chapter 06 - apa yang salah?
Aku kembali datang kerumah ini, rumah bercat putih gading dengan dua anak kembar yang menyambutku dengan bahagia. Aku melihat Jisyana juga menyambutku dengan seorang bayi didalam gendongan hangatnya, dibelakangku terdapat Kak Rasen yang membawa koper milikku dengan tas besar yang tersangkut di atas koper.
"Whoaa! Kata Jis, kakak akan menginap, benar kak?" tanya Diatmika dengan nada yang terdengar sangat bersemangat, bahkan gadis itu sampai menghampiri Kak Rasen untuk menanyakan kebenaran informasi yang gadis itu dengan dari Kak Jisyana.
"Selamat datang kak, semoga kakak betah disini," ungkap Mikhala, kembaran Diatmika yang saat ini mendekat kearahku, lalu memelukku. "Jis, apa kak Nana akan tidur di kamarku?" lanjut Mikhala setelah melepas pelukan.
"Mung–"
"No, Kak Nana akan tidur dikamar Paa."
Aku ternganga mendengar ucapan Kak Rasen, yang tiba-tiba ada disebelahku dengan tangan kirinya yang merangkul bahuku erat. Melirik kak Jisayana panik, aku berusaha menjauhkan tangan kak Rasen, namun lelaki itu terus merangkulku seperti sebelumnya. Kok, kak Jisyana diam aja? Nggak cemburu suaminya ngerangkul aku kayak sekarang?
"Paa! Kak Nana harus tidur dikamar Khala!"
"No, Khala."
"Ih! Paa jangan begitu sama Abang Khala, nanti kuping Paa mau Mika gigit seperti kemarin?!"
Aku tersenyum geli saat melihat Kak Rasen diancam oleh Diatmika yang saat ini sedang berkacak pinggang dengan telapak kaki yang menghentak-hentak lantai. Sungguh, aku gemas sekali dengan si kembar yang terlihat sangat pintar, dan menggemaskan.
Tanganku ditarik oleh Kak Jisyana untuk pergi salah satu kamar yang ada di lantai dua. Membuka pintu berwarna hitam, kami berdua masuk kedalam kamar dan menghirup bau maskulin yang sangat menyengat dikamar ini, kamar yang memiliki warna abu-abu dan hitam memenuhi dinding ruangan ini.
"Mulai sekarang dan seminggu kedepan, ini kamar kamu," ujar kak Jisyana.
"Lalu, kak Rasen dan kakak tidur dimana?"
"Eh?" kak Jisyana tersenyum lembut, lalu mengajakku keluar dari kamar itu, beralih ke kamar yang berada di lantai utama, membuka pintu bercat olive green dan membukanya lebar, Kak Jisyana mengajakku masuk kedalam dan menemukan foto pernikahan yang terpajang tepat di atas tempat tidur berukuran besar, di kanan tempat tidur ada tempat tidur bayi yang memiliki warna sama dengan warna pintu tadi.
Menaruh Zaidan dengan hati-hati di tempat tidur, Kak Jisyana menarik tanganku untuk duduk diatas tempat tidur berwarna putih. Suasana ruangan ini terlihat lebih hidup dan memancarkan kebahagiaan yang tidak bisa di sembunyikan, terdapat jendela yang terbuka lebar dengan semilir angin yang masuk kedalam kamar.
"Kamu lihat foto itu?" tanya Kak Jisayana dengan menunjuk foto pernikahan yang berada di atas tempat tidur.
Aku mengangguk, kan kepala lalu mengalihkan tatapanku kearah kak Jisyana. "Itu foto aku dan suamiku, ayahnya Mikhala, Diatmika dan Zaidan, namanya Andriyarsen Mahendra."
Mulutku ternganga saat mendengar penjelasan Kak Jisyana, rasanya aku benar-benar malu saat pemikiranku berbeda dengan kenyataan. Jika orang itu bukan Kak Rasen, berarti kak Rasen memiliki kembaran, sama seperti Mikhala dan Diatmika? Aku merasakan sebuah tangan lembut menyentuh pipiku dengan lembut, aku merasakan hatiku mengangat, bahkan pikiran yang sebelumnya ada di kepala terasa menghilang.
"Kamu pasti salah sangka ya, aku maklum kok, semua orang bahkan menyangka yang menikah denganku adalah Rasen, padahal aku menikahi kakaknya, Arsen. Suamiku sekarang sedang pergi keluar Negeri, hari ini jadwal penerbangannya kembali ke Indonesia dan nanti malam jika tidak ada hambatan sudah sampai."
"Maaf," kataku tulus.
