🏵39: Cewek Selalu Benar

Masih tak ada jawaban, Regan menoleh sebentar. Loh, kenapa sang gadis justru menunduk? Apakah ia salah berucap? Bukankah keluar dari pekerjaan dan beristirahat di rumah, lalu berduaan dengan dirinya adalah hal yang paling memuaskan?

"Edel, sekarang kita mau ke mana lagi?"

"Pulang aja," balas Edel singkat bersama sebuah isakan kecil. Ya ... ia butuh 'tuk menenangkan diri.

Tunggu, ada sesuatu yang salah dari jawaban Edel. Ya ampun, apa yang sudah dirinya lakukan hingga manusia itu kembali menangis? Kenapa kali ini rasanya berbeda? Biasanya saat melihat beberapa tetes air mata yang keluar, perasaannya sama sekali tak tersentuh.

Agar tampak sebagai cowok yang gentle, perlahan Regan memperlambat tancapan gasnya, lalu sedikit berbelok untuk berhenti di dekat pohon rimbun di depan sana.

Setelah sampai di tempat yang Regan rasa bisa menjadi penyejuk hati dan pikiran, akhirnya putaran roda itu terhenti.

"Kenapa?" tanya Regan seraya turun dari motornya dan mengangkat helm yang dipakai oleh sang gadis dan menggantungnya di atas spion sebelah kiri. Tak lupa hal yang sama pun ia lakukan pada helm miliknya.

Edel yang masih terduduk dalam keadaan menunduk pun menggeleng sembari mengusap air matanya kasar. "Kita ngapain berhenti? Aku mau pulang."

"Ya udah, kita pulang. Tapi lo kasih tau gue dulu kenapa nangis. Lo nggak suka karena bawa motornya kekencengan apa kelambatan?" Sebisa mungkin ia mengingat nasihat dari Ziva. Cowok itu selalu salah, jadi ia harus pintar menyalahkan diri sendiri agar sang calon pacar bisa merasa nyaman. Andai cewek yang salah pun, semua kembali ke kalimat awal.

Sungguh bertentangan dengan prinsipnya memang. Tapi demi Edel, semua harus dikorbankan agar jalannya semakin mulus. Jika dipikir-pikir, cewek itu menyusahkan. Tapi tetap saja membuat sang hati rindu. Tak kuat untuk berada dalam jarak jauh, walau pengorbanan untuk terus mengalah sangatlah besar.

Edel menggeleng pelan. "Kalau gitu aku pulang sendiri aja. Makasih udah nganterin." Perlahan, kaki Edel bergerak dan bersiap melangkah turun.

"Ya udah gue anterin."

Edel mengangguk paham, kemudian kembali ke posisi duduk awal dan menunduk (lagi). Andai saja jarak rumahnya sudah dekat, dapat dipastikan bahwa dirinya tidak akan bersama Regan lagi. Kalau bukan karena takut berpapasan dengan Daun, pasti tak akan terjadi.

Pada akhirnya hanya keheningan yang berani merampas suasana saat itu. Tak ada lagi yang membuka pembicaraan, bahkan Regan pun berhenti berbicara lantaran merasa takut jika Edel menangis semakin keras.

Ah, akhirnya ia sampai juga di depan rumah. Segera turun dengan cepat dan melangkah masuk ke dalam tanpa menghiraukan siapa yang sudah mengantar. Tak lagi ingat akan ucapan terima kasih yang biasanya terbayang, kali ini yang ia inginkan hanya satu hal. Rokok.

Hanya itu satu-satunya jalan yang membuat Edel merasa tenang. Mungkin ... untuk besok dan seterusnya, hanya benda itu yang akan menjadi sahabat sejatinya. Ia pikir ia bisa berhenti karena sudah bekerja dan menghabiskan waktu di luar, tapi Regan mengubah segalanya.

Dengan cepat cewek itu mengunci pintu rumah dan berlari masuk ke dalam.

Deg!

Seperti ada satu anak panah yang menusuk jantungnya sekarang. Apa yang harus ia lakukan? Sumpah, seharusnya kemarin ia juga bertanya tentang cara menghadapi kemarahan seorang perempuan.

"Lo kenapa, Manusia? Gue nggak ngapa-ngapain lo, 'kan? Terus masalahnya apa coba? Ih, ribet, deh, lo." teriak Regan dari kejauhan. Tentu saja Edel dapat mendengar hal itu. Ternyata memang benar, kemarin itu bukanlah Regan yang ia pikir sudah berubah menjadi baik.

"Gue minta maaf kalau gue ada salah sama lo!" teriaknya lagi.

Hanya sebuah suara tutupan pintu yang terdengar dari luar.

"Jiah ... harus konsultasi lagi, dong, gue sama Ziva."

Regan segera menyalakan mesin motornya, dan berputar arah. Sepertinya memang sudah melakukan kesalahan fatal karena berteriak di tengah kemarahan seseorang, apalagi di depan rumah yang sepi dan terlihat tanpa penghuni.

Motornya kembali mengurai jalanan luas kota metropolitan. Menatap lurus ke depan dan terus berpikir apa yang salah dengan Edel hari ini.

