16 | Clockwise part 4 - Durchstechen

Safuan menghabiskan waktunya dengan jalan-jalan ke taman. Dia terlalu bosan berada di hotel terus-terusan. Urusannya bekerja dengan investor dari Jerman sudah selesai. Perusahaannya pun sudah deal dan dia sekarang menghabiskan sisa waktunya untuk jalan-jalan dan menikmati kota Frankfurt. Safuan sendiri tak percaya bahwa tanah Jerman yang dia pijak ini dulunya pernah bergejolak pada masa Perang Dunia kedua. Negara yang kemudian terpecah menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur, namun sekarang sudah bersatu setelah komunisme runtuh di tahun 90-an.

Taman di kota Frankfurt ini cukup teduh. Sekarang sudah sedikit sekali taman-taman seperti ini di kota-kota besar. Namun pemerintah setempat agaknya memberikan kenyamanan bagi para penduduk, bahkan trotoar pun diperlebar agar membuat para pedestrian lebih nyaman. Beberapa pohon dedaunannya mulai rimbun pertanda musim panas sudah pada puncaknya, sebentar lagi akan datang musim gugur, kemudian disambut dengan musim dingin. Sebenarnya Safuan ingin lebih lama lagi untuk bisa menikmati salju di Jerman, tetapi ia pasti akan mendapatkan teguran dari atasannya karena hal konyol itu.

Duduk di sebuah bangku sambil menikmati kesejukan taman kota yang bersih. Di sebelah Safuan ada bangku lagi dan di depannya ada sebuah pohon dengan dedaunan berwarna merah. Cuaca agak mendung hari itu. Safuan sangat beruntung hari ini taman terlihat sepi, bahkan rasanya ia ingin tiduran saja menikmati kesejukan dan kesunyian ini. Tadi sebelum masuk ke taman, ia melihat jalur trem ditanami rerumputan yang mana rerumputan tersebut dipotong dengan rapi seolah-olah ingin rasanya tiduran di atasnya. Tak jauh dari taman itu ada SKYLINE PLAZA dan sebuah patung dengan bentuk seperti orang yang berpikir. Patung itu kalau dilihat seperti sebuah wayang kulit raksasa dicat hitam. Di beberapa sudut taman terlihat beberapa rumah kaca. Terlihat beberapa anak kecil bermain sepeda di atas paving. Mereka memakai atribut lengkap seperti helm dan pelindung siku serta kaki. Safuan mengamati mereka hingga pandangannya berhenti ke bangku yang ada di sebelahnya. Dia melihat seorang gadis kecil duduk di sana. Kehadirannya sama sekali tak terdeteksi, entah kapan gadis kecil yang kemarin dilihatnya berada di studio milik Abelarch ada di sana sekarang.

"Hai?!" sapa Safuan.

"Hai," jawab Sheila.

"You are Sheila right? Abelarch grand daughter?" tanya Safuan.

"You're right, sir," jawab Sheila.

"Whoa, you can speak English!" Safuan takjub anak seperti dia bisa berbahasa Inggris. Baginya setidaknya ia tahu bahwa tidak setiap orang di Eropa tahu bahasa Inggris.

"I can speak Indonesia too. My mother teached me," ujar Sheila.

"Yang benar?" Safuan hampir saja tak percaya.

"Anda percaya sekarang? Mater mengajariku tiga bahasa sejak kecil. Dan aku menguasai semuanya," ujar Sheila dengan bahasa Indonesia.

Safuan sekarang menyadari bahwa anak ini sangat cerdas. Tak hanya pandai dalam bidang seni, tapi juga yang lainnya. Safuan jadi teringat tentang Johan. Tentu saja Johan pastinya lebih tua dari Sheila. Dia tersenyum sendiri memikirkan Johan.

"Kenapa om tersenyum sendiri?" tanya Sheila.

"Aku teringat dengan anakku," jawab Safuan.

"Oh ya?"

"Anakku itu ketika kecil suka sekali bermain bersama teman-temannya menjadi superhero. Kamu tahu kan superhero dengan bajunya yang keren, berjubah dan membela kebenaran?"

Sheila mengangguk. "Pasti anaknya sangat norak."

Safuan tertawa, "Betul, norak sekali. Ia bahkan sekarang tidak mau lagi memakai baju itu."

"Lho, kenapa?"

"Pensiun katanya," ujar Safuan masih sambil tertawa.

Sheila ikut tertawa sambil memegangi perutnya. Ia sungguh bersyukur bisa bertemu dengan orang yang bisa berbahasa Indonesia. Jadi ketika bercakap-cakap mengerti apa yang diomongkan. Sheila sepertinya tertarik dengan cerita anaknya Safuan ini.

