20 | Kratzer Grau


Wajahnya begitu asing bagiku, tapi ketika dekat dengan dirinya aku menemukan kedamaian tersendiri yang tidak pernah aku dapati sebelumnya. Namanya Sheila Amara Berg. Rambutnya coklat, kulitnya cerah, iris matanya berwarna biru safir. Usianya lebih muda dari aku. Tujuan kami sama, ke Jerman. Sejak pertama naik pesawat, rasanya tuhan memang mengarahkanku untuk dekat kepadanya. Entahlah, padahal aku tadi yakin tempat dudukku adalah di kursi nomor E5, tapi kenapa menjadi B3? Aku juga sudah yakin sejak petama kali sebelum naik ke pesawat, entah kenapa bisa berubah. Padahal kertas tiket itu tak pernah lepas dari tanganku. Apa ada seseorang yang menukarnya? Itu mustahil.

Langit sudah gelap, entah kami berada di langit negara mana sekarang. Aku melihat Sheila tidur di sebelahku. Sederet kursi penumpang yang aku tempati ini bersama dua penumpang lainnya. Mereka adalah aku, Sheila dan seorang perempuan yang sedari tadi tidak berbicara. Yang sering mengobrol malah justru aku dan Sheila. Kebanyakan aku yang memulai pembicaraan, ia sepertinya tak suka berbicara denganku. Semuanya bisa terlihat dari sikapnya yang agak dingin. Aku tak bisa memaksanya untuk bisa menyukai pembicaraan ini, bahkan sekarang saja kami terkesan canggung. Dari jendela pesawat berbentuk oval kulihat hamparan lampu-lampu di bawah sana. Bumi terasa luas dari atas. Lampu-lampu itu terbentuk seperti jaring laba-laba raksasa yang terhubung satu sama lainnya. Suasana yang sangat aku sukai, begitu fenomenal dan sensasional. Lampu-lampu di atas kursi penumpang beberapa di matikan. Orang-orang sudah mulai tidur, aku masih tenggelam dalam imajinasiku sendiri. Pergi ke negeri yang belum pernah aku pijak membuatku membayangkan sesuatu yang tidak-tidak. Bagaimana sambutan penduduknya? Bagaimana nanti makannya? Bagaimana pula nanti aku hidup. Perasaanku penuh dengan kekhawatiran, hingga membuat semua karbon dioksida terkumpul tertahan di paru-paruku hampir semenit belum aku lepaskan. Sebuah hembusan nafasku yang mendesah membuat Sheila terbangun dari tidurnya.

"Belum bisa tidur?" tanya Sheila tiba-tiba.

"Aku tak bisa tidur," jawabku.

"Aku juga tak bisa tidur," katanya diselingi dengan helaan nafas panjang.

"Tapi aku tadi melihatmu tertidur pulas," ucapku sambil melihat sudut matanya untuk meyakinkan diriku bahwasannya dia berbohong atau tidak. Dia tidak berbohong, matanya berair. Mengantuk tapi tak bisa tidur, seperti diriku.

Sheila menggelengkan kepalanya, "Frankfurt masih jauh. Paksa saja matamu untuk dipejamkan!"

Aku melirik ke wanita yang berada di sebelahnya. Aku ketahui namanya Clara. Dia ingin mengunjungi sanak familinya di Jerman. Tampangnya biasa, tapi aku bisa melihat baju dan arloji di tangannya itu bukan barang murah sekalipun dari luar kelihatan seperti orang biasa. Dia pasti wanita karier atau mungkin seseorang konglomerat yang ingin berlibur. Aku kemudian berdiri dari tempat dudukku.

"Aku ingin ke toilet sebentar," ujarku. Kuambil tongkatku untuk membantuku berdiri.

Malam itu entah kenpa aku ingin sekali mengambil air wudu untuk menjalankan shalat. Memang tadi aku sudah melakukan shalat Isya', tapi kali ini aku ingin melakukan shalat sunnah. Setelah aku mengambil air wudu dan berwudu di dalam kamar mandi, aku kemudian kembali. Ketika aku duduk kembali, Sheila sedikit membetulkan posisi duduknya. Agaknya ia menghormatiku untuk melakukan ibadah. Aku tak mengetahui apakah dia beragama Islam ataukah tidak. Dengan duduk aku pun menghadap ke Tuhan Penguasa Semesta Alam.

Dalam keheningan malam aku berbicara kepada Sang Pencipta. Memang aneh rasanya melakukan hal ini. Aku jarang bersujud kepadanya. Sekali bersujud dalam kondisi seperti ini. Kondisi di mana aku benar-benar terpuruk dan hancur. Aku kehilangan sahabatku, juga kehilangan seorang kekasih. Bahkan aku juga hampir kehilangan kakiku, hampir juga kehilangan paru-paruku akibat terlalu banyak merokok. Aku sekarang merasa sepi. Kesendirian yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Kalau di rumah ada bapak, ibu, juga ada adikku, tapi di sini aku hanya ditemani cahaya dari lampu penerangan kecil yang ada di atasku. Saat-saat seperti ini tak akan pernah aku lupakan, karena untuk pertama kalinya aku jauh dari orang-orang yang aku cintai.

