🍧46: Jawaban

Deg!

Terasa seperti ada yang menusuk jantung Edel sekarang. Jujur, ia masih tak tahu harus menjawab apa. Sekujur tubuhnya membeku. Apakah ia tidak salah mendengar?

"Kamu nggak bercanda, 'kan?"

Regan menggeleng.

"Aku ...." Tunggu, sebenarnya ia masih belum tahu harus menjawab apa. Ah, ia bingung. Di satu sisi mulai merasa jatuh hati pada Regan, tapi semua pesan-pesan Daun juga masih teringat dengan jelas di kepalanya.

Gue nggak tau harus ngomong apa andai lo masih deket-deket sama dia.

Ya ampun, apa yang harus ia lakukan? Menerima demi kebahagiaan diri sendiri atau memikirkan perasaan orang yang selama ini sudah berjasa untuknya?

Edel berusaha mengatur napasnya. Terdiam sembari menenangkan jantung yang terus berdebar adalah satu hal yang bisa ia lakukan. Jujur, ia ingin, tapi ... apakah boleh mengorbankan kepercayaan orang lain demi sesuatu yang bisa menumbuhkan kenangan indah di dalam hati?

Begitu pula dengan Regan yang rasanya semakin tidak tenang. Kenapa Edel berpikir sangat lama? Kepada siapa takdir akan memihak? Kalau saja Edel sampai berani menolak, harus berbicara apa ia kepada Ziva nantinya.

"Gimana?" tanya Regan sekali lagi. Apakah script dari Ziva semalam tidak memberikan efek positif? Ia pikir, kalau murid bahasa yang membuat dan hasilnya puitis, pasti tak memerlukan waktu 'tuk berpikir panjang. Tapi kenapa Edel masih terdiam dan tampak mempertimbangkan dari segala aspek?

Maaf, Kak Daun. Tapi aku beneran jatuh cinta sama Regan. Aku beneran nggak bermaksud, tapi aku nggak bisa coba buat nolak untuk kali ini. Sekali lagi, maaf.

"I-iya, a-aku ma-mau." Beriringan dengan sejumlah kata yang keluar, sang air mata pun ikut merayakan momen tersebut.

Seketika senyum Regan kembali mengembang lebar. Akan ia ucapkan banyak terima kasih pada Ziva karena sudah ikut andil dalam aksi penting ini.

"Berarti sekarang kita pacaran?" tanya Regan gugup.

Edel mengangguk pelan, dan Regan yang baru saja bernapas lega pun ikut terduduk di samping kekasih barunya. Tangannya seketika bergerak mengusap puncak kepala Edel, bahkan ia juga berbisik, "Thank you for accepting me. I love you."

Tentu saja kalau pasangannya Edel, tak akan pernah ia dengar balasan serupa. Gadis itu justru masih tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Mungkinkah ini hanya mimpi atau memang nyata?

"I-iya sama-sama, Regan." Edel menundukkan kepala. Masih bingung dengan keputusan yang sudah ia ambil. Apakah sudah tepat atau justru merugikan banyak pihak?

Tiba-tiba saja seorang cowok yang baru saja keluar dari kelas dan hendak mencari kenyamanan di area taman sekolah dibuat terkejut. Rahangnya mengetat, bahkan kedua tangannya pun ikut mengepal.

Napasnya yang memburu membuat segala ekspetasi akan relaksasi otak seketika pergi melarikan diri. Benarkah yang ia saksikan di hadapannya ini bukan sang sepupu?

Sakit rasanya melihat kebersamaan mereka. Dari jauh-jauh hari ia sudah memberi tahu Edel bahwa sampai kapan pun, tak 'kan pernah ia beri izin untuk berdekatan seperti ini.

Namun, sekarang ... nyatanya semua berbeda. Apa yang terucap melalui bibir, justru berbalik dengan kondisi hati. Ternyata ia sudah salah menaruh kepercayaan. Dipikirnya Edel adalah sepupu terbaik yang akan selalu setia menuruti segala nasihatnya.

Daun segera melangkah ke hadapan mereka. Berdiri tegap sembari menyaksikan betapa romantisnya mereka saat ini. Saling menikmati betapa lembutnya belaian sang lelaki.

