🧚♂️2: Tak Sudi Mengatakan Maaf
"Tunggu sebentar, Nak. Jangan pergi dulu." Bu Pelangi menarik tubuh Edel dan membekapnya dalam pelukan—membiarkan gadis itu merasa tenang, karena ia pikir Edel sudah dibuat menangis oleh Regan. "Siapa nama lengkap dan kelas berapa kamu, Nak?"
"Samantha Edelweiss Nadhivea dari kelas X IPA 3, B-bu." Edel berucap dengan suara yang tak terlalu kencang. Tunggu ... apa jangan-jangan Bu Pelangi akan membuat laporan pada wali kelas Edel? Tidak ... jangan sampai. Mau ditaruh di mana muka Edel? Sudah dikenal sebagai makhluk tukang menangis, sekarang ditambah pula dengan kekeliruan.
"Baiklah, kalau kamu disakiti dia lagi, bilang saja sama saya, nanti saya lapor ke wali kelas supaya kalau dia berani jahat sama kamu, dia bisa dihukum."
Edel terdiam. Aduh bukan itu penyebab ia menangis, lantas mengapa guru berkucir satu tinggi itu justru sibuk mengarang?
"Saya nggak apa-apain dia, Bu!" ucap Regan kesal. Bukankah di sini ia adalah korban, lalu mengapa sekarang gadis aneh ini yang dibela? Sungguh lelah jika berhadapan dengan guru perempuan.
Bu Pelangi menatap Regan tajam. Tangan kanannya masih mendekap Edel yang menyembunyikan kepala, sedangkan tangan kirinya meletakkan jari telunjuk di depan bibir merah merona miliknya. Matanya terbelalak lebar.
"Tidak usah banyak bicara kamu. Kalau memang mau pacaran, ya ... tidak usah kasar gitu! Jangan seperti mantan saya, eh curhat. Sudah pokoknya kamu harus minta maaf!"
Regan menggeleng cepat. Untuk apa meminta maaf jika tidak bersalah? Sungguh mempermalukan diri sendiri. Mengapa Bu Pelangi tidak bertanya terlebih dahulu tentang kejadian yang sebenarnya dan bagaimana bisa si Crying Girl hanya terdiam seperti orang bisu?
"Ingat Regan, kalau ada siswa yang tertangkap basah membuat siswi menangis, itu sudah termasuk tindakan perundungan, dan ... kamu bisa dikeluarkan."
Beruntung memang nasib Edel dengan adanya peraturan itu. Ia jadi tak terlalu khawatir soal perundungan yang bisa saja menyerang dirinya sendiri lantaran emosi yang tinggi. Walau julukan aneh kerap merekat pada dirinya, tapi tak apa. Itu hal biasa bagi Edel. Masih tak ada apa-apanya dibandingkan apa yang diperlakukan Ariyanto.
Josh dan Doxy ikut terdiam kaku. Merasa kasihan dengan sahabatnya, tapi di satu sisi ini adalah hal yang lucu. Bila tak ada Bu Pelangi di sini, mungkin sudah mereka buat viral di media sekolah.
Regan mendengus kesal. Wajahnya terlihat penuh dendam saat menatap Edel yang berlagak layaknya korban. Apakah mengeluarkan satu patah kata saja susah?
"Gara-gara lo, sih, ah!" Regan menunjuk-nunjuk Edel, dan tentu saja Bu Pelangi dibuat semakin emosi.
"Ngomong dong kalau gue nggak salah! Lo punya mulut, 'kan? Dipake, dong! Kalau lo tau apa itu fungsi pita suara, cepetan kasih tau kebenarannya!" Regan benar-benar kesal. Ia tak suka diusik. Sekalinya ada yang mengganggu, maka jangan harap hidupnya bisa berjalan dengan tenang. Saksikan saja nasib Edel selanjutnya.
Sampai akhirnya Edel membuka mulut. Ia takut dengan situasi seperti ini, lebih baik memilih untuk pergi dan mencari Daun.
"B-bu, saya boleh pergi nggak? Pengen tenangin diri dulu." Edel mendongakkan kepala.
Bu Pelangi mengangguk pelan. Baiklah jika itu mau siswi di hadapannya sekarang. Kasihan sekali nasibnya diperlakukan buruk oleh seorang lelaki. Memang sedari dulu laki-laki itu tidak pernah menghomati derajat perempuan hingga diperlakukan dengan semena-mena.
Edel mengusap matanya pelan, kemudian pergi dalam keadaan kepala tertunduk ke bawah.
"Woah ... cari masalah sama gue tuh anak!" teriak Regan.
"Ikut saya ke kantor guru! Kalian—Josh dan Doxy, tidak usah ikut. Andai sahabat kalian yang satu ini mengulangi, lapor sama saya! Nanti saya tambahin nilai kalian!"
Josh dan Doxy tersenyum girang. Bolehkah mereka mengada-ngada saja supaya bisa menyaingi nilai Regan? Eh, tapi andai semuanya dilakukan, pasti mereka tak bisa mendapat contekan lagi. Habis pula nasib mereka saat ulangan nanti. Pasti akan bolak-balik dipanggil guru lantaran mendapat nilai jelek.
Regan memberikan lirikan penuh amarah, seolah menyuruh mereka 'tuk tidak menuruti apa yang dikatakan Bu Pelangi andai masih mau hidup dengan tenang.
Regan memang tak pernah main-main dengan prinsipnya. Akan berperilaku baik dan ramah terhadap mereka yang melakukan hal serupa. Sebab cowok itu berpikir bahwa semua harus menerima konsekuensi sesuai apa yang sudah diperbuat agar tidak hidup sesuka hati.
"Sudah, ayuk cepat ikut saya!"
Sebuah suara decakan pelan berhasil menelusuri telinga Bu Pelangi. Tentu saja itu berasal dari Regan yang dengan setengah hati mengekori Bu Pelangi, apalagi di pagi hari seperti ini ruang guru pasti ramai. Rusak sudah reputasi Regan sebagai anak yang selama ini terlihat baik.
🧛♀️🧛♀️🧛♀️
Akhirnya Edel menemukan Daun. Ternyata sepupunya itu memang hanya mampir ke kantin sebentar dan sibuk bermain ponsel di taman sekolah bersama segelas susu cokelat panas. Mencari suasana sejuk nan damai saat melihat warna-warna daun dan pepohonan.
Cocok memang dengan nama yang diberikan oleh orang tuanya. Mereka berharap pula Daun bisa menjadi sosok laki-laki yang ramah lingkungan, eh ramah terhadap siapa pun, dan selalu rendah hati.
Nama lengkapnya Daun Klorofil Wijaya. Tak paham mengapa kata "Klorofil" harus menyempil di tengah, tapi jika dipikir-pikir, namanya sudah bagaikan nama profesor tanaman. Mungkin juga ada maksud lain, yaitu agar anaknya terlihat seperti orang pintar.
Untung saja Daun memang pintar, kalau tidak ... pasti namanya sudah mempermalukan diri sendiri.
Edel langsung memeluk Daun erat. Rasanya ... nyaman. "Kak, tadi aku salah peluk. Kirain yang di kantin itu Kak Daun, tapi ternyata orang lain."
Daun membalas pelukan Edel sembari menahan tawa. Lucu. Tapi akan sangat tega bagi dirinya apabila menertawakan orang yang sedang menangis.
"Ya udah nggak apa, jangan dipikirin." Daun melepaskan pelukan itu secara sepihak, kemudian mengusap air mata Edel yang tiba-tiba saja sudah tumpah. "Lo ada masalah sama Papa?"
Edel mengangguk, lalu bercerita bersama air mata yang sudah ia tahan sejak mencari Daun.
Daun sibuk mendengarkan, kemudian menyodorkan susu cokelat yang dibelinya tadi pada Edel. "Minum. Nggak jijik sama bekas sepupu sendiri, 'kan?"
Edel meraih susu yang diberikan Daun dan meneguknya pelan. Aliran susu yang mengalir berhasil membuat mood Edel menjadi lebih baik.
Daun kembali membuka mulut. "Udah dibilangin kan jangan tinggal di sana lagi, kenapa masih ngeyel?"
"Nggak bisa, Kak. Papa pasti ngamuk sama aku, karena dia nggak bisa palakin uang transferan dari Mama."
Daun menghela napas kasar. Lagi pula sudah tua dan tinggal menghitung waktu, tapi masih saja menyiksa anak sendiri. Aneh.
"Ya udah, sabarin aja dulu. Kalau lo udah nggak kuat, jangan sungkan buat dateng ke rumah."
Edel menggeleng. "Aku takut ... nanti Papa justru marah-marah di rumah Kak Daun."
Daun menggelengkan kepala karena tak habis pikir. Lagi pula jika sudah benci terhadap anak sendiri, mengapa tak diusir saja dari rumah agar tak terjadi keributan?
"Ya udah, yang penting kalau lo butuh gue, dateng aja ke rumah. Asal lo berenti pake barang candu itu."
Edel mengangguk paham. Ia tidak bisa berjanji untuk berhenti. Benda itu sungguh nikmat untuk melepas stres walau sebenarnya ia sedang mencoba untuk berhenti.
Happy reading, Bebsky!
Cadel pake apa, Guys? Hayo tebak
WKWKWKWKWK
Kalau tebakannya bener, bongbong kasih foto cogan
Oh iya foto kiyut yg di atas itu bikinan jodoh bongbong❤️ saturasisenja
Ini Kak Daun
Ini si najis, eh Ariyanto maksudnya🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top