18 | Clockwise part 6 - One Direction
Prahara keluarga Sheila pada puncaknya. Setelah sidang perceraian berjalan alot tentang hak asuh Sheila, akhirnya pengadilan memutuskan bahwa Sheila ikut bersama ibunya. Kriez dan Jamie telah bercerai. Sebuah aroma kemarahan dari Jamie menjelaskan bahwa ia tak akan pernah memaafkan suaminya itu. Hal itu membuat Kriez benar-benar terpuruk. Sekali pun begitu Sheila tetap bisa menemuinya kapan pun dan tentu saja Kriez harus tetap memberikan nafkah kepada putrinya itu sampai pendidikannya selesai. Semenjak palu diketuk hakim, resmilah bahwa Jamie dan Kriez sudah bukan suami istri lagi.
Peristiwa itu sudah berlalu beberapa tahun kemudian. Jamie memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Keputusan itu sudah bulat. Ia mau membuang kenangannya di Jerman jauh-jauh. Ia sudah menemukan keluarganya di Jerman dan sekarang ia sudah tahu jatidirinya. Hal itu sudah cukup, terlebih dengan seorang anak gadis seperti Sheila, rasanya ia sudah memiliki segalanya. Namun pindahnya Jamie ke Indonesia agaknya ditentang oleh Kriez.
"Aku tak setuju kamu pindah ke Indonesia," Kriez memprotes keras keputusan Jamie.
"Ini sudah keputusanku, kamu tak berhak melarangku," terang Jamie.
"Lalu bagaimana dengan Sheila? Apa ia akan ikut denganmu?"
"Tentu saja. Sheila akan ikut bersamaku," tegas Jamie. "Itu pilihan Sheila sendiri."
"Kamu bohong, pasti kamu paksa Sheila untuk melakukannya," Kriez merasa dipermainkan oleh Jamie. Ia merasa Sheila dipaksa oleh mamanya.
"Sheila tidak dipaksa. Ia ikut denganku."
Sheila keluar dari rumah sambil membawa travel bag-nya. Dia menatap mata papanya. Hati Kriez serasa tercabik melihat iris mata biru anaknya. Seharusnya tidak seperti ini, pikir Kriez. Ia memang bersalah, tapi apakah harus seperti ini juga hukumannya? Sama sekali tidak adil menurutnya.
"Ini tidak adil," keluh Kriez. "Kamu tega menjauhkanku dengan Sheila?"
"Siapa bilang aku menjauhkanmu? Dia sendiri yang menginginkannya. Kamu tetap bisa bertemu dengan dia tapi tentunya kamu harus pergi ke Indonesia," jelas Jamie.
Sheila menyeret travel bag-nya meninggalkan rumah menuju ke mobil taksi yang sudah menunggu untuk mengantarkan mereka menuju bandara. Kriez segera mencegah Sheila untuk masuk. Dia kemudian berlutut di depan Sheila.
"Sheila kumohon jangan pergi! Papa mohon jangan pergi! Papa minta maaf tapi jangan pergi, papa tak bisa hidup kalau kamu pergi dari sini, kumohon!" Kriez memeluk Sheila. Entah apakah Sheila harus memaafkan papanya ataukah tidak. Ia tetap pada pendiriannya, urusan orang dewasa biarlah mereka sendiri yang menyelesaikannya.
Sheila membisu. Dia tidak bilang iya atau pun tidak. Baginya semua ini cukup.
"Kami akan ketinggalan pesawat, kalau kamu tak keberatan, biarkan kami pergi!" Jamie memasukkan kopernya ke bagasi. Dia juga kemudian mengambil travel bag milik Sheila lalu meletakkannya ke bagasi.
Sheila tersenyum kepada Kriez. Jemari Sheila menghapus air mata Kriez. Mendapatkan perlakuan itu hati Kriez serasa dibenamkan ke dalam kolam beku. Sheila mencium pipi papanya.
"Papa tak perlu bersedih, aku bisa menelpon papa. Nanti aku akan kembali ke Jerman. Mungkin suatu saat nanti," ujar Sheila. "Sebab aku sudah berjanji akan bertemu Kapten Bumi di sini."
"Hah?" Kriez tak mengerti maksud dari Sheila. Tapi kata-kata putrinya itu membuat ia tak bisa berbuat banyak. Sheila tersenyum untuk terakhir kalinya ke papanya. Papanya hanya bisa melihat Sheila pergi masuk ke dalam taksi.
Mobil taksi itu pun pergi meninggalkan kepulan asap. Kriez hanya bisa menjerit dengan jeritan yang memilukan. Semuanya adalah kesalahannya dan ia hanya bisa menerima karma yang ada. Setelah ini ia akan lama sekali untuk bisa bertemu lagi dengan Sheila.
* * *
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa Sheila sudah lama berada di Indonesia. Andai saja Sheila waktu itu punya kontak Safuan, mungkin ia sekarang sudah menghubungi lelaki itu, tapi sepertinya hal itu mustahil. Kini Sheila sudah duduk di bangku SMA. Ia termasuk murid termuda, karena masuk SMA pada umur 14 tahun. Dia mengambil kelas akselerasi setelah ia menerima dan menyelesaikan beberapa tes. Tapi itu tak masalah, toh dengan kecerdasan yang dia miliki ia sanggup untuk melahap semua persoalan yang diberikan. Bahkan dengan menakjubkan pada umur 14 tahun ia sudah masuk SMA. Menjadi seorang murid yang paling muda membuatnya tidak minder, yang minder adalah teman-temannya yang terpesona dengan kecantikan Sheila. Tak diragukan lagi keturunan bule memang jadi lebih menarik perhatian. Tak sedikit cowok-cowok yang berusaha mengejar-ngejar Sheila, tapi ia menolak semuanya.
