🐸31: Terkuak Semuanya

Setelah keduanya mendaratkan bokong di atas sofa berbahan kulit dengan tampilan televisi besar di depannya, Daun segera membuka pembicaraan. Tak peduli seberapa banyak lapisan darah kering yang menempel, ia lebih memilih untuk mengorek informasi terkait hubungan Edel dan juga Regan.

Cowok itu mengangkat kaki kanannya ke atas sofa, lalu matanya menatap tajam ke arah Edel yang terduduk diam sembari memilin para jari. Entah kenapa, kali ini rasanya sangat canggung. Padahal biasanya dengan lepas ia bisa menceritakan segala beban hidup. Tapi akhir-akhir ini wajah Daun selalu terlihat seram.

"Edel, jangan nunduk terus. Liat gue." Edel paham betul jika sepupunya sangat benci seseorang yang mengalihkan pandangan saat berbicara, tapi kalau boleh jujur, gadis ini tidak kuat.

Edel mengangguk pelan. Dengan takut-takut ia menarik paksa kepalanya agar terangkat. "I-iya, Kak."

"Muka lo kenapa ketakutan kayak gitu?"

"Maaf, Kak. Akhir-akhir ini muka Kak Daun jadi serem kayak monster." Tidak tahu juga kenapa Edel bisa berbicara seperti ini, tapi yang jelas ia hanya mencoba mengalihkan perasaannya.

"Hah?" Sudah muncul beberapa kerutan di dahi cowok tersebut.

"Maaf, Kak. Aku tau kalau selama ini aku itu lemah, tapi boleh nggak jangan marah-marah lagi? Aku capek ... papa semakin sering kambuh."

Jika sudah mendengar ucapan memelas seperti ini, emosinya seketika teredam. Apa iya ... selama ini ia lebih sering menggunakan emosi saat berbicara? Baiklah, ia harus sadar jika sepupunya ini memiliki hati yang lembut seperti kapas wajah.

"Oke, gue minta maaf. Ya udah, gue coba buat nggak emosi. Tapi kenapa lo sekarang jadi kayak gini?"

Edel mengangkat bahu. Apa mungkin ini adalah efek bekerja di kafe yang sama dengan Josh hingga sikapnya pun ikut berubah menjadi konyol?

"Biar lo bisa cepet pulang dan nggak diamuk sama papa lo yang udah kayak psikopat, jelasin gimana bisa kenal sama Regan."

Sekali lagi, bola matanya melirik ke sudut ruangan sembari menghela napas lembut. Haruskah ia berkata jujur dan menceritakan semuanya sekarang?

"Edel, jawab gue." Seperti sudah menjadi hobi, cowok itu selalu saja mengamit dagu Edel andai beralih ke sisi lain.

Gimana cara aku ngejelasinnya? Aku takut ....

"Edel," panggilnya sekali lagi.

"I-iya, Kak."

Selepas menjawab satu kata itu, Edel kembali terdiam. Sibuk merangkai kalimat yang pas agar Daun tak lagi emosi. Ya ... ia harus sadar, tak ada lagi yang bisa ditutupi jika keadaan sudah seperti ini.

"Kalau lo nggak mau jawab, si Ariyanto gue jeblosin ke penjara."

Terpaksa, bersama kalimat yang belum yakin 'tuk diutarakan, gadis itu bercerita panjang lebar. Mulai dari awal pertemuan—saat salah memeluk, hingga kejadian hari ini.

Daun mendengarkan dalam diam. Andai saja Regan sudah berdiri si sini, dapat dipastikan cowok itu tak lagi bisa menginjakkan kaki di bumi. Lihat saja, ia juga akan menghasut Pak Tayo agar tak menjadikan lelaki berengsek itu untuk menjadi ketua eskul tahun depan.

"Lo gila, ya, Del? Gue selalu ngomong apa sama lo?"

Lagi-lagi Edel menangis. Cairan bening itu lolos begitu saja walau sudah dikurung di balik pelupuk mata. Seperti memiliki kekuatan untuk melepas semua jeratan, dengan cepat mereka semua berhamburan keluar.

"Ka-Kak Daun se-se-selalu ngajarin ak-aku buat bisa nolak. Ta-tapi, Kak ... aku udah beru-saha, tapi selalu gagal." Dengan cepat jari Daun menculik selembar tisu dari rumahnya, lalu diberikanlah pada Edel supaya gadis itu bisa mendapatkan tempat 'tuk menampung air mata.

"Untuk pertama atau awal itu emang sulit, tapi semakin sering lo coba, bakal terbiasa dan jadi mudah. Lo harus percaya sama diri sendiri, nggak boleh ikut ngeremehin kayak orang-orang. Please, love yourself."

"I-iya, Kak. Aku bakal coba terus."

"Lo harus buktiin ke orang-orang kalau lo itu tuh nggak selemah yang mereka liat. Lo itu kuat! Inget itu!"

Dengan cepat lengan tangan Edel melingkar ke pinggang Daun. Menyembunyikan kepalanya di balik bahu, lalu menangis sejadi-jadinya. "Makasih, Kak Daun selalu ada buat aku."