Tak terasa, sudah satu jam aku berdo'a. Mataku mulai berat. Memang benar kata ustadz-ustadz yang sering ceramah, ketika beribadah godaan seseorang itu banyak. Setan banyak mengerubutinya, buktinya ketika berdo'a denga khusyu' malah diserang kantuk. Selesai berdo'a aku pun menarik selimutku dan tertidur.

* * *

Sebagaimana yang aku katakan kalau aku tak banyak bicara dengan Sheila, maka ketika turun dari pesawat pun juga seperti itu. Aku tahu selama di pesawat ia selalu memperhatikan aku, menurutku ia sepertinya penasaran dengan diriku, namun aku tak bisa menjelaskan apa yang ia cari. Aku bukan sok GR tapi siapapun juga pasti akan menyadari kalau diperhatikan cewek seperti itu. Pagi kami sampai di salah satu negara di benua Eropa ini. Frankfurt am Main begitu mereka menyebut kota yang merupakan salah satu kota tersibuk di Jerman.

Aku menyeret koperku bersama dengan para penumpang lainnya. Tampak Sheila juga bersamaan menyeret kopernya di sebelahku. Kulihat Clara pergi mendahului kami. Ketika aku berhenti di tempat penjemputan aku sadar bahwa Sheila dan aku sedang menanti seseorang.

"Siapa yang akan menjemputmu?" tanyaku.

"Mein Vater," jawabnya.

"Ach So," gumamku.

"Kamu?"

Aku mengangkat bahuku. "Aku tak pernah bertemu dengan orangnya. Dia teman ayahku dan katanya dia akan membantuku tinggal di negara ini. Berarti ayah dan ibumu berpisah atau bagaimana?"

"Vater und Mater telah bercerai sejak aku masih di Grundschule. Entah kenapa aku malah kembali ke negara yang ibuku sendiri tak ingin mengunjunginya lagi," Sheila tersenyum kecut. Ia sepertinya membenci suasana yang ada di bandara. Kulihat lampu bandara yang temaram, hari sudah pagi tapi sepertinya matahari sedikit terlambat untuk terbit. Tak heran karena ini negara Eropa, terkadang jam sepuluh malam matahari baru tenggelam.

"Kamu suka dengan Indonesia?" tanyaku.

"Sangat suka. Aku bahkan tak ingin berlama-lama di sini," jawabnya. Aku bisa mengetahui kenaikan nada suaranya ketika membahas Indonesia. Sangat berbeda ketika dia bicara mengenai Jerman. "Aku bahkan sebenarnya tak ingin melihat ayahku lagi."

"Kamu tak boleh seperti itu," dari kejauhan kulihat seorang lelaki yang rambutnya berwarna agak kelabu sedang melihat para penumpang yang baru turun dari pesawat bersamaku. Apa dia orang yang aku cari? Ataukah dia ayahnya Sheila?

Sheila menatapku. Aku tahu ia pasti akan bertanya tentang perkataanku tadi.

"Ia tetap papamu bukan? Setidaknya darinyalah kamu mengenal apa itu cinta pertama. Sebab setiap anak perempuan punya cinta pertama dan cinta pertamanya itu adalah ayah mereka," kataku memberikan jawaban dari tatapannya itu.

Sheila menyipitkan matanya dengan dahi berkerut, berusaha mencerna kata-kataku. Ia kemudian menghirup nafas dalam-dalam hingga paru-parunya penuh kemudian menghelanya perlahan. "Aku kira dulu juga begitu, hanya saja aku tak percaya lagi dengan yang namanya cinta."

Kudengar kalimat itu keluar dari mulutnya. Kalimat yang menurutku penuh dengan suatu permasalahan yang rumit. Tak mungkin seseorang tak percaya dengan yang namanya cinta. Permasalahan keluarga seperti apakah yang sedang dihadapinya? Kulihat lagi orang-orang yang sedang menunggu para penumpang yang datang, kulihat seorang lelaki berambut kelabu tadi membeberkan kertas bertuliskan "Johan Vairus Ghana". Namun ada yang aneh karena di bawah namaku ada nama "Sheila Amara Berg". Aku dan Sheila saling berpandangan.

"Kamu kenal Onkel Zack?" tanya Sheila kepadaku.

"Dia yang bernama Zack?" tanyaku kepada Sheila.

Aku dan Sheila bergegas menuju ke lelaki itu. Dia tersenyum kepada kami berdua. Sweater kelabunya tampak serasi dengan postur tubuhnya yang sedikit jakung. Dia menurunkan kertasnya sambil menyambut kami.

"Kamu pasti Johan," Zack menjabat tanganku.

"I-iya," kusambut jabatan tangannya yang mantab.

"Kalian pasti bingung kenapa nama kalian ada di kertasku bukan? Ah sebut saja ini sudah takdir. Secara kebetulan aku berteman dengan kedua ayah kalian. Ayo, kalian pasti lapar. Aku akan mentraktir kalian," Zack mengambil koper-koper kami dan menyeretnya untuk menuju ke sebuah mobil BMW yang sudah siap membawa kami.

