🍹41: Didorong

Sepulang sekolah, Regan segera menarik Edel menuju motornya. Ya ... gadis itu akan ia culik untuk bersenang-senang, supaya tahu apa maksud dari ucapannya kemarin.

"Regan, kamu mau ngapain lagi?" tanya Edel yang tengah berdiri kaku di samping motor Regan.

"Nggak, gue ada kejutan buat lo. Cepetan naik."

Edel mengangguk paham, lalu segera mengikuti instruksi Regan sebelum tertangkap basah oleh Daun.

Bersama embusan sepoy-sepoy angin, cowok itu kembali bertanya, "Edel, maafin semua kesalahan gue. Boleh nggak lo kasih tau kemaren itu kenapa?"

Tak ada jawaban selama beberapa menit, Regan menoleh. Sang gadis tidak menangis, tapi pandangannya masih menatap lurus ke depan.

"Tolong, jawab gue. Jangan cuekkin gue terus, Del."

Tidak, Edel tak akan menjawab. Ini adalah rahasia besar, dan cowok itu tidak boleh mengetahui apa pun selama status keduanya masih berteman.

Hingga akhirnya tibalah mereka di sebuah tempat—mungkin belum pernah dikunjungi oleh Edel sebelumnya. Ya ... selama 16 tahun menginjakkan kaki di bumi, gadis ini belum pernah memasuki mall.

Regan yang baru saja selesai memarkirkan motor, masih bergeming. Tentu saja ia masih menunggu jawaban walau sepanjang jalan tadi hanya dihiasi oleh keheningan. Ia bukan dukun ataupun anak indigo yang bisa menebak apa isi hati seseorang, jadi segala usaha akan dicoba untuk mencari tahu.

"Gue nggak akan masuk ke dalem kalau lo nggak jelasin penyebab kemaren lo nangis."

Loh, kenapa cowok ini semakin memaksa?

"Ya udah, kita di sini aja juga nggak apa-apa," balas Edel sembari melirik ke kiri dan kanan. Tempat pengap bernuansa gelap itu sedang sepi, jadi akan aman sepertinya untuk berdiam diri tanpa melakukan apa pun.

Regan menggelengkan kepala pelan. Ya ampun, untung saja ia sedang mengejar cinta, kalau tidak, pasti sudah ia perlakukan seperti dahulu kala.

"Oke, gue ngalah. Tapi lo beneran udah maafin gue, 'kan?"

Edel tampak menghela napas. Andai mungkin sepulang sekolah akan sering seperti ini, ia akan ikhlas memaafkan. Namun, andai saja hal ini hanya terjadi sekali, rasanya mungkin sulit. Bukan karena ingin menguras, tapi ia hanya butuh sebuah hiburan di luar rumah.

"Del?"

Bersama pejaman mata yang begitu dalam, Edel mengangguk pelan. Baik, ia harus ikhlas memaafkan walau sulit rasanya. Memang ia tak tahu bagaimana perjalanan hidup ke depannya, andai harus mati di tangan Ariyanto, ia pasrah. Jika sudah tak kuat, karena sudah terbiasa menghindar, ia akan berlari ke rumah Daun.

Regan tersenyum puas, kemudian segera turun dari motornya dan menggandeng gadis itu masuk ke dalam.

Dengan dagu yang terangkat, bahkan wajah yang begitu bangga Regan melangkah masuk. Untung saja mereka berdua memakai jaket, jadi lolos dari cegatan satpam.

Edel menatap sekelilingnya takjub. Sumpah, baru kali ini ia melihat tempat semewah ini. Pasti barang-barang yang dijual pun mahal. Jadi, tak heran jikalau semasa kecil pun, Tiara dan Ariyanto tak pernah mengajaknya ke sini karena kondisi ekonomi.

"Seneng nggak ke sini?"

Edel mengangguk. Ah, air matanya ikut keluar. Tak deras, tapi beberapa tetes ikut berseluncur karena terlalu bahagia.

"Loh, kok nangis lagi?"

Regan segera berputar menghadap Edel, mengusap air matanya agar hilang dari permukaan dan tak lagi kembali.

"Inget, kalau jalan sama gue nggak boleh nangis."

Edel mengangguk paham bersama sedikit senyuman, kemudian keduanya kembali berjalan. Tentu saja wajah Regan masih tak berubah, terlihat begitu bangga karena bisa meluluhkan hati sang pujaan.

"Regan, kenapa kamu gandeng aku terus?" tanya Edel sembari menatap betapa lekatnya dua buah telapak tangan yang menyatu.

"Iya, soalnya tangan kita punya magnet invisible, tangan gue kutub utara, lo kutub selatannya. Jadi, nggak bisa lepas."

Tanpa sadar senyum Edel mengembang. Astaga bagaimana bisa Regan mengucapkan kalimat seperti itu? Lalu kenapa rasanya jantung Edel ikut berdebar, bahkan semua perasaan kesal yang bersembunyi di dalam dada kemarin pun hilang seketika.

Yes! Gue berhasil! batin Regan.

"Eh, iya, aku boleh nanya nggak?"

Regan mengangguk pelan sembari menatap sebuah papan petunjuk menuju area ice skating. Tentu saja Edel belum mengetahui ini semua, yang jelas ia sudah berencana untuk menghabiskan sisa waktu bersama Edel secara berduaan.

"Hm ... Ziva itu siapa? Di-dia kemaren kenapa telpon aku pake hp kamu? Terus yang dia ngomongin kemaren bener semua?"

Sumpah, kenapa pertanyaan Edel seperti ini? Kalau tahu akan seperti ini kan pasti tak akan ia berikan kesempatan untuk bertanya. Masa iya harus jujur di tengah keramaian seperti ini. Bagaimana jika Edel menolak dan memilih untuk menjauh? Tidak lucu.

"Emang dia ngomong apaan?"

"Katanya, aku harus maafin kamu. Tapi, ada satu hal yang bikin bingung, emang bener kalau kamu suka sama aku?"

Regan meneguk salivanya susah payah. Langkahnya menjadi semakin cepat, bahkan tangan Edel seperti diremas-remas. Kini, jantungnya terasa sedang melakukan senam irama. Kepalanya pun ikut bergerak ke kiri dan kanan, seolah mengalihkan secara tidak langsung untuk terus kembali mencari area permainan.

"Regan?" panggil Edel setelah sekian lama tak ada jawaban. "Tangan aku kenapa dipencet-pencet?"

"Eh, iya maaf." Lebih baik, demi keamanan jasmani, Regan melepas ikatan magnet itu.

"Jadi, bener yang diomongin sama sepupu kamu?"

Regan masih terdiam seraya melihat ke atas, dan melirik sekitar. Ah, syukurlah tinggal berbelok sudah sampai di arena.

"Yuk, kita ke sana." Jari telunjuk Regan menunjuk ke area ice skating, lalu kembali menggandeng tangan Edel dan membawanya ke loket untuk memesan beberapa perlengkapan saat bermain nanti.

"Loh, kita ngapain?"

"Main."

Edel dibuat semakin bingung, apalagi saat salah satu karyawan menyerahkan sepasang kaos kaki, dan juga perlengkapan lainnya.

"Lo hari ini ada pelajaran olahraga, 'kan? Ganti rok lo pake celana panjangnya, ya," balas Regan.

"Buat apa?"

"Kalau nggak diganti, nanti misal jatoh, bakal luka."

Edel mengangguk paham, baru setelahnya mengikuti petunjuk karyawan untuk menggunakan atribut, serta berganti pakaian.

Baru kemudian setelah semuanya siap, Edel dan Regan memasuki arena permainan.

"Dingin." Satu kata yang berhasil keluar dari bibir tipis Edel sembari menatap Regan lekat.

"Emang dingin, kan di sini banyak esnya."

"Terus ini kita ngapain?"

"Ikutin gue aja, ya." Regan menarik dua tangan Edel, lalu digenggamnya secara perlahan. Kemudian kaki Regan perlahan melangkah mundur, dan tentu saja Edel ikut terseret walau pelan.

"Lo jalan pelan-pelan."

"Kok serem?" Kedua tangan Edel dengan kompak bergetar, kakinya pun seolah mengikuti irama getaran tangannya.  Mungkin jika saja melihat ke bawah, pasti bercak es yang diinjak sudah berbentuk jik-jak.

"Santai," balas Regan sembari menarik tangan Edel mengelilingi area ice skating.

"Bisa?"

Edel mengangguk takut. "Tapi pegangin. Aku nggak berani sendirian."

"Iya, tenang."

Keduanya kini kembali berputar mengelilingi arena. Semakin cepat rasanya gerakan Regan, hampir saja terpeleset andai tidak berhati-hati.

