15 | Clockwise part 3 - Geben des Lebens

Lea dan Sheila menikmati es krim. Mereka berdua sedang berada di sebuah cafe sehabis pulang dari sekolah. Dan satu orang lagi yang bersama mereka adalah Abelarch. Papa Bart, berjanji ingin mengajak Sheila ke studio miliknya untuk melihat beberapa lukisan hasil karyanya. Namun di jalan mereka mampir dulu untuk menikmati semangkuk es krim lezat, bertabur biji permen. Agaknya Abelarch memahami bahwa anak-anak seusia mereka perlu lebih banyak kalori daripada orang seusianya. Abelarch sendiri sebenarnya sekarang mencoba untuk menikmati kopi kental tanpa gula. Tapi sepertinya ada yang kurang, ia tak tahu apa. Beberapa hari setelah dari rumah Kriez, Abelarch memang mencoba untuk menikmati kopi. Hanya saja rasa kopinya tidak seperti apa yang dibuat Jamie. Abelarch tak tahu kenapa.

Dan seperti biasanya Abelarch masih menghindari bertemu dengan putranya. Ia tahu bahwa putranya tidak akan memaafkan atas apa yang terjadi kepadanya beberapa tahun yang lalu. Bahkan mungkin putranya sudah tidak lagi ingin mendengarkan penjelasannya lalu buat apa ia harus bertemu dengan putranya lagi dan bertengkar. Kriez mengetahui dia datang ke rumah untuk menemui Sheila, ia membiarkan hal itu. Wajar seorang kakek yang rindu dengan cucunya. Bahkan ketika Sheila minta ijin karena Abelarch ingin mengajaknya untuk melihat-lihat studionya, ia pun mengijinkan. Pekerjaan Kriez membuat ia sedikit lebih banyak menghabiskan waktu untuk lembur. Terkadang ia pulang larut malam sekali.

"Opamu baik ya?" ujar Lea menikmati suapan es krim kesekian kalinya.

"Iya, opa memang baik," jawab Sheila yang menjilati sendok es krim coklatnya.

"Ah, rasanya aneh," gumam Abelarch.

"Opa tak apa-apa?" tanya Sheila.

"Tak apa-apa, hanya saja rasa kopinya tak seperti kemarin," jawab Abelarch.

"Oh ya, opa. Ceritakan apa yang ada di studio!" desak Sheila.

"Nein, aku ingin kamu melihatnya sendiri. Aku tak ingin sesuatu yang seharusnya menjadi kejutan malah tidak menjadi kejutan. Kalian sudah makan es krimnya?" tanya Abelarch sambil melihat arlojinya.

Sheila mengangguk. Lea buru-buru menghabiskan suapan terakhirnya. "Kami selesai!"

Setelah dari kafe, mereka pun menempuh perjalanan dengan menggunakan mobil cadilac tua milik Abelarch. Di salah satu sudut kota Frankfurt ada sebuah studio seni milik Abelarch, bernama Der Abstract. Studio itu cukup besar, yang biasanya digunakan untuk pameran beberapa seniman. Begitu masuk ke dalamnya, mereka langsung disuguhi berbagai lukisan abstrak serta foto-foto yang dibuat dengan sentuhan profesional. Abelarch yang memang seorang seniman lukis ini yang merancangnya. Saat nama Abelarch Berg besar dulu, studio ini didapatkannya dengan mudah. Setelah ia berhasil melelang beberapa lukisannya dengan harga yang fantastis, ia pun mendirikan studio ini. Hampir setiap hari studio ini buka. Di tempat ini juga ada orang-orang dari seni teather menggunakannya. Tentunya masih dalam asuhan Abelarch, demikian juga dengan klub fotografi serta klub lukis yang terkadang Abelarch sendiri yang mengajarkannya pada kelas khusus.

"Jadi ini studionya? Keren!" seru Lea.

"Aku sudah dua kali ke sini tapi serasa baru pertama kali," ujar Sheila.

Abelarch melihat seorang pengurus studio menghampirinya. Dia seorang perempuan dengan rambut dikepang. Ada sommersprosen di hidung dan di bawah matanya. Membuat gadis ini lebih terlihat menarik bagi sebagian orang.