Ada beberapa alasan mengapa ia menolaknya. Di antaranya adalah ia pernah melihat bagaimana papa dan mamanya saling berkata saling mencinta, tapi nyatanya mereka pun bercerai. Demikian juga kakeknya yang katanya sangat mencintai neneknya, tapi mereka juga berpisah. Sheila tidak pernah lagi mempercayai segala sesuatu yang dikatakan atau dikaitkan dengan asmara. Terlebih tak ada satu pun orang yang sanggup berbohong di hadapan Sheila. Ia bisa melihat getaran hati orang lain dengan kemampuannya, terlebih juga dengan sifatnya yang tegas membuat para cowok berpikir beberapa kali sebelum mendekatinya.
Pagi yang indah. Sheila sudah memakai baju seragamnya. Mamanya juga udah hendak berangkat ke rumah sakit jiwa. Jamie memang bekerja disana, meneruskan mengelola yayasan milik kedua orangtuanya. Semenjak berada di Jerman, yayasan warisan orangtuanya itu dikelola oleh pamannya. Ruma sakit jiwa inilah yang akhirnya menjadi tempat di mana Jamie menghabiskan waktunya hampir setiap hari mengurusi pasien-pasien dengan segala permasalahan mereka. Sheila dan gitarnya tak pernah lepas, mereka berdua seperti satu bagian tubuh yang saling berkaitan. Kemana ada Sheila pasti di situ ada gitarnya.
Sheila sekarang sudah duduk di kelas XII. Ia memilih jurusan IPA. Nilainya selalu bagus dan dia selalu mendapat peringkat tiga besar. Tentunya ia menjadi murid kebanggaan. Selain cantik, pintar ia juga aktif di beberapa kegiatan ekstrakurikuler seperti musik dan judo.
BRRUUUMMM!! DIINN! DIIINN!!
Terdengar suara seseorang menggeber gas sepeda motor di luar rumahnya.
"Maa, aku berangkat!" teriak Sheila yang segera menuju keluar rumah.
"Hati-hati!" terdengar suara Jamie dari kamar. Dia juga bersiap hendak pergi ke rumah sakit.
Dari luar rumah sudah ada seorang gadis di atas sebuah motor matic. Gadis ini bernama Firda, teman sekelas Sheila. Seutas senyum tergurat di bibirnya yang sudah dipakaikan lipbalm. Firda agaknya bakalan selalu iri dengan Sheila, ia tak menyangka temannya ini benar-benar seorang bule. Wajahnya cantik, beriris mata biru safir, berkulit cerah. Siapapun pasti banyak yang naksir kepadanya, hanya saja Sheila adalah cewek nomor satu yang paling jual mahal di sekolahnya. Siapa sangka cewek ini juga atlit judo yang pernah menyabet juara satu judo tahun lalu di kejuaran propinsi. Mau mendekati Sheila berarti harus rela dibanting.
"Kamu ini, tiap hari bawa gitar ya?" sapa Firda.
"Mau gimana lagi sudah jadi soulmate aku," jawab Sheila.
Sheila tidak memakai rok. Dia memakai celana panjang yang nantinya bakalan dia lepas ketika sudah sampai di sekolah dan berganti dengan rok seragam. Dia berkata kalau memakai rok itu terlalu ribet. Seandainya ada pakaian cowok, ia akan lebih suka memakai pakaian cowok daripada pakaian cewek ketika pergi ke sekolah. Tapi seragam tempat dia sekolah rata-rata ceweknya memakai rok. Padahal di Jerman dulu, ia sama sekali tak perlu diributkan dengan seragam.
"Ayo, mbak Ojek. Kita berangkat!" ujar Sheila yang sudah nangkring di sadel belakang.
"Mbak Ojek? Enak aja. Bayar yah," jawab Firda kesal.
"Hahahaha, becanda, becanda," Sheila menepuk pundak sahabatnya ini, setelah itu sepeda motor pun melaju meninggalkan rumah Sheila.
Pagi ini mereka harus belajar seperti biasanya. Menghabiskan waktu untuk menuntut ilmu. Sheila agaknya tak bisa melupakan Jerman. Dia terus teringat tentang kenangan-kenangan dia di negeri itu. Kenangan bahagia, pahit, buruk, susah, senang, semuanya ia ingat. Hanya saja, berbeda dengan mamanya. Jamie tidak ingin mengingat kembali tentang Jerman. Baginya kenangan tentang Jerman sudah cukup dan ia ingin menghabiskan waktunya di negara ini, negara tempat di mana dia dulu dilahirkan. Walaupun ia mempunyai campuran darah Jerman, tapi ia tak ingin lagi kenangan dia tentang Kriez kembali lagi.
Setelah beberapa lama di jalanan, akhirnya mereka pun sampai di sekolah. Sengaja Sheila memilih sekolah negeri daripada sekolah swasta. Alasannya karena mamanya yang menginginkannya, apalagi?
"SMA Negeri 7" papan nama sekolah itu tercetak jelas di gapura sekolah. Ketika Sheila dan Firda keluar dari tempat parkir beberapa guru menyapa mereka.
"Pagi Sheila?!" sapa salah seorang guru.
"Pagi Pak Budi," jawab Sheila.
"Wah, Pak Budi jahat. Aku nggak disapa nih?" gerutu Firda.
"Pagi juga Firda," sapa guru tadi kepada Firda.
"Udah telat pak. Bapak pilih kasih, cuma nyapa Sheila aja. Mentang-mentang dia cakep jadi yang nggak cakep dicuekin," ucap Firda sambil mengerucutan bibirnya.
"Bukan begitu Firda.....," Pak Budi ingin membela dirinya. Tapi Firda menggamit tangan Sheila.
"Yuk, kita pergi. Waspadai guru genit!" Firda menarik lengan Sheila sambil berlalu.
Sheila masih tersenyum ramah kepada gurunya tadi. Mereka pun pergi meninggalkan Pak Budi yang hanya menggeleng-geleng saja. Sheila pergi ke kamar mandi untuk ganti dengan seragam roknya. Ribet memang, tapi Sheila tak keberatan untuk itu. Sementara itu Firda menunggunya. Setelah selesai mereka pun menuju ke kelas.
