chapter 02 - sebentAr!

Aku melirik kelas yang masih kosong, kelas XI-1IPS, kelas yang selalu menjadi kebanggaan seluruh guru selain XI-1IPA. sebetulnya hari ini aku tidak ada niatan untuk masuk sekolah, tetapi salah satu mata pelajaran mengharuskan aku untuk masuk.

Menguap lebar, aku menepuk tepuk kedua paha lalu masuk kedalam kelas. Celana putih dengan kemeja batik, hari ini aku mengenakan itu. sejak sampai di gerbang tadi aku hanya bertemu beberapa adik kelas yang menyapaku dengan wajah semangat, dan penjaga gerbang yang selalu meledekku agar aku berlari.

Saat aku ingin duduk, suara seseorang membuatku menoleh ke arah pintu yang terbuka lebar dengan seorang lelaki berdiri tepat di tengah-tengah pintu masuk dengan wajah yang sama kusutnya denganku.

"Oy Tara! Rajin banget datang jam segini,"

"Suntuk di rumah, kamu kenapa sudah datang, biasanya lima menit sebelum bel baru datang."

"Sama, hehehe. Suntuk juga di rumah, mending di sekolah, 'kan?"

Menggelengkan kepala, aku meletakkan tas di atas meja dan membiarkan lelaki itu duduk di bangku yang kosong. Lelaki dengan tinggi seratus delapan puluh dua itu memang sahabatku sejak kecil, nama lengkapnya Aldo Rasyadam, seorang laki-laki yang tinggi badannya berbeda empat cm dariku, sekaligus kapten basket di kelas kami.

"Mereka sedang di rumah?"

"Ya, dirumah lalu bertengkar!"

Menganggukkan kepala, aku menepuk bahu Aldo beberapa kali lalu menyandarkan punggung pada sandaran kursi kayu, kedua mataku terpejam berusaha tidur dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada.

"Kamu tahu, banyak guru yang menentangmu, 'kan?" ujar Aldo dengan menaikan kedua kakinya keatas meja. "Aku yang sudah kenal lama sama kamu nggak akan heran, mungkin guru-guru yang sudah lama pun juga sama seperti itu,"

"Lalu dimana menentangnya?"

"Mereka memang tidak membicarakannya langsung, tetapi berbicara di belakangmu,"

"Berarti mereka sampah!"

"Tidak... bukan begitu Tara," suara Aldo memelan. "Mereka ingin menasehatimu karena murid yang lain juga ingin sepertimu, memakai celana bukan memakai rok jadi–"

"Tinggal pakai celana, apa sulitnya?"

"Peraturan melarang tegas siswi mengenakan celana,"

"Yasudah, jika sudah ada peraturannya jangan di langgar, anggap saja aku ini laki-laki!"

"Tara..."

Menghembuskan napas kasar, dahiku mengernyit sampai kedua alisku bertemu. "Sudah cukup, apa perlu peraturan sekolah ini di ubah agar baik siswi maupun siswa mengenakan bawahan yang sama? Ingin seperti apa lagi, celana di buat seperti celana super ketat? Tidak cukup 'kah sekolah memberikan toleransi untuk 'mereka' mengecilkan seragam dan rok yang mereka gunakan, padahal itu sudah melarang aturan?"

Sungguh, pikiranku saat ini sedang tidak berada di tempat yang baik. Aku tidak ingin membahas hal lain selain pelajaran yang akan di ulangkan nanti, aku hanya ingin berkonsentrasi, tidak ingin berdebat dengan sahabatku Aldo.

Aldo menepuk pundakku beberapa kali, membuatku membuka mata lalu menoleh kearah laki-laki itu. "Tenang... kita sedang berada di kelas sekarang, aku paham maksudmu Tara, namun 'mereka' yang tidak mengecilkan seragam dan rok juga ingin seperti kamu bebas menggunakan celana."

"Kamu di sogok sama Guru yang mana kali ini sampai mengajakku beragumen?"

"He? Ha-hahahaha, mana mungkin begitu!"

"Jujur!"

"Eng–"

"Aldo Rasyadam!"