"Hei, nggak masalah kok, aku paham, jangan memasang ekspresi seperti itu, nanti aku bisa dimakan hidup-hidup sama Rasen."
"Hayo, ngomongin aku ya?"
Aku dan Kak Jisyana menoleh kearah pintu dan menemukan Rasen sedang bersandar pada daun pintu dengan tangan yang terlipat di depan dada.
"Iya, aku ngomongin kamu, kalau tidur suka ngiler sampai banjir satu rumah!"
"Mbak, jangan gitu dong! Oh iya Mbak, Mas Arsen ganti penerbangan jadi tadi pagi, kemungkinan nanti jam tiga sampai di bandara."
"Eh? ya ampun! Aku belum masak buat suamiku!" pekik Kak Jisyana tertahan, takut membangunkan Zaidan yang barus saja terlelap. "Sekarang jam berapa?"
"Jam dua belas Kak, tapi.. Aku.. aku bisa bantu Kak Jis masak, kalau kakak mengizinkan."
"Nah, itu, ada energi tambahan, aku ajak si kembar keluar deh biar kalian lebih cepat memasaknya tanpa di wawancarai oleh kembar," ujar Kak Rasen menawarkan diri.
"Boleh! Kamu ajak Zaidan juga ya,"
Kedua mata Kak Rasen menyipit saat mendengar ucapan Kak Jisyana yang terdengar saat berharap, bahkan ibu dari tiga anak itu berkedip cepat dengan kedua tangan yang digosok bersamaan, berharap kak Rasen luluh. Aku tertawa melihat Kak Rasen memaksakan senyumnya.
"Atau nggak kamu pergi sama Nana, itu lebih bagus! kamu pergi sama Nana, aku siapin dulu ya barang-barang buat Zaidan, Mikhala dan Mika, maaf banget aku ngerepotin kalian,"
"Biar aku bantu Kak,"
"Iya, aduuh..! kamu dewi penolong aku beneran deh Na!"
"Yasudah, aku bantu ajak si kembar mandi deh," ujar Kak Rasen dan berlalu pergi dari kamar, bahkan suara Kak Rasen yang menyuruh Mikhala dan Diatmika untuk mandi terdengar sampai ke kamar.
***
Aku mengikuti saran Kak Jisyana untuk menggunakan salah satu gamis berwarna olive green miliknya, dan juga kerudung yang terjuntai panjang, agar aku tidak mau bertemu dengan teman-temanku, atau yang lebih parah lagi bertemu Aldo di mal ini. kami berempat sepakat pergi ke Cibubur untuk mengunjungi salah satu tempat bermain, tadinya aku menyarankan untuk pergi ke Margo saja, ketempat permainan khusus anak-anak yang ada di pusat perbelanjaan itu, namun Mikhala dan Mika merengek untuk pergi ke Cibubur, karena teman-teman mereka bercerita habis ketempat itu.
Dan disinilah kami, aku terus menggendong Zaidan dengan menggunakan gendongan khusus yang lebih nyaman, bentuknya seperti tas punggung, sedangkan Kak Rasen, lelaki itu bagian membawa tas yang berisi kebutuhan Zaidan, seperti popok, botol susu, minyak. Tidak lupa juga jajanan untuk si kembar.
Beberapa pasang mata melirik kearah kami dengan pandangan yang aku tidak mengerti maksud dari pandangan itu. bahkan ada seorang nenek yang menyentuh tanganku saat Kak Rasen mengejar Mikhala dan Mika saat kami semua masuk kedalam studio bermain ini. Nenek itu berdoa agar aku dan Kak Rasen selalu bersama dan diberikan kebahagiaan, bahkan Nenek itu mengusap lembut pipi Zaidan yang masih tertidur di dalam gendonganku.
Aku bisa merasakan pipiku memanas. Jantungku berpacu cepat saat aku melihat Fakhra yang tidak sengaja berpapasan denganku, dalam hati aku berdoa agar Fakhra tidak mengenaliku. Entah mengapa, rasanya kau benar-benar tidak bisa tenang saat menghadapi situasi seperti ini jika bersama Kak Rasen.
"Iya, gue penasaran gimana hubungan Aldo sama Naura, bentar deh, itu anak jadi nyusul kesini, kan?"
Tanpa sengaja aku mendengar perbincangan Fakhra dengan salah satu teman futsalnya. Apa, Aldo mau nyusul mereka kesini? Rasanya tubuhku mendadak panas dingin saat mendengar suara yang sangat aku kenal dimanapun aku berada.
"Oi! Maaf lama, tadi antriannya panjang banget dah, berasa antri makanan!"