"Apa sebutan nama superhero-nya?" tanya Sheila penasaran.

"Dia menyebut dirinya Kapten Bumi," jawab Safuan.

"Kapten Bumi?"

"Dia menamakan hal itu karena ingin melindungi bumi. Ia sangat marah dengan orang-orang yang merusak bumi. Bahkan anak-anak nakal yang merusak tanaman di taman saja ia pukuli karenanya," Safuan bercerita sedikit tentang Johan. "Dia anak yang pemberani, tapi sekali pun pemberani dia itu takut dengan kodok."

"Kodok?" Sheila heran serasa tak percaya.

"Iya, kodok," Safuan membenarkan. "Bisa dibayangkan superhero sekuat itu takut ama kodok?"

Sheila tergelak lagi.

"Ya, begitulah sang Kapten Bumi," ujar Safuan.

"Boleh aku berteman dengan dia?" Sheila tampak tertarik dengan cerita Safuan. Dalam bayangannya sosok anak yang bernama Kapten Bumi itu spesial. Mungkin lebih bisa dibilang unik. Mungkin akan jadi teman yang baik.

Safuan beberapa hari lalu merasakan sesuatu yang aneh dengan cuaca di Frankfurt. Kemudian ketika bertemu Sheila kemarin dia pun merasakan apa yang dirasakannya dulu. Seolah-olah planet ini menyukai gadis kecil ini. Ketika pulang dari studio kemarin memang ada sesuatu yang aneh, jalanan di luar tampak basah oleh hujan. Padahal ketika masuk ke studio cuaca cerah, bahkan prakiraan cuaca yang konon akurasinya sampai 90 persen pun mengatakan cuaca di Frankfurt cerah, namun entah mengapa hari itu bisa hujan. Tapi saat Safuan pergi keluar hujannya telah reda. Hatinya tergelitik apakah ada sesuatu dengan gadis kecil ini.

"Sheila, kenapa kamu ada di sini?" tanya Safuan.

"Tak ada apa-apa, aku hanya ingin sendirian untuk sementara waktu," jawab Sheila sambil menghela nafas.

"Kamu tak sekolah? Bukankah kata Abelarch kamu masuk tahun kedua di Grundschule?"

Sheila mengangguk. Dia tersenyum, namun Safuan tahu arti senyumannya itu. Senyuman seorang anak yang tidak ingin diketahui isi hatinya. Senyuman yang tidak tulus. Safuan tak ingin bertanya lagi. Pasti ada sesuatu yang terjadi di keluarganya, maka dari itulah ia tak ingin menceritakan kepada siapapun.

"Kamu sudah tahu tentang Indonesia?" Safuan mengalihkan topik.

"Tahu dari Mater. Tapi belum pernah ke sana," jawab Sheila masih dengan menampakkan senyumnya.

Safuan sebenarnya tak ingin melakukannya, tapi dia penasaran dengan apa yang terjadi dengan Sheila. Akhirnya dia pun menggunaka kemampuannya. Matanya terpejam kemudian dia berkata di dalam hatinya, "Bumi bicaralah! Jelaskan kepadaku siapa Sheila sebenarnya!"

Waktu berhenti. Bukan, melainkan kerja otak Safuan lebih cepat berkali-kali lipat. Sebagai seorang Geo Streamer dia memang bisa melakukan sesuatu yang tidak biasa. Dia telah menjadi Geo Streamer semenjak kecil. Dan hanya dia yang tahu efek samping dari menggunakan kekuatannya ini. Ia sangat kasihan kalau sampai Johan mengetahui efek samping dari kekuatan seorang Geo Streamer, maka dari itulah sampai sekarang ia tak pernah mengajari Johan tentang masalah ini. Dia kira belum saatnya anaknya itu mengetahui tentang Geo Streamer. Bumi berbicara dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh Safuan. Memori-memori bumi yang menyimpan tentang keberadaan Sheila pun diperlihatkan. Safuan sekarang berada di ruang empat dimensi di dalam otaknya. Dia melihat bagaimana bumi menampakkan visualisasi Sheila sedang berada di kamarnya bermain gitar. Dari petikan senar gitar itu muncul pita warna-warni melayang-layang di udara memenuhi kamarnya. Bumi bergetar setiap kali alunan nada itu berbunyi, seolah-olah mereka mengatakan kepada Safuan ingin selalu mendengar Sheila memainkan melodi-melodi indah ini. Apa yang ada di hadapan Sheila sekarang selain pita suara warna-warni adalah pita suara berwarna gelap pekat yang keluar dari dalam tanah.