"Kamu emang sedikit tomboy yah, lebih suka pake celana," ujar Firda.
"Yeah, begitulah," jawab Sheila. "Aku tak suka pakai rok. Ribet banget, mana buat lari juga susah. Kalau aku pakai jurus judoku bisa robek nih."
"Dasar. Sepertinya kamu itu emang salah dilahirkan sebagai cewek," Firda mengamati Sheila dari atas ke bawah. "Kamu cocoknya jadi cowok."
Sheila tak mempedulikannya. Mereka pun sampai di kelas. Sheila meletakkan gitarnya di belakang ruangan. Di sana ada tumpukan rak yang biasanya diisi oleh buku-buku dan peralatan lainnya milik para murid. Dan biasanya di rak ini para murid iseng meletakkan sesuatu di rak milik murid tertentu. Seperti surat cinta misalnya. Dan kali ini, seperti biasa rak Sheila yang paling banyak isinya. Berisi tumpukan surat cinta dari para penggemarnya. Ia sendiri menggeleng-gelengkan kepalanya melihat amplop-amplop warna-warni itu. Sheila mengambil semua amplop surat itu kemudian dia langsung buang ke tong sampah.
"Wuidih, dibuang semua? Nggak dibaca satu-satu?" tanya Firda.
"Nggak minat. Bunuh diri ya bunuh diri aja gara-gara aku tolak," jawab Sheila ketus.
Firda tergelak mendengarnya, "Sheila, Sheila, aku aja kalau dikejar-kejar cowok seperti itu pasti kepengen banget. Iya sih wajahku pas-pasan, tapi kalau aku diberi wajah rupawan seperti kamu, aku rela deh dikejar-kejar para cowok seperti kamu."
"Hei, emangnya harus dikejar-kejar cowok seperti itu? Aku nggak suka. Bukan berarti aku belok yah, tapi buat apa coba? Mereka kebanyakan hanya melihat aku dari apa yang mereka lihat," ujar Sheila sambil kembali ke bangkunya.
Firda kemudian duduk di sebelahnya, "Kalau di Jerman, kamu juga nggak pernah kenal cinta monyet?!"
Sheila menggeleng. "Setelah lulus Grundschule aku pindah ke negara ini. Jadi rasanya aku tak punya sesuatu yang bisa aku ceritaka tentang cinta monyet atau cinta beneran. Banyak hal yang aku tak ingin ungkap lagi, Fir."
"Jerman itu kayak apa sih? Jadi kepengen ke sana kalau musim dingin. Jadi kepengen tidur di atas hamparan salju," Ini pertanyaan Firda kesekian kalinya kepada Sheila. Gadis ini tak menatap Sheila lagi, tapi pikirannya sudah menerawang jauh.
Sheila tak perlu menjawabnya, karena Firda juga tahu jawabannya. Sheila sudah banyak bercerita tentang negeri tempat asalnya produsen mobil mewah itu. Agaknya keingin tahuan Firda sangat besar. Bahkan terkadang ketika mereka bersama, Firda minta diajari bahasa Jerman oleh Sheila. Sekali pun begitu niat Firda tak sungguh-sungguh untuk belajar. Ia seperti ingin tahu saja.
Waktu hari itu berlalu dengan cepat. Satu demi satu mata pelajaran pun mereka ikuti. Saat itu teman-teman sekelasnya tampak sibuk dengan persiapan pertandingan futsal antar sekolah. Semenjak beberapa minggu lalu terjadi perbincangan hangat tentang lawan-lawan yang akan dihadapi oleh SMA Negeri 7, di antaranya seperti SMA Manchurian dan SMA Darmawangsa. Kedua SMA ini sangat tangguh. Seperti SMA Darmawangsa yang selalu jadi runner-up dan SMA Manchurian yang dalam dua tahun terakhir selalu menjuarai kejuaraan futsal.
"Kamu mau ikut nggak nonton pertandingan futsal besok sabtu?" tanya Firda.
"Emang tim kita main?" tanya Sheila. "Bukannya babak penyisihan sekolah kita baru minggu depan?"
"Iya sih. Kita lihat dulu dong permainan dari SMA yang selalu jadi juara di kejuaraan tiap tahun. Aku penasaran aja, siapa tahu cowoknya ganteng-ganteng," ucap Firda sambil nyengir.
"Ah, ada-ada aja kamu. Tapi sorenya kita ngamen yuk!?" Sheila menampakkan senyum manisnya sambil menggelayutkan tangannya ke lengan Firda.
"OK, nasib anak jomblo. Mendingan kita jalan ya beib?" Firda tergelak. Sheila pun ikutan juga. Mereka berdua bercanda sepanjang perjalanan.
* * *
TOK! TOK! TOK!
Terdengar ketukan di pintu. Miss Yuni segera membuka pintu ruang UKSnya. Setelah ia membuka pintu ia terbelalak mendapatkan siapa orang yang ada di sana. Ia tak percaya pria itu datang.
"ZACK?!" Miss Yuni seakan tak percaya kalau lelaki yang selama ini ia kenal lewat jejaring sosial tiba-tiba ada di depannya.
"Hai, Yuni?!" Zack ingin meyakinkan dirinya bahwa yang ada di hadapannya benar-benar Yuni.
"Yes, it's me!" Miss Yuni sangat gembira mendengarnya. "Astaga ini beneran kamu?"
Zack cuma cengar-cengir nggak jelas. Mereka berdua tampak canggung dan hanya saling menatap saja.
"Aku tadi mencoba mampir ke sini, ternyata ini benar kamu," ujar Zack. Surprisenya adalah Zack bisa berbahasa Indonesia dengan lancar.
"B-bagaimana kamu bisa ada di sini?"