"Sekarang kita belajar jatoh."

Mata Edel terbelalak lebar. Astaga, andai bisa selamat, kenapa harus melukai diri sendiri?

"Ayo!" Tanpa persetujuan Edel, cowok itu segera menarik kerah baju Edel cepat hingga keseimbangan sang gadis pun ikut rapuh.

Berhasil, pantat Edel sudah mencium dinginnya permukaan es.

"Aw ...."

Sekarang gantian Regan yang berjongkok di depan wajah sang gadis, lalu menatapnya lekat sembari mengangkat kaki kiri Edel.

"Sekarang lo pake gaya 'siap' pas lomba lari di lapangan." Edel segera menekuk kaki sebelah kanannya untuk menjadi tumpuan sang tubuh. Baru kemudian, Regan bangkit dan melingkarkan tangannya di pinggang Edel dan membantu sang pujaan hati untuk berdiri dengan sempurna.

"Setelah belajar jatoh, sekarang lo coba jalan tanpa pegangan. Inget anak TK yang berdiri di atas kursi dan jalan di atasnya buat jaga keseimbangan? Nah, kayak gitu."

Edel kembali mengangguk paham dan mengikuti instruksi Regan. Oh, jadi ternyata seperti ini caranya supaya bisa bermain sendirian.

"Kita samping-sampingan biar lo nggak diculik."

"Hah?" Edel melirik ke arah Regan bingung. Apakah masih ada penculik yang mau mencari korban di tempat keramaian seperti ini?

Tak lama, Regan kembali menghilang dan tiba-tiba saja sudah berada di belakang tubuhnya. Mendekatkan bibir ke samping telinga Edel, lalu berkata, "Ayo ngelangkah pelan-pelan. Satu kaki, satu kaki terus diem, dan ulangin gerakan itu lagi waktu udah mau berhenti supaya nggak jatoh."

"Kok kamu di belakang?"

"Kan udah gue kasih tau, di sini banyak penculik. Kalau berdirinya di belakang, kan gue jadi bisa ngusir yang deket-deket sama lo."

Edel kembali tersenyum tipis, bahkan karena terlalu senang, air matanya sampai ikut meleleh. Dengan cepat ia usap sebelum tertangkap basah oleh orang di belakangnya.

"Nangis, ya, lo? Astaga ... jangan weh, nanti dikira gue mau ngapa-ngapain lo dari belakang. Cepetan jalan, kalau masih nangis, nanti gue peluk dari belakang. Mau?!"

"Dih, kamu jangan kayak gitu," balas Edel diselingi tawa. Baru kemudian ia bermain sesuai instruksi dari belakang.

"Liat aja lo, gue peluk kapan-kapan. Kalau kita udah jadian!" bisik Regan dari belakang.

Seketika langkah Edel terhenti, lalu menoleh bersama kedua alis yang semakin berdempet. "Kamu ngomong apa?"

"Enggak, lo halu kali."

Edel masih terdiam tidak percaya. Jelas ia mendengar ada yang berbicara dari belakang walau tak begitu terdengar apa yang diucapkan.

"Cepetan main lagi!"

Dengan mudahnya Edel mengangguk. Semakin lama, kecepatannya dalam melangkah pun bertambah. Regan bangga melihat hal itu. Ah, akhirnya setelah sekian lama menyusahkan, kini ia bisa melihat sebuah ukiran senyum terlukis di sana. Ia harap, selamanya akan menjadi seperti ini.

"Good job, Baby. Eh, Edelweiss." Regan menghela napas lembut saat melihat Edel yang sudah  jauh. Syukurlah tak akan terdengar pujian keceplosannya itu. Andai iya, bahaya pula nasibnya.

Tak lama, Edel kembali menoleh seraya mengacungkan jempol.

Tunggu ... apa maksud dari gerak-gerik Edel barusan? Jangan-jangan pendengarannha setara dengan binatang.


UwU dapet 1500 kata dung. Ya ampun, beneran nulis ini ngga sadar udah segini aja. Semoga nggak bosen, yaw!

Coba bacanya sambil dengerin lagu di mulmed, aaaa lagunya baperin banget. Ya ampun pokoknya bayangkan gebetan kalian sama kalian lagi berduaan. Pasti uwu banget

Happy reading!

Love u,

Bong-Bong

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top