Suara-suara dengungan merasuk ke dalam telinga Safuan. Dia seperti mendengar suara ikan paus. Jeritan-jeritan bumi yang menginginkan hujan turun. Angin tiba-tiba berhembus, seolah-olah seperti dipanggil oleh alunan musik dari Sheila. Getaran dawai gitarnya memberikan sinyal-sinyal kehangatan menggerakkan angin. Awan-awan pun berkumpul. Sebuah anomali tentang peristiwa alam kini terjadi, bukan sesuatu yang biasa terjadi ketika awan-awan gelap tiba-tiba hanya menutupi radius beberapa ratus meter di sekitar tempat Sheila berada. Awan itu menaungi Sheila, memberikan keteduhan di rumah barunya ini. Frankfurt yang tadinya cerah tiba-tiba mendadak menjadi gelap di tempat Sheila berada. Anomali ini makin aneh ketika secara tiba-tiba tetesan-tetesan air turun dari langit. Safuan begitu takjub melihat kejadian langka ini, semuanya diperlihatkan oleh memori dari planet ini kepadanya. Tapi Safuan tahu kalau ia terlalu lama berada di dalam memori ini akan membuat tubuhnya kehilangan tenaga. Ia tak mau tiba-tiba pingsan begitu saja di taman, terlebih di negeri orang yang ia bahkan tak punya sanak keluarga di sini. Akhirnya dengan sangat terpaksa Safuan menghentikan kemampuannya, keluar dari kabut ruang empat dimensi. Matanya pun terbuka dengan keringat bercucuran di dahinya. Ia seperti baru saja menempuh lari maraton. Dia pun menengok ke arah Sheila yang sekarang mulai beranjak pergi.

"Sheila, tunggu!" panggil Safuan.

Sheila membalikkan badan, "Ya, ada apa?"

"Aku tahu apa yang terjadi denganmu," ujar Safuan.

"Maksudnya?" Sheila tak mengerti apa yang dibicarakan oleh Safuan. Tahu apa yang terjadi dengan dirinya? Dirinya punya banyak rahasia. Gadis kecil dengan pemikiran dewasa sangat jarang, tapi apa yang terjadi dengan gadis ini memang di luar kebiasaan. Dia terlalu jenius.

"Kamu melihat pita warna-warni dari setiap bunyi yang keluar bukan?" tanya Safuan.

Sheila terhenyak. Lelaki yang ada di hadapannya ini mengetahui apa yang ia lihat. Dia semakin penasaran dengan pria dari Indonesia ini. "Bagaimana paman bisa tahu?"

Safuan melempar senyumnya. Sebuah guratan halus muncul di dahinya, sebuah senyum ikhlas yang dilemparnya membuat Sheila bisa melihat pita berwarna pelangi keluar dari tubuh Safuan. Detak jantung Safuan yang normal, sebuah kejujuran akan apa yang diucapkan oleh mulut seorang pria yang baru saja dikenalnya. "Aku tahu, itu saja. Mau kutraktir makan siang?" Ajak Safuan sambil melihat arlojinya.

"Ini terlalu awal untuk makan siang," ujar Sheila.

"Setidaknya, ijinkanlah aku untuk sekedar basa-basi. Kita bisa bicara banyak tentang Kapten Bumi kalau kamu tak keberatan," ajak Safuan sekali lagi.

Ajakan yang tidak biasa. Tapi Sheila terus mengamati semua pita warna-warni yang keluar dari tubuh Safuan. Semuanya berwarna pelangi. Tujuh warna itu terus keluar, menandakan bahwa Safuan bukan orang yang berbahaya. Sheila pun mengangguk.

"Kamu tahu restoran di dekat sini yang kira-kira bisa kita kunjungi?" tanya Safuan. Dia berdiri dari bangku tempat dia duduk.

"Aku tahu," jawabnya. "Ikuti aku!"

* * *

"Kamu tak pulang duluan?" tanya Zack kepada Kriez yang saat itu sedang sibuk-sibuknya mengaudit data.

"Aku sudah rencanakan itu. Kamu sendiri?" Kriez berbalik bertanya kepada Zack.

"Aku akan pulang kalau kalian semua sudah pulang. Ayolah Kriez, kamu butuh santai sejenak. Toh kerjaan kita tak akan kemana," Zack menutup laptopnya dan beranjak dari kursinya. "Aku mau ambil kopi. Kamu juga?"