"Guten Tag, Mister Abelarch?!" sapa gadis tersebut.

"Ah, Gina. Guten Tag. Ada apa?" sahut Abelarch.

"Ada tamu di ruangan Anda," jawab Gina.

"Oh ya, sebentar. Gina, kenalkan ini cucuku dan temannya," Abelarch menunjukkan Sheila dan Lea.

"Aku Sheila," sapa Sheila.

"Aku Lea," sapa Lea.

"Wah, mereka cantik-cantik. Ngomong-ngomong apa kamu sehebat opamu?" ledek Gina dengan tersenyum.

"Kamu jangan salah, Sheila punya bakat yang luar biasa dalam bidang musik," ujar Abelarch.

Gina berkacak pinggang, "Baiklah Sheila, tunjukkan kepadaku kemampuanmu."

"OK, siapa takut," ujar Sheila.

"Baiklah kalian bersenang-senang dulu ya, aku harus ke ruanganku," Abelarch undur diri.

Sheila, Lea dan Gina pun kemudian masuk ke studio musik, sementara Abelarch pergi meninggalkan mereka untuk masuk ke sebuah ruangan yang khusus. Di atas papan pintu ada tulisan "ABELARCH BERG". Ketika masuk Abelarch mendapati dua orang ada di ruangan yang dimodel cukup unik itu. Kursi sofanya berbentuk seperti lekukan angka 8, dinding-dindingnya ada buku-buku yang mana raknya diatur mengikuti bentuk dari lukisan yang ada di dinding. Di salah satu sudut dinding bahkan ada lukisan kota Frankfurt dari atas.

"Guten Tag. Oh, siapa tamu kita ini?" sapa Abelarch.

"Saya Zack, teman sekantor putra Anda," jawab seorang pemuda gagah dengan jas abu-abunya.

Abelarch langsung menyalami, "Ah, teman Kriez. Satu kantor dengan Kriez?"

"Satu ruangan lebih tepatnya dan ini teman saya dari Indonesia. Namanya Safuan," ujar Zack memperkenalkan orang yang ada di sebelahnya.

"Indonesia, negeri yang jauh. Menantuku juga dari sana," ujar Abelarch sambil duduk di depan mereka.

"Oh ya?" tampak Zack agak terkejut. Ia tak menyangka teman sekantornya itu punya istri dari Indonesia.

"Apakah teman kita Safuan ini bisa bahasa Jerman?" tanya Abelarch.

"Tidak, ia tidak bisa. Kami berkomunikasi dengan bahasa Inggris," jawab Zack.

"Aku tidak bisa bahasa Inggris," Abelarch tergelak kemudian Zack juga ikut tertawa. Sedangkan Safuan hanya cengar-cengir tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan. Setelah itu Zack menjelaskan apa yang terjadi dengan bahasa Inggris. Barulah Safuan mengerti.

"Begini, langsung saja. Tadi ketika di kantor aku bertanya kepada Kriez apakah aku bisa mendapatkan lukisan yang bagus dari orang seperti dirimu. Kurasa nama besar Abelarch Berg bukan nama sembarangan bukan? Maka dari itulah temanku Safuan ini ingin punya sesuatu dari kunjungannya ke Frankfurt ketika kembali ke Indonesia nanti," terang Zack.

"Ach so, baiklah. Aku ada beberapa koleksi lukisanku yang memang belum terjual. Ayo ikut, siapa tahu kalian bisa tertarik!" Abelarch mengajak Safuan dan Zack. Mereka keluar dari ruangan pribadi Abelarch menuju ke sebuah ruangan yang disebut sebagai tempat Abelarch bekerja.

Ruangan ini ada tepat di samping kantornya. Begitu masuk bau cat menguar. Beberapa kanvas putih kosong masih tertumpuk dan tergeletak di pojok ruangan. Ada banyak lukisan-lukisan yang terpajang di dinding, beberapanya ditumpuk di sebuah rak, dan sebagian lainnya ada di pinggir ruangan. Abelarch kemudian menunjuk ke sebuah tumpukan kanvas yang telah diisi dengan lukisan. Ada sebuah lukisan yang cukup menyita perhatian dan itu terpampang di dinding. Safuan bergerak ke lukisan tersebut.