Itu suara Aldo, tubuhku mendadak membeku saat mendengar suara itu. entah karena aku terlalu panik atau bagaimana, Zaidan yang ada di gendonganku mendadak menangis, membuatku semakin panik, bahkan membuat kedua mataku memanas.
"Sstt.. tenang Zai, tenang, jangan nangis, aku takut," kataku berusaha menenangkan Zaidan, malah membuat bayi itu semakin keras menangisnya. "Kak Rasen dimana sih..." tanyaku lirih.
"Maaf Kak, boleh saya bantu?"
"En–"
Tanganku digenggam erat oleh seseorang dari sebelah kiri, mendongakkan kepala, aku melihat raut wajah Kak Rasen yang terlihat sangat khawatir saat menatapku, bahkan si kembar terlihat berkeringat, sama seperti Kak Rasen.
"Lah, bang? Udah punya istri?" tanya Aldo sedikit terkejut.
"Ya," Aku melihat Kak Rasen menjawab pertanyaan Aldo tanpa melirik sahabatku itu.
"Maa.. Paa.. adik Zai kenapa?" tanya Mika dengan meloncat-loncat, berharap bisa melihat Zaidan yang ada di dalam gendonganku. Mikhala menahan bahu adiknya agar tidak terus melompat-lompat seperti kangguru, takut Mika terjatuh.
"Nggak apa kok sayang, adik Zai mungkin haus, mangkanya menangis." jawab kak Rasen lalu menggandeng tanganku setelah memberikan botol susu milik Zai. "Kami pergi duluan, mari."
Namun belum sempat kami pergi, suara Aldo mengintruspi kami berdua untuk berhenti. "Kak, gue mohon, kalau lo hanya mau mempermainkan Naura, lebih baik lo berhenti sekarang, karena gue nggak suka dia di permainkan, dia punya masalalu yang.." ucapan Aldo menggantung, membuat jantungku semakin berdetak tidak karuan. "Lo nggak perlu tahu sepertinya, tapi gue mohon, jauhn Naura dan fokus keanak dan istri lo. Ayo bro, kita main, jangan ceritain hal ini ke Naura, awas aja kalau lo berdua ember!"
Kakiku melemas, untungnya dengan sigap kak Rasen langsung memelukku dari samping jadi meminimalisir aku terjatuh bersama Zaidan. Aku melihat jelas raut wajah kak Rasen dari samping.
"Maaf kak.."
"Nggak apa effulgence, aku paham kamu takut Aldo mengenalimu." Mengusap pipi Zaidan yang sudah kembali terlelap setelah diberi susu. "Dia menangis pasti karena kamu panik, kan?"
"Mungkin.. aku nggak tahu kak," kedua mataku mengedar kesekeliling kami dan tidak menemukan si kembar di radius yang kami bisa pantau. Mencengkram kemeja hitam Kak Rasen, raut wajahku kembali berubah panik, namun sebisa mungkin tidak seperti tadi dan membangunkan Zaidan.
"Kak, Mikhala sama Mika, mereka dimana?"
***
Kami berlima sampai dirumah dengan rasa lelah yang luar biasa. Bahkan Mikhala sampai tertidur selama perjalanan, sedangkan Mika, gadis cantik itu masih memiliki banyak tenaga untuk bernyanyi sepanjang perjalanan, dan mengerjai Zaidan yang terjaga.
Aku jadi ingat ucapan Kak Rasen yang memujiku saat aku menggunakan gamis milik Kak Jisyana. Bahkan Mikhala juga memujiku terus menerus, sampai membuat pipiku memanas.
Kak Rasen turun terlebih dahulu, lalu menggendong Mikhala yang masih tertidur, tidak menyadari jika mobil sudah berhenti dan masuk kedalam garasi. Aku masih membereskan beberapa barang-barang yang ada di dalam mobil, kebanyakan itu semua mainan baru milik kembar dan Zai yang aku belikan tadi.
"Maa.. ayuk turun!" ajak Mika yang sejak tadi sudah melihat keluar mobil, menunggu Kak Rasen kembali. "Sebentar ya, kakak beresin mainan kamu sama Kak Mikha dulu." Jawabku memberikan pengertian, agar Mika sedikit lebih sabar.
Mika duduk tenang di kursi belakang, saat aku selesai dengan semua mainan milik kembar dan Zai, pintu mobil belakang terbuka, membuatku menoleh ke belakang, melihat Kak Rasen sudah terlebih dahulu mengganti baju dan langsung menggendong Mika lalu meninggalkan aku terdiam dengan sikapnya barusan.
"Apa-apaan itu?" tanyaku berbisik. "Apa aku membuat kesalahan, sampai Kak Rasen berubah dingin? Atau jangan-jangan karena ucapan Aldo?"
