19 | Clockwise part 7 - 00:00

"Sayang banget sekolah kita kalah ya," keluh Firda. Mereka baru saja mendapatkan pengumuman bahwa tim futsal sekolah mereka harus tersingkir sebelum final.

"Sudahlah, lagipula itu hanya permainan bukan?" Sheila tampak sedang mencoret-coret sesuatu di kertas formulir yang diberikan oleh guru BP.

Firda melirik ke arah kertas tersebut. "Kamu sudah memikirkan kemana tujuanmu berikutnya?"

"Di Munich ada sekolah untuk musik. Sepertinya aku akan ke sana menekuni apa yang sudah menjadi hobiku," jawab Sheila sambil mencoret-coret formulir. Kemudian dia melirik ke arah Firda. "Kamu sendiri?"

"Aku di sini saja deh. Lagipula aku nggak mungkin juga ikut kamu ke Jerman," Firda nyengir. "Tapi kenalin aku ama cowok Jerman yah ntar?"

"Yeee maunya," Sheila mengerucutkan bibir. Keduanya kemudian tertawa bersama.

"Kamu bakal ketemu ama papa kamu yah berarti?' ucap Firda sambil menatap wajah Sheila.

"Begitulah, mungkin," Sheila mengambil penghapus, kemudian menghapus beberapa kata.

"Bagaimana papamu?"

"Maksudnya?"

"Maksudku sifatnya, apakah dia baik padamu?"

"Begitulah. Ia baik kepadaku. Aku sudah lama tidak bertemu secara langsung dengannya. Lulus nanti aku mau ke Frankfurt menemuinya," Sheila mencoret-coret lagi formulirnya.

"Eh, kamu tahu nggak cowok yang ikut jadi strikernya SMA Internasional Manchurian?" tanya Firda tiba-tiba.

Sheila mengernyitkan dahinya. Ia heran saja kenapa Firda tiba-tiba bertanya tentang orang yang tidak dikenalnya. "Nggak, emangnya kenapa? Ada apa?"

"Aku dulu sempat ngelihat dia daftar ke sekolah ini deh, tapi nggak tahu aja kenapa dia nggak jadi masuk ke sekolah ini," jelas Firda.

"Beneran?"

"Iya, beneran. Aku masih ingat koq. Dulu pas mendaftar ke sekolah ini dia kan juga ikut tes masuk. Bahkan dia ada di peringkat pertama. Namanya Johan Vairus Ghana."

"Ah, iya. Aku ingat. Dia peringkat pertama."

"Dan kamu peringkat kedua"

Sheila mengangguk-angguk. Ia mengingatnya. Dulu ketika ujian masuk ke SMA 7 ada momen di mana mereka menghadapi ujian masuk. Di sinilah awal mula sebenarnya Sheila dan Johan bertemu untuk pertama kali.

* * *

"Urggh...," Sheila merasa tidak enak badan. Berkali-kali ia mengeluh perutnya sakit. Semua gara-gara ia memakan makanan aneh yang bernama rujak kemarin. Mamanya juga setengah jahat tidak memberitahukan kalau di dalamnya ada cabe dan juga petis. Kedua benda aneh itu sukses membuat perutnya bergejolak pagi ini. Padahal hari ini adalah hari di mana dia harus mengikuti tes masuk ke SMA 7.

"Kamu baik-baik saja?" tanya mamanya.

"Nggak ma, tidak baik-baik saja. Gara-gara kemarin mama memberi aku makanan aneh bernama rujak," jawab Sheila sambil sedikit terbelalak.

"Ayolah Sheila, cewek-cewek di Indonesia suka sekali makanan itu. Mama juga suka koq. Anggap saja salad," ujar mamanya terkekeh.

"Ma, perutku berbea dengan perut orang-orang di sini," keluh Sheila.

"Sudahlah, kamu sudah minum obat yang tadi mama berikan bukan?"

Sheila mengangguk.

"Kalau masih terasa mulas setelah dua jam, minum lagi satu sampai mulesnya tidak terasa lagi," Mrs. Jamie mengusap kepala anaknya. "Ayo, kamu nanti terlambat!"

Sheila menarik tas ranselnya kemudian bergegas mengikuti mamanya keluar rumah. Dengan mobil SUV warisan kakeknya, mereka pun segera berangkat. Sheila tak memakai seragam karena memang untuk tes masuk tidak diharuskan memakai seragam SMP. Tak berapa lama kemudian mereka pun sampai juga di sekolah yang dituju.

Sheila masih mengintip ke gerbang sekolah. Sekolahnya tentu saja berbeda dengan yang ada di Jerman. Namun di sini Sheila cukup senang karena ia lebih santai dalam belajar. Kalau di Jerman ia cukup terbebani. Dengan ia lebih santai belajar, semakin banyak buku yang ia baca dan ia serap. Ia kerap kali bersyukur berada di negara ini, segala fasilitas untuk mendapatkan bacaan sangat mudah. Tapi mungkin hanya di kota tempat ia tinggal. Ia belum pernah melihat di kota lain atau di daerah lain. Dia pernah melihat di televisi bagaimana kondisi pendidikan di daerah-daerah terpencil yang sulit terjangkau. Bahkan ada anak-anak yang harus menyeberangi sungai dengan cara berenang untuk sampai ke sekolahan. Sesuatu yang harus dibayar mahal untuk sebuah ilmu.