"Gue cukup tau aja kalau selama ini lo main belakang." Daun tersenyum sinis sembari menggelengkan kepala tak percaya. Kemudian mendengus, lalu menertawakan betapa mirisnya rasa percaya yang diabaikan begitu saja.

"K-kak, Da-daun." Edel segera bangkit bersama tetesan air mata. Meluncur secara perlahan, tapi terasa seperti tak 'kan pernah berhenti.

"Iya, nggak usah nyesel kayak gitu. Gue tau, lo lebih percaya sama orang yang udah hampir bunuh lo di kolam." Daun seketika bertepuk tangan di udara. Kaget. Ternyata seseorang yang hampir menjadi pembunuh justru lebih berharga dibandingkan semua kebaikkan yang sudah diberikan.

Regan masih terdiam kaku di atas kursi. Tak tahu harus menjawab apa, tapi di satu sisi ia sadar bahwa penyebab dari ini semua adalah dirinya sendiri.

"Aku  minta maaf, Kak. Ta-tapi ...." Kepalanya tertunduk bersama mata yang terpejam—melepaskan beberapa air mata yang tak lagi kuat ditampunh di dalam sana, bahkan sekujur tubuhnya menjadi lemas dalam hitungan waktu.

"Oh, gue tau. Jangan-jangan manusia ini yang udah jadi penyokong duit rokok lo setiap harinya. Haha ... pantes aja, lo sengaja deket-deket biar bisa dapet keuntungan. Hebat!"

Rokok? Apakah Regan tak salah mendengar? Benarkah jika gadis yang terlihat lugu ini ternyata menyimpan sejuta kegelapan?

"Nggak usah sok kaget gitu, Gan." Daun kembali tersenyum sinis. Menurutnya, Regan ini sama-sama pandai menggunakan topeng sampai berpura-pura tak tahu kalau ia adalah dalang dari semua ini.

"Kak, aku minta maaf ...." Edel kembali melontarkan permohonan. Berharap ini adalah kesalahan yang terakhir, bahkan ia pun siap untuk mengakhiri hubungannya dengan Regan saat itu juga apabila Daun meminta.

"Nggak ada lagi kata maaf. Gue udah nggak percaya lagi sama lo. Cukup sampe di sini. Baru sadar kalau ternyata lo manusia bertopeng yang di luarnya polos, tapi ternyata nggak tau bales budi." Daun segera pergi bersama sejuta rasa kecewa. Mulai sekarang, ia akan mencoba untuk bersikap tidak peduli pada siapa pun, terutama pada seorang gadis yang baru saja ia temui.

"Jadi, lo itu nggak sebaik yang gue kira? Gue pikir lo itu polos, Del. Tapi ternyata enggak. Makasih udah jadi pembohong bertopeng yang baik." Regan ikut pergi. Walau rasa kecewanya tidak sebesar Daun, tapi ia sendiri pun merasa dibohongi dengan semua sikap Edel. Ternyata gadis yang selama ini ia pikir akan menjadi orang yang menuntun terangnya masa depan, justru senang menggunakan topeng demi dicintai oleh orang lain.

Terasa seperti tak ada lagi fondasi untuk bertahan, Edel terjatuh dalam posisi berlutut. Menatap kepergian dua manusia sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Ia pikir, andai Regan mengetahui ini semua, cowok itu akan menerima dengan lapang dada. Tapi ternyata semua harapannya sirna dalam hitungan waktu.

Padahal kalau boleh berkata jujur, ia sudah berhenti menyentuh batang rokok sejak bertemu Regan. Tapi kenapa cowok itu tak mau memintanya sebuah penjelasan agar terlihat dari sudut padang dirinya?

"Maafin aku." Dua kata yang keluar dari bibir Edel untuk terakhir kalinya di tempat ini. Air matanya semakin mengalir begitu deras, bahkan terasa ada yang merobek hatinya sekarang.

Segera mengenakan sebuah jaket berwarna putih, lalu menutup kepalanya rapat. Ia harap, tak ada lagi orang yang mau membuatnya merasa semakin hancur di hari ini.



Aduh baru jadian loh we☹️

Happy reading!

Love u,

Bong-Bong❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top