1️⃣
"Lum, masih betah?" Binar, gadis yang memiliki kegemaran yang sama dengan Solum—membaca buku—bertanya insinuatif.
"Setelah bagian ini selesai kubaca, kalau kamu mau duluan tidak apa, Bi." Solum membaca kepenatan di wajah sahabatnya.
"Barengan saja, deh, nggak enak jalan sendirian kayak orang hilang." Binar memilih menunggu Solum.
Solum tersenyum geli. "Oke, deh. Ini kupinjam saja bukunya. Yuk, sudah." Gadis itu merapikan buku-buku di meja, yang tadi diambil dari rak. Sesuai peraturan perpustakaan fakultas, pengunjung memang dilarang mengembalikan buku sendiri.
Setelah menghadap petugas perpus untuk mencatat peminjaman, Solum keluar menyusul Binar yang sudah duduk di kursi semen bawah pohon angsana.
"Yuk!" Binar mengapit lengan Solum dan mereka berjalan beriringan menuju gedung kuliah fakultas keguruan.
"Eh, sebentar. Aku mau beli jus dulu di kantin. Temani, ya, Lum."
"Oke."
Kedua mahasiswi yang aktif di organisasi kerohanian Islam fakultas itu berbelok menuju kantin yang diapit oleh dua fakultas. Fakultas di mana Solum dan Binar belajar bersebelahan dengan fakultas ekonomi, fakultas yang banyak diisi oleh mahasiswa berpenampilan mentereng hingga dihuni oleh mahasiswa dari kalangan borjuis.
Solum menunggu Binar yang sedang asyik berbincang dengan penjaga stan minuman untuk memesan jus wortel kesukaannya. Pandangan yang semula tertuju pada sahabatnya itu terganggu dengan bayangan di sudut mata. Ada seseorang yang baru datang. Solum menoleh, sadar jika keberadaannya akan menganggu jalan seseorang itu, dia memilih untuk minggir.
Binar yang kebetulan melihat tingkah Solum merespons dengan decak sinis.
"Ck, buat apa kayak begitu. Toh, mereka juga manusia."
"Emang kamu mau aku ditabrak? Badanku yang kecil ini terbang gimana?" Solum beralasan.
Binar tertawa, "Halah, bilang saja tadi refleks. Jangan tergoda."
Solum menggeleng, "Lâ yajûz¹."
"Bagus." Binar memamerkan jempol tangan kanannya. "Orang-orang seperti mereka itu tidak akan memandang orang macam kita."
"Tidak boleh su'uzhan." Solum menegur.
"Lah, kamu tidak kenal mereka?" Binar terheran. Mahasiswa yang lewat tadi adalah Ambara dan beberapa kawannya yang dikenal sebagai rombongan mahasiswa badung di kampus mereka. Saking terkenalnya, mahasiswa fakultas tetangga seperti mereka akan tahu siapa Ambara.
"Ingat, kok, yang pernah debat sama ketua BEM perkara pemilihan presma itu, 'kan?"
"Nah, itu salah satu kasusnya."
"Heran saja. Biasanya orang seperti mereka tidak akan menghiraukan hiruk-pikuk kegiatan organisasi. Lebih sibuk dengan kekuasaan nyata atau bisnis turun-temurun."
"Nah, berarti kurang up date kamu, Lum."
Solum mengedikkan bahu.
"Kapan-kapan, deh, kuceritakan detailnya. Yuk." Binar sudah selesai bertransaksi dan membawa jus warna oranye itu serta.
Sepanjang perjalanan menuju gedung kuliah mereka meneruskan perbincangan.
"Heran saja dengan manusia yang mengaku kaya. Manusia yang tak selevel seperti dianggap sampah, tak berguna. Mending disingkirkan jauh-jauh. Mereka hanya mau bergaul dengan sesiapa yang profitabel."
Solum menatap horor kepada Binar yang masih nyerocos.
"Kamu habis baca buku konspirasi? Cara pandangnya gitu amat. Justru dengan menganggap mereka seperti itu secara tidak langsung kita yang berprasangka buruk." Solum bukan bermaksud membela, dia tidak mau menggeneralisasi suatu kaum.