Bapak hanya menjelaskan bahwa Zack punya perusahaan sekuritas besar di Frankfurt. Selain itu mereka juga teman yang sudah cukup akrab. Zack orangnya menyenangkan, dia cukup bersahabat. Beberapa kali ia menanyakan tentang Indonesia, aku jawab seadanya. Sheila terus memperhatikanku selama perjalanan kami ke sebuah restoran cepat saji. Tak ada restoran yang buka 24 jam selain restoran cepat saji di kota ini. Setidaknya makanan cepat saji ini bisa mengganjal perut kami setelah kelaparan di atas pesawat. Memang makanan di pesawat cukup enak, tapi sepertinya kami makan terlalu awal tadi sehingga ketika pesawat tiba malah perut kami sudah kosong.

"Bagaimana kabar Jamie?" tanya Zack kepada Sheila.

"Baik Onkel. Kenapa Onkel tidak mengunjungi kami ketika di Indonesia?"

"Aku ada urusan yang penting di Indonesia, jadi tidak sempat mampir."

"Begitukah? Jahat sekali, pasti onkel sudah melupakanku," Sheila memasukkan makanannya ke dalam mulutnya sampai mulutnya penuh.

"Jangan makan seperti itu. Makanan itu perlu dikunyah biar perutmu tidak sakit!" Zack menasehati Sheila.

Sheila meledek Zack dengan menjulurkan lidahnya.

"Dasar kamu ini," Zack menyentil telinga Sheila.

Sheila terkikik. Dia melanjutkan lagi makannya. Kami makan sepotong cheese burger dan pizza dengan kopi panas sebagai minumannya. Jam masih menunjukkan pukul 07.10 saat ponsel Zack berbunyi.

"Dari papamu," ujar Zack sambil menunjukkan nama Kriez tertera di layar ponselnya. Sheila mendengak sambil menampakkan wajah tanpa ekspresi. Zack menerima teleponnya. "Ya, Kriez. Sheila sudah ada bersamaku." Sesaat kemudian Zack terlibat percakapan dengan Kriez.

Aku melihat truk sampah sudah mulai bekerja mengambil sampah-sampah yang berada di tong sampah-tong sampah yang ada di pinggir trotoar. Beberapa pengendara sepeda tampak sudah berlalu-lalang. Untuk pertama kali dalam hidupku, aku akan melihat bagaimana kondisi kota Frankfurt yang sebenarnya.

Hari sudah agak siang ketika aku diajak oleh Zack menuju ke rumahnya. Rumah Zack merupakan sebuah apartemen yang cukup "wah". Begitu masuk, aku sudah disuguhi ornamen-ornamen khas Eropa. Sebuah lukisan menghiasi dinding ruang tamu. Apartemen yang lumayan besar ini hanya ditinggali oleh Zack seorang diri, membuatku bertanya-tanya apakah dia tak punya istri atau teman wanita?

"Kamu bisa pakai kamar tamu," ujar Zack kepada Sheila. "Dan kamu Jo, kamu terpaksa tidur di sofa. Sebab kamarku cuma dua."

"Tak masalah," kataku.

"Hari ini beristirahatlah, besok aku akan mengantar kalian ke Munich," kata Zack.

Sheila langsung masuk ke dalam kamarnya. Aku menaruh koperku di belakang sofa, kuletakkan ranselku juga di sana. Kemudian kurebahkan tubuhku di atas sofa. Penat, sudah pasti. Ingin rasanya aku mandi, tapi sepertinya Sheila yang akan memakai kamar mandi lebih dulu.

"Bagaimana kabar Safuan?" tanya Zack sambil menyodorkan sebotol minuman dalam kemasan. Zack membuka botol minumannya tampaknya beda. Dia meminum bir, sedangkan aku diberi minuman isotonik.

"Baik, bapak juga titip salam kepadamu," jawabku.

"Bahasa Jermanmu cukup lancar untuk orang yang baru pertama belajar."

"Aku benar-benar belajar. Paling tidak ini satu-satunya bekal utamaku untuk bertahan hidup di negeri ini bukan?"

Zack menenggak minumannya. Bau alkohol dan soda langsung menyengat begitu Zack meminumnya. Aku penasaran bagaimana ayahku bisa mengenal Zack. Yang jelas orang seperti Zack dengan segala kepribadiannya ini tidak mudah dekat dengan seseorang. Yang membuatku heran adalah kenapa dia masih sendiri sampai sekarang? Apakah tak ada wanita yang masuk ke dalam kehidupannya? Semakin aku berpikir semakin aku penasaran. Dan yang lebih membuatku penasaran lagi adalah sebuah lukisan Penari Bali. Lukisan ini kelihatan nyata seperti sebuah foto. Ini pertanda Zack pernah ke Indonesia, atau mungkin dia beli lukisan ini lewat online? Tapi kalau dilihat sekarang ini jarang ada toko online di Indonesia yang menjual lukisan seperti ini, terkecuali dari pelukis aslinya. Lukisannya bergaya natural, sangat bagus goresan warnanya terutama pada bagian mata sang penari sehingga seolah-olah aku bisa melihat sang penari itu benar-benar melirik ke kanan.

Zack menyalakan tv yang ada di ruang tamu. Dia memilih channel yang menyiarkan berita tentang pasar modal dan ekonomi. Kami pun terlibat perbincangan seputar Indonesia dan keluargaku. Dari sinilah aku tahu bahwa bapak kenal dengan Zack sejak masih sekolah. Rupanya mereka teman lama. Aku tak tahu menahu soal temannya bapak, terlebih Zack. Beliau hanya memberitahu punya teman di sini. Kalau begitu apakah bapak juga tahu tentang Sheila?

