwa mamamu tidak suka dengan hubungan jarak jauh."
Sheila mengernyitkan dahi. Semakin tajam ia menatapku. "Itu tidak perlu. Aku tahu mamaku."
"Sanggahanmu itu tak ada gunanya. Sudahlah, itu urusan mereka bukan?" kataku.
"Tapi tetap saja. Aku tidak setuju. Sekali pun aku membenci papaku tapi bukan berarti aku setuju kalau mama bersama Onkel Zack!" sekali lagi kata-kata Sheila begitu tajam. Seolah-olah ia tak ingin disanggah lagi.
"Aku ingin bertanya kepadamu kalau boleh," aku meminta ijin kepadanya. Tapi sebenarnya tak perlu minta ijin pun aku pasti diijinkan kalau sekedar bertanya.
"Tanya apa?"
"Kenapa kamu membenciku?"
Sheila tak menjawab. Ia mengambil sepotong sandwich dan roti serta sekaleng minuman bersoda. Aku juga mengambil bagianku sebelum membayarnya ke sang penjual. Aku membawakan milik Onkel Zack. Sheila berjalan lebih dulu daripada aku.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku," kataku.
"Sudahlah. Kalau aku katakan apa kamu akan percaya kepadaku?" ujar Sheila tanpa menoleh sedikit pun kepadaku. Dia kemudian beringsut meninggalkanku. Kami pun terpisah jarak beberapa meter.
"Katakanlah! Aku akan mendengarkannya sekali pun aku mungkin tak akan percaya, setidaknya aku sendiri mencoba untuk tidak mempercayai apa yang terjadi dengan diriku sendiri," ucapku. Aku yakin dia mendengarkannya sekali pun jarak kami terpisah beberapa meter.
Sheila menghentikan langkahnya, ia berbalik kemudian menghampiriku. Dia menatap mataku lekat-lekat, seolah-olah seperti menyelidikiku. Sekali lagi tatapannya seolah-olah ingin melahap ruhku. Jiwaku seperti terhisap ke dalam dirinya seperti layaknya Dementor yang ada di dunia Harry Potter.
"Tetap saja aku tak bisa melihatmu," katanya. "Kamu ini sebenarnya siapa, Johan?"
"Apa maksudmu? Kamu tak bisa melihatku? Bukannya sekarang kamu melihatku? Kamu tidak buta bukan?" aku heran sekarang apa maksud dari pertanyaannya tadi.
Sheila menggigit bibirnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Entah aku harus mempercayaimu ataukah tidak. Baru kali ini aku melihat manusia seperti dirimu."
"Apa maksudmu?" aku makin penasaran.
Sheila kemudian duduk di kursi penonton yang kosong. Dia meletakkan makanan yang dia beli. Aku pun melakukan hal yang sama. Dia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Untuk sesaat ia seperti mempersiapkan dirinya, seolah-olah ia sedang akan menghadapi sesuatu. Apakah aku seperti monster baginya?
Yeah, mungkin. Aku memang monster. Dulu.
"Aku akan mengatakan kepadamu satu rahasia, tapi kamu juga harus mengatakan kepadaku satu rahasia yang engkau simpan yang tidak diketahui oleh semua orang sampai sekarang," ucapnya tiba-tiba. "Kalau kamu setuju maka aku akan ceritakan satu rahasia ini."
"Maksudmu? Kau menceritakan rahasiamu dan aku menceritakan rahasiaku? Bagaimana kalau aku tidak bisa?" kataku. Tentu saja ini konyol, kenapa dia memiliki aturan sepihak seperti ini.
"Ini penting!" katanya. "Kalau kamu tidak mau ya sudah, tidak perlu kita bicara." Ia kemudian beranjak.
Oh tidak. Jangan! Tiba-tiba entah reflek atau bagaimana aku memegang tangannya agar tidak pergi. Sheila menoleh ke arahku. Dia melihat ke arah tanganku yang memegang tangannya. Menyadari hal itu aku melepaskannya.
