🐮34: Dipaksa Berhenti

Sungguh ... ini adalah saran dari Ziva. Cowok itu berkonsultasi tentang keadaan hatinya walau hanya lima menit dikarenakan sang pacar tiba-tiba saja datang ke rumah. Terpaksa ... Regan yang hanya merupakan seorang sepupu harus ditinggalkan.

Entah mungkin masih belum puas memuji ketampanan Nusa, tapi yang jelas setelah dicoba untuk dihubungi puluhan kali lagi, manusia polos itu tak lagi menanggapi.

Hingga akhirnya, karena tak puas dengan saran Ziva semalam, Regan menyusul ke kelas Edel. Sebenarnya ia sendiri pun tak tahu harus melakukan dan berbicara apa. Tapi ... langkah kakinya justru membawa raganya untuk pergi.

Bersyukur pula ia pagi ini. Josh dan Doxy yang belum juga menampakkan batang hidungnya justru membuat semua rencana yang sudah ia susun berjalan dengan mulus.

Ketika ia sudah sampai di depan pintu kelas Edel, berkat kaca bening yang terapit di tengahnya, cowok itu bisa mengintip, apakah Edel benar-benar ada di dalam atau tidak.

Syukurlah ... kalau jodoh, pasti semuanya akan serupa, eh. Sebuah kepalan tangan sudah terbentuk, dan siap ia benturkan ke pintu kelas Edel.

Setelah beberapa kali mencoba 'tuk membangunkan gadis itu, Edel segera mendongak, kemudian menoleh. Loh, bagaimana bisa ada Regan di sana?

Melirik ke seisi kelas, dan ternyata masih belum juga ada siswi yang duduk di sana. Masih sepi. Baiklah ia akan mencoba untuk menghampiri manusia yang dibenci Daun.

"Ada apa?" tanya Edel dengan tatapan sayu. Bola matanya masih sibuk berolahraga—memastikan apakah Daun ada di sana atau tidak. Sebab tadi ia pergi ke sekolah diantar oleh Daun karena cowok itu bilang, ia masih mau mengawasi Edel—setidaknya selama seminggu.

Bibir Regan seketika terjahit. Tidak tahu mau berbicara apa, tapi jantungnya terus berolahraga semakin cepat. Kenapa kali ini rasanya sungguh berbeda? Sumpah ... ia tak tahu kenapa rasanya tidak sama seperti biasanya. Mungkinkah ini semua terjadi karena dirinya ingin memanfaatkan Edel agar kepercayaan Daun kembali? Tapi ... kalau boleh jujur, bukan itu niatnya sekarang. Apakah mungkin otak dan hati tidak sinkron?

"Maaf, aku nggak bisa lama-lama berdua sama kamunya." Kali ini Edel benar-benar mempraktikkan perkataan Daun. Ya ... ia harus bisa belajar untuk berkata tidak. Jika bukan untuk kebaikan dirinya sendiri, untuk siapa lagi?

Sebab terlalu lama berdua dalam diam, Edel memilih untuk kembali  dan menutup pintu rapat.

Regan menghentakkan kakinya ke lantai. Astaga bagaimana bisa ia justru terdiam dan membuat gadis itu kembali masuk ke dalam?

Sibuk berpikir dengan apa yang harus dilakukan, Regan akhirnya menekan gagang pintu hingga akhirnya terbuka dan mempertemukan wajahnya dengan wajah Edel.

Edel sedikit mengernyitkan kening. Kenapa Regan kembali membuka pintu? Apakah ia melakukan kesalahan lagi sampai cowok itu mau balas dendam?

"Maaf, Regan. Aku bukan mau cuekkin kamu. Jangan marah, ya?"

Senyum tipisnya kini terulas dengan jelas hingga membuat Edel kembali dilanda kebingungan.

"Edel."

Mata Edel seketika terbelalak lebar. Tunggu sejak kapan namanya disebut dengan benar? Bukankah cowok yang berdiri di hadapannya sekarang lebih senang menggunakan panggilan khusus?

"Iya?"

"Nanti istirahat ma-mau ketemu di tribun kolam?"

"Ak-aku nggak bisa, maaf."

Kemarin sangat mudah baginya untuk menarik Edel keluar dan menyuruhnya untuk pergi ke mana-mana sesuka hati. Sekarang ... rasanya sudah seperti memaksa anak kecil untuk pergi ke dokter.

Gue pikir dia bakalan nggak bisa nolak, ternyata .... batin Regan berteriak kencang. Harus berbicara apalagi ia sekarang jika sudah mendapat penolakan seperti ini? Astaga ... kenapa ia mendadak menjadi manusia lemah saat berhadapan dengan mantan babunya?

🍉🍉🍉

Regan masih juga belum mau menyerah. Diam-diam ia melangkah cepat menuju kelas Edel tanpa sepengetahuan Josh dan Doxy. Ia memang gengsi 'tuk bercerita walau sebenarnya sebuah saran sangat dibutuhkan.

Dengan setia ia berdiri di samping pintu kelas Edel. Ya ... ia yakin jikalau anak itu tidak mungkin keluar dari kelas selain jam pelajaran yang mengharuskan praktik.

"Oke, gue bakal begini terus sampe bel masuk bunyi." Tentu saja situasi di sana sedang sepi, karena Edel adalah satu-satunya makhluk hidup yang betah berdiam diri di sana.