Setelah aku mandi dan ganti baju seseorang mengetuk apartemen. Aku tak mendapati Zack, mungkin dia sedang keluar. Aku segera membuka pintu. Saat itulah aku melihat seorang pria dengan setelan jas abu-abu berada di luar.

"Es tut mir leid, wer bist du?" tanyaku.

"Sie allein haben? Wo ist Zack?"dia balik bertanya.

Namun aku tak perlu banyak berpikir dari tatapan matanya saja aku sudah bisa simpulkan siapa lelaki yang ada di hadapanku ini. Dia pasti Kriez, ayahnya Sheila. Iris mata biru safir mereka sama.

"Anda pasti orangtuanya Sheila," kataku. "Silakan masuk! Mungkin Zack sedang keluar sebentar."

Kriez mengernyitkan dahinya. Di dalam benaknya pasti timbul seribu satu pertanyaan tentang siapa aku dan mengapa aku ada di tempat ini. Terlebih aku menggunakan tongkatku untuk berjalan. Saat itulah kulihat Sheila keluar dari kamarnya. Melihat siapa yang datang Sheila tak memunculkan ekspresinya. Ia seolah menganggap lelaki yang ada di depan pintu itu adalah orang asing. Hal itu membuatku yakin hubungan mereka tidak begitu dekat, ada masalah yang membuat mereka terasa jauh.

"Vater?! Wie geht es Ihnen?" sapa Sheila.

"Sheila," Kriez langsung memeluk putrinya. Tampak ia sangat kangen sekali dengan putrinya ini. Aku bisa merasakan dari tatapan mata lelaki paruh baya yang tampak mulai berair. Untuk beberapa saat lamanya aku hanya mematung saja menyaksikan bagaimana perasaan Kriez terluap di sana. Perasaan kerinduan seorang ayah yang sudah sekian tahun akhirnya bisa bertemu dengan putrinya lagi.

Sheila hanya membalas pelukan ayahnya dengan tepukan beberapa kali di punggungnya. Setelah itu dia dikecup keningnya oleh ayahnya. Sheila memaksakan senyumnya, aku bisa melihat itu. Dia melirik ke arahku seolah memberikan kode agar aku pergi karena ini adalah "urusan keluarga". Aku mengangguk, dengan tongkatku aku berjalan keluar apartemen. "Aku tinggalkan kalian kalau begitu."

Aku kemudian menyandarkan tubuhku di balkon. Melihat suasana pagi hari di Jerman. Cuaca hari ini cukup ramah. Musim semi di negeri Jerman. Di bawah sana ada sebuah taman kecil yang ditumbuhi pohon Ziekirsche. Pohon ini cukup mencolok karena bentuknya seperti bunga Sakura yang berasal dari Jepang. Batangnya pun terlihat kokoh dan lebar. Bunganya merah muda dan kulihat berguguran di atas rerumputan. Di tepi taman kulihat bunga bermahkota putih. Orang-orang menyebutnya bunga Daisy disebut juga Gänseblümchen atau si angsa putih. Orang Jerman secara turun-temurun mengkonsumsinya sebagai campuran salad. Aku sendiri belum pernah mencoba. Apakah rasanya akan sama seperti kembang turi yang biasa dibuat untuk campuran sayuran pada nasi pecel?

Kulihat Zack datang dari lift. Dia membawa kantong belanja. Sepertinya ia baru saja berbelanja di toko yang aku lihat tak jauh dari apartemen ini. Melihatku ada di balkon ia menyadari kalau ada tamu yang ada di apartemennya. Ia pun menemaniku sambil menawariku jus bersoda dari dalam kantong belanjanya. Aku tak menolak.

"Kriez datang?" tanyanya.

Aku mengangguk. Kubuka kaleng jus bersoda itu. Buih pun keluar dari lubangnya, memberikan aroma buah yang kuat bercampur dengan aroma soda. Segera saja seteguk kurasakan. Ternyata selera minuman orang Eropa sedikit berbeda, mereka lebih suka dengan jus low sugar. Tidak seperti kebanyakan orang Indonesia yang mana mereka lebih suka makanan dan minuman yang aroma dan rasanya yang kuat.

"Apakah hubungan Sheila dan ayahnya baik-baik saja?" tanyaku.

Zack menyunggingkan senyumannya. "Kamu suka sama Sheila?"

Jujur pertanyaan itu membuatku tertohok. Mana mungkin aku menyukai seorang gadis yang baru saja aku kenal. "Onkel Zack, Anda bicara apa?" tapi lucunya wajahku seperti terbakar.

"Kalau tidak kenapa wajahmu memerah? Kamu tidak sedang mabuk bukan?"

Aku langsung membuang muka. Aku rasanya seperti dipelonco olehnya. Sheila memang cantik, aku tak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku mengaguminya, tapi sampai ke dalam taraf suka aku masih belum ke sana. Memang sih dia menarik, kalau misalnya ada lelaki yang bisa mendapatkannya maka betapa beruntungnya lelaki itu. Tapi aku jadi teringat kata-kata Sheila bahwa dia tidak lagi percaya dengan cinta. Aku rasanya ingin sekali menggali lebih dalam tentang dirinya. Selama di balkon aku tak tahu apa yang terjadi di dalam.