"Maaf, baiklah. Duduklah!" ujarku sambil menepuk ke kursi tempat dia duduk tadi.
"Kamu setuju?" tanya Sheila.
"Iya, aku setuju. Aku punya rahasia yang tidak diketahui oleh orang lain selain aku sendiri," jawabku.
Sheila kemudian duduk. Ia tersenyum sinis kepadaku, sepertinya ia meremehkanku. "Aku jadi bertanya-tanya rahasiamu itu sangat memalukan atau tidak. Paling juga rahasiamu adalah rahasia tentang perilaku cowok yang konyol. Atau kelakuan bejat seorang cowok."
Aku menghela nafas. "Ada apa denganmu? Kenapa kamu sepertinya sinis sekali kepadaku? Apa salahku?"
"Masalahnya adalah engkau tidak berwarna," jawab Sheila.
"What? Maksudnya?"
"Di sana!" Ia menunjuk ke tengah lapangan. "Aku bisa melihat jutaan pita warna-warni terbang ke udara keluar dari setiap suara yang dihasilkan oleh orang-orang. Dari raket yang dipukulkan ke arah shuttlecock. Dari teriakan penonton, dari suara semua orang aku bisa melihatnya. Bahkan dari Onkel Zack, dari deru mobilnya, aku bisa melihat semuanya. Setiap suara detak jantung manusia aku bisa melihat pita-pita itu keluar. Aku melihat semuanya. Tapi aku tidak bisa melihat dari dirimu. Kamu ini siapa? Kamu ini zombie atau apa?"
Sekarang aku mengerti maksudnya. Apakah karena ini ia sinis kepadaku? Apakah karena ini ia menganggap diriku sebagai orang yang berbahaya? Aku tak tahu apa maksudnya dengan pita warna-warni, tapi aku mulai mengerti dia orang yang spesial, sama seperti aku. Sama seperti Aprilia.
Aku mengerti orang-orang seperti Sheila tidak akan bisa hidup dengan normal. Ketika ia menyadari sesuatu yang tidak pada tempatnya ia akan merasa terancam. Sama seperti diriku. Aku juga merasa terancam setiap waktu. Bapak menasehatiku bahwa aku bisa bicara dengan bumi kapan pun aku mau, dan untuk meredam kemarahan bumi karena ulah manusia itu tidak mudah. Aku suatu saat nanti akan melakukannya. Pada saat itu, mungkin bapak tidak dapat lagi membantuku.
"Aku bisa melihat suara. Aku orang yang mengidap savant syndrome," jelasnya. Dia kemudian menundukkan wajahnya. Sheila merasa menyesal mengatakan itu semua. Kenapa harus menyesal? Apakah rahasianya itu sangat berharga bagi dirinya sedangkan baginya rahasia yang selama ini aku jaga tidak lebih berharga?
"Dan aku juga bisa memanggil hujan dengan musikku," lanjutnya.
DEG!
Kata-kata terakhirnya itu menghenyakkanku. Aku tak salah dengar?
"Apa kamu bilang? Memanggil hujan?" tanyaku.
Ia mengangguk. Dia mengangkat wajahnya kemudian menatapku. Saat itulah aku melihat wajah Sheila berbeda. Kumerasa ia sangat cantik, seperti seorang bidadari. Dari pipinya saja aku bisa melihat pembuluh darahnya. Iris biru safirnya menatapku dengan berkaca-kaca membuat jantungku serasa berhenti. Oh tidak. Apa yang terjadi dengan diriku?
"Sekarang apa rahasiamu? Katakan!" desaknya. "Aku yakin rahasiamu cuma rahasia khas para cowok."
Aku terhenyak. "Apa maksudmu rahasia khas para cowok?"
"Kamu tahu kan? Para cowok biasanya punya sesuatu yang disembunyikan seperti majalah dewasa, koleksi film-film dewasa, atau kamu pernah mengencani anak pejabat misalnya?" ledeknya.