"Apa judul lukisan itu?" tanya Zack sambil menunjuk lukisan yang ada di depan Safuan.

"Aku beri judul 'Geben des Lebens'," jawab Abelarch. "Lukisan ini beraliran naturalisme. Satu-satunya lukisanku yang mencoba di aliran ini. Coba lihat kebanyakan lukisanku beraliran abstraksionisme dan surealisme. Hanya lukisan ini saja yang kucoba untuk memakai naturalisme."

"Memberi kehidupan yah?" gumam Zack. Dia pun berdiri di samping Safuan mengamati lukisan seekor burung yang sedang memberi makan anak-anaknya.

"Kalian tahu terkadang kita berada di tempat yang tidak semestinya. Tapi terkadang dengan begitu kita malah memberikan kehidupan bagi orang lain. Lukisan ini aku buat ketika aku berpisah dengan istriku," ujar Abelarch.

"Oh, itu. Aku turut berduka," ucap Zack.

"Itu sudah beberapa tahun yang lalu sebelum Sheila lahir," terang Abelarch.

Safuan kemudian menunjuk lukisan itu sambil bertanya berapa harganya.

"Lukisan itu tidak dijual," jawab Abelarch.

Seketika itu muncul raut kekecewaan di wajah Safuan ketika Zack menterjemahkan apa yang diucapkan oleh Abelarch. Safuan menggeleng-geleng tak percaya, padahal ia sangat ingin lukisan itu.

"Kamu bisa membeli yang lain tapi jangan yang itu, sebab itu satu-satunya kenanganku bersama istriku," terang Abelarch. Ia mengelus-elus jenggotnya yang panjang.

Safuan menghela nafas. Ia kemudian mulai melihat-lihat lukisan yang lainnya tapi sepertinya tak ada yang menarik. Ia kemudian berbicara kepada Zack, rasanya tidak ada lukisan yang lebih baik selain itu. Dan apa yang dicarinya tak ada. Zack kemudian menerjemahkan apa yang diucapkan oleh Safuan.

Abelarch menatap lukisan itu, ia tahu bahwa lukisan ini adalah satu-satunya peninggalan dari istrinya yang sangat berharga. Tak mungkin ia melepaskannya begitu saja. Dan syukurlah Safuan bisa mengerti akan hal itu. Abelarch kemudian menatap kedua tamunya, "Bagaimana tuan-tuan apa ada yang lain?"

"Kurasa cukup, mungkin lain kali," terang Zack.

"Ah iya, aku mau melihat cucuku bermain musik. Barangkali kalian mau ikut?" tanya Abelarch.

Zack menjelaskan apa yang dikatakan Abelarch kepada Safuan. Safuan mengangguk. Ia juga ingin tahu apa yang dimiliki oleh Sheila. Mereka kemudian masuk ke ruangan musik yang letaknya berada di lantai dua. Studio seni milik Abelarch mempunyai anak tangga yang unik. Bentuk anak tangganya melingkar namun tanpa pegangan. Pijakannya terbuat dari kaca anti gores dengan ketebalan 10 cm. Bahannya sengaja dipilih dari bahan kaca pilihan yang untuk mendatangkannya saja menghabiskan jutaan Euro. Dulu Abelarch bisa membeli itu dengan mudah, sekarang ia hanya bisa menikmati apa yang ada. Ia tak setenar dirinya dulu ketika masih muda.

Ruangan musik langsung dikenali ketika ada tanda not balok di atas pintunya. Segera saja Abelarch dan yang lain memasuki ruangan yang dirancang kedap suara tersebut. Di dalamnya kaki mereka langsung menyentuh lantai yang sudah dilapisi oleh karpet coklat. Di sudut-sudut tembok ada pengeras suara yang dipasang mengelilingi ruangan. Di sini ada beberapa ruangan kubus yang berisi beberapa instrumen musik, biasanya digunakan oleh murid-murid yang memang ingin fokus belajar instrumen itu. Di antaranya drum, gitar, saxofon, piano dan biola. Sheila ada di ruangan terbuka dan sedang memainkan piano. Di sekelilingnya ada banyak anak-anak yang melihatnya serta beberapa pelatih yang terkesima dengan cara dia membawakan piano.