"Ini perjumpaan pertama mereka setelah bertahun-tahun mereka berpisah. Kamu bisa bayangkan sendiri bagaimana rasanya orangtua bertemu dengan anaknya lagi," Zack menoleh ke arahku.

Aku bisa merasakannya, ketika bapak pergi ke Jerman dulu betapa aku sangat merindukannya. Dan ketika beliau datang aku tahu bagaimana perasaannya kepadaku. Ia seperti kehilangan. Ia seperti baru saja menemukan oase setelah berhari-hari berada di tengah padang pasir yang luas.

"Yah, aku bisa merasakannya. Ayahku dulu juga pernah seperti itu," ujarku.

"Sheila itu anaknya rapuh," kata Zack tiba-tiba. Kini pandanganku tertuju kepadanya. "Ada suatu hal yang menyebabkan dia tidak memaafkan papanya sampai sekarang. Sheila mengetahui papanya selingkuh dan ia tetap menyimpan hal itu sampai mamanya mengetahuinya. Dia selalu dalam kesedihan sekali pun dia terlihat ceria. Aku bisa merasakan hal itu. Kriez, papanya sudah meminta maaf tapi sepertinya Sheila tidak memaafkan papanya."

Aku mendengarkan dengan seksama penjelasan Zack. Dia kemudian melanjutkan setelah mengisi kerongkongannya dengan minuman yang ada di tangannya. "Masalahnya adalah dia seperti mengurung dirinya dalam sebuah baja yang susah untuk ditembus. Dia tak ingin orang lain tahu permasalahan yang dia hadapi, dia tidak butuh bantuan siapapun, tapi aku tahu dia anak yang tidak akan kuat menghadapi itu semua seorang diri. Dia butuh seseorang yang bisa membuat dirinya bangkit lagi, dia tidak percaya kepada cinta, dia kesepian."

Sebegitu rapuhnyakah Sheila?

"Aku ingin kamu mengawasinya," Zack meremas pundakku.

"Kenapa?"

"Opanya menyuruhku untuk menitipkan pesan ini kepada anaknya Safuan. Dan anaknya Safuan itu kamu. Kalian satu kampus nantinya, jadi kuharap kamu bisa menjaga Sheila!"

"Aku satu kampus? Jadi... kami ini satu angkatan?"

Zack mengangguk. Aku tak percaya ini, kenapa harus aku?

"Kamu mungkin bertanya-tanya, kenapa harus aku? Kenapa bukan yang lainnya? Jo, kamu tak tahu betapa Opanya sangat menyayangi Sheila. Kalau bukan kamu lalu kepada siapa kami harus minta tolong? Dulu Abelarch sangat percaya kepada ayahmu sampai-sampai satu-satunya lukisan kenangan dari istrinya diberikan kepada ayahmu. Dan sebagaimana kata pepatah buah tak jauh dari pohonnya, maka kami percaya engkau bisa kami percaya untuk menjaga dan mengawasi Sheila. Bahkan kalau misalnya kalian sampai jatuh cinta, maka itu lebih bagus lagi."

"Onkel Zack, bicara mengenai cinta ini terlalu awal kurasa," ujarku.

Dia mengangguk. "Aku tahu. Tapi prioritaskan untuk menjaganya dan mengawasinya. Kenalkan Sheila dengan cinta yang sesungguhnya. Ubahlah pandangannya bahwa ada yang namanya cinta sejati di dunia ini."

Aku menoleh ke arah pintu apartemen. Entah apa yang sedang terjadi di dalam sana. Percakapan seperti apa yang terjadi antara Sheila dengan ayahnya.

"Aku tak bisa berjanji," kataku. "Anda tahu, aku tak bisa berjanji."

Zack mengangguk. "Aku tahu. Anggap saja ini permintaan dari seorang teman."

Untuk beberapa lama kami berada di balkon tanpa bicara satu sama lain. Tak berapa lama kemudian pintu apartemen terbuka. Kriez keluar dari sana dengan wajah sendu. Kenapa ia malah bersedih setelah bertemu dengan putrinya? Apa mereka bertengkar?

"Hai Zack, apa kabar?" sapa Kriez sambil memeluk sahabatnya.

"Baik, oh ya. Kalian sudah bertemu bukan? Dia Johan," ucap Zack sambil menunjuk ke arahku.

Kujabat tangan kekar Kriez. Dia menghindari kontak mata denganku. Tapi bisa kulihat kalau matanya berair. Seberkas senyum dipaksakan dilemparkannya kepadaku membuatku penasaran sebenarnya apa yang terjadi di dalam sana tadi.

"Kalian berangkat besok bukan?" tanya Kriez kepadaku.

Aku mengangguk. "Ja"

"Aku pergi, Zack," ujar Kriez sambil berbalik meninggalkan kami.

"Kamu tak mengantarnya besok?" tanya Zack.

"Tidak," jawab Kriez. "Kamu tahu kenapa aku tak bisa."