Ponsel Kriez yang berada di atas meja berbunyi. Di layar muncul nama "Jamie". Ia segera mengangkat ponselnya dan menjawab panggilan tersebut. Kriez melambaikan tangan kepada Zack sebagai isyarat bahwa ia tidak butuh. Zack pun mengangkat bahunya dan meninggalkan sahabatnya itu.

"Hallo? Was ist los?" tanya Kriez.

"Kriez, bisa kamu cari Sheila? Hari ini ia membolos sekolah. Baru saja pihak sekolah menelponku dan katanya Sheila tidak ikut kelas satu pun," jawab Jamie di seberang sana.

Kriez mengernyitkan dahi. "Unmöglich!"

"Ini betul-betul terjadi," kata Jamie.

"Aku harus cari kemana?" Kriez pun bingung.

"Kamu tahu di mana ia biasanya bermain?"

"Mana aku tahu, kita baru saja pindah bukan? Ia bahkan tak punya teman di Frankfurt."

"Kriez, kamu ayahnya. Harusnya kamu lebih perhatian kepada putrimu!"

"Aku memang ayahnya tapi aku tidak di rumah, kamulah yang sering berinteraksi dengan dia. Seharusnya kamu yang lebih memperhatikan dia."

"Baiklah, apakah ini artinya aku yang harus mencari Sheila?"

"Tentu saja. Dia pasti tidak akan pergi jauh. Dasar, kenapa dia bisa senakal itu sekarang."

"Kriez, Sheila tidak nakal. Ia pasti punya alasan kenapa melakukan itu!"

"Hubungi aku kalau kamu menemukannya."

"Kriez...!?" suara Jamie di telepon terputus. Kriez mengacak-acak rambutnya. Kenapa putrinya bisa sampai melakukan hal seperti itu? Apa alasannya? Kalau ditanya Sheila pergi ke mana, ia memang tidak tahu.

Zack sudah kembali dari pantry mengambil kopi di sebuah gelas plastik. Dilihatnya wajah Kriez yang kusut. Zack yang sangat peduli itu pun penasaran, "Ada apa?"

"Sheila membolos dari sekolahnya," jawab Kriez. "Aku mau mencarinya. Kira-kira kamu tahu taman yang tidak jauh dari tempat ini? Maksudku dari sekolah tempat Sheila."

"Ada taman di dekat SKYLINE PLAZA kalau kamu ingin ke sana," ujar Zack sambil menerima pesan masuk di ponselnya. Dari Safuan.

"Coba tebak aku dengan siapa? Sheila cucunya Abelarch. Kami sedang makan siang. Perlu aku antar ke kantormu?"

Zack mengernyitkan dahi. Dia bertanya-tanya bagaimana Safuan bisa bersama dengan Sheila. Kriez segera pergi dari ruangannya. Zack kemudian segera memanggil Kriez, "Tunggu dulu Kriez!"

Kriez berbalik, "Ada apa?"

"Temanku bersama dengan Sheila," jawab Zack.

"Temanmu, bagaimana bisa? Bagaimana ia bisa tahu tentang Sheila?" Kriez penasaran tentu saja. Ia sendiri tak kenal dengan temannya Zack, bagaimana temannya Zack bisa tahu tentang Sheila.

"Kamu tahu kemarin ketika di studio seni milik papamu kami bertemu. Sheila langsung menyita perhatian. Kalau mau ia bisa mengantarkan Sheila ke kantor ini," ucap Zack.

"Tidak perlu, biar aku susul. Di mana dia sekarang?"

"Sebentar!" Zack berisyarat dengan jari telunjuknya. Kemudian ia langsung menghubungi Safuan. "Hello, Safuan. Where are you right now? Oh, I see. OK. The father will pick her up. OK, bye."

Kriez mengangkat dagunya. "Jadi?"

"Dia ada di kafe di SKYLINE PLAZA, katanya kalian pernah makan siang di sana dulu," terang Zack.

Kriez mencoba mengingat-ingat. Ah, dia pun ingat sekarang. Beberapa waktu lalu dia pernah mengajak Sheila makan di sebuah kafe di SKYLINE PLAZA ketika mengantarnya pulang dari sekolah. "Baiklah, aku akan ke sana," Kriez kemudian langsung beranjak pergi. Bagi Kriez, anak sekecil Sheila sendirian di luar sana dengan ditemani oleh orang asing sangat berbahaya. Pikiran Kriez langsung diisi dengan hal yang tidak-tidak.

"Jangan khawatir, Safuan orangnya bisa dipercaya," terdengar suara Zack di belakang Kriez.

