🧇6: Viral
Silau si penyebar gosip di sekolah merasa bahwa Edel adalah orang yang tepat untuk dijadikan bahan berita. Bukankah keren jika di SMA yang ia pijaki sekarang memiliki seorang donatur—terutama bagi anak indekos, bahkan karena gadis itu pula para murid bisa menghemat uang jajan. Pasti orang tua mereka akan bangga atas prestasi itu.
Dengan lincah tangan Silau bergerak memotret wajah Edel dari berbagai ekspresi. Mulai dari tatapan pasrah, tersenyum, hingga menangis. Foto-foto itu akan ia gunakan untuk dipajang di mading sekolah nanti untuk dijadikan bahan gibah oleh murid-murid di SMA Bunga Bangsa.
"Target bagus, nih. Waduh sering-sering aja dia kayak gini. Lumayan," ucap Silau seraya menatap Edel yang baru saja melangkah keluar dari kantin.
Setelah Edel pergi tak tahu ke mana pun suasana kantin masih ramai akan perbincangan soal Edel.
"Besok ditraktir lagi, nggak, ya?" tanya seorang siswa yang sedang menikmati semangkuk mie ayam pada teman-temannya.
"Astaga bener-bener lo. Kasian gila dia udah nangis kayak gitu. Pasti sedih banget tuh uangnya terkuras banyak demi kita-kita. Tapi kalau misal dia memang mau lagi, ya ... gue nggak nolak." Kedua sudut bibirnya terangkat hingga memamerkan sederet gigi yang dihadang oleh kawat berwarna biru muda.
Siswa yang bertanya tadi sontak menjitak teman di sebelahnya. Apa yang dikatakan di kalimat pertama mengandung pembelaan terhadap Edel, tapi ternyata pada ujung-ujungnya masih memiliki sedikit harapan untuk berhemat.
"Lo juga berharap. Hilih ngatain kasian, tapi ada udang di samping cumi-cumi juga."
"Udang di balik batu kali." Beberapa tetes air liur milik cowok dengan gigi berkawat itu sedikit melompat keluar ke atas meja.
"Jorok banget, Bangsat!" pekik teman di sebelahnya yang kemudian lanjut berkata, "Kalau ada udang di balik batu itu kan artinya ada maksud lain. Kalau di samping cumi-cumi itu kan artinya yang ngomong ada di samping gue. Ngerti nggak?"
Sebuah gelengan kepala justru menjadi jawaban, bahkan ia merasa bahwa temannya ini juga ikut menjadi tidak jelas. Penjelasannya ruwet. Aneh pula. Tidak bisa dicerna menggunakan otak cemerlang.
🥝🥝🥝
Hari ini terasa berbeda dibandingkan hari lainnya. Tidak seperti biasa yang kerap disambut oleh rasa sepi. Kali ini Edel menemukan apa itu arti memiliki teman. Ia tak nyaman. Masih lebih senang berjalan sendirian di koridor sekolah.
Banyak dari mereka yang juga datang pagi demi sebuah pengharapan. Siapa tahu saja Edel mau membelikan mereka sarapan. Tak ada yang tahu.
"Hai," sapa beberapa siswi yang menyender di depan kelas dengan senyum melimpah.
Edel hanya membalas dengan tarikan sudut bibir. Tak paham kata-kata apa yang harus ia ucap demi membalas sapaan mereka. Selama ini ia tak pernah menyapa orang lain, apalagi disapa. Sebab hidupnya sudah terlihat seperti seekor cacing yang tersesat di dalam selokan dan tak tahu ke mana arah untuk mencari cahaya.
"Kamu sini, deh," panggil salah seorang siswi pada Edel yang tengah berdiri di depan mading.
Edel mengangguk, kemudian menghampiri cewek itu. Belum begitu banyak manusia yang berkumpul lantaran jam masuk sekolah yang masih awal.
Edel melangkah maju menghampiri cewek itu. Ada apa sampai ia dipanggil-panggil? Biasanya orang-orang pun sangat malas berinteraksi dengan dirinya.
"Kamu liat, deh. Ada muka kamu tuh. Cie viral. Nanti jangan lupa traktir kita-kita lagi, ya," ucap cewek itu yang kemudian langsung pergi tak tahu ke mana.