"Dia masih belum memaafkanmu?"

Kriez menggeleng.

"Aku bisa mengerti," Zack menghela nafas.

"Sampaikan salamku kepada ayahku," ucap Kriez. "Katakan kepadanya untuk pensiun dari dunianya. Ia sudah tua dan kadar gulanya sudah naik."

"Aku akan sampaikan. Jaga dirimu!"

Kriez melambaikan tangannya dan berjalan menjauh dari kami. Aku segera masuk ke dalam apartemen. Di dalam kulihat Sheila sedang duduk di sofa. Ia buru-buru menghapus air mata yang meleleh di pipinya.

"Hai Jo, maaf. Kamu mau ikut denganku? Kita bisa jalan-jalan sebentar. Kamu pasti belum tahu Frankfurt bukan? Aku akan mengenalkannya kepadamu," tiba-tiba Sheila menawarkan dirinya.

"Aku tak keberatan. Asalkan engkau juga tak keberatan berjalan dengan orang yang memakai tongkat," jawabku.

Dia segera menarik lenganku. Aku agak tertatih-tatih mengikuti langkahnya. Melihat Sheila menarikku keluar Zack keheranan. "Kalian mau ke mana?"

"Jalan-jalan sebentar. Aku sudah lama tidak ke Frankfurt. Pasti banyak yang berubah," ujar Sheila.

"Baiklah, hati-hati!" kata Zack.

* * *

Sheila mengajakku ke sebuah taman yang tak jauh dari apartemen. Jalur pedestrian yang dibangun di kota Frankfurt cukup nyaman. Aku yang berjalan dengan tongkat saja tidak merasa capek. Kulihat orang-orang sibuk lalu lalang dengan berbagai aktivitas mereka. Tapi mungkin karena ini hari libur sehingga aku tidak menemukan orang-orang berpakaian rapi pulang pergi ke kantor. Selama perjalanan Sheila diam seribu bahasa. Mau memperkenalkan aku dengan Frankfurt? Yang benar saja. Kalau misalnya ia adalah petugas pemandu wisata, ia bakal kehilangan pekerjaannya karena kebisuannya. Tapi aku cukup menikmati pemandangan yang menyejukkan mata di sepanjang jalan.

Kami masuk ke dalam taman. Sheila lalu menuju ke sebuah bangku. Dia tersenyum kemudian menduduki bangku tersebut. Di belakang bangku kulihat ada pohon Goldenehecke. Pohon dengan daun berwarna kuning itu tumbuh menghalangi pandanganku untuk melihat jauh di area taman yang ada di belakang bangku. Mungkin memang disengaja seperti itu. Beberapa bunga Löwenzahn kulihat menghiasi sudut-sudut paving bersama bunga Daisy dan juga Gänseblümchen. Ruang hijau di Frankfurt sangat banyak, sangat kontras dengan yang ada di Indonesia. Padahal kita tahu sendiri bagaimana majunya negeri penghasil mobil BMW ini.

Sheila duduk begitu saja di bangku itu, seolah-olah ia sedang bernostalgia.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku kepadanya.

"Nostalgia," jawabnya.

Aku menghela nafasku, menandakan bahwa aku capek. Aku kemudian duduk di sampingnya.

"Saat musim dingin tiba, tempat ini akan dipenuhi oleh salju. Aku suka sekali suasana waktu itu. Di taman ini aku saling melempar bola salju dengan mamaku. Tapi sekarang tidak lagi, mamaku telah mengharamkan dirinya untuk menginjakkan kaki di negara ini," jelasnya.

Aku tak etis sebenarnya bertanya kepadanya tentang apa yang terjadi di apartemen tadi. Aku ingin Sheila yang menceritakannya sendiri. Lagipula aku dan dia baru saja kenal.

"Kamu tahu, kita itu sudah pernah bertemu sebelumnya," terang Sheila secara mengejutkan.

Aku tak percaya. "Aku tak percaya," kataku.

"Kamu boleh percaya atau tidak, tapi ketika ujian masuk SMA 7 kamu ada di sana. Datang terlambat dan duduk di depan dekat dengan kursi pengawas," katanya. Dia tahu!

"Kamu? Kamu ada di sana juga?"

"Kulihat kamu tidak memperhatikanku, aku juga tapi aku tahu kamu ada di sana waktu itu. Dan yang menjadi pertanyaanku sampai sekarang adalah kenapa kamu tidak masuk ke sekolah itu padahal nilai testmu paling tinggi dari seluruh peserta?"

Aku menghela nafas. Pertanyaan itu membuatku jadi teringat dengan Anton. Bagaimana kabar Anton sekarang? Gara-gara Anton ingin mengejar Dina, ia memaksaku untuk terpaksa masuk ke SMA Internasional Manchurian.

"Kamu mau jawaban bohong ataukah jujur?" tanyaku balik.

"Terserah aku tak tahu apakah kamu jujur ataukah berdusta. Asalkan jawabanmu masuk akal bagiku maka aku akan menerimanya," jawabnya ketus.

"Aku tidak masuk ke sekolah itu, karena aku mengikuti temanku masuk di sekolah lain. Kami adalah sahabat dekat dan dari sejak SD sampai SMA kami selalu bersama-sama tak terpisahkan. Dia memohon kepadaku agar mengikuti dia masuk ke SMA Internasional, makanya aku tidak masuk ke sekolah itu," jelasku. Semoga saja ia percaya.