Daun membalas pelukan Edel, sesekali telapak tangannya mengusap punggung Edel. "Iya, lo juga selalu jadi temen buat gue waktu gue kesepian. Lo itu adik kesayangan gue, jadi ini udah jadi kewajiban buat selalu ngajarin adiknya supaya jadi lebih baik."

Daun melepaskan pelukannya sepihak, kemudian sedikit mendorong bahu Edel agar keduanya saling bertatapan.

"Lusa lo harus ngomong sama si cowok berengsek kalau lo udah nggak akan jadi babu dia lagi."

🌸🌸🌸

Acara perlombaan memang berjalan dengan lancar kemarin, walau setelah selesai ia harus bekerja sendirian membersihkan sampah. Daun? Cowok itu dibebaskan setelah membeberkan semua rahasia tentang Regan.

Kini, Regan di mata Pak Tayo itu sudah bukan anak emas lagi. Tak lagi jadi siswa incaran untuk menjadi ketua eskul yang hanya bisa dijabat oleh siswa kelas XI.

Cowok itu menggaruk rambutnya kasar sembari terduduk di tribun kolam sendirian. Josh dan Doxy? Tentu saja dua manusia itu belum datang sepagi ini. Kini, citra Regan di kalangan guru pun sudah menjadi buruk. Tak ada lagi yang bisa dibanggakan dan dijadikan peluang untuk menjadi ketua eskul, atau mungkin memasuki organisasi. Hanya bisa berharap pada kesempatan kedua yang sama sekali tak ia ketahui kapan datang.

Ia sadar bahwa ini semua adalah kesalahannya sendiri. Jadi, tak 'kan mungkin prinsipnya untuk membalas siapa pun yang merugikan dirinya sendiri kepada Daun. Sebab di sini ia sudah salah sasaran. Andai dari awal tidak memperlakukan Edel secara semena-mena, pasti semuanya tidak akan terjadi.

"Aargh ...!" Selama suasana sekolah masih sepi, rasanya masih sah-sah aja untuk berteriak walau tidak terlalu besar intonasinya. Setidaknya dapat melepas sedikit beban.

Di tengah kegalauan yang ada, sesosok laki-laki yang selama ini ia dambakan muncul bersama gadis cantik yang baru saja ia sadari.

Regan segera bangkit. "Maafin gue sekali lagi, Bang."

"Gue ke sini bukan karena mau bahas yang kemaren. Ngomong, Del."

Edel mengangguk pelan. "Regan, maafin aku."

Daun kembali melempar tatapan aneh pada Edel. Astaga ... bagaimana bisa ia meminta maaf? Ya ampun, apakah masih kurang materi memberikan penolakan yang diajarkan kemarin?

Regan sendiri pun bingung, mengapa gadis ini justrj meminta maaf? Padahal selama ini ia yang sudah melakukan kesalahan, apalagi saat mengetahui tentang kisah hidup Edel yang sebenarnya. Jika tahu seperti itu, pasti jiwa kejamnya tak akan aktif.

"Siapa yang ngajarin lo minta maaf?" Daun berucap sinis.

"Eh, i-iya, maaf, Kak Daun. Regan, a-aku u-udah nggak bisa traktir kamu lagi."

Tanpa bertanya kenapa pun, cowok ini sudah paham bahwa yang menyuruh Edel melakukan ini semua itu pasti Daun.

"Iya, gue paham," balasnya.

"Dan lo Edel, gue minta lo buat jaga jarak sama manusia berengsek ini. Awas kalau gue liat lo masih deket-deket dia."

Edel kembali mengangguk menuruti ucapan Daun.

Daun tersenyum miring bersama tatapan sinisnya. Seraya berkacak pinggang, cowok itu masih mengutarakan sebuah rasa tidak suka yang begitu besar melalui tatapan matanya kepada Regan.

"Maaf, ya, Regan." Tanpa sadar, gadis itu kembali meminta maaf karena merasa tak enak. Sebenarnya perbuatan Regan selama ini pula terasa tidak terlalu merugikan jika dibandingkan dengan apa yang ia terima di rumah. Walau sering memancing rasa canggungnya untuk berdiri di keramaian, tapi setidaknya hal itu dapat melatih mentalnya.

Daun segera menarik lengan Edel menuruni tribun. Tak peduli lagi bagaimana hancurnya reputasi Regan saat ini, tapi yang jelas ia merasa sangat puas saat melihat orang yang sudah jahat kepada Edel bisa menerima hukuman yang setimpal.

"Bang, apa lo masih nggak bisa pertimbangin lagi buat reputasi gue di depan Pak Tayo?" Dengan tak tahu diri, Regan masih menanyakan hal ini. Sudah terlalu lelah dengan segala pikiran negatif, seketika ucapan itu terlintas. Masih menaruh harapan agar bisa mencapai cita-cita.

"Enggak!" balas Daun singkat.



Happy reading!

Love u,

Bong-Bong❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top