Sekali pun sahabatnya bilang seperti itu, tetap saja hatinya tidak nyaman. Namun nama Safuan sepertinya tidak asing. "Aku sepertinya pernah mendengar nama itu."

"Oh ya? Apa kalian pernah bertemu?" tanya Zack yang sepertinya surprise.

"Ah, entahlah. Aku lupa," Kriez pun melenggang pergi untuk menjemput Sheila.

* * *

"Wah, berarti hubungan kalian sangat dekat yah sebagai ayah dan anak?" tanya Sheila.

Ajaibnya adalah Safuan bisa ngobrol dengan leluasa bersama Sheila, seolah-olah mereka berdua adalah teman lama. Safuan banyak bercerita tentang Indonesia, hal itu membuat Sheila sangat tertarik. Safuan juga menceritakan bagaimana hubungan dia dengan Kapten Bumi. Sheila agak iri mendengarkan bagaiman Johan yang ketika kecil selalu menunggu Safuan pulang dari kantor. Safuan juga bercerita bagaimana Johan yang tidak akan mengambil makanan sebelum dirinya memulai lebih dulu. Sekali pun si Kapten Bumi adalah anak nakal tapi ia tetap menjadikan orangtuanya sebagai orang nomor satu.

"Ah, aku ingin berkenalan dengan Kapten Bumi," gumam Sheila. "Sepertinya anaknya menyenangkan. Jarang aku punya teman seperti anak itu. Rata-rata teman-temanku tidak melihat dunia dengan cara mereka sendiri. Mereka melihat dunia seperti apa yang diinginkan oleh orang lain."

"Aku juga tidak melihat dunia ini seperti apa yang diinginkan oleh orang lain," ujar Safuan.

"Ya, Anda memang orang yang spesial. Katakan bagaimana Anda bisa mengetahui kalau aku melihat pita warna-warni setiap ada bunyi?" Sheila masih penasaran.

Safuan tersenyum. Dia ingin sekali mengejawantahkan apa yang ada di otaknya sekarang ini, tapi sepertinya hal itu tak akan bisa dimengerti oleh gadis kecil ini. Safuan ingin mengalihkan pembicaraan, namun sepertinya tatapan mata Sheila tidak menyiratkan hal itu. Ia ingin jawabannya sekarang.

"Baiklah, tapi bukan aku yang menjelaskannya," ujar Safuan.

"Bukan Anda? Lalu siapa?" Sheila kebingungan.

"Kapten Bumi. Dia yang akan menjelaskannya kepadamu suatu saat nanti. Aku yakin kalian akan bertemu suatu saat nanti," terang Safuan. Tak ada sorot keraguan di mata Safuan. Dia yakin gadis kecil ini akan bertemu dengan Johan di masa depan.

Sheila mendengus kesal. "Baiklah, ternyata jawabannya harus bertemu dengan anak itu, ya?"

Safuan mengangguk.

"Baiklah, aku akan mencari anak itu. Setiap melodi yang aku mainkan dengan gitarku, akan aku persembahkan untuknya," ujar Sheila yakin.

"Kenapa begitu?" tanya Safuan.

"Sebab, mungkin dengan hujan yang mengguyurnya, kami akan semakin dekat," Sheila kemudian menghabiskan minuman cola miliknya hingga habis. Safuan melihat makanan yang ada di nampan gadis kecil ini juga sudah habis. Cukup lama juga mereka mengobrol, hingga tak terasa ada seorang wanita yang mendatangi mereka.

"Sheila!" panggil wanita itu.

"Mater?" Sheila terkejut. "Bagaimana kamu bisa ada di sini?"

"Aku ibumu, jelas saja aku tahu kamu ada di mana. Ibu hanya tinggal mencari taman di dekat sekolahmu, lalu mencari restoran cepat saji yang pernah kamu kunjungi bersama papamu. Dan dugaanku benar, kamu ada di sini. Dan kenapa kamu bicara dengan bahasa Indonesia? Siapa lelaki ini?" Jamie bicara panjang lebar dan mulai menginterogasi.

"Saya Safuan, dari Indonesia. Dan saya kebetulan bertemu dengan putri Anda di taman, lalu saya ajak makan di sini. Kami kemarin bertemu di Studio milik Abelarch," jawab Safuan. "Anak Anda luar biasa berbakat di bidang musik. Saya yakin ia akan jadi seniman hebat suatu saat nanti."

Wajah Jamie berbinar-binar. Ia seperti baru menemukan oase di tengah padang pasir. Bertemu dengan orang yang satu negara dengan dia merupakan kejutan yang tak terduga. "Anda dari Indonesia? Saya Jamie. Kita sama."

