🍣45: Berpikir Keras
Mungkin pulang sekolah adalah waktu yang tepat untuk mengajak Edel ke tempat yang sepi. Seperti biasa, karena keduanya tak bisa melepaskan genggaman satu sama lain, jadi sepanjang jalan pun sudah terlihat bagai nasi dengan lauk.
"Regan, kita mau ngapain? Kenapa kita nggak pulang aja?"
Cowok itu masih setia 'tuk menutup mulut. Terus berjalan sampai akhirnya tibalah mereka di taman. "Duduk, ya."
Edel mengangguk pelan, kemudian langsung mendaratkan bokong, sementara Regan segera melenggang pergi tak tahu ke mana.
Gadis itu jadi sibuk menoleh.
"Regan? Kamu ke mana?" Tampak seperti anak hilang yang kebingungan, Edel segera mengeluarkan ponsel dan mencari nama Regan di sana. Ditekannya gambar telepon, dan saat tersambung pun justru tidak menghasilkan apa-apa.
"Apa aku ditinggal?" tanyanya pada diri sendiri sembari meletakkan jari telunjuk di bawah bibir.
Edel kembali meneguk salivanya. Tapi tak mungkin Regan berbuat seperti ini. Ya ... ia yakin bahwa cowok itu akan kembali.
🍱🍱🍱
"Bener, nih, sesuai dugaan, 2 manusia itu kabur duluan. Ya ... ya udahlah, kalau emang nggak mau rejeki, padahal tadinya mau dikasih pulsa andai berhasil." Regan menggelengkan kepala pelan sembari membongkar loker. Tangannya terus berlari di dalam sana—mencari sebuah kertas yang sudah ia siapkan sejak malam.
Tentu saja ini adalah ide dari Ziva, bahkan cewek itu yang memaksa Regan untuk melakukan ini semua. Tapi tak apa, untuk kali ini ia ikhlas disuruh-suruh.
Setelah berhasil mendapat barang yang ia inginkan, Regan kembali menghampiri Edel. Tentu saja sebelum itu ia sudah memastikan bahwa area ruang kelas sepuluh sudah sepi. Ya ... kalau jam pulang sekolah seperti ini, pasti semua murid kompak untuk berlomba—siapa yang meninggalkan sekolah paling cepat, maka ialah pemenangnya.
Cowok itu akhirnya bisa bernapas lega saat melihat Edel yang masih terduduk di taman. Baiklah, sepertinya rencana ia hari ini akan berjalan dengan baik. Semoga saja tidak ada yang menggagalkan, apalagi sampai merusak. Akan ia tendang siapa pun itu ke Sungai Amazone.
Jantungnya berdebar semakin kencang, bahkan kalau boleh meminta agar waktu bisa terlewati secepatnya, Regan akan memohon bagaimanapun caranya.
Sekali mengerjapkan mata dan menghentikan langkah sebentar sembari menghela napas panjang menjadi salah satu cara untuk menghilangkan rasa gugup.
Sesekali Regan mengangguk—meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia bisa melakukan ini semua. Kembali ditelitinya suasana taman yang tak berisikan oleh siapa pun terkecuali Edel yang sedang meremas roknya.
Apa aku pulang aja, ya? tanya Edel dalam hati. Berpikir sebentar, setelah akhirnya memutuskan untuk bangkit dan meninggalkan taman. Dengan cepat ia bersiap-siap, sementara Regan yang menyaksikan itu masih terdiam kaku. Antara bingung harus menahan atau mengajaknya pulang, lalu meminta maaf.
Baru saja mau menyantap langkah, tapi ia kembali ke posisi awal saat melihat Regan sudah kembali. Syukurlah, ternyata semua pikiran buruknya salah.
"Regan, kok kamu bengong?"
"Eh, iya!" Dengan cepat cowok itu langsung menghampiri sang gadis dan terduduk di sampingnya bersama sebuah plastik hitam yang berisikan sebuah kertas.
Kakinya terus digoyangkan. Pandangannya lurus ke depan dengan posisi tangan mengambang di dekat kaki kursi.
You can do it, Regan!
Kembali menghela napas, lalu memilih bangkit dan berdiri di hadapan Edel. Diteguknya sang saliva susah payah karena terlalu gerogi menatap Edel kali ini.
"Edel, gue punya sesuatu buat lo. Tapi maaf kalau dikantongin kayak gini."
Edel mengangguk pelan dan memperhatikan wajah Regan yang begitu kaku dengan sedikit mendongak ke atas.
Secara perlahan Regan mengeluarkan kertas bergambar dari kantong plastik berwarna hitam yang ia bawa, kemudian ditaruhnya wadah itu di atas kursi, dan kembali ke posisi.
Tangannya masih menjaga posisi kertas supaya tidak terlihat oleh Edel apa isinya. Tak peduli apakah kertasnya bosan menatap kemeja putih yang dikenakan atau bagaimana, tapi yang jelas jantung Regan semakin berpicu lebih cepat.