Untuk beberapa menit lamanya Sheila memainkan lagu karangannya sendiri. Melodi-melodi indah yang dihasilkan dari tuts-tuts piano pun menggema ke seluruh ruangan. Telinga-telinga manusia yang mendengarkannya seakan-akan terhipnotis oleh alunan nadanya. Untuk kesekian kalinya Abelarch menyadari bakat terpendam yang dimiliki oleh Sheila. Seorang gadis kecil yang akan menjadi calon artis ternama suatu saat nanti. Namanya akan terkenal di seluruh dunia. Kemarin ketika petikan senar gitar dimainkan dengan jari-jari kecilnya pun bisa menghasilkan melodi-melodi indah dan sekarang piano pun menghasilkan suara yang sama. Dan tak terasa lagunya pun berakhir. Seketika itu suara riuh tepukan tangan ada di mana-mana. Ternyata di ruangan tersebut ada banyak manusia sedang melihat konser mini dengan sang artis kecil sebagai bintang utamanya.

Sheila tersenyum manis dan sedikit tersipu-sipu. Safuan sangat takjub melihat pertunjukan itu. Ia pun bertepuk tangan dengan semangat memberikan aplause untuk gadis cilik itu.

"Aku tertarik menjadikan dia sebagai menantuku kelak," celetuk Safuan kepada Zack.

"Hahahaha, kamu bisa aja," Zack tertawa.

"Jadi, ada rencana memperluas perusahaanmu sampai ke Indonesia, Zack?" tanya Safuan mengingatkan kembali tentang impian Zack.

"Tentu saja, tapi aku baru saja mendirikan perusahaan sekuritasku di sini. Mungkin nanti kalau misalnya dua tahun atau empat tahun lagi," ujar Zack. "Karena kamu tahu sendiri negaramu susah untuk ditembus perusahaan Eropa seperti kita."

"Untuk soal itu aku bisa memperkenalkanmu kepada atasanku. Dia akan mempermudah segala urusannya. Kita sudah lama berteman, paling tidak aku bisa mewujudkan salah satu impianmu," ucap Safuan.

"Bagaimana? Hebat bukan Sheila?" celetuk Abelarch.

"Ya, sangat hebat," Zack menyetujuinya.

"Aku yakin cucuku akan jadi seniman nomor satu di dunia suatu saat nanti. Aku yakin itu," gumam Abelarch.

"Keluarga Berg memang banyak berdarah seniman. Kalau Anda tahu sebenarnya sebagian besar ruangan yang ada di kantor dirancang oleh Kriez. Bakat seni memang turunan," terang Zack.

Abelarch tertawa, "Anak itu menyia-nyiakan bakatnya kamu tahu? Sia-sia hahahaha."

"Oh ya, Tuan Abelarch. Kalau tidak keberatan aku ingin mengajak Anda untuk datang pada acara makan malam sebagai perayaan atas dibukanya kantorku di Frankfurt. Ah, sebenarnya aku memang tidak suka untuk tinggal di Hamburg. Di sana tidak seramai di sini," Zack menoleh ke arah Safuan. "Tentunya Safuan nanti juga ikut."

"Ach so. Apa dia masih berkeras ingin membeli lukisanku?" tanya Abelarch sambil menatap sorot mata Safuan yang sama sekali tak mengerti bahasa Jerman itu. Dan tentu saja Safuan benci ia tak mempelajari bahasa yang satu ini.

"Hahahahaha, sepertinya begitu," gelak Zack.

"Baiklah, aku akan datang," Abelarch setuju.

"Bagus. Pasti nanti pestanya akan ramai," Zack terlihat sangat senang.

"Apa nanti Kriez tidak marah kalau aku datang?" Abelarch menyadari hubungannya dengan Kriez agak renggang. Dan biasanya kalau mereka bertemu hanya akan terjadi pertengkaran.