"Iya, Sheila tadi sudah bicara banyak," terang Safuan. "Ah, iya. Lapar? Kita bisa pesan lagi."

"Tidak, saya langsung pergi saja, lagipula Sheila harus dihukum karena bolos sekolah," Jamie menolak dengan halus.

Safuan menggeleng, "Tidak, tidak, jangan! Ada alasan-alasan kenapa dia melakukan ini. Maklumilah, dia anak-anak. Coba bicarakan lebih lanjut dengannya. Pasti Sheila akan menceritakannya."

"Jamie? Sheila?" Seorang lelaki menghampiri mereka. Saat itulah Safuan langsung mengenali siapa lelaki itu.

"Wah, papa?!" seru Sheila yang langsung memeluk papanya. Jamie terkejut dengan kedatangan

"Kriez?" sapa Safuan.

"You are....Safuan?" sapa Kriez balik. "The man from Indonesia?"

"Yes, you are correct!" Safuan menjabat tangan Kriez.

Seketika itu dahi Kriez berkeringat. Bukannya takut dengan Safuan, tapi takut kalau Safuan menyinggung apa yang mereka ketahui bersama. Saat pertemuan mereka terakhir kali, Brenda bersama Kriez checkout dari hotel dan Safuan ada di antara mereka. Kriez menelan ludah. Ia tak mungkin mencegah Safuan berbicara hal itu, Jamie ada di sini dan dia pasti curiga. Lagipula kenapa ia harus melarang Safuan melarang bicara? Itu hak dia. Kriez hanya perlu membangun alibi dan membela dirinya. Tapi tentunya itu sama saja akan membuatnya ketahuan. Dia memang sial bertemu dengan orang Indonesia ini.

"So, this is your husband then?" tanya Safuan kepada Jamie. Kriez saat itu menatap tajam ke arah Safuan. Ia bersumpah akan menggorok leher Safuan kalau sampai Safuan berkata yang aneh-aneh tentang dia di hotel bersama Brenda.

"Yes, how do you know each other?" tanya Jamie.

"Well, Zack is my friend. So, from him I knew Kriez," jawab Safuan. Jawaban diplomatis ini membuat Kriez selamat. Tapi setidaknya ada sesuatu yang membuat Safuan melakukannya tapi entah apa.

"Ach so," Jamie mengangguk-angguk. "Baiklah, aku akan mengantar Sheila pulang kalau begitu. Sheila, ayo pulang! Kita harus bicara!"

Dengan lesu Sheila pun menurut. Wajahnya tampak murung. Memang baru kali ini Sheila membolos sekolah. Benar kata Safuan, ada sesuatu yang menyebabkan ia berbuat seperti itu. Dan sepertinya Safuan mengetahui sesuatu. Jamie ingin sekali mengetahui apa penyebab Sheila berbuat seperti ini dari Sheila langsung. Ia tak mau merepotkan orang lain termasuk Safuan. Setelah Jamie membawa Sheila pergi, Kriez dan Safuan hanya menatapi mereka pergi saja.

"Well, aku juga akan pergi," ujar Kriez.

"Silakan, sampai nanti," Safuan menyalami Kriez sebelum mereka berpisah.

Kriez tak membahas tentang masalah pertemuan mereka di hotel. Tapi sikap Safuan ini membuat ia waspada terhadap Safuan. Dan karena inilah ia tidak suka kepada Safuan. Ia lebih memilih untuk menghindarinya nanti. Sementara Safuan berkata dalam hati, "Jadi, dia punya istri tapi check-in dengan orang yang bukan istrinya di hotel. Aku tak mau ikut campur urusan mereka."

* * *

Sheila dan Jamie sudah sampai di rumah. Mereka sepanjang perjalanan hanya terdiam saja. Mereka berdua pulang dengan menggunakan taksi. Tak ada satu kata pun yang terucap. Sheila tampak murung. Hanya ia yang mengerti tentang apa yang terjadi.

"Sheila, sebelum ke kamarmu mama ingin bertanya satu hal, kenapa kamu melakukan ini?" tanya Jamie menginterogasi putrinya.

Sheila menghela nafasnya. "Mater janji tak akan marah?"

Seorang anak kecil akan membuat perlindungan sendiri untuk dirinya sebelum berkata jujur. Itu sudah pasti. Jamie mengetahui sifat anaknya. Sheila tak pernah berbohong, ia pun mengerti maksud Safuan. Ada sesuatu rahasia besar yang Sheila tak ingin siapapun tahu. Hal inilah yang menyebabka Sheila tidak masuk sekolah hari ini. Seumur hidup, baru kali ini Sheila membantah. Sesuatu terjadi. Dan Jamie menyesal bertanya kepada Sheila.