Sheila mengernyitkan dahinya. Rasanya ia sedikit tidak percaya. Dia mencerna kalimat-kalimat yang sudah aku lontarkan. Aku membuang mukaku, tak peduli ia percaya atau tidak.

"Baiklah, aku percaya. Sekali pun terdengarnya sangat aneh. Kalau ini adalah persoalan perasaan seorang sahabat, aku bisa mengerti. Karena aku punya sahabat juga di Indonesia," ucap Sheila.

Kami terdiam lagi. Suasana seperti ini tidak aku sukai. Apakah kami sama-sama orang yang introvert? Entahlah. Aku sendiri bingung dengan keadaanku sekarang. Tetiba saja Zack menyuruhku untuk menjaga dan mengawasinya. Tetiba saja Sheila mengajakku ke sini. Mungkin kata pepatah memang ada benarnya kalau jalan pikiran seorang wanita sulit ditebak. Mereka berpikir dengan perasaan, sedangkan lelaki berpikir degan logika. Benar dan salah sudah jadi pertimbangan utama seorang lelaki untuk memutuskan sesuatu sedangkan wanita ia perlu merangkai perasaannya seperti sebuah kain tenun yang menempatkan benangnya satu demi satu sehingga terjalin sebuah kain yang berbentuk simetris dengan keindahan seni yang luar biasa. Aku bisa mengerti itu.

"Maafkan aku," ucap Sheila tiba-tiba.

"Maaf kenapa?" tanyaku heran.

"Maaf karena ... menarikmu ke tempat ini. Aku mungkin sama seperti mamaku, membenci tempat ini. Tapi dia tetap papaku. Kamu bagaimana? Punya nasib sama sepertiku yang mana kedua orang tuanya bercerai?"

Aku menggeleng, "Kedua orang tuaku masih bersama."

"Beruntungnya," Sheila mengambil tali rambut dari sakunya kemudian menguncir rambutnya menjadi model ponytail. Aku hanya mengangguk saja, takut kalau salah kata. "Kamu mengambil apa kuliah nanti?"

"Perfilm-an," jawabku.

"Ach so, kalau aku musik."

"Aku bisa melihat itu. Kemana-mana kamu selalu membawa gitar itu?"

Sheila mengangguk. "Gitar pemberian opa."

Aku mengamati wajah Sheila lagi. Argh, sial. Kalau diperhatikan dengan seksama aku jadi yakin kalau yang ada di dekatku ini seorang bidadari. Kulitnya yang cerah, wajahnya yang cantik, tak bisa kupungkiri lagi bakal banyak yang akan tergila-gila dengannya nanti. Tapi, aku tak boleh tergoda. Kata bapak, wanita yang akan mendampingiku adalah Sang Dewi Hujan. Aku tak tahu bagaimana cara menemukannya, tapi kata bapak aku pasti akan menemukannya.

"Kamu tidak capek?" tanya Sheila.

"Tidak, kenapa?"

"Ada satu tempat yang ingin aku kunjungi lagi," Sheila melemparkan senyumnya kepadaku.

Kami pun kemudian beranjak meninggalkan taman. Kali ini kami naik taksi, entah Sheila mau mengajakku ke mana. Selama perjalanan lagi-lagi Sheila diam. Ia lebih banyak berimajinasi dengan pikirannya sendiri. Sesekali ia tersenyum ketika melihat sesuatu. Aku mencoba melihat apa yang ia lihat, ternyata ia melihat beberapa pengamen yang sedang memainkan musik mereka di pinggir jalan. Ada dua orang yang satu memegang saxofon dan yang satunya sebuah gitar bass.

"Musiknya enak didengar," ujarnya. Aku cuma mengangguk.

Tak berapa lama kemudian mobil taksi berhenti. Aku dan Sheila pun keluar. Ia segera masuk ke sebuah gedung yang bertuliskan "Der Abstract". Kuikuti Sheila dari belakang. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk meyakinkanku agar terus mengikutinya. Ia paham dengan kondisi kakiku yang tak bisa berjalan cepat ini. Ia ternyata menyesuaikan diri dengan kecepatan jalanku. Untuk seorang gadis boleh juga rasa tenggang rasanya. Sheila kemudian masuk ke sebuah pintu bertuliskan "Abelarch".

Begitu masuk di dalamnya, suasananya berubah. Perasaanku sekarang seperti berada di dalam hutan. Seluruh dindingnya dilukis seperti sebuah hutan belantara. Lukisan model natural yang dilukis langsung ke tembok dan tidak hanya sedikit tapi semuanya. Sehingga ruangan ini benar-benar mirip dengan hutan belantara di Kalimantan.

"Ah, Sheila!" seru seorang tua dengan tubuh agak gemuk dan jenggotnya cukup lebat.

"Opa!!" Sheila langsung memeluk orang tua ini. "Aku kangen sekali dengan opa."

Opa dia bilang? Berarti dia adalah Abelarch yang dibicarakan oleh Zack. Pria tua itu melirik ke arahku. "Dan dia siapa?" tanyanya.

