🍒42: Rumah Camer

Seusai keduanya pulang dari tempat bermain, Edel dan Regan langsung kembali. Bukan ke rumah Edel tentunya, tapi ke rumah Regan.

"Loh, ini rumah siapa lagi?" Edel menatap heran saat sampai di depan bangunan yang persis seperti rumah sekitar.

"Yuk!"

"Hah?" Kenapa cowok ini sangat suka berbuat sesuatu secara tiba-tiba? Ya ampun, ia pikir akan segera diantar pulang setelah bermain sampai waktu hampir petang. Tapi ... ada bagusnya juga, ia jadi bisa menikmati waktu di luar rumah.

"Ayo, masuk aja." Regan segera merangkul leher Edel agar keduanya berjalan beriringan. Segera memencet bel dan seorang wanita paruh baya akhirnya keluar membukakan pintu.

"Hai, Bi," sapa Regan yang kemudian segera membawa Edel masuk ke dalam, dan memaksanya duduk di ruang tamu.

Mari yang baru saja selesai membuat bolu cokelat langsung tersenyum ramah dan membawa sepiring kue itu ke meja. Senang sekali rasanya jika kedatangan tamu seperti ini, jadi yang makan kue pun pastinya akan bertambah banyak. Tidak perlu repot-repot memaksa Regan untuk menghabiskannya karena cowok itu mudah bosan dalam memilih makanan.

Edel hanya mengangguk senyum saat melihat Mari. Kedua tangannya yang ditopang di atas lutut pun terus beradu.

Mari segera ikut mendaratkan bokong di hadapan Edel. Memang, sih, biasanya ia tak pernah seperti ini. Tapi entah kenapa, ada sedikit rasa kepo yang mengganjal saat pertama kali melihat wajah Edel. Tampak tak asing, tapi siapa?

Seketika puing-puing pecahan ingatan itu kembali. Kenapa sangat mirip? Tapi ... apakah iya? Tidak mungkin.

Tanpa sadar, Mari jadi ikut mengernyit—entah kenapa rasanya sangat sinkron dengan apa yang terpikirkan. Kalau boleh memohon, tolong ... ia sangat berharap, semoga cewek yang dibawa Regan bukanlah gadis kecil itu.

"Ma!" teriak Regan yang sedari tadi menatap Mari bingung.

Sontak Mari mengerjap beberapa kali. Ya ampun, pertanda apa sebenarnya? Kenapa kali ini rasanya sungguh berbeda dibandingkan bertemu anak seumuran Regan yang lainnya?

"Eh, iya, maaf. Dimakan, Nak." Mari mendorong piring putih polos yang masih berada di tengah meja.

"Iya, Tante," balas Edel.

"Jangan malu-malu."

Edel masih memberikan reaksi yang sama—tersenyum. Lalu segera menoleh ke arah Regan karena sebenarnya bingung harus berbuat apa. Ingin menatap Mari, tapi takut disangka yang aneh-aneh. Fokus pada kue, ia malu untuk mengambilnya.

"Oh, mau diambilin?" Tampak peka dengan apa yang terjadi di hadapannya, Regan segera menyambar bolu buatan Mari dan memberikannya pada Edel.

Loh, kenapa sekarang malah tidak diambil?

"Jadi, nggak mau makan sendiri? Maunya disuapin? Oke." Regan segera mengupas kertas yang menempel pada sisi samping bolu, lalu segera melayangkan makanan tersebut ke depan mulut Edel.

Jujur, rasanya sangat nyaman menikmati tatapan mata Regan seperti ini. Tidak terkesan horor, melainkan memberi sebuah sisi kedamaian yang sulit sekali didapatkan.

"Buka mulut lo, Del. Yang gede kayak pesawat."

Walau sebenarnya tak ingin melakukan ini, tapi bibir Edel bergerak secara otomatis. Giginya pun sibuk memotong benda padat tersebut, baru kemudian dikunyahnya perlahan.

"Oh, jadi maunya pacaran di depan Mama? Oke, Mama naik, deh, biar nggak ganggu." Mari segera bangkit, lalu pergi begitu saja.

Edel yang sempat melupakan kehadiran Mari di sana kini terdiam kaku. Giginya berhenti mengunyah, bola matanya pun mengikuti gerakan tiap langkah Mari.

"Asaga, maawf, Tantwe. Adi saya nggak bermakud." Ah, beberapa potongan kue di dalam mulut Edel menjadi hambatan saat berbicara pada Mari. Sedikit tidak sopan memang, tapi menurut daripada menimbulkan ketersingungan, lebih baik melakukan hal ini.