Aku tertawa terbahak-bahak.
"Kenapa kamu tertawa?" Sheila tak suka ditertawakan. Tapi aku tak bisa menahan diri.
"Sheila, tidak semua lelaki seperti itu. Baiklah, baik. Aku akan ceritakan tentang diriku," kataku. "Tapi, setelah ini kamu janji tidak akan sinis kepadaku lagi."
"Bodo amat, suka-suka aku," katanya ketus.
"Aku adalah seorang Geo Streamer. Aku orang yang bisa berbicara dengan planet. Aku bisa berbicara dengan bumi. Sekali aku berbicara dengannya, aku bisa diberitahu oleh planet ini semua memory, semua kejadian di tempat yang ingin aku ketahui. Bahkan kalau kamu bertanya sedang apa mamamu sekarang aku bisa memberitahukannya setelah aku berbicara dengan bumi," ujarku.
Sheila mengernyitkan dahi. Ia menatap mataku lekat-lekat lagi. Mencari celah apakah aku berbohong atau tidak. Lagi-lagi dia tersenyum sinis.
"Aku tak percaya," katanya.
"Kenapa kamu tak percaya?" tanyaku.
"Sebab tak ada satu pun pita warna-warni keluar dari tubuhmu. Kalau orang itu jujur ia akan keluar pita warna pelangi, sedangkan kalau ia berbohong ia akan keluar pita warna kelabu. Tapi aku tak melihat keduanya keluar dari tubuhmu. Engkau ini berbohong atau jujur aku tak tahu," jelasnya.
"Aku bisa membuktikannya apakah aku berbohong atau tidak. Apa yang ingin kamu ketahui?" aku menantangnya sekarang.
"Baiklah, katakan apa yang sedang dilakukan oleh Opaku. Aku akan menelponnya dan bertanya kepadanya apakah yang kamu katakan itu benar atau tidak," Sheila memberikan tantangan yang mudah.
"Itu saja?" tanyaku.
"Iya, silakan!" Sheila mengambil ponselnya, bersiap untuk menelpon Abelarch.
"Bumi bicaralah!" kataku dalam hati.
Sebenarnya proses ini sudah berkal-kali aku alami. Hanya saja semenjak aku menapakkan kaki ke Jerman aku tak pernah lagi menyapa planet ini. Jiwaku dengan cepat melesat meninggalkan tubuhku lalu sebuah kekuatan yang tidak bisa aku jelaskan menggiring jiwaku melintasi sebuah arus berwarna hijau dan berputar-putar hingga aku kemudian melayang di tengah ruang kosong dengan cahaya berwarna-warni. Ini adalah ruangan dimensi di mana aku dan bumi biasanya berbicara.
"Bumi, aku ingin tahu apa yang sekarang dilakukan oleh Abelarch," kataku.
Tak berapa lama kemudian aku disuguhkan sebuah gambar seperti sebuah layar bioskop yang besar. Di sana aku melihat Abelarch sedang melukis di ruangan pribadinya. Lukisannya sangat indah. Aku melihat dia sedang melukis sesosok wanita yang tidak aku kenal. Siapa yang sedang ia lukis sebenarnya? Wanita itu tampak sedang berada di dalam air, seolah-olah baru saja terjun dari ketinggian kemudian buih-buih udara menyelimutinya.
Setelah melihat itu, aku kemudian berusaha mendapati kesadaranku lagi. Dalam sekejap jiwaku lalu melesat pergi meninggalkan tempat khusus itu. Kini jiwaku kembali ke tubuhku. Sheila agaknya sempat terkejut melihatku seperti itu.
"Kamu tadi...," ia sepertinya ketakutan.
"Kenapa?" tanyaku.
"Apa yang terjadi?" tanyanya balik.
"Maksudnya?"
"Untuk sesaat aku melihat dari tubuhmu keluar ribuan pita warna-warni. Pita-pita pelangi yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Pita-pita itu menyebar memenuhi ruangan ini seperti cahaya matahari yang berpendar," ujarnya.