"Aku sudah buka kantor di sini. Aku sudah cerita bukan tentang hal ini ke kamu?" jelas Zack .
"Iya sih. Oh iya, masuk deh!" Miss Yuni mempersilakan Zack untuk masuk.
"Kalau tak keberatan aku ingin kita ke tempat yang lebih leluasa saja," ujar Zack.
"OK, jangan khawatir. Sekolah ini cukup besar, ada banyak gazebo juga," Miss Yuni tak keberatan.
Mereka berdua pun kemudian berjalan-jalan di sepanjang koridor. Melihat taman yang tertata rapi di sekolah SMA Internasional Manchurian. Beberapa pohon Penitian dibentuk seperti kursi sofa, sebagian dengan ketrampilan yang luar biasa dari tukang kebunnya pohon tersebut dibentuk seperti bulan sabit. Zack agaknya sedikit canggung, padahal ketika mereka berdua berbicara di media chat, mereka sangat lepas. Tak tahu apa yang menyebabkan mereka seperti itu sekarang. Mungkin kenyataan sangat berbeda dengan apa yang ada di dunia maya.
"Kenapa diam saja?" tanya Miss Yuni. "Padahal kukira kamu ini orangnya sangat gampang diajak bicara."
"Hahaha, maaf. Aku agak canggung. Berjalan berdua seperti ini dengan orang secantik kamu. Rasanya lain," terang Zack.
Wajah Miss Yuni memerah. "Gombal."
"Gombal? Apa maksudnya?"
"Itu artinya kamu berusaha merayuku!"
Zack nyengir kuda. Dia berkali-kali menatap wajah Miss Yuni. Ada ketertarikan khusus dirinya kepada Miss Yuni. Tapi selama ini ia tak pernah menyinggungnya.
"Apakah kamu akan di sini selamanya?" tanya Miss Yuni.
"Entahlah, tergantung apakah ada yang bisa menahanku di sini," jawab Zack. "Lagipula untuk mengatur kantor baru di tempat ini juga sedikit susah. Kamu tahu sendiri mendirikan kantor asuransi di negara ini cukup sulit dengan segala peraturannya. Aku mempelajarinya sampai berminggu-minggu."
Miss Yuni menghela nafas. Ia tak ingin berharap banyak kepada Zack, toh mereka selama ini enjoy saja berteman. Dia tahu Zack. Dia mengerti Zack tak punya satu pun keluarga di sini. Bahkan kekasih juga tak punya. Jadi tak ada yang menahannya di sini. Ia seperti orang bebas. Tak terikat oleh apapun.
"Sampai kapan kamu di sini?" tanya Miss Yuni.
"Sampai urusanku selesai. Aku juga ingin bertemu dengan beberapa orang kenalanku," jawab Zack.
"Apa yang bisa aku bantu?"
"Ah, tak ada. Urusanku lebih ribet daripada apa yang kamu bayangkan. Perusahaan asing yang ingin menanamkan modal di negeri ini perlu berpikir banyak hal. Negara ini tergoncang sedikit isu politik saja perekonomiannya juga ikut terguncang. Makanya kami sangat berhati-hati kalau ingin menanamkan modal di negeri ini."
"Aku tak mengerti urusan seperti itu, Zack. Jadi kalau toh kamu cerita panjang lebar pun aku rasa, aku tak akan mengerti dengan baik," Miss Yuni mengangkat bahunya.
"Ah, maaf. Baiklah. Mari kita bahas yang lainnya," Zack kembali merasa canggung.
Mereka kemudian duduk di sebuah gazebo yang letaknya tak jauh dari ruang UKS.
"Sudah lama kamu bekerja di sini?" tanya Zack sambil melihat keadaan sekitar. Tak terlihat para murid yang lalu lalang karena memang sedang jam pelajaran berlangsung di tiap kelas.
"Kalau dibilang lama, sih... nggak juga. Aku baru tiga tahun di sekolah ini. Kepala sekolahnya adalah pamanku, jadi aku mendapatkan kesempatan untuk praktek di sini. Lagipula gajinya lumayan, sedikit ada unsur nepotisme sih nggak masalah buatku," jawab Miss Yuni sambil nyengir.
"Nepotisme itu bagus, jangan disalah artikan sebagai sesuatu yang negatif. Setidaknya dengan nepotisme kita bisa membantu saudara dan kerabat kita. Hanya saja, nepotisme yang negatif juga ada, misalnya karena sayang dengan saudara atau kerabat maka kita berikan wewenang yang tidak sebagaimana mestinya," ujar Zack.
"Ya, baiklah. Aku terima kata-kata itu," Miss Yuni tersenyum lagi.
"Bagaimana kabar Rama?" tanya Zack.
Miss Yuni tiba-tiba terhenyak. Ia berharap Zack tak membahasnya. Topik yang ia tanyakan sekarang ini sangat sensitif.
"Oh, maaf. Kalau kamu tak ingin membicarakannya," ucap Zack.
"Kalau kamu tanya bagaimana kabarnya aku hanya bisa bilang dia baik-baik saja. Orang yang mengasuhnya lebih faham daripada aku," ada sesuatu di dalam hati Miss Yuni yang sebenarnya tak ingin dia ungkapkan.
"Aku minta maaf. Tapi bagaimana pun juga kamu tak berhak untuk tak peduli kepadanya, bukan?"
"Zack, aku tahu. Aku pernah curhat kepadamu tentang Rama. Tapi kuharap kita tak membahas ini. Mengingat kalau aku yang pernah melahirkan Rama, aku sangat terpukul. Dadaku serasa sesak," raut wajah Miss Yuni berubah. "Bisakah kita hal bahas yang lain?"
Zack menggenggam tangan Miss Yuni. Wanita ini tersentak, ia berdebar-debar. Zack berkata, "Kalau misalnya, kamu menahanku untuk tidak kembali ke Jerman apakah kamu mau?"