"Aku yang mengundangmu secara personal. Kuharap ia bisa mengerti. Terlebih makan malam nanti boleh mengajak keluarga. Bahkan aku menyuruh setiap orang membawa istri dan anak mereka," Zack tahu kabar gembira seperti ini pastinya akan membuat Abelarch tertarik. Lelaki berjanggut lebat seperti santa ini sepertinya sangat mencintai cucunya.

"Aku datang. Pasti," ujar Abelarch.

"Danke, kalau begitu kami permisi. Sampai ketemu hari Sabtu," Zack mengakhiri kunjungannya untuk undur diri.

* * *

Sekali lagi Kriez pulang malam. Jamie saat itu melirik ke arah jam beker yang menunjukkan pukul 23.00. Mobil Kriez terdengar menderum mesinnya sebelum mati. Dengan lesu Kriez mulai naik ke teras rumah. Dia menoleh jauh ke kanan tempat di mana beberapa gelandangan tampak sedang tidur di emperan. Kriez segera masuk setelah membuka pintu dengan kuncinya. Kriez mencopot sepatunya kemudian langsung naik ke kamarnya. Di kamar terlihat Jamie sudah tertidur dengan berbungkus selimut tebal. Kriez kemudian meletakkan ponselnya di atas meja di dekat ranjang, disusul kemudian dia melepas pakaiannya setelah itu masuk ke kamar mandi.

Jamie melirik ke layar ponsel yang menyala, tampak sebuah pesan masuk. Perlahan-lahan ia melihat isi pesan yang masuk tersebut.

"Guten Nach, danke atas malam yang indah ~ Brenda"

Jamie mengernyitkan dahi. Brenda? Siapa? Ia kemudian meletakkan kembali ponsel Kriez dan berpura-pura tidak menghiraukan apa yang terjadi. Tapi sekali pun berpura-pura ia tak bisa menyembunyikan diri bahwa ada suatu perasaan curiga di dalam dirinya. Apa yang dimaksud Brenda dengan "malam yang indah"?

* * *

Pagi menjelang. Cahaya matahari sudah muncul walaupun masih tertutup awan sehingga pagi itu sedikit kelabu. Sheila sudah mempersiapkan sarapannya sendiri bahkan ia sudah mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah. Jamie tak mau dipusingkan dengan isi pesan di ponsel Kriez tadi malam. Dia pun sibuk membersihkan rumah, memasak dan laundry, pekerjaan rutin yang dia lakukan setiap hari. Kriez pun sudah bersiap untuk kembali ke kantor. Hanya segurat senyum yang tersungging di bibir Kriez pagi itu. Sepertinya ada sesuatu yang dipikirkannya.

"Ada apa?" tanya Jamie membuatnya tersentak.

"Oh, tidak ada apa-apa," jawab Kriez.

Jamie tidak menginterogasinya lebih jauh. Sebab ada Sheila di sini. Mempertanyakan tentang isi pesan yang masuk ke ponsel suaminya tadi malam akan berpengaruh buruk bagi putrinya itu nanti. "Kita semua diundang makan malam oleh Zack."

"Ya, begitulah," ucap Kriez pendek.

Sheila mengamati papanya. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh papanya. Sheila tahu karena ia bisa melihat pita suara keluar dari tubuh papanya. Setiap seseorang menyembunyikan sesuatu ada warna pita warna kelabu yang muncul dari tubuhnya. Sheila tak ingin mengetahuinya lebih tepatnya ia tak ingin tahu sekarang. Karena baginya hidup ini lebih menyenangkan daripada mengetahui rahasia orang dewasa.

Selama perjalanan ke sekolah, Sheila hanya diam saja. Ia agak sedikit terganggu dengan pita suara berwarna kelabu yang keluar dari tubuh papanya. Apa yang sebenarnya disembunyikan oleh papanya? Sheila tak habis pikir. Walaupun ia mencoba cuek, tapi rasa penasaran itu benar-benar harus ia telan sendiri. Sheila kemudian mencoba berpikir lebih jernih lagi. Bukankah hari ini ada quiz dari Mrs. Emily? Guru matematikanya itu ingin menguji murid-murid dalam beberapa soal matematika. Sheila pun kembali fokus ke pelajarannya. Ia bahkan membuang muka agar tidak melihat pita suara berwarna kelabu yang terus keluar dari tubuh papanya.