"Kenapa?" tanya Mrs. Jamie karena dari tadi Sheila tidak segera keluar dari mobil.

"Takut ma," jawab Sheila.

"Takut kenapa?"

"Yahh... takut aja. Wajahku aneh nggak?"

"Kamu nggak akan kenapa-napa sayang, kamu cuma ikut test saja. Mama sudah mendaftarkan kamu. Hari ini kamu cuma test masuk, itu saja. Dan ini kartu pesertanya jangan sampai hilang!" Mrs. Jamie menyerahkan kartu yang langsung diterima oleh Sheila.

"Tapi ma..."

"Kenapa lagi?"

"Mama jemput jam berapa?"

"Mama tidak akan menjemputmu, kamu bisa pulang sendiri pake taksi atau angkot. Kamu sudah terbiasa bukan?"

Sheila menghela nafas. Sekolah yang ada di hadapannya jelas sangat berbeda dan jauh dari ekspetasinya. Tapi apa boleh buat. Kata mamanya ini sekolah negeri terbaik di daerahnya. Mau tak mau ia harus mengikuti mamanya. Mamanya juga tak punya uang untuk menyekolahkannya ke sekolah yang lebih mahal. Gaji mamanya tak akan cukup untuk hal itu. Sheila sudah resmi menjadi warga negara Indonesia. Sebab ia memang punya darah Indonesia dan sudah bertahun-tahun berada di negara ini. Sekarang ia menipiskan bibirnya, berpikir yang bukan-bukan. Apakah siswa-siswinya baik-baik? Apakah mereka akan ramah? Tapi semenjak dia SMP ia banyak bertemu dengan para remaja dengan watak yang berbeda-beda. Ada yang seru, jahil, nakal, tapi tak sedikit yang baik.

Sheila membuka pintu mobilnya. Dia mencium pipi mamanya kiri dan kanan setelah itu segera masuk ke dalam sekolahan. Ia menengok mamanya sebentar yang langsung disambut dengan lambaian. Ia memutar bola matanya.

Selama berada di jalan menuju ke papan pengumuman ia merasa diawasi oleh beberapa pasang mata. Tentu saja. Bagaimana mungkin seorang secantik dia, berambut coklat, dengan iris mata biru laut dan berkulit cerah masuk ke dalam sekolah negeri. Pasti akan ada bisik-bisik. Mereka pasti berpikir "ada bule nyasar". Tapi Sheila tak menghiraukannya setelah ia sampai di papan pengumuman yang bertuliskan, "PENGUMUMAN BAGI PESERTA TEST MASUK".

Sheila mendapati denah peta sekolah di mana dia sekarang berada. Kemudian dia mencocokkan dengan nomor di kartu peserta ujiannya. Segera ia menuju ke kelas tempat di mana ia harus mengikuti tes tersebut. Langkah kakinya pelan ketika memasuki ruangan yang sudah dipersiapkan. Tatapan-tatapan mata asing yang menyelidik langsung menusuknya ketika tubuhnya sudah berada di dalam ruangan kelas. Sheila berharap ia mendapatkan tempat duduk di depan, namun ternyata nomor peserta test menempatkan dia duduk di meja paling belakang. What a wonderfull day! Pikir Sheila.

"Permisi, kak? Ikut tes juga?" celetuk seorang perempuan di belakangnya.

"Iya," jawab Sheila.

"Wah, kenalkan aku Firda," Firda mengulurkan tangannya. Sheila memberikan senyuman terbaiknya dan menggenggam erat tangan Firda.

"Sheila."

"Nama yang bagus. Nama lengkapnya?"

"Sheila Amara Berg."

"Bukan orang Indonesia?"

"Blesteran sih."

"Blesteran mana?"

"Jerman Indo"

"Whogghh! Nggak nyangka bakal punya teman bule. Hehehehe."

Sheila menanggapinya dengan mata menyipit dan memberikan senyuman. Tak berapa lama kemudian pengawas masuk. Pengawas ini seorang wanita memakai seragam khas guru sekolah. Wanita paruh baya ini kemudian mulai memberikan pengarahan akan apa saja yang harus dilakukan peserta test. Peraturan demi peraturan dibacakan hingga kemudian dia memberitahukan ketika bel berbunyi, maka semua peserta boleh langsung memulai mengerjakan soal. Sementara itu setelah dibacakan peraturannya semua peserta yang ada di ruangan itu mendapatkan lembar soal dan lembar jawaban pilihan ganda.

Semua peserta mulai menuliskan nama dan nomor peserta sambil menunggu bel berbunyi. Dia penasaran karena ada sebuah bangku yang kosong di pojok paling depan. Dan itu sederet dengan bangkunya.