Aku mendengar dia menghela napas pelan, mengeluarkan ponsel yang ada di kantung celananya padaku. Mengambil ponsel, aku membuka kata sandi, mengecek salah satu aplikasi dengan rahang yang mengetat, aku mengembalikan ponselnya lalu beranjak dari tempat duduk dengan kaki kanan yang naik keatas meja, melangkahi meja-meja untuk sampai ke depan kelas.

Menggelengkan kepala, aku berlari secepat mungkin agar sampai di depan ruangan yang berada di lantai paling atas sekolah ini, ruangan yang hanya di isi oleh satu orang yang paling penting dalam struktur yayasan.

Saat berada di depan ruangan, telapak tanganku memegang handle pintu yang sebelumnya sudah terbuka sedikit, lalu mendengar ucapan yang membuatku diam membeku. Peganganku pada handle pintu perlahan terlepas bersamaan dengan kedua kakiku yang perlahan berjalan mundur.

Jadi, menurut Papa aku sama seperti yang mereka bilang? Aku..? kak Kev kenapa diam saja?

Berbalik badan, aku menemukan Aldo yang saat ini tengah menatapku dengan tatapan terluka. Merubah raut wajahku menjadi datar, aku berjalan kearah dia dengan tatapan dingin, bahkan suhu udara mendadak menusuk tulang. Saat berpapasan aku menepuk pundak kiri Aldo dengan berbisik pelan.

"Tolong rahasiakan ini, ayo kembali ke kelas."

"Apa yang kamu dengar?"

"Nggak ada, ayo kembali ke kelas,"

"Tara, this is serious!" Kedua tanganku terkepal erat, aku melirik lewat bahu ke arah Aldo yang kini tengah menatapku dengan tatapan terluka. "Kamu nggak percaya padaku, Tar?" lagi-lagi dia bertanya, terselip nada kecewa di dalamnya.

Aku terdiam saat pintu ruangan tersebut terbuka menampilkan kak Kev dan Papa yang baru saja keluar dari dalam ruangan. Mendengus, aku melangkahkan kaki meninggalkan mereka yang saling memperhatikan satu sama lain. jika saja aku pergi lebih cepat semuanya tidak akan serumit ini, menggelengkan kepala, aku tanpa sengaja menabrak seseorang.

"Sorry," ujarku.

"Yep! Itu bukan sepenuhnya salahmu."

Kedua pupil mataku melebar saat mendengar suara itu. suara yang kemarin aku dengan di tempat billiard, mendongakkan kepala, aku melihat wajah itu lagi, wajah berbentuk berbentuk serigala dengan dahi tinggi dan tulang alis yang menonjol.

Aku mendengar suara langkah kaki yang berhenti beberapa jarak dari tempatku dan lelaki di depanku saat ini. menggelengkan kepala, saat aku ingin kembali melangkah berusaha menghindar dari kak Kev, dan Papa yang pasti akan bertanya banyak padaku, tangan kananku di tahan erat, dan hal itu sukses membuatku geram.

"Tara.., Hear me out,"

Berbalik badan, ekspresi wajahku mengeras menahan emosi yang sudah berkumpul di atas kepala, bibir yang siap di ledakkan kapan saja. "why the fuck sholud I listen to you?" semua orang terdiam, bahkan tangan kak Kev yang sebelumnya mencengkram tanganku kini sudah terlepas saat aku mengucapkan hal itu.

"Kamu mendengarnya?"

"Ya,"

"Tara... bukan seperti itu maksud Papa, nak.."

Kali ini Papa pun ikut berbicara dengan suara sedih yang mendalam, membuatku menengok kearahnya dengan tatapan terluka.

"I'm a monster, pa.."

"No, you're not."

"Tapi Papa yang bilang tadi, aku monster, aku..."

Aku terdiam saat tubuhku tertarik ke belakang bahkan wajahku menabrak dada bidang orang yang tidak sengaja aku tabrak tadi. saat aku ingin menjauh, tubuhku malah semakin tertarik ke depan dengan tangan kanan yang berada di belakang kepala, dan tangan kirinya memeluk punggungku erat.

