🐢16: Hubungan Edel dan Regan
Bola kristal bening itu kembali bermain di wajah Edel saat melihat angka di kertas ulangan Kimianya, bahkan semangat untuk belajar lebih baik lagi pun hilang dalam hitungan detik.
Ini adalah perdana Edel mendapatkan nilai 40 selama menempuh pendidikan SMA setengah tahun lebih. Padahal ia sudah berjanji agar tak pernah menyentuh angka itu, tapi mengapa takdir berkata lain?
Hatinya terasa rapuh, bahkan sesak sudah menyelimuti separuh dada. Kepalanya menggeleng pelan tiap kali menatap.
Mungkin memang hanya Edel yang merasakan hal ini. Hanya orang-orang dengan target tinggi yang bisa merasakan. Teman-teman sekelasnya? Tentu saja tidak peduli. Mau berapa pun yang didapat, semuanya tidak memberi pengaruh apa pun.
Tangannya membuka sebuah buku catatan sembari menunggu kedatangan sang guru yang sudah membuat janji. Sekarang sudah jam tiga sore, tapi guru yang bersangkutan masih juga belum menampakkan diri.
"Edel, nanti kamu noleh, ya, kalau dipanggil," ucap salah seorang siswa. Dirinya sudah tak niat membuka buku, apalagi melirik segelintir rumus mematikan. Andai saja ia tidak dipaksa memasuki jurusan IPA, pasti ia tak akan mengandalkan Edel terus.
Edel terdiam. Dirinya masih merasa resah, bahkan tidak tenang. Tampak dari jari-jarinya yang terus melucuti rok hitam bergaris putih selututnya.
Gadis itu hanya menatap kosong para tulisan yang memaksa 'tuk dibaca. Sang otak pun terasa tak mau diajak berkompromi. Mengapa sangat sulit rasanya menghafal cara yang menempel di kertas putih bergaris itu?
Edel, kamu harus fokus, batin Edel terus mendukung, tapi yang terjadi justru ia melirik ke sana kemari—sibuk menyaksikan penampakkan orang-orang yang tak belajar.
Jika anak murid di kelas IPA terkenal akan kerajinannya, tapi di kelas Edel, semuanya sangat tak terasa. Bahkan karakternya sendiri pun tak beda jauh dengan murid di kelas IPS.
Bibirnya terus bergerak—berusaha membaca dan mengingat cara-cara menyelesaikan soal kelak. Ya ... ia harus lulus. Tak boleh menyia-nyiakan uang yang diberikan oleh sang ibu 'tuk belajar. Secerca harapan tentang penjelasan dari sang guru 'tuk kembali berkumpul pun terbesit. Pasrah dan ingin berjuang kini bercampur menjadi satu.
Ekhem!
Suara serta langkah kaki berhasil membuat semua murid yang awalnya tengah bercanda ria kembali ke tempat duduk masing-masing. Raut wajahnya sama sekali tak berubah, bahkan beberapa masih ada yang melempar tawa.
"Sudah belajar?"
"Belum, Pak," jawab semua peserta remedial. Mereka sangat berharap agar ujian ulang ini bisa ditunda hingga beberapa hari ke depan. Belum siap rasanya jika harus melaksanakan remedial di hari itu juga—setelah kertas ulangan dibagikan.
Pak Suhe yang merupakan guru pembimbing mata pelajaran tersebut hanya menggelengkan kepala. Angkatan kali ini sangat berbeda dibandingkan angkatan lainnya. Mungkin benar apa yang kerap digosipkan oleh teman-temannya di ruang guru, kelas X tahun ini adalah kelas termalas.
"Kalau gitu saya kasih waktu belajar 5 menit. