🐁23: Andai Memilih Keduanya

Edel benar-benar lelah hari ini. Memang ia terbiasa 'tuk kerja paruh waktu setiap pulang sekolah, tapi kalau dipaksa secara fisik seperti ini, rasanya ia tak kuat. Tubuhnya sudah sangat lemas, bahkan matanya menjadi sedikit sayu.

Pikirannya seketika buyar. Tak lagi tahu barang mana yang harus diangkat, padahal masih banyak yang belum tersusun rapi.

Belum lagi ia harus menghindari Daun yang terus menaruh curiga tanpa henti. Cowok itu terus memperhatikan gerak-gerik Edel, bahkan saat tak lagi ditemukan fisik Edel di dalam retinanya, ia langsung bangkit dan berkeliling.

Sekarang si gadis berambut panjang akhirnya berdiri diam di sebelah kolam. Tatapannya kosong, bahkan sudah tak tahu apa yang ia lakukan sekarang.

Deg!

Matanya seketika terbelalak saat ada seorang lelaki yang meletakkan sang telapak sangan di atas bahu milik Edel.

"I-iya, Kak?" Tanpa berani menoleh, gadis itu segera melanjutkan langkahnya perlahan. Tapi suara seseorang berhasil membuat sang langkah terhenti.

"Cepetan, jangan bengong! Masih banyak kerjaan!" Setidaknya Edel bisa bernapas lega saat mendengar suara siswa itu. Syukurlah ... ternyata bukan Daun, melainkan Regan.

Edel segera menoleh, kemudian mengangguk. "Iya."

Regan tersenyum sinis saat ini. Mungkin ini sudah membuat dirinya puas mengerjai si manusia aneh. Apakah mungkin ia akan berhenti sampai eskul renang selesai? Ah, tidak akan pernah terjadi.

Sementara Josh dan Doxy yang sudah lelah mengangkat perlengkapan, kini mereka terduduk di atas tribun. Tak peduli lagi dengan apa yang dikatakan Regan, tapi yang jelas mereka ingin pulang saja. Lagi pula Daun juga hanya fokus pada gerak-gerik Edel yang mencurigakan.

Mereka sama sekali tak berniat untuk membantu Regan untuk menyembunyikan identitas Edel. Lagi pula, hati mereka pun sebenarnya merasa kasihan dengan gadis itu.

Kehidupan Edel di sekolah saja tak pernah terlihat baik, tapi sahabatnya yang satu itu masih saja memperlakukan si gadis dengan semena-mena.

"Josh, menurut lo si Regan nyiksa si Crying Girl itu buat pelampiasan rasa suka dia nggak, sih?" tanya Doxy sembari menatap Edel yang terus mengusap sang keringat.

"Hah jadi dia suka sama Edel?!" tanya Josh dengan suara kencang, namun dengan cepat pula Doxy menutup mulut sahabatnya itu. Bisa gawat andai perbincangan mereka sampai di telinga Regan.

"Nggak usah kenceng-kenceng ngomongnya, Bajing!" pekik Doxy pelan.

Josh menyengir, lalu kembali berceloteh tanpa sadar. "Tapi emang, sih, Edel kalau diliat lama-lama cantik juga. Gue aja kadang tersepona, eh terpesona. Emang rada aneh, sih, pas bayangin ngeseks sama dia, tapi untuk dijadiin pemandangan bolehlah."

Sontak Doxy membelalakkan matanya lebar. Astaga cowok playboy yang satu ini nyatanya menaruh hati pada gadis aneh itu. Apakah mungkin nantinya Josh dan Regan menjadi saingan ketat dalam memperebutkan hati Edel?

Andai iya, mungkin akan terlihat lucu. Tapi kalau dijadikan bahan tebak-tebakkan, Edel akan memilih yang mana, ya? Secara Edel tak berani menolak. Apakah mungkin akan menerima keduanya? Lucu juga andai dibayangkan. Bagaimana cara membagi waktunya, ya?

Seketika Doxy tertawa kencang. Mulai tertular ketidakwarasan Josh. Dengan penuh dendam jari-jari Josh menempeleng kepala cowok berwajah kotak tersebut. Merasa kesal karena tadi ia diperlakukan semena-mena, jadi ini adalah saat 'tuk membalaskan dendam pada Doxy.

"Eh, si bangsat malah ketawa sendiri. Apa bedanya lo sama gue, hah?"

Tawa Doxy langsung terhenti saat itu juga. Baik ia harus sadar. Harus mengeluarkan setan yang merasuki sang pikiran agar tak membuat Regan menoleh ke belakang.

Tak lama kemudian, Daun melangkah naik ke atas tribun. Matanya menyipit saat menyaksikan dua buah panitia yang sedang bersantai ria di sini. Padahal acara sudah akan dilaksanakan besok.