"What?" Miss Yuni terkejut.
"Aku serius," ujar Zack.
Miss Yuni tahu apa maksud Zack. Lelaki ini ingin lebih dekat kepadanya. Hanya saja ia takut. Ada sesuatu yang tak bisa ia mengerti, ketakutan yang tak beralasan.
"Z-Zack, kurasa ini terlalu cepat," terang Miss Yuni. Ia menarik tangannya.
Zack mengangguk faham. "Aku mengerti."
Mereka berdua pun kemudian tenggelam dalam keheningan. Sesuatu yang seharusnya sejuk, tiba-tiba berubah menjadi dingin. Zack mengetahui sedikit rahasia dari Miss Yuni. Dokter muda ini pernah mendapatkan kejadian yang sangat buruk di masa lalu. Sebuah mimpi buruk yang ia simpan dalam-dalam. Namun mimpi itu akan kembali ketika dia mengingat seorang anak yang bernama Rama, darah dagingnya yang dia lahirkan beberapa tahun lalu.
"Sabtu punya waktu?" celetuk Zack tiba-tiba.
"Sabtu? Well, aku tak punya kekasih. Jadi kalau pun kamu menculikku aku akan rela dengan senang hati," jawab Miss Yuni.
"Aku akan menjemputmu kalau begitu," ucap Zack sambil beranjak. Ia buru-buru menahan Miss Yuni. "Tak perlu mengantarku, aku tahu jalan pulang. Sampai nanti"
"Ya, sampai nanti," Miss Yuni tersenyum sambil melambai kepada Zack.
Zack pun melangkah pergi. Waktunya memang sebentar bersama Miss Yuni, orang yang selama ini menjadi teman ngobrol chattingnya. Pertemuan mereka juga tidak sengaja. Iseng saja Zack menyapa Miss Yuni di jejaring sosial. Hingga akhirnya mereka saling berbicara satu sama lain, saling curhat dan akhirnya menjadi sahabat dekat walaupun terpisah jarak dan waktu.
Saat Zack pergi, Miss Yuni hanya memandangi punggungnya saja dari kejauhan. Dia memejamkan matanya, memori dia pun kembali kepada beberapa tahun yang lalu saat dia masih berada di bangku perkuliahan. Dia benci pada masa itu, ketika salah seorang mahasiswa memperdaya dirinya. Salah seorang seniornya memperkosa dia dengan teman-temannya. Dia sangat shock waktu itu, sebuah pukulan berat. Bahkan dia disiksa oleh seniornya kalau sampai mengatakan apa yang terjadi kepadanya maka dia akan dibunuh. Apa yang harus dilakukan oleh wanita selemah Yuni Asmara Dewi? Dia hampir selama dua bulan menjadi budak seks dari lelaki hidung belang itu, sampai akhirnya ia tak tahan. Dia pun memotong kemaluan seniornya sesaat sebelum dia diperkosa lagi untuk kesekian kalinya. Ketika kejadian itu diketahui orang dan pihak yang berwajib mengurus kasusnya, baru diketahui kalau dia hamil. Menggugurkan bukan jalan yang terbaik. Terlebih dosa apa bayi yang ada di perutnya? Namun Yuni nekat, ia berkali-kali berusaha menggugurkan kandungannya, hal itu malah menyebabkan ia semakin stress. Terlebih setelah anak itu lahir, ia membenci darah dagingnya sendiri. Darah daging yang tak dia inginkan. Anak itu dinamakan Rama, sejatinya bukan dia yang menamakan, tetapi kedua orangtua Yuni. Mereka terpukul atas kejadian itu dan berharap pelakunya dihukum berat. Yuni selama beberapa minggu dalam keadaan stress. Dia sangat ingin mencekik anaknya bahkan berkali-kali berusaha membunuhnya. Akhirnya ia pun dijauhkan dari anaknya. Dengan keadaan mental yang tidak stabil, dia pun akhirnya diberi terapi hingga akhirnya sembuh.
Secara garis besar, Yuni menyesal karena ingin membunuh anaknya yang tak berdosa. Namun ia masih trauma ketika melihat Rama. Ia akan selalu teringat kepada seniornya dulu. Lelaki biadab itu nasibnya sekarang tak jelas, setelah penisnya dipotong oleh Yuni dan masuk penjara. Tak ada kabar lagi. Biarlah waktu menelannya dalam sebuah hukum karma yang akan ia rasakan seumur hidupnya. Memberikan sebuah rasa sakit kepada seorang wanita seperti Yuni sungguh tak pantas. Bukankah seorang wanita itu membutuhkan kelembutan, kasih sayang dan perlindungan? Kalau bukan dari seorang pria, lalu dari siapa? Makhluk lemah ini memang unik, ia memang terlihat lemah, tapi ketika dia mulai terlihat kuat, dunia rasanya gemetar karena melihat kekuatan jiwanya.
Yuni mengambil ponselnya. Ia membuka gallery picture. Di sana ada foto anaknya yang sekarang sudah berusia tiga tahun. Matanya mulai berkaca-kaca. Bagaimana ia bisa menghadapi anaknya lagi? Ia sendiri takut kalau tiba-tiba dirinya lepas kendali. Ia pun kemudian mencari kontak nomor seseorang. Ibunya.
"Halo? Mama?" sapa Yuni.
"Yuni? Ada apa? Gimana kabarmu?" sapa ibunya dari kejauhan.
"Baik ma. Cuma ingin tahu kabar Rama," kata Yuni. Tak terasa air mata meleleh di pipinya.
"Duh, itu Rama. Bandelnya minta ampun. Lari kesana kemari, capek ngejar. Dia sudah masuk PAUD, seneng banget punya teman banyak. Tiap hari kerjaannya menggambar, tahu nggak kemarin dia menggambar apa?"
"Apa ma?"