"Dia Johan," jawab Sheila. "Dia datang dari Indonesia, katanya dia anak kenalannya Zack."

"Ach so, bagaimana kabarmu nak?" tanya kakek tua ini kepadaku.

"Mir geht es gut," jawabku.

Abelarch kemudian menjabat tanganku. Setelah itu ia melihat ke arah Sheila, "Lihatlah dirimu! Kamu sekarang tumbuh menjadi gadis yang cantik."

"Opa bisa saja. Dapat salam dari mama," katanya.

"Ach so. Aku sangat merindukanmu. Aku tak percaya kamu sudah setinggi ini," puji Abelarch berkali-kali kepada putrinya.

"Ayolah opa, masa' aku harus jadi anak kecil melulu?" gerutu Sheila.

"Bagiku kamu tetap anak kecil," suara Abelarch tertawa terbahak-bahak mengingatkanku kepada Santa Claus. "Oh ya, ngomong-ngomong kamu sudah bertemu dengan Kriez?"

"Sudah, ah tapi tak usah membicarakan itu. Aku tak mau membahasnya," ucap Sheila.

"Hei tidak boleh begitu, ia tetap ayahmu! Kalau suatu saat nanti kamu menikah, ia tetap akan menjadi pendampingmu, bukan lelaki lain!"

Sheila tersenyum kecut.

"Kalian pasti terkejut melihat ruangan ini seperti hutan. Aku memang ingin gaya yang baru," ujar Abelarch.

"Lebih tepatnya opa ini terlalu nyentrik. Aku serasa masuk ke hutan. Bagaimana kalau tiba-tiba muncul harimau?" ledek Sheila.

"Aku bisa menghapus harimau itu dengan kuasku, tak masalah," ucap Abelarch sambil terkekeh-kekeh.

"Oh ya, boleh aku ke ruang musik?" tanya Sheila.

"Silakan saja, siapa yang melarang? Gedung seni ini juga milikmu Sheila!" jawab Abelarch.

Sheila kemudian segera menggeretku lagi. Aku rasanya seperti pendampingnya. Kemana-mana diseret-seret. Tak berapa lama kemudian kami sudah sampai di sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat banyak instrumen musik. Dari gitar, saxofone, piano, drum, dan lain-lain. Sheila kemudian menuju ke sebuah piano, dia lalu menekan satu tutsnya.

TING! Suara piano berdenting. Nada tinggi sepertinya.

Aku berjalan mengintari ruangan itu, melihat instrumen-instrumen yang teronggok begitu saja di ruangan ini. Sepertinya baru saja ada latihan sehingga ditinggalkan begitu saja. Sheila lalu duduk di depan piano. Jemari tangannya mulai ia sentuhkan di tuts-tuts piano. Tak berapa lama kemudian nada-nada merdu keluar dari piano itu.

Saat itulah ada perasaan aneh menyelimutiku ketika mendengarkan alunan melodi yang tercipta dari permainan piano Sheila. Sepertinya Sheila ingin meluapkan perasaannya. Nada yang aku dengarkan seperti perasaan yang perih teriris. Ya tuhan, apa yang sebenarnya terjadi dengan Sheila?

Aku tak pernah mengerti akan warna langit yang terus berubah. Perasaan yang mungkin sama seperti dirasakan oleh Sheila. Goresan warna kelabu yang menutupi warna biru langit, seperti warna mendung yang datang berbondong-bondong kemudian membawa angin dan hujan. Aku hanya duduk di sebuah kursi kosong menikmati musik yang dimainkan oleh Sheila. Aku yakin dia akan jadi musisi terkenal suatu saat nanti. Tak terasa air mata Sheila meleleh. Aku bisa melihatnya dari tempatku duduk.

Mungkin insting atau mungkin memang sudah reflekku sebagai seorang lelaki yang tak tega melihat seorang wanita menangis. Aku menghampiri Sheila dan menyerahkan sapu tanganku kepadanya. Musiknya berhenti.

"Terkadang menangis itu bisa melegakan beban perasaan yang ada di dalam dada. Menangislah kalau engkau ingin menangis," kataku.

Sheila menerima sapu tanganku kemudian ia pun terisak. Sang bidadari ini menangis cukup lama, sampai aku tak bisa menghitung berapa liter air mata yang ada di sapu tanganku saat ini. Goresan langit kelabu, sekarang benar-benar telah menjadi hujan. 

__________________

Dari author:

Maaf untuk late update. Karena kesibukan jadinya tak bisa mengerjakan chapter sambungan ini secara konsisten. Untuk kedepannya saya akan memakai POV Johan. Mungkin sedikit heran, kenapa begitu? Saya nulis tergantung mood sih, dan rasanya untuk first person view ini saya tak salah ambil keputusan. Lebih terasa moodnya di sini. Kuharap kalian suka. 

Any typos? voments? ;)

Kosakata asing:


Sie sind jetzt erwachsen: Kamu sudah besar sekarang

Krazter Grau : goresan abu-abu

Es tut mir leid, wer bist du? : Maaf, Anda siapa?

Sie allein haben? Wo ist Zack? : Kamu sendiri siapa? Dimana Zack?

Wie geht es Ihnen? : Apa kabar?

mir geht es gut: Aku baik-baik saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top