"Tidak sayang, katakan ada apa?" desak Jamie.

"Sejujurnya, Sheila tidak seperti anak lain pada umumnya. Sheila bisa melihat suara," ujar Sheila.

Jamie sedikit heran. Ia tak salah mendengar kata "melihat" pada Sheila. "Baiklah. Teruskan!"

"Dan Sheila bisa melihat pita warna-warni keluar dari setiap sumber suara. Setiap hari Sheila melihatnya, bunyi apapun Sheila melihatnya, pita-pita itu keluar begitu saja. Seperti suara mama, suara papa, suara mobil, suara burung berkicau, hembusan angin yang menabrak pepohonan sehingga dedaunannya bergemerisik, suara televisi, suara ketukan jendela, suara binatang-binatang malam, suara musik, Sheila bisa melihat itu semua. Semakin indah suaranya maka Sheila melihat warna pelangi keluar dari suara itu, warna yang sangat indah," terang Sheila.

Jamie menelan ludah. Ia baru mengetahui hal ini. "Sejak kapan kamu bisa melihatnya?"

"Entahlah mama. Sejak aku lahir mungkin," ucap Sheila.

"Mein Gott, kenapa kamu tak pernah bilang kepada mama?"

"Mama pasti tak akan percaya kepadaku."

"Tidak sayang, mama percaya. Kamu seorang anak yang spesial. Sini mama peluk!" Jamie kemudian memeluk putrinya. Sheila merasa nyaman dalam pelukan ibunya. Ia akan memeriksakan putrinya ke psikiater terdekat. Apakah anaknya benar-benar melihat atau sekedar berhalusinasi.

Setelah pelukan itu, Jamie kembali bertanya, "Sekarang, jelaskan kepada mama. Kenapa kamu membolos?"

Wajah Sheila tampak makin murung, "Papa berbohong."

Hati Jamie tersentak. Berbohong. Maksudnya?

"Apa maksudnya?" Jamie makin penasaran.

"Sheila bisa melihat seseorang berbohong atau tidak. Ketika dia jujur maka akan keluar pita dengan warna-warna yang indah pada diri mereka. Tapi ketika berbohong, maka akan keluar pita berwarna gelap. Bahkan ketika kebohongannya sangat besar, maka warnanya adalah hitam pekat," terang Sheila. "Dan papa berbohong. Maka dari itulah setelah papa tadi mengantar Sheila ke sekolah, Sheila tidak masuk. Aku berusaha mengikuti papa."

"Bagaimana kamu mengikuti papamu?" tanya Jamie.

"Dengan taksi," jawab Sheila.

"Kamu punya uang untuk itu?"

Sheila mengangguk, "Aku tak pernah memakai uangku mama."

"Ach so," Jamie mengangguk.

"Dan aku melihat papa masuk ke hotel. Di sana papa menemui seorang wanita," setelah itu Sheila diam. Jamie terperanjat. Pasti Brenda yang berada di dalam SMS itu. Pasti maksud dari malam yang hebat adalah malam di mana Kriez dan Brenda bersama-sama. Hati Jamie rasanya terkoyak. Ia menatap Sheila. Gadis kecil ini tahu tentang kebohongan dan tidak. Tapi Jamie masih waras. Ia ingin membuktikan bahwa perkataan Sheila benar atau tidak.

"Baiklah, sebelum kita bahas lebih lanjut, kamu jangan ceritakan hal ini kepada siapapun. Ikut mama sekarang!" Jamie menggandeng tangan putrinya untuk keluar rumah lagi.

Kali ini mereka pergi ke seorang psikiater yang tidak jauh dari rumahnya. Dengan berjalan kaki keduanya pun akhirnya sampai. Psikiater ini bernama Dr. John Siegfried. Begitu masuk ke tempat prakteknya, Jamie langsung disambut oleh asistennya. Setelah berbasa-basi sejenak, Jamie akhirnya langsung disuruh masuk karena memang tak ada pasien saat itu.