"Oh ya? Benarkah itu?"
Sheila mengangguk.
Aku hanya tersenyum. "Baiklah, aku tak tahu apakah engkau benar-benar melihatnya atau tidak. Tapi aku melihat Abelarch sedang melukis di ruangannya. Lukisannya adalah lukisan seorang wanita yang berada di dalam air dengan buih-buih menyelimuti tubuhnya."
Segera Sheila menelpon Abelarch. Kali ini ia menggunakan handsfree agar aku bisa mendengarkannya pula. Tak berapa lama kemudian telepon pun diangkat.
"Opa, ini Sheila," sapa Sheila.
"Oh, ada apa Sheila? Tumben kamu menelponku," kata Abelarch di telepon.
"Apakah sekarang ini Opa sedang melukis seorang wanita berada di dalam air dengan buih-buih menyelimutinya?" tanya Sheila.
"Sheila, kamu ada di sini?" tanya Abelarch. "Kamu di mana? Kamu jangan bercanda. Masuklah kenapa harus menelpon segala?"
"Opa, aku bertanya. Jawab saja. Aku ada di München sekarang," desak Sheila.
"Iya, aku sedang melukis itu. Tapi dari mana kamu tahu?" tanya Abelarch.
Ponsel Sheila terlepas dari tangannya karena terkejut. Ia menutup mulutnya sambil melihatku dengan tatapan aneh. Iya, aku memang orang aneh.
"Kamu ini, siapa sebenarnya?" tanya Sheila.
"Aku Johan. Johan Vairus Ghana," jawabku.
Kami lama saling menatap. Sesaat kemudian Sheila bertanya, "Apakah kamu putra dari Safuan?"
"Kamu tahu ayahku?" tanyaku.
Bibir Sheila kemudian gemetar dan air matanya jatuh, "Kapten bumi?!"
Kapten Bumi? Kenapa semua orang bertanya tentang Kapten Bumi? Tidak Dina, tidak juga Sheila. Kenapa dengan kalian ini?
Sebelum aku sempat bertanya tentang apa yang terjadi, tiba-tiba dia memelukku.
Aku tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Tapi berkali-kali Sheila berkata, "Aku mencarimu selama ini." Kenapa dia mencariku? Ada apa sebenarnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu pun terus menghantuiku. Namun tak butuh lama karena aku dan Sheila setelah itu berbicara panjang lebar tentang kehidupan kami.
* * *
"Jadi, kamu bertemu dengan ayahku sudah lama," gumamku.
"Iya, aku tak tahu kalau kamu adalah anaknya," katanya. Sekarang Shelia berubah 180 derajat. Yang tadinya judes sekarang lembut. Aku jadi lumer, seperti garam yang meleleh karena air.
Bagaimana tidak? Di sampingku ada seorang bidadari dan kini lenganku sedang dipeluknya. Aku sendiri masih sangsi kalau apa yang aku alami ini adalah kenyataan. Entahlah, sulit aku ungkapkan sendiri. Aku sudah berkali-kali dekat dengan perempuan, tapi tidak seperti Sheila. Rasanya Sheila ini lebih dari apapun. Ketika tanganku dirangkulnya seolah-olah ada percikan air es yang mengguyur hatiku.
Tidak, tidak, tidak! Aku tak siap jatuh cinta lagi. Aku tidak siap. Terlebih Sheila tidak tahu masa laluku seperti apa. Aku tak mau dia nanti malah kecewa kepadaku. Ini tidak boleh.
"Aku dulu pernah bertanya kepada ayahmu tentang bagaimana ia bisa tahu aku bisa melihat pita warna-warni. Katanya engkaulah yang bisa menjawabnya nanti kalau aku bertemu denganmu," ujarnya. "Sekarang aku tahu bagaimana ayahmu bisa mengetahuinya."
