🦍52: Kenapa?
"Kak, please ...." Wajah Edel dibuat semakin memelas.
"Lo jadi orang ngeyel banget, sih?" Emosi Daun tiba-tiba melonjak naik. Panas rasanya jika terus-terusan mendengar nama Regan kerap disebut. Ada apa dengan cowok itu sampai membuat sepupunya seperti ini?
Edel mengerjap pelan, lalu kembali ke posisi awal dan mengusap air mata yang lagi-lagi keluar. Baiklah kalau Daun sudah berbicara seperti ini, ia tak akan menentang. Harus mengingat apa yang sudah diperbuat kemarin, bahkan sepupunya ini sudah baik sampai mau menolong untuk yang ke sekian kali.
Mungkin ia sudah ditakdirkan lagi untuk bisa meminta maaf pada Regan. Karena menurutnya, semakin lama ditunda, maka hati seseorang akan semakin membeku dan menyimpulkan suatu hal.
"Istirahat aja lo! Nggak usah banyak minta!" balas Daun sinis sembari mendengus kesal. Namun, walau yang terjadi justru sebuah kemarahan, cowok ini malah mengirimkan pesan pada Regan.
Kalau saja bukan karena rasa sayangnya terhadap Edel yang begitu besar, pasti tak akan terjadi. Malas kali harus menghubungi orang tidak penting. Andai membiarkan orang yang sedang sakit banyak pikiran, tapi imunnya tidak turun, pasti cowok ini bakal tidak peduli.
Daun:
"Cepet ke Rumah Sakit Health Care. Edel dirawat, nyariin lo. Awas kalau nggak dateng, gue bales semua yang udah lo lakuin ke Edel."
Edel mengangguk pasrah. "Iya, Kak."
Namun, selang tak lama gadis itu berdiam diri di atas kasur, ia kembali bertanya, "Papa tau aku di sini?"
Daun menggeleng, lalu tersenyum sinis. "Dia juga nggak peduli andai tau pun."
Edel kembali mengangguk. Benar juga. Harusnya ia mengingat apa yang sudah terjadi kemarin. Untuk apa dia bertanya soal Ariyanto yang tak pernah mengharapkan kehadirannya? Baiklah, buanglah nama Ariyanto dari benaknya jauh-jauh. Lagi pula tidak ada guna juga memikirkan manusia seperti itu.
Tiba-tiba saja Daun melangkah menghampiri sang sepupu, kemudian menarik kursi plastik yang mendekam di bawah meja ke samping pembatas kasur Edel. Segera mendaratkan bokong, kemudian kembali berkata, "Jangan banyak pikiran dulu."
"Iya, makasih, Kak Daun."
🐥🐥🐥
"Aduh, kenapa lo bego? Masa udah jadian malah ditinggalin pas ceweknya kesusahan!" pekik Ziva tak terima dari seberang sana.
"Tapi dia udah bohongin gue, Va. Masa di depannya baik, tapi di belakangnya horror?" balas Regan tak terima.
"Emang ngerugiin Regan? Selama sama lo, dia nggak pernah aneh-aneh, 'kan? Ya udah, andai dia ngerokok sekali pun, lo masih bisa buat stop bad habbit dia! Kecuali dia kayak si Sora, noh!"
Jika saja Ziva sedang berada di rumah Regan saat ini, pasti sudah ia jambak sekuat tenaga agar otaknya bisa tercerahkan. Lagi pula kalau kata Nusa, semua itu hanyalah terkait kebiasaan buruk. Tidak perlu dibesar-besarkan asal tidak merugikan siapa pun. Ah, memang Nusa adalah pacar terbaik yang selalu membuka pikiran.
"Tapi dia udah bohong, Ziv."
"Heh, goblok! Mana ada orang yang nunjukkin kekurangan dia di depan lo? Emang lo pernah dikasih tau kalau dia nggak ngerokok apa gimana? Ih, lo jadi pacar makanya jangan cuman tau gombalin doang!" Ziva dibuat semakin emosi. Lagi pula, kenapa Regan sangat kekeh untuk membenci Edel? Menurutnya, cewek selalu benar, dan tentu saja Edel tidak bersalah karena bisa saja ia hanya ingin melampiaskan sesuatu, tapi tak tahu harus melalui apa.
Regan mendengus kesal sembari menggaruk kepalanya kasar. Jadi, selama ini ia yang salah atau Edel?
"Regan! Cepetan minta maaf sama Ayang Mbeb!" Ziva langsung mematikan sambungan teleponnya sepihak. Biarlah, ia akan membuat Regan berpikir dan mempraktikkan bahwa cewek selalu benar.
Regan yang masih belum puas berkonsultasi rasanya ingin menyantet Ziva saat itu juga. Tetapi tampilan nama Daun yang tiba-tiba saja muncul di layar ponsenya membuat sang jantung berdebar hebat. Ada apa sampai Daun mau menghubunginya lagi?
Segera dilihatnya apa yang dikatakan oleh Daun, kemudian cowok itu segera turun dan mengambil kunci mobil yang digantung di dekat pintu keluar.
"Mau ke mana, Gan?" tanya Mari yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Ke rumah sakit, Ma. Edel sakit," balasnya terburu-buru.