"Dia menggambar dirimu dan dia bergandengan tangan. Mama tanya ke dia, 'Ini siapa?' katanya 'Ini bunda ama Rama bergandengan tangan'. Yuni, Rama kangen ama kamu. Kapan kamu tengok dia?"
Pecahlah tangis Miss Yuni.
"Yuni, kamu tak apa-apa?" tanya ibunya khawatir.
"Maaf ma, ...hiks...hikss... sampaikan salam saja sama Rama," jawab Yuni. "Aku jahat, aku jahat!" batin Miss Yuni bergejolak seperti magma yang ada di dalam gunung. Ia ingin menjerit tapi tak bisa.
"Yuni, kemarilah. Mama mengerti apa yang sedang kamu rasakan sekarang. Setidaknya tengoklah dia walaupun cuma sebentar, apa salahnya?"
"Mama tahu apa alasanku tidak menemui dia. Bukannya aku tak mengakuinya hanya saja.... tiap kali melihatnya, yang tampak olehku adalah wajah bajingan itu. Karena itulah aku serasa ingin sekali membunuhnya, mencabiknya, mencakarnya.... Maaf ma, aku harus pergi," Yuni segera menutup teleponnya tanpa mendengarkan lagi apa kata ibunya. Ia menundukkan kepala, menutupi wajahnya dalam duka.
Miss Yuni berusaha menenangkan dirinya. Semenit, dua menit, lima menit kemudian dia pun beranjak dari gazebo tempat dia duduk.
Miss Yuni memang pernah dekat dengan beberapa pria. Namun semuanya mundur teratur ketika Miss Yuni jujur kalau dia sudah punya seorang anak. Hanya satu orang yang selama ini mendekatinya dan tidak pernah mundur, yaitu Zack. Namun Zack sendiri tak yakin akan perasaannya. Hal itu bisa dia ketahui dari setiap pembicaraan mereka. Zack tak pernah to the point, bahkan mereka menganggap keduanya bersahabat. Miss Yuni masih teringat bagaimana dia berkata kepada para lelaki itu, "Aku sudah punya anak, apakah kamu mau menjalin hubungan serius denganku?" kebanyakan dari mereka shock. Rata-rata mereka mencari seorang perawan. Lalu, apakah salah kalau keperawanannya diambil paksa oleh seorang bajingan? Dia sendiri sempat berpikir bahwa hidup ini kejam.
Sore itu Miss Yuni menghabiskan waktu jalan-jalan. Dia sengaja memakai rok selutut dengan kaos lengan panjang casual. Hal itu membuat dia terlihat tidak seperti wanita yang usianya sudah dewasa, lebih terkesan seperti ABG. Berjalan melewati deretan ruko, trotoar dan mall adalah aktivitasnya dikala suntuk. Ia juga sering nongkrong dan melihat bagaimana aksi para seniman jalanan. Langkah Miss Yuni terhenti ketika mendapati seorang gadis beriris mata biru safir sedang bernyanyi dengan gitarnya. Gadis itu dikerubuti oleh banyak orang.
Nobody knows who I realy am
I Never Felt This Empty Before
But if you got lost on your way
Whos guide you through another day
Miss Yuni mendengar bait syairnya. Ia sepertinya pernah melihat gadis itu tapi entah di mana. Namun ia sama sekali tak asing dengan suara dan petikan gitar akustiknya. Sesuatu menggelitik di dalam kalbunya, sesuatu yang dulu pernah ia rindukan. Alunan lagu dengan suasana merdu membuat siapapun yang menontonnya terasa senang. Gadis itu sekilas menatap Miss Yuni, ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyelimutinya. Gadis ini bukan gadis biasa. Satu lagu pun selesai, Yuni Asmara Dewi masih berdiri di tempat ia datang tadi. Tepukan tangan dari para penonton membuat ia tersadar. Segera ia meninggalkan tempat itu. Tujuannya sekarang adalah sebuah kafe. Tepat di depan kafe tiba-tiba hujan turun rintik-rintik. Ia menengadah ke langit. Butiran-butiran air hujan pun menamparnya, matanya terpejam. Ia ingin meresapi rasa hujan tersebut agar luka-lukanya bisa dihapuskan, tapi agaknya ia kecewa karena air hujan tak lagi turun. Begitu ia membuka matanya sebuah payung menutupi langit. Itulah pertama kali ia bertemu dengan Johan.
"Hi Miss? Maaf, aku tak tahu apa yang terjadi, tapi alangkah bodohnya membiarkan seorang wanita hujan-hujan seperti ini. Anda Miss Yuni kan?" sapa Johan.
* * *
Zack menjemput Yuni di rumah kontrakannya. Mereka makan malam di sebuah restoran yang menunya cukup membuat kantong bolong. Tapi menurut Zack hal itu tak mengapa. Ada sebuah momen yang ingin mereka dapatkan pada makan malam ini.
"Kamu diam saja dari tadi," ujar Miss Yuni. Dia malam ini sangat cantik dengan gaun warna hitam bertali. Gaun itu makin membuat dia terlihat seksi dengan memperlihatkan bagian bahunya dengan punggung terbuka. Terlihat punggung mulus Miss Yuni tanpa cacat. Zack menelan ludah berkali-kali melihatnya.
"A-aku gugup sebenarnya," kata Zack jujur.
"Gugup kenapa?"
"Baru kali ini di dalam hidupku aku bertemu dengan wanita secantik kamu dan seanggun kamu," Zack menghela nafasnya. Ia tak kuasa lagi menahan gejolak yang ada di dadanya. "Yuni, aku ingin berkata sesuatu."
"Katakanlah!" ucap Yuni sambil menyantap sesuap hidangannya ke mulutnya.
"Kalau misalnya kamu ikut aku ke Jerman, keberatan?" tanya Zack.
Miss Yuni menelan makanannya, setelah itu ia meneguk wine yang ada di meja kemudian menghela nafas. "Kenapa harus begitu?"
"Sejujurnya, aku mulai tertarik kepadamu."