"Sudahlah Om, Kev, berikan dia waktu untuk sendiri dahulu." Kedua mataku terpejam saat mendengar suara detak jantungnya yang berdetak cepat, emosi yang sebelumnya berada di atas kepala seketika menghilang. Aku merasakan rambutku di usap lembut, membuatku kembali membuka mata dengan tatapan bingung sekaligus tidak percaya. Mendorong tubuh itu agar menjauh, aku mendogak saat menatap laki-laki yang ada di hadapanku saat ini. "Sudah sedikit tenang?"

Aku menganggukkan kepala, dengan kedua mataku yang berkedip.

"Ingin pergi menenangkan pikiran?"

Aku menengok kesamping dan tidak mendapati kak Kev, Papa, dan Aldo. Kembali menengok kearah laki-laki itu, aku menatap dia dengan tatapan tidak percaya, bagaimana bisa dia membuat Papa, kak Kev, dan Aldo pergi? Sedangkan ketiga orang itu adalah orang yang keras kepala!

Hidungku di cubit lalu di goyangkan, membuatku menepis tangan itu agar tidak memainkan hidungku. Lagi-lagi orang itu tertawa, tidak marah, masih menunjukkan senyum yang sama seperti waktu di tempat billiard.

"Jadi?"

"Kenapa kamu selalu tertawa, dan tersenyum saat aku melakukan sesuatu yang salah?"

"Kenapa ya...," dia membalikkan badan menghadap kearah depan dengan kedua tangan yang di masukkan kedalam saku celana jeans birunya. "Karena.." tangan panjangnya terulur merangkul bahuku. "karena aku tahu, kamu sebetulnya nggak memiliki niatan seperti itu, kamu jelas marah kemarin karena aku ikut campur, dan soal hari ini, aku tahu kamu sedang terluka."

"Jangan sok tahu! Bagaimana jika yang aku lakukan kemarin benar-benar memiliki niat untuk menghajar kamu?"

"Nggak akan, aku tahu kamu seperti apa."

"Sok tahu!"

Kini giliran tangannya yang mengusap rambutku dengan tertawa. "Tadi aku kira yang bertabrakan denganku itu seorang laki-laki, ternyata kamu.. kenapa potong rambut?"

"Dari dulu sudah begini,"

"Yang benar? ngomong-ngomong rambut kita mirip modelnya, jangan-jangan kita sebetulnya jodoh?"

"Dasar orang nggak jelas yang sok tahu! Aku mau kembali ke kelas, ada ulangan sosiologi hari ini, bye!"

Aku berlari menjauh meninggalkan dia dengan tawa yang masih bisa terdengar oleh indra pendengaranku. "Iya, terus saja pergi menjauh, nanti akan aku pastikan kita bertemu lagi, effulgence!"

Effulgence? Apa itu? bahasa inggris kah?

***

Bel pulang sekolah berbunyi beberapa menit yang lalu, aku keluar kelas bersamaan dengan Aldo yang sejak tadi murung. Menepuk bahu Aldo pelan, membuat lelaki itu mendongak dan menatap tepat di kedua mataku.

"Kamu di marahin sama Papa dan kak Kev?"

Aldo menggeleng. "Lalu?"

"Aku cembur– aku sedang nggak semangat saja, kepikiran suasana rumah,"

"Yang benar?"

"Mhm..., kamu ingin langsung pulang?"

"Niatnya begitu, tetapi karena kamu sedang seperti ini lebih baik makan di tempat biasa lalu pulang, nanti bertemu lagi jam lima,"

"Untuk apa?"

"Temani aku membeli tindik,"

Pupil mata Aldo melebar, bahkan rahangnya hampir jatuh saat aku menyampaikan niatan ku mengajaknya pergi nanti sore. Menggeleng ribut, Aldo meraih kedua tanganku lalu di genggam erat, sukses membuatku mengerutkan dahi.

"Kamu kenap–"

"Sstt! kamu jangan pakai tindik, kalau mau pakai anting emas aja, aku belikan! Sungguh!"

Sontak aku tertawa mendengar ucapan Aldo yang terdengar panik namun terselip nada serius yang mendalam. Melepas pegangan tangan, aku terus tertawa sepanjang koridor, meninggalkan Aldo yang mengejarku lalu memiting leherku menggunakan tangan kirinya.

"Kamu mengerjaiku ya, Tara!"