Ruangan praktek Dr. John tidak seperti ruangan dokter pada umumnya. Maklum, dia lebih menangani penyakit jiwa daripada penyakit fisik. Bentuk ruangannya seperti sebuah kantor atau ruang belajar yang nyaman. Di lantainya sendiri dilapisi karpet berwarna merah. Di belakang mejanya ada sebuah rak buku. Banyak di antara buku-buku ini tidak dimengerti oleh Jamie, dengan membaca judulnya saja ia langsung pusing. Sebuah jam pasir ada di atas meja sang psikiate, entah apa maksudnya meletakkan jam itu di sana. Sebuah pendulum dengan lima bola yang berhimpitan juga ada di atas meja. Tak ada poster, tak ada foto di ruang praktek ini. Namun yang jelas, Jamie sekarang duduk di sebuah kursi yang nyaman. Di ruangan itu juga ada sebuah kursi sofa yang panjang. Tidak ada satu penjelasan apakah sofa itu juga untuk pasien atau pengunjung.

Sebuah pintu yang ada di samping terbuka. Muncullah seseorang dari sana. Dia adalah Dr. John Siegfried tentu saja. Bajunya tidak terlalu formal. Hanya memakai kemeja biru dengan celana abu-abu. Badannya tinggi hingga membuat Jamie sedikit mendengak. Sang psikiater menyalami Jamie.

"Saya Dr. John Siegfried, silakan duduk!" ucap Dr. John.

"Saya Jamie. Saya ingin bertanya tentang sesuatu yang terjadi pada anak saya, Sheila," Jamie menoleh ke arah Sheila.

"Oh, apa yang terjadi dengan dirinya?" tanya Dr. John dengan antusias.

Jamie kemudian bercerita tentang apa yang terjadi kepada Sheila. Dr. John setelah itu melakukan beberapa pemeriksaan dan pertanyaan kepada Sheila. Kebanyakan Dr. John menyuruh Sheila menceritakan apa yang dia lihat. Dari situlah akhirnya Dr. John bisa mengambil kesimpulan. Dia dengan telaten mencatat di bukunya. Setelah itu dia membuka laptop kemudian mencari-cari sesuatu di internet. Ia pun mengangguk-angguk tanda telah mempunyai kesimpulan.

"Mrs. Jamie. Saya akan memberikan Anda kabar gembira," ujar Dr. John.

"Kabar gembira?" Jamie sedikit bingung.

"Putri Anda tidak apa-apa, dia sehat. Bahkan sangat unik. Apa yang dia rasakan, apa yang terjadi kepada dia sekarang ini adalah kejadian langka. Boleh dibilang dia ini autis, mengalami sebuah sindrom yang disebut sebagai savant syndrome. Sindrom ini bisa membuat ia sangat pintar atau bahkan sangat idiot. Tapi putri Anda sangat pintar. Dari cerita dia barusan, aku mendapatkan kesimpulan bahwa putri Anda sangat cerdas. Pintar di bidang musik, matematika, bahkan ia sangat mudah menghafal sesuatu. Ada seseorang yang memang bisa melihat suara. Kalau Sheila juga mengalaminya berarti dia memang anak yang sangat spesial. Support dia dan awasi terus perkembangannya. Anak-anak seperti dia suatu saat akan jadi orang yang besar," terang Dr. John.

"Jadi, apa yang dia lihat itu bukan halusinasi?" tanya Jamie.

"Saya pastikan tidak. Dia berkata jujur. Anda tak perlu takut. Ia akan tumbuh seperti anak-anak lain yang hidupnya normal. Akan mengalami masa-masa puber, akan mengalami masa-masa yang sama seperti anak-anak pada umumnya. Kemampuannya yang langka ini adalah anugerah. Biasanya orang yang terkena savant syndrome terjadi ketika mereka baru saja terkena cedera, tapi yang terjadi kepada Sheila sangat lain. Dia sudah mengalaminya sejak lahir," lanjut Dr. John.

Jamie menatap ke arah Sheila. Gadis ini tersenyum kepadanya. Namun inilah yang ditakutkan oleh Jamie. Sheila berkata jujur. Itu artinya Sheila benar-benar melihat Kriez berselingkuh. Hati Jamie bergemuruh. Sedih, marah, bercampur menjadi satu. Tapi ia harus kuat, ia harus sabar. Semua demi Sheila. Sayangnya Jamie tidak sekuat itu.

* * *

________________

Dari author:

kosakata asing

Durchstechen: menusuk.

Was ist los?: Ada apa?

Unmöglich: Mustahil

Tentang savant syndrom sudah pernah saya bahas di bab sebelumnya. Bab ini awal mula Jamie mengetahui perselingkuhan suaminya. Bagaimana kalau mereka semua bertemu dalam acara makan malam? Next Chapter Pasionate Stare.

Makin jelas kan arah ceritanya? ;)

Kemudian seperti biasa, saya tetap menantikan voments kalian. ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top