"Kamu terlalu polos, Lum. Hanya belajar lewat buku, tidak mengalami langsung." Binar menghentikan langkah dan menatap Solum sejenak sebelum berbelok masuk kelas.
"Pengalaman sekali dua kali tidak bisa memastikan ucapanmu tadi, 'kan?" Solum menyusul Binar duduk.
Binar menghela napas. "Iya, sih." Gadis itu masih ragu. "Tapi kamu percaya, 'kan, banyak orang yang diamanahi kekayaan dan kekuasaan akan seperti itu ujiannya?"
"Sombong?" Solum memastikan.
Binar mengangguk.
"Ya, potensi sombong ada pada semua manusia. Tak peduli apa pun statusnya, bahkan orang seperti kita yang tak punya apa-apa untuk dibanggakan."
"Begitulah, Tuhan menciptakan manusia sama rata. Tuhan hanya membedakan dari takwa, eh, manusia banyak sekali kriterianya. Kayalah, kastalah, inilah, itulah. Capek."
Solum tertawa. "Ya sudah, jangan dipikirkan. Mending pikirin diri sendiri untuk menjadi manusia yang sesuai ktiteria Tuhan."
"Hmm." Binar masih menyimpan kekesalan. Sebenarnya bukan Solum tak tahu, sahabatnya itu pernah patah hati hanya gara-gara beda suku dan harta. Perasaan tulusnya kalah dari aturan manusia.
Hewan yang berakal—manusia—tak selamanya hirau dengan ekuivalensi, masih banyak zoon politicon yang egois, tak sadar hidupnya tak akan pernah lepas dari pengaruh orang lain. Yah, kenyataannya begitu, manusia enggan diancam neraka tetapi hidupnya semena-mena.
Tumpukan kitab suci hanya dianggap sebagai simbol keagamaan semata, tak aneh jika pedoman diambil dari serpihan-serpihan tipu daya. Nahasnya, ada yang menempatkan tuntunan hanya sebagai teori tanpa perlu penerapan! Lupa bahwa keteraturan kehidupan diawali dengan pedoman. Yang tersisa dari titisan kesombongan adalah calon entitas yang mungkin di kemudian hari akan mengaku sebagai "Tuhan".
🌹🌹🌹
Suasana masih sepi saat Solum memasuki ruang yang disediakan oleh BEM² fakultas MIPA untuk acara seminar pembukaan kompetisi karya tulis ilmiah. Baru ada satu orang yang datang lebih dulu. Matanya menatap tak percaya. Ambara, pemuda yang kemarin sempat dia lihat di kantin berada di ruangan.
"Duduk saja, aku bukan siluman, tak perlu menatap seperti itu." Suara Ambara mengalihkan atensi Solum.
"Maaf." Solum tanpa bertanya macam-macam langsung duduk di salah satu kursi yang disediakan panitia.
"Tak perlu minta maaf."
Suara itu masih bisa Solum dengar. Namun, dia tidak ada keinginan untuk kembali menyahut. Sebenarnya dia memang tak menyangka akan bertemu dengan Ambara di kegiatan yang menurutnya sangat tidak relevan dengan desas-desus yang selama ini dia dengar tentang pemuda itu.
Acara berlangsung dengan lancar, usai penutupan, Solum bergegas untuk kembali ke fakultasnya. Di luar, dia sempat melihat beberapa mahasiswi dengan antusias melihat dan menyapa Ambara. Solum hanya menggeleng sambil membatin.
"Ternyata benar kata Binar. Cowok itu banyak penggemarnya." Solum agak heran, di dunia kampus yang memiliki sekat-sekat bidang, terlalu unik jika mengagumi mahasiswa di lain fakultas kecuali jika aktif di organisasi kampus. Dia jadi penasaran, seterkenal apa Ambara sampai-sampai pamornya melintasi antar fakultas.
🌹🌹🌹
__________________________
Catatan kaki:
¹ [Ar] Tidak boleh
² Badan Eksekutif Mahasiswa
__________________________
TBC~
Muaralakitan, 13 Juni 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top