"Hahaha, nggak kok, aku serius."

"Ayo, kita ke toko mas sekarang, aku belikan! Pilih sesukamu yang mana saja!"

"Hahaha, buat apa! kamu mau melamar kak Evan?"

"What?! Are u kidding me, Tara!"

Saat aku tengah bercanda dengan Aldo, sebuah suara mengintrupsi kami berdua untuk berhenti, ah tidak lebih tepatnya membuat kami berdua sama-sama berhenti, karena mendengar suara itu, lagi.

"Hei!" kedua bahuku mendadak lemas saat melihat lelaki itu kini sudah berganti pakaian, tidak seperti tadi pagi saat kami bertemu ralat, tidak sengaja bertabrakan lalu bertemu.

"H-how long have you been standing there?" tanyaku.

Lelaki itu mengangkat tangannya sejajar dengan dada untuk mengecek jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. "Sekitar dua puluh menit?"

"Maaf sebelumnya, ada keperluan apa anda menunggu Tara?"

Kali ini bukan aku yang menjawab, tetapi Aldo. Bahkan laki-laki itu kini menyembunyikan aku di belakang punggungnya, dari sini aku bisa melihat Aldo yang sangat tinggi, walaupun kenyataanya kami berbeda empat cm.

Aku tertawa pelan, menyadari jika Aldo tidak setinggi yang orang-orang kira. "Jangan tertawa!" geram Aldo, membuatku berhenti tertawa. "Jadi, ada keperluan apa?"

"Oh, kamu siapanya effulgence?" lelaki itu balik bertanya dengan raut wajah tenang. Memiringkan tubuh ke kanan, aku melihat lelaki itu tersenyum kearahku, sedangkan Aldo mengernyit tidak mengerti tentang apa yang di bicarakan oleh lelaki di hadapannya.

Bukan kamu saja yang tidak paham, aku juga tidak paham Do!

"Maaf, sepertinya anda salah orang, namanya Naura, bukan effulgence atau apalah itu!"

"Ngga aku nggak mungkin salah orang, dia memang effulgence, kamu siapanya?"

"Aku.. Aku sahabatnya!" jawab Aldo terdengar ragu menurutku.

"Baru sahabatnya, bukan kekasih apalagi suami, jadi biarkan Naura pulang bersamaku."

"Nggak! aku nggak akan menyerahkan Tara!"

"Sto–"

"Diam Tar! Ada om-om yang mau bawa kamu pergi, aku nggak akan tinggal diam! Aku cembu– khawatir sama kamu!"

"Paham."

Aku dan Aldo menengok kearah lelaki yang saat ini tersenyum geli kearah kami berdua, membuat garis muncul di antara alisku, begitupun dengan Aldo. Mungkin jika di ibaratkan, kami berdua adalah banteng yang siap menyeruduk martador yang membawa kain berwarna merah.

"Apa-apaan ekspresimu itu?!" tanya Aldo.

"Kamu," lelaki itu menunjuk Aldo menggunakan jari telunjuknya. "Kamu cemburu saat Naura dekat dengan lelaki lain, selain kamu, 'kan?" aku melirik kearah Aldo yang tiba-tiba raut wajahnya berubah menjadi kosong, tanpa sadar tanganku sudah di tarik oleh lelaki itu, sebelum pergi laki-laki yang menggenggam tanganku melanjutkan ucapannya. "Jadi biasakan mulai sekarang, karena effulgence mulai sekarang nggak akan bisa jauh dariku."

Sebentar, apa yang sebenarnya terjadi? Ini kan bukan cerita romance yang bertabur bunga!!!!!! 

------

Gue merasa.. em.. percaya diri, walaupun sedikit dengan cerita ini, semoga kalian suka dengan ceritanya, entah siapapun kalian yang membaca cerita ini, gue mengucapkan banyak-banyak terima kasih karena meluangkan waktu berharga kalian untuk membaca cerita ini, dan cerita gue yang lain.

Terima kasih banyak, semoga kalian selalu sehat, selalu dalam lindungan Tuhan, dan selalu bahagia.

Sepertinya itu aja dari gue, sampai bertemu di chapter selanjutnya.

salam,

Ws-etv

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top