"Trus?"
"Ayolah, Yuni. Aku tahu kamu merasakannya juga."
"Merasakan apa?"
"Biarkan aku masuk ke dalam kehidupanmu, biarkan aku menjadi bagian dari dirimu."
Yuni tiba-tiba tergelak. "Zack, sudahlah. Aku sudah bilang kepadamu berkali-kali. Kita lebih baik berteman. Berhubugan dengan seorang pria malah akan menyakiti hatiku lagi."
"Tapi dari setiap pria itu, aku yang paling tahu tentang dirimu," ucap Zack.
"Kamu tak tahu apa-apa tentang diriku Zack, sama sekali tidak," sanggah Yuni.
"Apakah karena Rama? Aku akan menerima Rama sebagai anakku kalau itu maumu."
"Tidak semudah itu, ada hal yang kamu tidak ketahui."
"Apa? Jelaskan kepadaku! Agar supaya aku mengerti."
"Aku ingin bertanya satu hal kepadamu," Yuni sekarang menatap wajah Zack dengan serius.
"Seandainya aku ingin membunuh anakku sendiri, apa kamu masih ingin menerimaku?"
"Maksudnya?"
"Kamu sudah mendengarnya, kalau misalnya aku ingin membunuh Rama. Apa kamu masih mau menerimaku?"
Zack terhenyak. Ia tak menyangka Yuni akan berkata seperti ini.
"Kamu tahu rasanya ketika melahirkan seorang anak yang tidak kamu inginkan? Kamu tak akan mengerti karena kamu tidak pernah melahirkannya. Dan ketika kamu sadari wajah anakmu itu mirip dengan wajah orang yang telah menyakitimu, bahkan ketika setiap kali bertemu dengan anakmu kamu terus teringat akan kenangan buruk itu. Ingin saja aku mencekik anakku sendiri, aku ingin membunuhnya hingga ia tak perlu lahir di dunia ini. Kalau kamu sanggup membunuh anakku, aku akan ikut denganmu," kata-kata Miss Yuni benar-benar membuat lutut Zack lemas. Ia tak pernah mengira Miss Yuni serapuh ini.
Zack hanya terdiam. Ia tak berani bicara sepatah kata pun. Dalam sekejap meja makan pun berubah menjadi padang gersang yang tandus. Tak ada suara. Zack bingung sekarang menghadapi Yuni seperti apa. Padahal mereka baru saja bertemu.
"Aku akan kembali ke Jerman," ujar Zack tiba-tiba.
Miss Yuni menghela nafas. "Sudah kuduga."
"Tapi aku pasti akan kembali. Kalau engkau ingin aku membunuh anakmu, aku tak bisa melakukannya. Tapi aku pasti akan punya pemecahan untuk persoalanmu," terang Zack. "Tunggu aku!"
"Aku tak akan bisa menunggumu. Bahkan sampai sekarang pun aku tak pernah mengakui Rama sebagai anakku sekalipun dia jelas lahir dari rahimku."
"Kamu hanya perlu waktu, itu saja. Aku yakin setiap wanita di dunia ini punya sifat keibuan, kenapa kamu tidak mencoba menjadi ibu baginya?"
"AKU TIDAK BISA!!!" Miss Yuni menggebrak meja. Hampir saja apa saja yang ada di atas meja itu terbang. "Setiap melihat Rama aku selalu terbayang wajah bajingan itu. Aku tak bisa. Tak akan bisa."
"Kamu pasti bisa. Kamu hanya perlu waktu. Dan jika aku nanti kembali lagi, aku akan mendampingimu. Aku akan menjagamu!" Zack merebut tangan Yuni.
Yuni mendorong tangan Zack. "Sudahlah, aku ingin pulang."
Persoalan yang ada pada diri Miss Yuni lebih rumit daripada yang dibayangkan oleh semua orang. Zack tak tahu harus berbuat apa. Sebagai seorang wanita yang pernah diperkosa, pastilah ada luka yang sangat mendalam dalam diri wanita ini. Zack mengantarnya pulang malam itu dengan perasaan penuh dosa. Ia ingin sekali bisa menolong Miss Yuni, tapi ia tak tahu bagaimana cara menolongnya. Beberapa kali ia mencoba untuk memulai pembicaraan dengan temannya ini tapi sulit. Rasanya Miss Yuni sudah tenggelam dalam pikirannya dan tak mau diganggu.
Kini sampailah Yuni berada di depan pintu rumahnya. Zack hanya memandangi punggung Yuni yang terekspos. Ingin sekali Zack menyentuh punggung itu lalu menciumnya. Yuni berdiam diri memunggungi Zack yang masih belum beranjak. Di dalam hati, Yuni menjerit. Ia tak ingin Zack pergi, tapi ia juga tak ingin berharap terlalu lebih. Baginya tak ada satupun lelaki yang bisa menerima keadaannya seperti sekarang ini. Tidak ada.
Tapi, Yuni salah duga. Zack tiba-tiba merengkuhnya. Dengan cepat lelaki ini membalikkan tubuh Yuni kemudian dipegang wajahnya, lalu kedua bibir mereka menyatu. Keduanya saling mengecup. Yuni pun akhirnya pasrah dalam pelukan Zack. Ia memang membutuhkan pelukan, setidaknya ia tidak munafik untuk persoalan yang satu ini. Sesaat kemudian kedua bibir mereka berpisah, tapi sedetik kemudian kembali mengecup. Lagi dan lagi. Nafas keduanya terasa berat dan memburu. Akhirnya yang terjadi adalah Miss Yuni menarik Zack untuk masuk ke dalam. Zack ditarik ke dalam lautan birahi, keduanya saling memagut, meremas, memeluk, menghimpit.