Mata Mari ikut terbelalak lebar. "Mama ikut!"
Sudah tak peduli dengan apa yang akan terjadi, akhirnya mereka berdua langsung memasuki mobil. Ya ... Mari memang ingin mengetahui bagaimana kondisi sang calon menantu, eh walau tak tahu soal kejelasan hubungan keduanya, tapi ia harus membujuk Edel agar mau bersama putranya.
Di tengah perjalanan, rasanya Mari menjadi lebih panik dibandingkan Regan. Wanita itu terus duduk dengan tegak sambil mengintip ke kaca samping dan depan secara bergantian.
"Cepetan!"
"Iya, Ma. Sabar." Entahlah, tapi kali ini cowok itu malah menjadi semakin panik lantaran melihat perilaku Mari. Sampai berdampak pada injakan pedal gas yang semakin kuat.
👶👶👶
Seorang wanita dengan kacamata hitam datang memasuki ruang rawat inap Edel bersama sebuah tas bermerk mahal. Segera berlari kecil, lalu meletakkan barang bawaannya di meja.
"Kirain Tante nggak akan dateng." Daun kembali tersenyum sinis. Ternyata Tiara masih sadar akan siapa perannya di sini.
Sekujur tubuh Tiara seketika membeku. Baru saja sampai tapi sudah dibuat terkejut dengan apa yang terucap dari bibir Daun. "Maafin Tante."
Daun menggelengkan kepala pelan. "Minta maaf sama anak Tante, dong, yang udah ditinggalin."
Astaga rasanya ia sangat emosi jika harus berhadapan dengan wanita ini. Lebih memilih berbahagia di luar negeri, tapi tidak memikirkan bagaimana nasib sang anak di sini.
Tak lagi mau meluapkan emosi yang luar biasa berkumpul, Daun segera keluar untuk menenangkan diri.
Edel yang mendengar keributan pun akhirnya membuka sang kelopak mata. Melihat siapa yang berdiri di sampingnya sekarang seolah membuat ia berpikir bahwa sekarang sedang berada di alam mimpi.
Air matanya kembali mengalir, bahkan dalam hitungan detik sang wajah ikut memerah. Ada yang meremas hatinya sekarang rasanya, apakah benar ini adalah sang ibu?
"Mama?"
Tiara yang awalnya sibuk menunduk dibuat terkejut dengan suara yang baru saja memanggil. "Tata!"
Ah, sangat rindu rasanya setelah bertahun-tahun tidak menemui sang putri. Segera mengangkat punggung Edel pelan, lalu memeluknya dengan erat. Keduanya menumpahkan tangis yang luar biasa.
Setelah akhirnya pelukan itu lepas, Edel kembali bertanya, "Kenapa Mama baru dateng sekarang? Tata kangen. Tata nggak mau tinggal sama papa lagi!"
Seperti ada yang menjahit kedua bibirnya sekarang. Ia tak bisa, bahkan sangat tak mampu untuk menjawab.
"Tata kenapa? Kok bisa dirawat begini?"
Edel menggeleng pelan. "Tata dipukulin, dijorokkin sama papa. Tapi Tata juga nggak paham kenapa bisa dirawat. Padahal lebih bagus langsung mati aja, 'kan, Ma?"
Tiara menggeleng cepat, kemudian mengambil telapak tangan sang putri yang masih terbaring di atas kasur. Mengusapnya pelan, lalu berkata, "Enggak. Tata berharga buat Mama. Harus hidup!"
Edel tersenyum tipis. "Beneran? Tapi kata papa, Tata itu nggak guna, cuman bisa bikin hidup sengsara aja."
Astaga apa yang sudah dilakukan oleh Ariyanto selama ini? Kenapa pikiran anaknya jadi terdoktrin seperti ini?
Tiba-tiba saja Daun kembali memasuki ruangan bersama Regan. Edel yang masih terbaring dibuat terkejut akan kehadiran Regan di sana. Bukankah ... ah, tak mungkin ini terjadi.
"Beneran Regan?" tanya Edel tak percaya.
Daun mengangguk cepat setelah akhirnya kembali terduduk di atas sofa santai. Akan ia biarkan pertemuan menggelikan antara dua insan yang sudah terpaut akan rindu.
Sementara Regan yang masih berdiri di ambang pintu hanya melempar senyum pada Tiara, kemudian menatap Edel kaku seolah masih bingung harus melakukan apa.
"Cepetan sono minta maaf, Gan!" teriak Daun dari sisi sana sembari menatap serius ponselnya.
Regan langsung melangkah maju dan berdiri di samping Edel. Menatap sang gadis penuh arti, kemudian berkata, "Maaf, gue salah kemaren. Gara-gara gue lo jadi begini."
Edel mengangguk pelan. Namun beberapa saat kemudian, seorang wanita yang baru saja ditemuinya waktu itu justru terdiam kaku setelah menutup pintu ruang rawat Edel.
"Loh?" Mari dan Tiara bertanya secara kompak. Tunggu ... apakah ini nyata?
Happy reading, Bebsky!
Love u,
Bong-Bong
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top