TEEEETTTT! Bel pun berbunyi. Serentak semuanya segera mengerjakan soal.

Sheila pun konsentrasi terhadap soal yang ada di meja. Waktu yang diberikan tak banyak hanya 45 menit. Mau tak mau ia harus melahap semua pelajaran Matematika, Fisika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Karena Sheila cerdas, ia tak punya kesulitan mengerjakan semuanya. Bahkan apa yang ia pelajari sebelumnya lebih susah lagi dari pada ini. Sheila mengelus-elus perutnya. Ternyata obat yang diberikan mamanya lumayan manjur. Ia sudah tidak merasakan lagi mules. Semoga tidak mengganggu konsentrasinya nanti ketika sedang mengerjakan soal tes.

Lima menit berlalu, kemudian ada yang mengetuk pintu.

"Maaf, saya terlambat," ujar seorang pemuda yang baru saja masuk.

"Peraturannya keterlambatan 15 menit setelah bel tidak diijinkan masuk. Silakan segera menempati bangkumu," ujar pengawas.

Pemuda itu buru-buru menuju bangku yang ada di depan. Sheila tak begitu memperhatikan pemuda yang baru saja masuk tadi. Dia sibuk dengan soal-soal yang ada di lembarannya.

Ruangan menjadi sunyi senyap. Keheningan ini lebih mirip seperti sebuah ujian nasional. Namun karena ini adalah tes masuk, maka suasananya sedikit santai. Tapi tetap saja, banyak yang ingin bisa masuk ke sekolah negeri favorit ini. Sheila harus berjuang bersama ratusan siswa lainnya yang mendaftar. Sang pengawas hilir mudik mengitari kelas. Dia sesekali memeriksa jawaban dari para siswa. Sementara itu waktu tanpa disuruh sudah merayap hingga tak terasa sudah 30 menit lewat. Saat itulah ada yang mengejutkan. Pemuda yang datangnya terlambat tadi berdiri.

"Maaf, saya sudah selesai," kata pemuda itu.

Sheila mengangkat alisnya. Dia tinggal beberapa nomor saja sebenarnya. Tapi pemuda itu lebih cepat. Yakin sekali cowok ini? Apakah dia juga pintar?

Sang pengawas segera menghampirinya kemudian memeriksa lembar jawaban milik pemuda tersebut.

"Johan ya, yakin jawabannya benar semua?" tanya sang pengawas.

"Yakin dong," jawab pemuda itu.

"Percaya diri sekali," sang pengawas terkekeh-kekeh. Peserta lainnya juga ikut terkekeh-kekeh, hanya saja nada mereka datar. Karena mereka tahu betapa sulitnya soal yang diberikan.

"Saya soalnya harus mengantarkan adik, jadi harus cepet-cepet," Johan memberikan alasan.

Sheila masih sibuk dengan jawaban dari soal yang ada di lembarannya. Ia pun akhirnya menemukan jawabannya dan mulai mengarsir. Saat ia sudah selesai mengarsir ia menatap ke depan. Pemuda itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Ia melongok kanan kiri. Ia tak sempat melihat wajah pemuda tadi.

Dua hari setelah tes selesai. Sheila datang lagi ke sekolah itu. Ia melihat di papan pengumuman. Nama Johan Vairus Ghana ada di urutan nomor satu sebagai calon siswa yang mendapatkan nilai paling tinggi, disusul dirinya. Sayang sekali, kemudian terdengar kabar bahwa Johan tidak jadi masuk ke sekolah itu. Seandainya ia masuk ke sekolah itu, pasti Sheila akan bertemu dengannya.

* * *

"Aku ingat dengan orang yang namanya Johan, dia yang satu ruangan dengan kita pas tes masuk kan?" Sheila mengingat-ingat peristiwa tersebut.

"Ah iya, kamu benar. Tapi heran yah, padahal ia harusnya keterima lho di SMA kita. Koq malah masuk ke SMA Internasional Manchurian ya?" Firda menerawang.

"Kamu benar, sayang sekali. Tapi mungkin ada sesuatu yang membuat dia berubah pikiran. Mungkin kondisi sekolah Manchurian lebih baik," Sheila mencoba menebak.

"Iya, kalau dikatakan sekolahnya bagus sih ya baguslah. Swasta gitu loh," Firda mengangkat bahunya.

Sheila melirik ke arah formulir yang ditulis oleh Firda. Dia tersenyum melihat isiannya, "Jadi wartawan?"

Segera Firda menutupi tulisan di formulirnya, "Eits, dasar pengintip!"

"Kenapa? Bagus koq jadi wartawan. Kamu sepertinya berbakat deh, Fir," ujar Sheila. "Soalnya kamu itu super cerewet."

Firda mencubit pipi Sheila, "Idiiihhh...dasar! Sembarangan bilang super cerewet."

"Aduuh! Hihihihi," kemudian Sheila membalas Firda, mereka pun berhaha-hihi. Bercanda satu sama lain.

Waktu pun berjalan seperti tergesa-gesa, meninggalkan jejak yang disebut manusia sebagai sejarah. Sedikit demi sedikit perputaran jarum jam mulai kembali ke angka dua belas. Keinginan Sheila untuk ke Jerman sudah bulat.

* * *

"Sheila, bisa minta tolong ikut mama hari ini?" tanya Mrs. Jamie. Dia sudah bersiap untuk pergi ke rumah sakit.

"Ke Rumah Sakit?" tebak Sheila.

"Iya, aku ingin kamu menghibur mereka lagi," Mrs. Jamie tersenyum karena jawaban Sheila tepat.

Sheila sumringah. Dia sepertinya menyenangi pekerjaan yang satu ini. Menghibur orang-orang yang mempunyai gangguan mental bukanlah pekerjaan yang mudah bagi setiap orang. Tapi tidak bagi Sheila, menghibur orang yang mempunyai gangguan mental merupakan suatu anugerah. Mungkin di dunia ini hanya dia yang mengerti bagaimana memainkan melodi-melodi untuk menenangkan orang-orang yang mempunyai gangguan mental. Frekuensi otak para pasien seakan-akan secara ajaib tersentuh oleh melodi-melodi yang dimainkan oleh Sheila. Sejak pengalaman pertama dia memainkan gitar akustiknya, rasanya sangatlah ajaib. Dia bisa merasakan bagaimana para pasien seolah-olah terhipnotis. Perlahan-lahan hati mereka yang kosong bisa terisi, seolah-olah musik yang dia mainkan benar-benar telah menghipnotis mereka, bahkan beberapa waktu lalu ada pasien yang kondisinya makin membaik.

Mereka tak butuh waktu lama untuk berangkat. Sheila dan Jamie sudah berada di mobil dengan gitar kesayangan Sheila. Di dalam mobil, mereka terlibat pembicaraan antara ibu dan anak.

"Kamu sudah bulat ingin ke Jerman?" tanya Jamie.

"Iya, ma. Di München ada sekolah yang bagus untuk belajar musik. Aku ingin belajar di sana," terang Sheila.

"Jujur mama tak menghalangimu untuk belajar ke mana pun. Apa kamu sudah memberitahu papamu?"

Sheila mengangguk. "Papa senang sekali mendengarnya. Bahkan beliau akan mengurus tempat tinggal, biaya di sana dan segala kebutuhanku."

"Ah, dia memang selalu baik," Jamie bersuara datar. "Tabungan dari papamu juga masih ada bukan?"

Sheila mengangguk. "Uang pemberian papa selalu aku tabung, ma."

"Sejujurnya mama khawatir melepaskanmu sendirian. Tapi kamu sudah besar, mama tak bisa melarangmu," Jamie membelai rambut putrinya. "Kalau papamu sudah berkata begitu maka semuanya akan baik-baik saja."

Sheila mengangguk.

"Kamu masih melihat pita suara warna-warni?" Jamie sekarang mengalihkan pembicaraan.

"Masih"

"Penderita savant syndrome sepertimu memang langka. Beruntungnya kamu penderita yang membuat dirimu luar biasa. Mama sendiri sangat takjub kamu menyembunyikannya selama ini. Kenapa kamu tak memberitahu mama sejak lama? Apa ada alasan khusus?"

Sheila menyadari rasa penasaran mamanya. Ia pun jujur. "Aku mengira apa yang aku rasakan ini normal ma. Mama tahu sendiri ketika aku kecil sering menggambar sesuatu dengan banyak warna pelangi yang mengelilinginya? Misalnya kucing membawa pita warna pelangi, orang-orang mengeluarkan pita warna-warni dari tubuh mereka. Apa mama kira ketika aku menggambar seperti itu adalah hal yang wajar?"

Jamie manggut-manggut. "Mama kira kamu menggambar pelangi di mana-mana itu adalah hal yang wajar. Seorang anak kecil yang penuh dengan imajinasi."

"Tapi aku tak berhalusinasi. Aku memang tak mengatakannya kepada mama. Lambat laun aku menyadari keistimewaan yang ada pada diriku ma. Tapi, aku tak bisa mengatakannya. Aku lebih nyaman menyimpan perasaanku."

Jamie menghela nafas. "Kamu dari dulu seperti itu. Bukankah aku mamamu? Biasanya anak-anak lebih suka bicara apa yang mereka lihat kepada kedua orangtuanya. Entah teman, pengalamannya di sekolah."

"Tapi, aku tidak begitu ma. Entahlah, aku lebih bisa nyaman dengan menyimpannya. Kemudian setelah aku mengenal musik, aku pun tahu ketika perasaanku diluapkan ke dalam musik. Hal itu lebih menyenangkan dan mententramkan hatiku. Apa mama tahu, ketika aku menceritakan tentang savant syndrome kepada mama aku sama sekali tak tenang?"

Jamie terdiam.

"Hanya opa yang memahamiku. Beliau malah mendorongku untuk terus bermain musik. Sebab opa tahu, dengan bermain musik aku bisa meluapkan perasaanku yang terpendam selama ini. Dan satu lagi ma. Aku bisa tahu seseorang itu berbohong atau tidak dengan melihat pita-pita berwarna hitam keluar dari tubuh mereka," jelas Sheila.

"Pita warna hitam?"

"Semakin jujur seseorang, aku melihat pita berwarna-warni keluar dari tubuh mereka. Namun ketika berbohong, mereka akan mengeluarkan warna yang gelap."

Jamie mengernyitkan dahi, "Tunggu dulu, jadi kamu tahu kalau papamu....?"

Sheila tak menjawab.

"Oh, tidak Sheila. Sejak kapan kamu mengetahui papamu selingkuh?" Jamie sekarang penasaran. Seharusnya ia tak mengungkit-ungkit persoalan ini lagi. Apa yang sudah ditinggalkannya di Jerman tak ingin ia bawa ke Indonesia. Tapi mendengar apa yang dikatakan Sheila, Jamie tertarik ingin mengetahui apa yang Sheila ketahui tapi tidak diketahui olehnya sebagai seorang ibu dan istri.

"Aku tak ingin membahasnya ma. Bagiku urusan orang dewasa biar mereka sendiri yang menyelesaikannya," ujar Sheila.

Jamie menghela nafas. Ia mengerti ini bukan urusan putrinya dan tidak sepantasnya ia menyeret putrinya untuk urusan yang satu ini. Sheila menyunggingkan senyum. Jamie memijat keningnya, ia mencoba tenang. Kandasnya pernikahan karena perselingkuhan telah menyakiti hatinya, ia sudah lama mengubur luka itu. Tapi persoalan itu tiba-tiba kembali ketika Sheila memberitahukan kemampuan lainnya. Jamie percaya kepada Sheila tapi untuk memanfaatkan Sheila agar tahu masa lalunya, itu sungguh jahat. Ia tak mau melakukannya.

"Maafkan mama," hanya itu yang terucap dari bibir Jamie.

"Aku tahu ma. Aku tahu, tak apa," Sheila mengelus bahu mamanya.

"Mama tak menyangka saja, kamu sudah sebesar ini sekarang," ujar Jamie. "Padahal kemarin kamu masih kecil. Kamu masih seperti peri kecil yang cantik."

Sheila tahu, betapa rapuhnya mamanya yang sekarang ini. Dikhianati oleh papanya, bahkan mamana melihat secara langsung papanya bercinta dengan perempuan lain. Hati siapa yang tidak akan terkoyak? Perempuan mana yang akan kuat melihat itu semua. Padahal mamanya merupakan wanita yang tak ingin sesuatu yangterlalu muluk dan terlalu rumit. Sheila paham sekali dengan sifat mamanya. Mamanya hanya menginginkan hidup sederhana, tanpa konflik, tanpa masalah, membangun rumah tangga yang utuh sampai akhir. Apalagi mamanya tak punya siapapun di dunia ini. Orangtua tiada, adik, kakak, dan anggota keluarga lainnya tak ada. Hidup sendirian dan hanya Sheila satu-satunya yang punya hubungan darah dengan dirinya. Keluarganya Kriez suka kepada Jamie, dengan kepribadiannya juga sifatnya. Mereka sebenarnya juga takjub Kriez pandai memilih pendamping hidup. Bahkan Jamie dulu dipuji karena si anak nakal Kriez bisa ditaklukkan dan punya istri seperti Jamie. Tapi ternyata sifat nakal itu masih ada dan belum sembuh. Sebagai satu-satunya orang yang punya hubungan darah dengan Jamie, Sheila tak ingin mengecewakan mamanya. Dan atas alasan inilah Sheila tak mau salah dalam berumah tangga kelak nantinya. Ia akan mencari seorang lelaki sempurna, yang tidak akan pernah selingkuh. Seorang lelaki yang tak akan mengeluarkan pita berwarna hitam dari tubuhnya.

Bicara mengenai hal lelaki yang tak mengeluarkan pita berwarna-warni dari tubuhnya, Sheila kembali teringat dengan pemuda yang tidak mengeluarkan pita itu sama sekali? Pemuda yang sangat unik. Sheila sendiri tak habis pikir kalau ternyata ada pemuda seperti itu di dunia ini. Ia baru kali ini melihat seorang manusia yang sama sekali tak punya getaran suara. Pita warna-warni yang ia lihat setiap hari adalah efek dari getaran suara yang bersentuhan dengan udara. Kalau misalnya manusia tidak punya getaran seperti itu, apakah dia hantu? Sebab makhluk halus tak akan ada pengaruhnya dengan medium seperti udara. Atau bisa jadi yang dilihat Sheila hanyalah ilusi. Tapi ia yakin ia tak salah lihat.

Setelah lama berkendara, mereka pun sampai di Rumah Sakit Jiwa tempat Jamie bekerja, rumah sakit satu-satunya warisan dari kedua orangtua Jamie. Mobil dengan perlahan memasuki area parkir sebelum akhirnya berhenti. Sheila keluar dari mobil terlebih dulu sambil membawa gitarnya. Disusul dengan Jamie. Saat mereka masuk ke dalam lobi langsung disambut beberapa perawat yang bekerja di sana.

"Ibu Jamie, Nona Sheila?!" sapa beberapa perawat.

"Pagi, apa ada kabar terbaru?" tanya Jamie.

"Hari ini pasien Yudi kembali kumat," jawab sang perawat.

"Kenapa? Mimpi buruk?"

"Sepertinya. Traumanya tak kunjung reda."

Jamie mengernyitkan dahi. "Bagaimana dengan Dokter Nuri? Apa beliau sudah diberitahu?"

"Dr. Nuri akan tiba nanti setelah pukul sepuluh. Ia harus mendampingi putranya dulu," jawab sang perawat sambil mengingat-ingat.

"Nanti akan ada sesi dengan Sheila, tolong persiapkan seperti biasa," ujar Jamie.

"Baik Ibu Jamie," sang perawat mengangguk. Jamie kemudian langsung meninggalkan mereka dan mengajak Sheila ke ruangannya.

Ruangan direktur masuk ke bagian dalam rumah sakit. Rumah sakit ini punya empat lantai. Kesemuanya terdiri dari bangsal-bangsal untuk menampung para pasien. Setiap pasien punya kamar sendiri-sendiri. Ada pasien yang sudah bertahun-tahun ada di rumah sakit ini, ada juga yang baru beberapa bulan. Kadang ada pasien yang sembuh total, ada yang sembuh tapi dengan kondisi tertentu. Setiap penyakit gangguan kejiwaan memang memerlukan penanganan ekstra hati-hati. Jamie masih melihat kebanyakan orang-orang salah dalam menangani para pasien yang memiliki gangguan kejiwaan. Tidak sepantasnya mereka yang punya gangguan kejiwaan dipasung dengan alasan takut kumat. Justru pemasungan akan mengakibatkan mereka cenderung stress dan tidak sembuh. Mengajak mereka untuk memahami satu sama lain, menguak sisi terdalam dari kepribadian seorang pasien kemudian dengan beberapa terapi secara riil bisa menyembuhkan para pasien gangguan kejiwaan. Terlebih gangguan kejiwaan itu beragam. Di Indonesia sendiri tergolong unik untuk penyakit kejiwaan. Dari mulai orang-orang miskin sampai orang kaya, mereka punya kondisi kejiwaan yang berlainan. Seperti korban perselingkuhan, kehilangan anak, bahkan sampai para pejabat yang kalah dalam kancah pertarungan politik. Ada juga para kriminal yang kebanyakan dari penjahat kerah putih, para pelaku korupsi yang kemudian stress hingga gila karena kekayaannya disita dan keluarganya berantakan. Jamie cukup bersyukur ia tak stres sampai gila seperti pasien-pasien itu. Dia termasuk wanita yang kuat.

Sheila membuka penutup gitar kesayangannya dan mulai memainkan gitarnya. Ruangan direktur tampak sangat nyaman, walaupun hanya berisi beberapa pajangan foto dan poster-poster kesehatan dan anatomi otak manusia. Sebuah vas bunga tergeletak di meja dekat sofa tempat Sheila sibuk mengatur senar gitarnya.

Ruangan direktur tampak lengang. Hanya terdengar suara gitar Sheila yang dipetik beberapa kali untuk disetel agar sesuai nadanya. Gitar akustik bertuliskan SHEILA di badannya itu sudah menemaninya cukup lama. Semenjak dari Jerman, Sheila tak pernah lepas dari gitar ini. Di kala suntuk, sebelum tidur, bahkan ketika ia iseng ngamen di jalanan pun ia membawa gitar ini. Ia ngamen bukan untuk mendapatkan uang, hanya meluapkan apa yang ada di dalam hatinya. Ia senang ketika orang lain menyukai apa yang ia bawakan. Jamie tampak sibuk dengan beberapa berkas sebelum kemudian pintu diketuk oleh suster.

"Maaf, Bu Jamie. Sudah dipersiapkan," ujar suster tersebut.

"Sheila?! Ayo!?" Jamie kemudian mengajak Sheila.

Mereka pun berjalan melewati lorong rumah sakit menuju ke sebuah taman di tengah rumah sakit ini. Tempat semua orang berkumpul. Para pasien tampak duduk berkerumun, namun sebagian ada yang berdiri seperti menepuk-nepuk sesuatu. Sebagian lagi menatap ke depan dengan tatapan kosong. Ada pula yang pura-pura menggendong bayi. Ada sebuah kursi kosong di depan mereka. Sheila berjalan menuju ke kursi itu lalu duduk.

Sheila pandangannya menyapu semua yang hadir. Tatapannya berhenti ke seseorang yang berdiri di pinggir taman. Jamie langsung mengenali wanita itu, demikian juga Sheila.

"Yuni?" sapa Jamie. "Kamu kapan datang?"

"Barusan, aku kangen dengan tempat ini, makanya berkunjung kesini," jawab wanita itu yang tak lain adalah Miss Yuni. Dia kenal dengan tempat ini karena dulu pernah tinggal di rumah sakit ini. "Sheila ya? Sudah besar."

"Hai tante Yuni," sapa Sheila. "Hai semua, apa kabar kalian? Baik??"

Para pasien ada yang menjawab, ada yang diam, ada yang sibuk sendiri.

"Hai pak Joko, apakah beruangnya sudah ketemu? Hai Ibu Warni, anaknya sehat?" Sheila berusaha akrab dengan para pasien. "Hari ini, aku akan membawakan lagu untuk kalian. Tapi semuanya yang rapi ya, tidak jalan-jalan sendiri, tidak ramai sendiri. OK?"

Para pasien tidak serempak menjawab tapi mereka mengerti apa yang dibicarakan oleh Sheila. Gadis ini pun mulai memetik gitarnya. Alunan nada dan lagu pun mulai dimainkan Sheila. Kemudian Sheila pun mulai menyanyi. Sebuah lagu yang cukup dikenal, judulnya The End of World.

Why does the sun go on shining

Why does the sea rush to shore

Don't they know it's the end of the world

'Cause you don't love me any more

Why do the birds go on singing

Why do the stars glow above

Don't they know it's the end of the world

It ended when I lost your love

I wake up in the morning and I wonder

Why everything's the same as it was

I can't understand, no, I can't understand

How life goes on the way it does

Why does my heart go on beating

Why do these eyes of mine cry

Don't they know it's the end of the world

It ended when you said goodbye

Why does my heart go on beating

Why do these eyes of mine cry

Don't they know it's the end of the world

It ended when you said goodbye

"Lagu ini mengingatkanku ketika aku berada di sini dulu. Harus aku akui kalau Sheila memiliki suara yang sangat merdu. Lagunya bisa menyentuh hati siapa saja. Bagaimana anakmu bisa melakukannya?" gumam Yuni.

"Kamu tak akan percaya kalau aku menceritakannya. Yang jelas dia memang berbakat," ujar Jamie.

"Rasanya, setiap yang disentuh anak ini secara tidak langsung akan menjadi hidup. Ia seperti air yang memberi kehidupan bagi siapa saja yang disentuhnya," Yuni memejamkan matanya. Hatinya seperti tersiram es sekarang. "Aku tak tahu Jamie, kenapa aku seperti ini. Rasanya setelah aku pergi dari rumah sakit, ketika dokter memvonisku telah sembuh dari traumaku, rasanya aku tak ingin pergi dari tempat ini. Entah apakah karena suasananya ataukah karena Sheila."

Jamie tak mengucapkan kata-kata. Dia menatap wajah Yuni. Ada guratan perasaan yang tenang di sana. Jamie tak pernah bertanya kepada Yuni bagaimana kabar anaknya, karena ia tahu hal itu akan membuat perasaan Yuni sakit. Ia takut kalau-kalau ia akan kambuh lagi.

* * *

Waktu berlalu, hari berganti. Ujian Akhir Nasional pun telah lewat dan Sheila mendapatkan hasil yang luar biasa bagus. Peristiwa yang menimpa Aprilia, Johan dan Melati pun terlewati. Aprilia masuk ke rumah sakit jiwa. Dia tak bisa mengendalikan dirinya untuk pertama kali hingga kemudian akhirnya dia bisa tenang. Sheila tak pernah menyangka kalau Aprilia bisa mengeluarkan api. Sesuatu yang langka di dunia ini. Kejiwaan Aprilia labil, ia depresi berat dan emosi. Namun pembicaraan terakhir mereka sebelum berpisah membuat Sheila penasaran. Kenapa dia dipanggil dengan sebutan "Dewi Hujan"?

Sebelumnya Firda benar-benar sangat sedih ketika Sheila harus pergi. "Kapan kamu akan balik? Aku bakal kangen nih."

"Tenang aja, aku pasti kembali koq. Aku ingin menetap di Indonesia ajah, nikah ama orang Indonesia, dikubur juga di sini," jawab Sheila dengan sedikit bergurau.

"Waduh, kamu udah kerasan ya?" Firda tergelak.

"Iya nih. Tapi aku pergi cuma sebentar koq, Fir. Tenang deh, ntar aku kenalin ama bule Jerman," Sheila ikut tergelak.

"Hehehehe, Awas lho ya kalau lupa," ancam Firda.

Sheila senyum-senyum sendiri mengingat kejadian tadi. Tak berapa lama kemudian mereka sudah sampai di bandara. Sheila menggeret kopernya berjalan berdampingan dengan mamanya. Di punggungnya ada gitar kesayangannya. Mereka melihat jam digital yang ada di papan yang menunjukkan pesawat yang akan berangkat.

"Wah, sudah mau berangkat!" seru Sheila.

"Ayo cepat! Kamu nanti terlambat lho!" Jamie kemudian menggandeng Sheila melewati lorong terminal.

"Sabar ma, pesawatnya belum berangkat!" Sheila menggerutu.

"Tapi kamu jangan sampai ketinggalan juga kan?" keluh Mrs. Jamie.

"Sheila sudah tau ma, tenang aja deh. Nggak usah begitu," Sheila akhirnya berhenti ketika Mrs. Jamie berada di batas di mana pengantar tak boleh masuk.

"Ingat, kamu di sana untuk belajar. Nggak boleh macem-macem. Nanti salam kepada Opa Abelarch. Barang-barangmu sudah semua?"

"Sudah ma, tenang aja. Mama terlalu khawatir," Sheila mengerucutkan bibirnya yang manis.

"Bagaimana mama tidak khawatir? Kamu itu mama lepas sendirian naik pesawat!"

"Ma, Sheila ini udah 17 tahun. Sheila udah bukan baby girl lagi! Sheila bisa beladiri yah walaupun cuma judo, dan Sheila juga bisa baca tulis mama. Kalau ada apa-apa Sheila bisa jaga diri!"

Jamie menghela nafas. Sheila putri kecilnya sekarang sudah dewasa. Mereka kemudian berpelukan. Diiringi lambaian dan senyuman mereka pun berpisah. Sheila telah melewati pemeriksaan tiket dan paspornya. Dia pun mulai masuk ke dalam pesawat. Sheila meletakkan gitar di depannya. Saat itulah seorang pramugari mengantar seorang pemuda.

"Maaf, saya sepertinya salah kursi ternyata," ujar pemuda itu. "Ternyata saya duduk di sebelah Anda."

"Oh, begitu," Sheila kemudian beranjak agar pemuda itu bisa bergeser masuk ke deret kursinya. Tampak ia memakai tongkat untuk berjalan.

"Maaf atas ketidak nyamanan ini ya mas?" ujar sang pramugari cantik. "Kalau butuh apa-apa katakan saja ya mas?"

"Siap mbak. Makasih ya," ujar pemuda itu. "Ah, aku tak baca dengan teliti tadi. Aku kira tempat dudukku di belakang ternyata di sini. Nggak apa-apa kan aku duduk dekat jendela, atau kamu mau tukar denganku?"

"Tak apa-apa," jawab Sheila.

Setelah pemuda itu duduk, Sheila pun ikut duduk. Kali ini Sheila mengernyitkan dahi, ada sesuatu yang aneh dengan pemuda di sampingnya ini. Cowok ini pun mengulurkan tangannya kepada Sheila.

"Kenalkan, Johan Vairus Ghana," ujar sang pemuda. "Kurasa kalau kita saling mengenal lebih baik karena bakal jadi teman selama perjalanan."

Sheila menyambut tangan pemuda yang sebenarnya ia tak asing dengan nama itu. Dia masih ingat siapa Johan Vairus Ghana. Seorang cowok yang nilai test masuk ke sekolahnya paling tinggi tapi malah tidak masuk ke sekolahnya. Sheila tersenyum.

"Sheila Amara Berg," kata Sheila. Dia mengamati Johan dengan seksama. Ada yang aneh dengan pemuda ini. Sheila tak melihat pita warna-warni keluar dari tubuhnya, bahkan pita yang biasanya muncul ketika seseorang berbohong pun tidak muncul. Ia seperti berbicara kepada sebuah boneka atau patung. Ia tahu Johan ini masih hidup, bahkan tangan Johan saja terasa hangat. Pemuda ini juga bernafas, jantungnya juga pasti berdetak, tapi cowok tampan ini sedikit aneh.

Sheila tiba-tiba teringat dengan pemuda yang menuntun motornya dulu. Dia mengernyitkan dahi mengingat-ingat peristiwa itu. Apakah dia pemuda ini? Pertanyaan-pertanyaan itu akan ia tanyakan nanti. Tapi sekarang ini pendulum telah berhenti. Kita sekarang berada di waktu yang sama. Jarum jam menunjukkan ke waktu 00:00.

Dari author:

Saya sibuk akhir-akhir ini jadinya telat update. Tapi saya tetap berkarya koq. Jangan khawatir, saya tetap nulis. Saya juga sudah mempersiapkan cerita baru, sudah mengonsep beberapa cerita. Dan cerita ini juga tinggal pada bagian-bagian akhir. 

Semoga bulan ini bisa kelar. Saya masih dikejar deadline pembuatan Apps untuk Android. Jadinya nggak bisa cepet ngetiknya. Sekali lagi mohon maaf. 

Oh ya, saya sudah tetapkan wattpad jadi media saya untuk menulis. Saya lebih nyaman nulis di sini. Jadi harap maklum. 

Jangan lupa vote dan comment. Any typos? ;)

Kosakata asing:


Sie sind jetzt erwachsen: Kamu sudah besar sekarang

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top