🌸29: Si Plontos

Kini, keduanya mengikuti Pak Johan dari belakang. Walau malas 'tuk menghadap, tapi tak mungkin bagi mereka untuk berlari.

Sampai akhirnya keduanya pun memasuki sebuah ruangan yang memberikan hawa sejuk bagi siapa pun, apalagi di sana terdapat tataan sofa empuk yang bisa memberikan kesan nyaman bagi orang tua murid ataupun tamu. Bersyukur saat Daun berganti pakaian tadi, Regan mengintil. Jikalau tidak, bisa-bisa masuk angin.

"Duduk." Satu kata yang keluar dari bibir Pak Johan berhasil membuat keduanya mendaratkan bokong dengan kompak di atas sofa berwarna cokelat tersebut.

Baru kemudian Pak Johan ikut terduduk di hadapan mereka dengan tatapan tajam seolah ingin menyambut sebuah mangsa. Alis kirinya terangkat naik, lalu pita suaranya seolah menghilang tak tahu ke mana sembari menunggu Regan ataupun Daun membuka mulut.

Selang beberapa menit, keduanya masih tidak membuka suara, hingga Pak Johan geram dengan sendirinya dan memutuskan untuk membuka suara.

"Tidak ada yang mau berbicara?" tanya Pak Johan sembari mengedarkan tatapan sinis.

Masih keheningan pula yang menjadi jawaban. Seketika kepalanya menggeleng, lalu membuka suara. "Kalau gitu saya yang akan berbicara. Apa yang terjadi? Kenapa kalian sudah tidak memakai seragam?"

"Dia udah nyebabin sepupu saya tenggelem ke kolam, Pak," balas Daun tegas.

Jawaban Daun nyatanya mampu menjawab kedua pertanyaan Pak Johan. Tapi ... apakah itu artinya mereka sama-sama menceburkan diri ke dalam kolam atau bagaimana?

Regan terdiam—tampak menyetujui apa yang baru saja terucap dari bibir Daun. Memang benar itu penyebabnya, bahkan tak lagi ada alasan bagi dirinya sendiri untuk membela diri. Ya ... ia tahu akan kesalahannya, namun semua itu juga memiliki alasan.

"Siapa yang menyelamatkan dan kenapa sampai dua-duanya tidak memakai seragam?" Entah mengapa, tapi peraturan di SMA Bunga Bangsa memanglah seperti itu. Selama berada di area sekolah dan masih berada di hari pelaksanaan belajar, semua diwajibkan memakai seragam.

"Saya yang nyelametin, dan dia ngambil barang nggak penting di kolam."

"Kenapa kamu diam, Regan?" Tatapan Pak Johan beralih ke arah mata cowok kelas XI IPS tersebut. Sedari tadi tampaknya sangat pasrah dengan semua kata-kata Daun. Apakah mungkin ia rela untuk dihukum?

"Karena yang diucapin Bang Daun emang semuanya bener, Pak." Cowok itu menundukkan kepala.

"Apa yang membuat kalian harus bertengkar, sedangkan semua masalah bisa diselesaikan secara baik-baik?"

Daun sendiri pun sebenarnya lelah menanggapi jawaban Pak Johan, tapi mau bagaimana lagi? Semua ini ia lakukan atas nama Edel. Sepupunya harus dibela dan cowok di sebelahnya ini sangat patut bertanggung jawab atas apa yang sudah dilakukan.

"Kalau sudah menyangkut sepupu saya, semua juga menjadi urusan saya, Pak." Wajah Daun masih datar, sama sekali tak berubah walau rasanya ingin segera keluar dari sini dan mengajak Edel pulang.

Untuk pertama kali si guru berkepala plontos ini merasa terharu. Seumur-umur, belum pernah ia mendengar alasan sekeren ini. Tapi baiklah, selama masih menghadap murid, ia tak boleh terlihat mengukir senyum di tengah kesalahan yang ada.

"Yang saya tahu, kalian berdua itu anak baik, bahkan selalu berprestasi di sekolah. Tapi kenapa semua itu dicoreng begitu saja dengan perbuatan seperti tadi?"

"Sudah saya jawab sebelumnya. Jika sudah menyangkut Edel, semua tidak bisa diselesaikan secara baik-baik."

"Di mana dia?" tanya Pak Johan.

"UKS," balas Daun singkat.

"Baik, kalau keadaannya sudah membaik, tolong hubungi dia untuk menghadap saya."

Vendek aja ya, iya ntar bab selanjutnya di ruang bk lagi kok. Maaf, bongbong beneran lagi bici banget. Jadi seharinya cuman nulis 100an kata aja🥺.

Insyaallah besok bisa nyicil banyakkan buat bab selanjutna. Makasih ❤️

Happy reading!

Love u,

Bong-Bong❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top