"Woi, kerja! Jangan bengong!" Teriakan Daun yang begitu kencang berhasil membuat Regan menoleh. Cowok itu tertawa saat menyaksikan kedua sahabatnya dibentak oleh mantan ketua eskul renang tahun lalu.

"Eh, iya, Bang!" seru keduanya kompak yang kemudian segera turun dari tribun.

"Btw, gue mau nanya sama kalian. Kenal sama si cewek bermasker itu?"

Walau masih tetap melanjutkan langkah, tapi Josh dan Doxy menelan salivanya susah payah. Apa yang harus mereka jawab? Bagaimana jika jujur? Bagaimana juga jika berbohong?

"Jawab gue, jangan diem aja!" Daun kembali berucap dengan kesal.

🌞🌞🌞

Sebuah suara notifikasi pesan masuk berhasil memecahkan fokus Edel. Ya ... gadis itu sedang mengobati luka memar di tubuhnya sendiri. Dalam sedikit isakan gadis itu mengusap layar ponsel. Ah, iya, ternyata memang Regan yang menyebabkan bunyi itu.

Dengan cepat Edel mengusap sang air mata agar tak lagi jatuh membasahi sang ponsel. Napasnya terbuang secara kasar setelah mendapati pesan Regan. Hanya mengingatkan dan membuatnya semakin tenggelam dalam perasaan tak enak. Ia pikir cowok itu akan menarik semua ucapan, tapi ternyata sama sekali tidak.

Sebenarnya Edel sudah berencana 'tuk tidak masuk ke sekolah esok. Bukan karena malas, tapi hanya ingin tidak menambah beban pikiran.

Belakangan ini Ariyanto dibuat semakin sering melakukan kekerasan tanpa sebab. Jika sampai ia berpapasan dengan Daun, habis pula nasibnya.

Regan
Kalau lo nggak dateng, awas! Gue suruh Josh buat bikin lo dipecat dari tempat kerja.

Kesal? Tentu. Seakan-akan merasa bahwa Regan tak pernah menghargai apa yang terjadi dalam hidupnya. Hanya tahu memanfaatkan, tapi tak pernah mencari tahu seberapa menyedihkannya hidup Edel.

Andai ia adalah sosok yang kuat, pasti semua ancaman Regan bisa ditolak. Tapi sayang, nyalinya belum terkumpul untuk menolak.

Edel kembali menempelkan selembar kain kasa yang sudah diteteskan obat merah ke tubuhnya. Rasa sakit yang biasanya kerap dirasakan orang-orang, kini sama sekali tak dirasakan oleh Edel, bahkan sang hati terasa jauh lebih terluka dengan ucapan Ariyanto.

"Saya nggak akan sudi punya anak kayak kamu! Kenapa kamu harus lahir dan membawa kesialan di keluarga saya?! Hah?! Otak kamu ke mana? Kenapa kamu tidak mati saja!" Teriakan Ariyanto masih terngiang di kepala Edel. Sehina itukah diringa sampai sang ayah sendiri pun tak rela mengakui?

"Oh, iya, saya lupa. Waktu itu Tiara hanya kasihan sama kamu, jadi dia mungut kamu jadi anak! Haha ... aduh memang baik, sih, istri saya." Ariyanto kembali melanjutkan kalimatnya.

Hati Edel terasa jatuh tak tahu ke mana, tapi yang jelas Ariyanto tak segan membiarkannya pergi begitu saja. Karena masih belum puas melampiaskan kekesalan, pria itu justru menghabisi Edel (lagi).

Ini memang bukanlah kali pertama Edel mendapat perlakuan kasar, tapi saat nama Tiara sudah menelusup ke dalam ucapan Ariyanto, semua rasa kebal rasanya pergi tak tahu ke mana—seolah setuju dengan apa yang Edel alami selama ini—seperti sangat paham bahwa Ariyanto memang selalu benar.

Harusnya aku tadi pergi kerja aja supaya nggak ketemu papa, batin Edel ikut berbicara. Kenapa aku harus nurut terus sama orang lain? Kenapa rasa nggak enakkan itu nggak pergi aja?

Air matanya kembali berseluncur, bahkan seperti ada yang meremas hatinya sekarang. Terus menyalahkan diri sendiri mungkin adalah satu-satunya hal yang bisa Edel lakukan saat ini.

Andai aku tau kalo papa habis kalah judi, pasti aku nggak akan pulang cepet dan maksa buat kerja. Sekarang hanya penyesalan yang menggerogoti pikiran Edel. Ya sudah semuanya sudah terlambat.


Rekomendasi kali ini adalah Love Sticky Note & Love Letter punya tante malis MarisnaWulandari . Hayu baca genrenya tinpik loch, project dari tinpik wwg juga gaes. Ayo kalian kepoin. Seru euy!!

Oh, ya, happy reading, ya!!!

Kalo banyak typo/kalimatnya banyak yang ngga efektif, maafkeun. Batre hpnya udah kelaperan, jadi begitu.

Love u,

Bong-Bong❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top