Sesampainya di luar gerbang sekolah, Kriez segera melajukan mobilnya pergi menuju ke kantor. Perasaannya makin berdebar-debar seperti genderang yang ingin perang. Ternyata Kriez tidak melewati jalan menuju kantornya, ia terus menjauh menuju ke sebuah tempat yang kurang lebih satu km dari kantornya. Bahkan Kriez rela ikut bermacet ria di traffic light. Kriez bahkan mengirimka pesan kepada Zack bahwa ia aga telat masuk. Sesuatu yang tidak biasa terjadi kepada Kriez. Ketika mobil telah menjauh dari traffic light, Kriez mengendarainya hinga sampai ke sebuah hotel. Mobilnya pun kemudian masuk ke tempat parkir. Setelah Kriez memarkir mobilnya, ia pun segera masuk ke lobi. Anehnya, bagi orang yang ingin pesan maka ia pasti akan bertanya di meja resepsionis, terkecuali Kriez sudah mengetahui ada orang yang menginap di hotel ini.

Kriez masuk ke dalam lift untuk menuju ke lantai 3. Setelah lift terbuka ia segera keluar menuju ke sebuah ruangan. Dia melihat-lihat nomor yang ada di depan pintu. Kakinya terhenti ketika dirinya sampai di depan kamar yang ia kenal. Setelah yakin ia pun mengetuk pintu kamar tersebut.

TOK! TOK! TOK! Kriez mengetuk pintu kamar.

Tak berapa lama kemudian pintu kamar pun terbuka. Muncullah Brenda dari dalam kamar tersebut.

"Kriez?!" tampak raut wajah yang menandakan masih mengantuk terpancar di wajahnya.

"Ini sudah pagi, kamu tidak pergi ke kantor?" tanya Kriez.

"Bagaimana bisa pergi ke kantor kalau semalam kamu merontokkan tulangku?" keluh Brenda. "Aku ijin tidak masuk."

Kriez kemudian masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya. "Cepatlah berkemas, aku tak mau ada yang curiga terhadap apa yang kita lakukan di sini terutama Zack."

"Tenanglah, tak akan ada yang tahu. Lagipula rumah Zack jauh dari sini. Istrimu apalagi," terang Brenda sambil pergi ke kamar mandi.

"Kamu menyebalkan," Kriez menggerutu.

"Salah siapa yang selalu flirting?" Brenda membela diri. Ia pun masuk ke kamar mandi. Kriez kemudian menyandarkan punggungnya di sofa. Di kamar tersebut tak hanya ada fasilitas bed saja, tapi juga ada televisi, sofa, kulkas kecil dan juga lemari pakaian. Kriez melihat di atas ranjang ada pakaian Brenda berserakan. Ia mengingat apa yang terjadi tadi malam selepas pulang dari kantor. Mereka check-in ke hotel ini. Kriez bukan pertama kali ini saja sebenarnya selingkuh. Semenjak kenal dengan Brenda ketika masih sekolah, mereka sebenarnya pacaran. Namun kemudian karena suatu hal mereka berpisah. Hingga kemudian Kriez bertemu dengan Jamie, berkenalan dengannya lalu kemudian pacaran dan menikah. Ketika mengetahui temannya, Zack mendirikan perusahaan maka Kriez pun berniat untuk pindah dari Jühnde. Alasan satu-satunya Kriez berada di desa itu adalah karena mamanya. Sudah lama mamanya ditelantarkan oleh papanya. Maka dari itulah Kriez begitu membenci Abelarch.

Lama Kriez menunggu Brenda selesai mandi. Ia bahkan sampai bosan sendiri. Setelah Brenda selesai mandi ia pun keluar dari kamar mandi sambil hanya mengenakan handuk. Kriez menggeleng-gelengkan kepala.

"Aku menunggumu sampai hampir mati," ujar Kriez.

"Relax, wanita memang lebih butuh banyak waktu ketika mandi daripada pria. Kau tahu itu," Brenda membela dirinya. Ia kemudian mengeringkan rambut blondenya. Setelah itu tanpa malu-malu ia bertelanjang menyingkirkan handuk yang menutupi tubuhnya di depan Kriez lalu berpakaian.