Membuka pintu, sebelah tanganku membawa plastik besar mainan, dan sebelahnya lagi, membawa tas berisi perlengkapan Zaidan, dan sikembar, tas yang seharusnya dibawa oleh kak Rasen, namun lelaki itu malah diam dan tidak menawarkan diri untuk sekedar membawa mainana yang sedikit berat.
Kamu kuat Tara, jangankan mainan seplastik penuh ini, angkat ban traktor juga kamu kuat! Semangat! Aku terus menyemangati diriku sendiri, jika aku menggunakan celana jeans seperti biasanya, mungkin ruang gerakku lebih lebar, tidak seperti sekarang, aku beberapa kali hampir terjatuh saat terserimpat gamis lebar ini.
Saat aku masuk kedalam rumah, aku melihat Kak Jisyana, Mika, dan Kak Rasen sudah duduk di meja makan dan saling melemparkan ledekan yang membuat suasana rumah itu terasa hangat. Jujur, aku sangat merindukan suasana itu, namun aku tidak pernah mendapatkannya, atau mungkin pernah, aku lupa.
Rasanya aku ingin menangis, namun aku sangat malu. Masuk kedalam rumah, aku mengucapkan salam dan dijawab bersamaan oleh mereka bertiga, Kak Jisyana langsung menghampiriku dengan mengambil alih Zaidan dari gendonganku, dia juga membantuku untuk melepaskan gendongan yang terpasang di tubuhku.
"Makasih ya Na, kamu langsung naik aja keatas, ganti baju, setelah itu kita makan bersama ya, aku mau mengenalkan suamiku."
"Iya kak, mainan kembar dan Zai aku simpan disini ya," kataku menyimpan mainan diatas meja, lalu bergegas menaiki tangga, menuju kamar yang akan aku tempati selama enam hari kedepan.
Masuk kedalam kamar, aku melepas hijab itu, lalu memasukkannya ke keranjang cucian kotor, besok akan aku cuci dan aku kembalikan ke kak Jisyana. Mengambil koper, lalu menyeretnya mendekat kearah tempat tidur, aku membukanya di lantai kayu yang ada di kamar ini.
Mengambil kaus hitam panjang, ripped jeans berwarna putih dalaman, dan peralatan mandi aku langsung masuk kedalam kamar mandi setelah mengunci kembali koperku. Dua puluh menit kemudian aku keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap, aku mengkramas rambutku yang terasa lepek. Menghampiri meja, aku menyalakan ponsel, saat aku ingin duduk, pintu kamar di ketuk dari luar, membuatku mengurungkan niat untuk duduk dan memainkan ponsel untuk memberikan kabar ke Aldo.
"Sebentar!"
Mengeringkan rambut asal, aku bergegas keluar dari kamar, dan melihat Kak Rasen berdiri di depan kamar yang aku tempati dengan senyum hangat, tidak seperti tadi. "Seharusnya kamu menyisir dulu, jangan berantakan seperti ini rambutnya." Aku terdiam saat tangan Kak Rasen menyisir rambutku kebelakang, menggunakan sela-sela jarinya. "Sudah, yuk! Kita makan, Mbak Jis baru selesai menghangatkan soto."
Kami, sebentar maksudku, aku dan Kak Rasen menuruni tangga bersama, dan membuat semua orang yang ada di ruangan itu menatap kami dengan padangan berbeda, Kak Jisyana terlihat senyum-senyum sendiri saat melihat aku danKami, sebentar maksudku, aku dan Kak Rasen menuruni tangga bersama, dan membuat semua orang yang ada di ruangan itu menatap kami dengan padangan berbeda, Kak Jisyana dan Mika terlihat senyum-senyum sendiri saat melihat aku dan Rasen turun bersama. Sedangkan Mikhala, anak itu masih terlihat mengantuk.
"Maa... Paa...!" teriak Mika, membuat Mihkala menegakkan tubuhnya dan membuka mata, sepertinya anak itu terkejut.
"Adek.. Mas Mikha kaget loh itu, lainkali bicara dengan suara pelan ya sayang," ujar kak Jisyana menasehati Mika. "Ayo duduk, tapi tunggu sebentar ya, suamiku sedang menerima telepon di kamar."
Aku duduk di sebelah kak Rasen, aku penasaran bagaiamana wajah Kak Arsen, apa memang seratus persen mirip dengan kak Rasen. Jika dilihat dari foto yang terpajang, wajahnya tidak memiliki perbedaan, tapi tidak ada yang tahu, mangkanya aku sangat antusias, aku sedang berandai-andai kalau sifat Kak Arsen lebih hangat dari Kak Rasen, mangkanya Kak Jisyana lebih memilih Kak Arsen.