Edel terdiam kaku. Ya ... di mading berwarna hijau yang ditutupi oleh kaca itu tampak wajahnya. Selain itu pula terdapat tulisan Edelweiss— Siswi Kelas X IPA 3 Menjadi Seorang Donatur Para Murid di SMA Bunga Bangsa. Astaga ... bagaimana nasibnya sekarang? Bagaimana jika Daun melihat itu semua? Bisa habis nasibnya.
Siapa yang nempelin, sih? Air matanya kembali berderai seolah ikut mendramatisasi keadaan. Mereka selalu tampak di saat kesal, marah, bahagia. Bukan karena hypophrenia. Itu sudah menjadi bawaan lahir. Eh, tidak juga. Tapi sejak Edel kecil.
"Mama kenapa nangis? Mama marah sama Tata?" tanya Edel kecil yang menatap lekat Tiara—ibu kandungnya—yang sedang terduduk di atas kasur bersama beberapa tumpuk tisu
"Enggak, Nak. Mama nggak sedih ataupun marah, Mama lagi bahagia aja karena ...."
"Karena apa?"
Tiara tampak berpikir sebentar. "Karena Mama mau beliin kamu es krim. Kalau Tata bahagia, Mama juga, kok."
Tata menatap Tiara penuh arti. Gadis berusia lima tahun itu akan makan es krim hari ini. Ia janji, ia akan menjadi anak baik karena sudah diberikan makanan favoritnya.
"Tapi Mama beneran nangis karena bahagia? Bukan karena marah atau kesel sama Tata?"
Tiara menggeleng cepat sembari mendorong pelan putri tunggalnya keluar dari kamar. Memang ... sebenarnya ada yang Tiara tutupi dari Edel. Tapi usia Edel masih terlalu muda untuk mengetahui ini semua. Semoga saja gadis kecil itu tak akan pernah menemukan ia yang sedang menangis lagi.
Eh, tapi tunggu ... sepertinya ada yang salah dengan ucapan Tiara. Bagaimana jika saat Edel makan es krim nanti, anaknya justru menangis? Bagaimana jika ia dikira sebagai orang tua yang senang menyiksa anaknya sendiri di pasar swalayan nanti?
Sejak saat itu pula akhirnya Edel bersahabat dengan air mata. Tapi di satu sisi, ia kerap merasa lega tiap menumpahkan cairan bening itu walau terkadang merasa malu akan dirinya sendiri.
Kata Daun, lebih baik semuanya dicurahkan keluar melalui emosi daripada dipendam dalam diam. Daun juga berkata bahwa orang yang tak pernah menangis justru lebih rentan mengalami bunuh diri ataupun terserang depresi dikarenakan masalah yang tertimbun.
🍤🍤🍤
"Del, lo kan orang kaya. Itu tisu di tas nggak mau taro di meja guru aja? Jadi kalau misal kita butuh tisu, lo nggak perlu repot-repot ngeluarin lagi. Jadi gampang, 'kan?" tanya seorang siswa yang baru saja memasuki kelas bersama cucuran keringat. Cowok itu baru saja selesai bermain basket di lapangan.
Edel terdiam sebentar sembari memberikan beberapa lembar tisu pada teman sekelasnya tersebut. Apakah mungkin ia harus setuju? Aduh rasanya sangat tidak enak untuk menolak. Ia takut jika cowok itu marah ataupun membicarakannya jika berani menolak.
Tapi untungnya ia pergi meninggalkan Edel setelah mendapatkan tisu yang diminta dan kembali terduduk di kursinya.
Edel yang baru saja meletakkan tas di kolong meja segera mengeluarkan ponselnya yang bergetar. Nama Daun terpampang jelas di sana.
Edel mulai curiga dengan pesan Daun. Apakah ia sudah mengetahui semuanya?
Hailau, Bebsky!
Happy reading, Sayangku❤️
kumbangmerah terima kaci namanya udh mau bongbong pake, lebih tepatnya dinistakan sampe ending nanti🌚
Terus mau ngomong apalagi ya? Luva
Dah ah selamat menebak kelanjutannya~
Luvluv,
Bong-Bong❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top