Sebab semua orang selalu bermimpi untuk bisa berpacaran dengan bantal, kasur, dan guling setiap detiknya. Walau ia sendiri pun lebih cinta air kolam. Tapi kata Ziva, tiga benda di atas adalah tempat ternikmat dan pasti disukai oleh semua orang. Lantas mengapa Edel tampak tak suka? Mungkinkah ini yang dinamakan jodoh, karena sama-sama tak cinta pada kasur?

Ah, sulit ternyata jika sudah menyangkut perempuan. Ucapan Ziva nyatanya semakin benar. Cowok selalu salah, dan tadi dengan bodohnya setelah mengingat apa yang sudah diberitahukan, ia justru kembali menggunakan karakter saat bertemu Edel untuk pertama kali.

Baik, ia tak boleh memikirkan semuanya sekarang. Harus disimpan baik-baik di dalam ruang kosong agar bisa ditumpahkan kepada Ziva nantinya. Cewek itu sudah berpengalaman walau pahit kisah cintanya, dan pasti ia akan menerima segala macam solusi.

🍅🍅🍅

Seorang gadis berseragam kemeja putih dengan rok kotak-kotak biru tua kini sedang terduduk menghadap Mari. Tapi ada satu cowok yang ikut di sana. Siapa itu? Tampak mengenal, tapi lupa dengan namanya.

Rambut sebahu sang gadis akhirnya ikut bergerak saat ia menoleh ke arah Regan. Ya ampun sudah berapa lama ia tidak bertemu dan hanya berkomunikasi via telepon? Sungguh ... rindu rasanya menjahili cowok itu.

"Loh, Ziva? Kok lo di sini?"

Ziva tersenyum lebar, kemudian bangkit sembari menarik telapak tangan cowok yang mungkin ia seret hingga sampai ke sini. Dengan terpaksa cowok itu ikut bangkit dan mengangguk penuh senyum kepada Regan.

"Biskuit Regal ...!" teriaknya.

Kalau tahu seperti ini, lebih baik ia tak usah pulang cepat. Jujur, masih lebih nyaman berbincang via telepon dibandingkan bertemu secara langsung. Masalahnya gadis ini sangat menyebalkan.

"Sini!" panggilnya lagi. "Kenalan sama pacarnya Ziva!"

Nusa melirik kekasihnya bingung. Astaga ternyata tak kenal tempat, mau di mana pun itu, anak ini tetap saja heboh. Padahal ini bukan rumah sendiri.

Regan berjalan gontai menghampiri keduanya. Lalu menjabat tangan Nusa dan langsung terduduk di samping Mari.

"Ah, udah anak muda semua. Mama ke atas aja, deh."

"Dadah, Tante Cantik." Ziva melambaikan tangannya penuh semangat. Baik, ini adalah waktu yang tepat untuk meracuni Regan agar ia menjadi bucin.

Mari hanya melempar senyum, lalu segera menaiki anak tangga. Regan menatap sang ibu penuh curiga. Ya ampun, sudah tahu kalau anaknya ini sering diganggu, malah ditinggal sendirian.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Regan.

"Disuruh Mama nganter kue ke sini. Kalo nggak, mending gue jalan sama Kakak Ganteng. Ya, 'kan, Kak?"

Astaga manusia ini sungguh aneh, sudah berpacaran pun masih mempunyai panggilan yang sama seperti saat baru pertama kali kenal.

Tampak tak nyaman dengan ucapan Ziva barusan, Nusa terdiam. Entah bagaimana bisa ia jatuh hati pada gadis ini, tapi yang jelas semakin lama tak berjumpa rasanya tidak nyaman.

"Pulang, gih. Mending kita konsultasinya di telepon aja. Lebih enak."

"Dih, lo ngusir gue?! Oke, nggak gue kasih tau lagi tips pacaran sama Edel."

Regan menggelengkan kepalanya kencang. Astaga ... manusia ini benar-benar. Masa ia bercerita di depan Nusa? Bisa-bisa ditertawakan.

"Ya udah, lo yang lama aja di sini. Puas?"

Ziva mengangguk cepat penuh semangat. Lucu memang kalau sudah berhadapan dengan Regan.

"Mana hp Biskuit Regal? Minta, dong."

"Buat apaan?"

"Ziva, nggak boleh begitu," sahut Nusa tiba-tiba.

"Boleh! Siapa bilang nggak boleh?! Kalau Zea minjem hp kamu juga nggak apa-apa, 'kan? Berarti Ziva juga sama."

Baiklah, terserah Ziva. Manusia itu memang keras kepala. Sulit sekali diberi nasihat. Untung saja pacar, kalau bukan, pasti sudah ia buang ke laut.

"Mana, Regan! Cepet, gue mau ...."

Maap yaw bongbong upnya malem-malem terus. Habisnya enak nulis malem tuh🤣

Oh, iya, gimana kabar kalian setelah karantina 2 bulan? Udah eneque belom?😂

Happy reading, yaw!

Love u,

Bong-Bong❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top