"Jangan sampai kita terlambat bertemu klien hanya gara-gara hal ini," gerutu Kriez.

"Kamu tahu Kriez? Sejak dulu kamu tak berubah. Selalu menjadi cowok penggerutu, itu sebabnya aku dulu meninggalkanmu," Brenda pun tak kalah kesal.

Kriez menyadari hal itu. Brenda memang benar, sebagai seorang cowok ia adalah seorang penggerutu. Bahkan terkadang Kriez menggerutu tanpa sebab yang jelas. Mungkin di dunia ini hanya Jamie-lah orang yang sangat mengerti keadaannya dan mau bersabar dengan dirinya. Orang Indonesia memang berbeda. Mereka selain ramah juga penyabar. Kalau diingat-ingat bagaimana ia bisa bertemu Jamie, hal itu membuat sensasi nostalgia tersendiri bagi Kriez. Perjumpaan mereka adalah ketika Jamie sedang mencari rumah kakeknya di Jühnde. Jamie sendiri ternyata masih ada keturunan dari seorang sesepuh yang tinggal di Jühnde. Ayah dan ibu Jamie sudah meninggal ketika masih remaja, satu-satuny relasi Jamie yang masih hidup konon ada di Jerman. Maka dari itulah Jamie mengunjunginya. Namanya adalah Kan Kristopher.

Selama hidupnya Kristopher adalah orang tua yang baik. Dialah yang selama ini menolong Bella, mamanya Kriez. Bahkan Kriez mengira kalau Kristopher lebih pantas jadi papanya daripada Abelarch. Sampai sekarang Abelarch tak pernah bercerita kenapa ia tega meninggalkan mamanya.

Setelah cukup lama menunggui Brenda berdandan, akhirnya Kriez dan Brenda pun check-out dari hotel.

Di lobi hotel Kriez menabrak seseorang.

"Ouch! I'm sorry," ujar orang itu yang menjatuhkan beberapa lembar kertas. Kriez membantu pria itu untuk mengambil kertas-kertas yang terjatuh. Ternyata paspor dan beberapa lembar tentang Tour Guide. Kriez melihat nama di paspor tersebut. Safuan Ghana. Nama yang aneh. Namun yang membuatnya tertarik adalah asal negara di mana Safuan berada. Indonesia.

"You are coming from Indonesia?" tanya Kriez sambil menyerahkan paspor tersebut kepada Safuan.

"As written in this pasport, yes," jawab Safuan. Dia melirik ke arah Brenda sejenak. "Is there is something about Indonesia, Mister...?"

"Kriez," jawab Kriez sambil menjabat tangan Safuan.

"Danke, your English is very well," puji Safuan. "I'm a bit difficult to find someone who fluently in English, except my friend and of course you are."

"You're welcome," jawab Kriez. "I'm sorry gotta go. I've work to do."

"Ah please," Safuan mempersilakan Kriez untuk mengurus administrasi di lobi terlebih dulu kemudian pergi. Safuan kemudian menuju ke restoran yang ada di hotel ini untuk mencari sarapan. Ia sesekali menatap kepergian Kriez. Sepasang lelaki dan perempuan check-out dari hotel, kira-kira apa yang terjadi? Buru-buru ia menghilangkan pikiran kotor itu dari otaknya. Tak baik ngerasani orang lain. Sebagai orang Jawa ia sangat teguh memegang prinsip-prinsip yang selalu diajarkan oleh orang tuanya sewaktu kecil. "Ojo ngerasani uwong lek durung kenal jeronane."

____________

Dari author:

Geben des Lebens: Artinya memberi kehidupan

sommersprosen : bintik-bintik/freckles;

Ojo ngerasani uwong lek durung kenal jeronane: Jangan berpikiran buruk kepada orang lain kalau belum tahu dia yang sebenarnya. 

Ternyata Safuan ada di sana. Nah, bagaimana kelanjutannya? Ikuti terus yah. Jangan lupa klik vote dan komen. 

Any typos?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top