"Dengan memory yang ada pada planet ini," kataku. "Ternyata engkau sudah tahu tentang ayahku."
"Sekarang aku tahu kenapa kamu tidak mengeluarkan pita warna-warni," katanya.
"Kenapa?"
"Karena melodi-melodi yang aku kirimkan kepada hujan telah meredamnya. Setiap melodi hujan yang aku kirim kepadamu telah meredam warna-warna itu. Johan, ketahuilah. Aku sangat merindukan perjumpaan ini. Kalau seandainya aku tahu kamu berada di Indonesia aku tak mau menginjakkan kakiku di sini," terangnya.
"Aku tak yakin kalau kamu benar-benar ingin menjadi temanku," ujarku.
"Kenapa?" tanyanya penasaran.
"Aku tak pantas berteman dengan bidadari seperti kamu," aku melepaskan pegangan lengannya sehingga lenganku sekarang bebas. Aku kemudian beranjak dari tempatku duduk.
"Johan, apa yang sebenarnya terjadi? Katakanlah kepadaku! Biarkan aku mendengarkannya sebagaimana engkau mendengarkan apa yang ada pada diriku!" ucap Sheila lembut. Ia benar-benar telah berubah sekarang.
Aku menggertakkan gigiku. Aku sungguh tak bisa melukainya. Aku tak ingin melukai siapapun lagi. Aku sudah melukai banyak wanita. Aku tak mau menambah lagi daftarnya. Aku sekarang takut jatuh cinta kepada wanita. Kulihat wajah Sheila. Ya tuhan, kenapa engkau ciptakan makhluk secantik ini di dekatku?
"Sheila, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Tapi... aku yakin kalau perjumpaan kita ada maksudnya. Hanya saja, monster sepertiku tak pantas berteman dengan dirimu," ujarku.
Aku melangkahkan kakiku, mengambil makanan yang tadi aku beli untuk kembali ke tempat di mana Onkel Zack berada. Rasanya pembicaraan ini sudah cukup. Aku tak mau berlama-lama di sini.
"Tak apa," ucap Sheila di belakangku. Kuhentikan langkah kakiku.
"Tak apa kalau engkau monster. Aku akan berikan kehidupan dengan setiap musik yang aku mainkan. Aku akan nyanyikan lagu yang aku ciptakan. Aku akan ubah monster itu menjadi seorang manusia. Aku akan mainkan melodi hujan, aku akan hapus semua lukanya, aku tak akan peduli lagi mau seberapa sakit luka yang ada di hatinya, aku akan berusaha mengobatinya. Tapi... jangan pergi!" lanjutnya.
Sheila menghampiriku. Ia menarik jaketku dengan pelan. Aku kemudian berbalik menghadapnya. Kemudian ia memelukku.
"Kamu tak tahu seperti apa aku ini," kataku.
"Tak apa Jo, tak apa. Seseorang yang aku lihat berdo'a kepada tuhannya di malam hari bukanlah monster. Melainkan dia orang baik," katanya.
Suara sorak-sorai penonton menandakan pertandingan telah berakhir. Aku menoleh ke arah Onkel Zack. Dia tampak memperhatikan kami dari jauh. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan dalam keadaan seperti ini. Ia hanya mengangguk. Anggukannya itu justru membuatku bertanya-tanya apa maksudnya? Apakah maksudnya "Tak apa teruskan saja"?
Sheila membenamkan wajahnya ke dadaku. Kemudian aku pun membalas pelukannya.
Dari author:
Maaf, chapter ini pendek. Masih sibuk dengan Real World. Sebenarnya aku ingin nulis panjang tapi nggak ada waktu. Akhirnya ya udah deh, aku potong sampai sini babnya. Ntar di bab selanjutnya agak panjangan dikit.
Kita mulai ke inti cerita, rencananya sih pakai POV Johan sampai ending. Semoga saja bisa.
Still wait Voments ;)
Dan para pendekar pencari typo, saya memohon bantuannya. ;)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top