Terus melirik ke kiri dan kanan—memastikan bahwa tak ada dua sahabatnya di sana. Tiap beberapa detik, ponsel pintar itu terus bergetar. Sudah bisa ditebak, pasti kedua budak jawaban itu sedang panik karena kehilangan sahabatnya.

Kalau gue chat si Edel gimana? Suruh dia keluar gitu?

Regan menggelengkan kepala cepat. Tidak, kemungkinan untuk berhasil memancing sang cewek tercinta sangatlah kecil. Tadi saja sudah berani menolak, bagaimana jika hanya melewati pesan di WhatsApp?

Tok ... tok ... tok!

Ia mengulangi hal yang sama. Tapi selang beberapa detik, penampakkan yang muncul justru seorang gadis berponi rata. Ah, iya, mengapa tidak dimanfaatkan saja?

"Napa lo ngetok-ngetok kelas gue?"

"Panggilin Edel, dong."

Gadis itu mengangguk, kemudian segera berteriak ala penyanyi seriosa dengan lantunan nada yang bisa dibilang sangat tinggi.

"E-del-weiss ...."

Mendengar suara ajaib itu, Edel segera melangkah keluar. Ah, mungkin Daun yang mencarinya. Pasti cowok itu mau memastikan bahwa sang adik sepupu mampu menjalani tugas dengan baik.

Setelah sampai di depan kelas, seketika tatapannya kembali terbelalak. Kenapa cowok ini sangat pantang menyerah? Apakah ia tidak takut pada Daun?

Baik, ini adalah sebuah kesempatan yang tak boleh disia-siakan oleh Regan. Secepat kilat telapak tangannya menyambar milik Edel, lalu membawa ia menuju taman sekolah. Tempat yang biasanya sepi pengunjung, karena mungkin mereka tidak suka melihat pemandangan.

Jantung Edel kembali berdebar kencang. Bagaimana bisa Regan mengajaknya ke sebuah tempat yang sering kali dikunjungi oleh Daun?

Secara otomatis pula, berlian bening itu kembali menampakkan diri seperti biasa. Bersama sedikit isakan, Regan akhirnya menoleh. "Eh, maaf. Gue kekencengan, ya, megang tangan lo-nya?"

Hanya sedikit gelengan kepala yang Regan terima saat itu. Lalu dengan segera ia mendudukkan Edel di atas bangku secara paksa. Bersama genggaman yang masih juga belum terlepas, Regan ikut mendaratkan bokong di sampingnya.

"Edel, gue mau ngomong sama lo."

"Kamu mau ngomong apa? Aku nggak bisa lama-lama sama kamu. Maaf."

Entah mendapat inisiatif darimana 'tuk menyelipkan selembar tisu di dalam saku celana, Regan langsung menculiknya dan memberikannya pada Edel.

"Lo ...." Astaga apa yang mau ia ucapkan? Kenapa tiba-tiba saja semua kalimat hilang?

Edel masih setia menunggu sembari mengeringkan air matanya.

"Makasih, ya, Regan."

"Makasih buat apa? Lo mau ...."

"Makasih atas tisunya." Gadis itu sedikit tersenyum kecil.

"O-oh, gue ... iya, lo kan udah nggak perlu traktir gue lagi, gimana kalau lo nggak usah kerja di tempat Josh? Biar nggak capek."

Edel mengerjapkan matanya beberapa kali. Tunggu ... apa yang baru saja ia dengar? Daun sendiri pun tidak melarang Edel bekerja, tapi kenapa cowok ini justru tidak mengizinkan?

"Kamu kenapa? Kok tiba-tiba jadi begini?"

"Hm ... enggak kenapa-napa. Gue cuman kasian aja sama lo, iya. Kasian. Soalnya lo pasti capek kan udah belajar seharian di sekolah, terus harus kerja lagi?"

"Maaf, Regan. Aku nggak bisa berenti. Ada tujuan lain yang mengharuskan aku kerja, walau kemaren memang tujuan utamanya supaya bisa traktir kamu."

"Tujuan apa?" Seketika saja sebuah nada dering telepon masuk kembali mengacaukan suasana. Dengan tak ikhlas Regan harus mengangkat. Jikalau tidak, pasti dua budak jawaban itu terus mengganggu. Telapak tangan Regan diangkat ke udara dalam posisi sejajar dengan hidungnya.

Edel segera bangkit, lalu melangkah pergi. Sementara Regan yang masih terduduk di atas kursi taman hanya melongo. Kenapa gadis itu selalu saja membuat jiwa keponya memberontak, sih? Apakah jangan-jangan Edel berpikir bahwa tadi ia sudah mengusirnya?

"Woi, jawab gue, Jing! Ah, elah, di mana lo? Gue cariin sama Josh dari tadi, tapi idung lo nggak keliatan juga!" celoteh Doxy di balik telepon.

Regan masih terdiam, bahkan ia masih sibuk berpikir tentang perasaan Edel saat itu.

"Woi!" Akhirnya teriakan Doxy berdengung di telinga Regan.

Karena kesal sudah diteriakki, sambungan telepon itu ia putuskan secara sepihak. Lihat saja, tak akan ia beri jawaban lagi saat ada tugas atau ulangan nanti.

Baiques iklan hari ini ada cerita Dilamar CEO karya PetogPingitan yang udah sekian abad ngegantungin pembacanya. Hayu kita teror, Bebsky Piranha.

Happy reading!

Love u,

Bong-Bong

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top