Helai demi helai pakaian mereka pun berhamburan entah kemana. Kedua insan ini pun menyatu dalam sebuah gejolak birahi. Entah karena pengaruh wine atau memang kali ini insting hati mereka yang berbicara. Zack menciumi wajah Yuni, ia sangat mencintai wanita ini melebihi apapun. Dan ia pastikan tak akan melepaskan kesempatan ini sama sekali. Malam makin larut. Keduanya pun tenggelam dalam selimut tebal di atas ranjang dengan peluh kelelahan setelah beberapa ronde orgasme mereka dapatkan. Yuni merasa bersalah, tapi ia sama sekali tak marah atau menolak ketika Zack berkali-kali mengucapkan "Ich Libie Dich Yuni". Yuni memang membutuhkan cinta, tapi apakah harus dari Zack? Besok lelaki ini akan pergi dari negara ini. Entah kapan mereka akan bertemu lagi.
* * *
Beberapa orang duduk di bangku halte menunggu bis dan angkot. Berbeda dengan Sheila. Dia menunggu jemputan mamanya hari itu. Tentunya setelah ia ngamen di salah satu sudut kota. Salah seorang musisi jalanan mengajak dia untuk ngamen di sana, sekaligus juga untuk kegiatan sosial memberikan buku kepada anak-anak jalanan. Setelah pulang sekolah dia langsung menuju ke sebuah yayasan anak jalanan yang pernah diasuh oleh kakeknya dulu. Letaknya tak jauh dari SMA Internasional Manchurian.
"Aku pergi sendiri saja," ujar Sheila yang tak ingin merepotkan Firda. "Lagipula mamaku nanti yang jemput koq."
Acaranya tak lama. Setelah bagi-bagi buku selesai, Sheila menghibur mereka dengan satu dua buah lagu. Setelah itu ia segera pergi. Di halte ini ia melihat beragam orang. Mulai dari orang yang suka merokok tanpa tenggang rasa, orang yang cuek dengan ponselnya, orang yang melamun, dan orang yang memang sungguh-sungguh ingin naik kendaraan umum. Satu persatu orang-orang pun naik ke angkot dan juga bis. Hingga akhirnya hanya Sheila saja yang duduk di bangku sendirian. Kesunyian. Jarang dia menemukan kesunyian di kota besar. Dia sedikit rindu dengan Jühnde, tempat dia lahir. Sheila memejamkan matanya. Memori tentang tempat itu ia ingat lagi. Padang ilalang tempat dia bermain, anginnya yang semilir, dan juga ketika salju turun, sebuah momen yang tak terlupakan di mana dia bisa berada di atas kolam yang membeku. Sheila membuka matanya, mamanya belum datang juga padahal sudah 30 menit. Mungkin terjebak macet seperti biasa. Dalam hidup, Sheila tidak pernah merasakan macet hingga akhirnya sampai ke Indonesia. Wajar karena ia tak pernah melihat kemacetan ketika masih di Jerman. Amat berbeda ketika ia sampai di negara ini. Macet sudah menjadi langganan tiap hari. Dengan budaya yang beragam, kehidupan yang beragam. Mamanya adalah satu-satunya orang yang mengajari Sheila tentang kehidupan di Indonesia. Darinyalah Sheila mengerti tentang kebudayaan, bahasa, serta berbagai macam cara pergaulan, baik itu mana yang perlu dilakukan dan mana yang perlu dihindari.
Iseng, Sheila mengeluarkan gitarnya dari tas. Dia pun mulai memetik dawai-dawainya. Entah kenapa dia ingin sekali memainkan melodi-melodi yang dulu sering dia mainkan ketika hujan mau turun. Mungkin karena reflek ketika melihat pita-pita berwarna gelap keluar dari tanah lalu naik ke udara. Sheila pun memainkan gitar-gitarnya untuk memberikan warna kepada pita-pita tersebut. Dari suara gitarnya, getaran-getarannya pun mulai menyeruak mengikuti alur kemana pita-pita itu pergi. Warna yang hitam pekat pun mulai berganti dengan warna pelangi. Sheila menyukai warna-warna itu. Warna-warna penyemangat. Semenit dua menit Sheila memainkan gitarnya, awan pun datang. Angin berhembus dengan lembut mengantarkan berbagai awan gelap mengerubungi langit di atas Halte. Hujan pun turun tak lama setelah itu. Segurat senyum membekas di bibir Sheila, ia suka dengan hujan yang turun ini. Bau tanah yang naik karena tersiram air dari langit ini menusuk hidungnya. Kadang ada orang yang terobsesi dengan bau tanah ini, mengingatkan akan bahwasannya manusia menyukai tempat mereka berasal, yaitu tanah.
Sheila terus bersenandung. Saat itulah dari kejauhan tampak seorang pemuda menuntun sepeda motornya. Ban belakangnya bocor. Di dekat halte tersebut ada sebuah tukang tambal ban, kemudian pemuda itu berhenti di sana. Ketika itu Sheila memperhatikan sang pemuda. Sheila mengernyitkan dahi. Kalau biasanya ia bisa melihat pita-pita warna-warni keluar dari tubuh seseorang, maka ia tak melihat itu dari pemuda tersebut. Pemuda itu menoleh ke arahnya, tapi karena hujan yang deras ia tak bisa dengan jelas melihat wajah pemuda itu. Tak berapa lama kemudian sebuah SUV berhenti. Dari kaca jendela tampak wajah Mrs. Jamie terlihat.
"Ayo Sheila!" kata mamanya.
"Gleich mama," Sheila segera beranjak masuk ke dalam mobil. Kemudian mobil pun pergi meninggalkan halte. Sheila masih menoleh ke arah pemuda tersebut. Dari dalam mobil ia bertanya-tanya siapa pemuda itu?
Dari author:
Bagian Clockwise tinggal 1 bab lagi. Dah terlihat bagaimana masa lalu Miss Yuni bukan? Ingat bagian Clockwise tidak hanya menceritakan Sheila saja, tetapi yang lainnya juga.
voments please and any typos? ;)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top