"Kenapa?"
Regan menggeleng cepat. Sembari memejamkan mata, cowok itu memutar balik posisi kertas yang ia bawa. Berisikan gambar peta walau tak jelas itu bagian dari negara ataupun pulau mana.
"Peta?" tanya Edel bingung.
"Lo bisa liat kan ini gambar apa?"
Astaga, kenapa Regan jadi bertanya sesuatu yang sudah dijawab sebelumnya? Seperti bergerak otomatis, telapak tangannya langsung melayang dan menepuk jidad sendiri.
"Aku nggak salah, 'kan?"
"Enggak. Lo tau nggak ini peta negara mana?"
Edel menggeleng. Andai ia bisa menghafal gambar-gambar seperti itu, pasti ia sudah masuk ke dalam jurusan sosial.
"Iya, bagus kalau kayak gitu."
"Kenapa?"
Ya ampun, kenapa ia jadi memperlambat pembicaraan seperti ini? Ingat, ini bukan kemauan dari otaknya, melainkan hati.
Kembali diteguk saliva miliknya susah payah, baru kemudian ia memaksakan diri untuk berbicara dengan posisi telunjuk berjalan ke arah peta yang sudah digambar.
"Mungkin emang anak IPS yang jago Geografi sekali pun nggak bisa nebak ini negara mana, pasti mereka bakal ketawa."
Edel masih terdiam—menunggu ucapan Regan selanjutnya. Walau kedua alisnya mulai mengerut—bingung apakah gambar Regan memang merupakan hasil dari ujian yang tidak lulus?
"Soalnya yang bakal tau ini tempat apa cuman kita berdua."
"Loh, kenapa kayak gitu?"
"I-iya, soalnya ini tuh peta khusus yang gue buat di negara bikinan kita berdua nanti."
Sedikit mencerna apa yang Regan katakan barusan, Edel akhirnya paham. Tentu saja senyumnya kembali mengembang. Berdua, apa itu maksudnya?
Regan tampak berpikir. Mengapa rasanya tiba-tiba buntu? Ah, dasar si otak, tidak mau diajak kerja sama di momen penting seperti ini.
"Oh, ya, sebenernya gue nggak suka bikin peta, malah gue benci banget sama pelajaran Geografi. Tapi semua itu harus dipaksain supaya nilai gue bagus."
Kali ini Edel dibuat bingung, kalau saja membenci, kenapa ia justru membuat gambar seperti itu? Bukankah malah membuat otaknya memanas?
"Kenapa kamu masih buat?" tanya Edel.
"Karena itu kewajiban gue buat belajar segala hal, termasuk mencoba buat mempelajari dan menahan apa yang gue benci dari lo selama ini."
Seketika wajah Edel berubah menjadi lemas. Air matanya sudah siap untuk mengalir, walau sekeras mungkin ia tahan agar tidak menjadi orang yang rajin menangis.
"Selama ini ... gue benci sama lo yang suka banget nangis pas seneng sama sedih. Nggak cuman itu aja, sih, gue juga benci pake banget sama lo yang udah mulai bisa nolak."
"Maafin aku, ya, Regan. Tapi bukannya kata Kak Daun, kita harus bisa nolak?" Edel mengusap pelupuk matanya yang sudah menampung belasan air mata untuk diusir dan digantikan dengan yang baru.
"Karena ... kalau lo udah bisa nolak, gimana status kita ke depannya? Apa cuman sekedar teman?"
"Emang kamu maunya kita ini gimana?" tanya Edel.
Aduh, sudah saatnya mencapai titik puncak dan melepaskan segala hal. Jantung Regan semakin berdebar. Lagi pula, kenapa ia harus berbasa-basi dan membuat semuanya menjadi lebih lama?
"Tapi walau gue benci hal itu, gue tetep mencoba buat menerima, karena mau bagaimanapun, dalam suatu hubungan, kita harus bisa nerima kekurangan pasangan kita, eh calon pasangan."
Mata Edel kink sedikit terbelalak. Masih tak percaya dengan apa yang Regan ucapkan sekarang. Jadi, dari kemarin ia dibuat bahagia, termasuk salah satu trik agar keduanya bisa bersama? Bukankah begitu?
"Sekarang gue udah terang-terangan di depan lo, dan mau lebih jujur lagi soal kondisi hati yang udah cenat-cenut dari lama. Lo mau nggak menyatukan dua hati yang awalnya enggan bersatu, tapi semakin lama jadi saling merindukan?"
OH MY TO THE GOD GILA BAB INI BIKIN BONGBONG REVISI SMBIL SENYAM SENYUM YAWLAH. AH GILA BAPER BANGET PARAH
HAPPY READING!!!!!
LOVE U,
BONG-BONG❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top