Ya ampun, anak ini sungguh polos. Mari yang baru saja menginjakkan kaki di anak tangga pertama langsung menoleh dan kembali ke ruang tamu.

Edel segera merebut kue tersebut dari jari Regan, lalu memasukkan sisanya ke dalam mulut karena terlalu canggung saat melihat kehadiran Mari lagi.

"Laper, ya, Nak? Emang tadi sama Regan nggak dibawa makan dulukah?"

"Lupa, Ma. Keasikkan main, hehe ...." Lagi-lagi senyumnya mengembang. Matanya pun ikut memicing karena pergerakkan otot di bagian rahang pipi.

Belum terkunyah halus, tapi Edel langsung menelannya. Untung saja ia tidak tersedak, andai iya, pasti akan lebih merepotkan lagi bagi mereka.

"Eh, iya, ini Edel yang kemaren Ziva sebut namanya kenceng-kenceng, 'kan?"

Mata Regan kembali terbelalak, bahkan rahangnya pun ikut mengetat. Sementara Mari yang menyaksikan perubahan ekspresi di wajah Regan hanya tertawa kencang. Lucu juga, ya, kalau mengenang masa muda. Dulu saat bersama Chowy pun kejadiannya tak jauh berbeda dengan ini. Pasti anaknya sangat malu saat diucapkan seperti ini.

Tak lama setelahnya, bola mata Regan kembali melirik ke arah Edel. Gadis itu tampak sedang mencerna apa yang Mari katakan. Apakah mungkin sedang merangkai segala ucapan Ziva di telepon kemarin?

"Emang kamu sama Edel sekarang statusnya apa? PDKT? Pacaran?"

Edel terdiam sesaat. Loh, jadi yang dikatakan Ziva itu benar semua? Tapi ... bagaimana bisa hal ini sampai menyebar ke pendengaran sang ibu? Apa jangan-jangan sebentar lagi Daun pun akan mendengar berita menyeramkan ini? Jangan sampai.

"Emang Mama maunya apa?" tanya Regan walau sebenarnya ia tegang akan apa yang baru saja ia keluarkan dari sang bibir. Namun, siapa tahu saja, dari hal ini bisa berlanjut ke jenjang yang lebih serius?

"Terserah kalian aja. Kalau pacaran, sih, lebih baik."

Tunggu ... sepertinya setelah sampai di rumah kemarin, Ziva sudah menebarkan racun dan membocorkan segala rahasia Regan kepada Mari. Eh, bisa jadi juga dari Chowy yang sempat menaruh rasa kepo saat di kolam renang kemarin.

Jujur, Edel semakin tak paham dengan perbincangan saat ini. Kenapa jadi melebar ke hubungan yang lebih lanjut? Padahal saat berdekatan dengan Regan saja masih terasa abu-abu. Iya, kadang bisa membuat bahagia, tapi di satu sisi juga bisa membuat jantungnya berdebar karena segala sesuatu yang ia lakukan, terjadi tanpa perencanaan.

Regan yang sadar akan perubahan mimik wajah Edel segera mengalihkan pembicaraan. Ingat, tak boleh terburu-buru saat menyatakan perasaan. Akan besar resikonya untuk ditolak dan tidak berhubungan lagi. Lebih baik sedikit sabar dan menjalankan segala sesuatunya secara pelan-pelan agar lebih nikmat dan dapat ditulis dalam catatan kenangan yang panjang.

"Edel, udah mau pulang, 'kan? Nanti dicariin orang tua lo, yuk!" Regan segera bangkit, lalu menarik pergelangan tangan Edel yang masih bertumpu di atas sofa.

Dicari oleh orang tua? Sepertinya tidak akan terjadi.

"Halah ... gerogi bilang aja. Udah sana, anterin pake mobil Mama biar nggak kepanasan."

Regan langsung mengacungkan jempol setinggi langit. Baiklah, walau sebenarnya malas membawa mobil, tapi demi Edel, seketika sikap rajinnya datang berkali-kali lipat.

"Yuk!"

Edel mengangguk, lalu menoleh ke belakang dan kembali melempar senyum pada Mari.



Mamaa kamu lucu banget, sih😂. Ketuler Ziva pasti. Eiya, masa bongbong ikutan kepo si mama inget apaan waktu ketemu cadel🙄

Happy reading!

Love u,

Bong-Bong❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top