Pintu kamar terdengar terbuka, lalu kembali tertutup. Suara langkah kaki melangkah mendekat keruang makan. Kak Jisyana langsung menghampiri orangitu, dan saat aku menolehkan kepala, aku berdecak kagum melihat Kak Arsen yang terlihat lebih dewasa di banding Kak Rasen. Saat aku melemparkan senyum terbaikku, suami dari Kak Jisyana tidak menggubrisku sama sekali, berbeda saat menatap kak Jisyana, penuh cinta dan kasih sayang.
Kepalaku tertunduk, aku memainkan tangan dibawah meja makan dengan perasaan sedih. Sebuah telapak tangan mengusap kepalaku dengan lembut, aku mendengar suara itu menenangkan dan berusaha memperbaiki suasana hatiku. "Dia memang seperti itu, jangan masukan kedalam hati," menoleh kearah kak Rasen, aku mengedipkan mata cepat agar air mata yang sebelumnya terbendung, tidak tumpah.
"Naura, kenalkan, ini suami aku namanya Andriyarsen Mahendra, yang aku ceritakan tadi siang!" ucap kak Jisyana dengan semangat.
"O-ah, salam kenal kak, nama aku Naura Lusitania, kakak boleh panggil aku Nana,"
Kak Arsen tidak menyahuti, lelaki itu malah sibuk mengambil makanan yang ingin dimakan, membuat ruangan itu semakin tidak membuatku nyaman. Kak Jisyana menatapku dengan pandangan 'tak enak hati, aku tersenyum menggumamkan kata 'tidak apa-apa'.
"Maaf," bisik kak Rasen, membuatku menoleh kearahnya dengan memaksakan senyum. "Nggak apa kak."
Kami makan dalam suasana hangat, tidak hanya keluarga Kak Rasen, sedangkan aku, aku merasa tersingkirkan, walaupun kak Rasen tidak banyak bicara, berbeda dengan Kak Arsen yang banyak bicara dengan istri dan anak-anaknya. Selesai makan, kami semua duduk di ruang keluarga, tadinya aku ingin langsung naik ketas dan memberikan waktu untuk mereka semua melepas rindu, tetapi tidak bisa, Kak Jisayana mengajakku untuk berkumpul bersama.
"Kamu adik angkatnya Kevin Pratama Tsurayaa, kan?" aku tergugu saat mendengar pertanyaan itu.
"Iya Kak," jawabku dengan senyum simpul diwajahku.
"Aku nggak tahu kenapa Pak Tsurayaa memilih kamu sebagai anak angkatnya dibandingkan yang lain, seingatku, di panti asuhan itu banyak anak-anak yang jauh lebih normal dan tidak urakan seperti kamu,"
Hening, suasana mendadak sepi, bahkan jangkrikpun mendadak diam saat kata-kata itu terlontar begitu saja dari bibir Kak Arsen. Hatiku mendadak sakit saat mendengar ucapan Kak Arsen, terlebih dia menekan di beberapa kata disetiap ucapannya.
Aku menggaruk rambut yang mendadak gatal, tidak, bukan rambutku, lebih tepatnya telapak tanganku, suhu tubuhku mendadak panas, bahkan detak jantungku berpacu cepat saat ini. tertawa, aku tetap menyahuti ucapan Kak Arsen.
"Kalau soal itu aku kurang tahu kak, tapi rasanya pertanyaan itu seharusnya kakak tanyakan langsung ke Papa, bukan ke aku,"
"Lalu dicap buruk oleh Papamu, begitu?"
"Jika begitu, lebih baik nggak usah ditanyakan."
Aku melihat Kak Jisyana mengajak Mika dan Mikhala masuk kedalam kamar saat menyadari suasana yang tidak mengenakan diruangan ini.
"Kenapa kamu selalu menjawab ucapan saya?"
"Karena kakak bertanya,"
"Kamu itu perempuan, seharusnya kamu memanjangkan rambutmu, atau lebih baik menggunakan hijab, bukan malah memotong rambut seperti kami para lelaki!" tegas Kak Arsen membuat emosiku semakin naik, hanya tunggu beberapa waktu untuk meledak dan memukul wajah itu dengan satu pukulan keras tepat di hidungnya, dan akan aku anggap kami berdua impas.
"Aku tidak perduli siapapun kamu di luar sana, tapi saat kamu masuk kedalam rumah ini, kamu harus mengikuti peraturan yang aku buat, suka atau tidak suka."
"Baik kak."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top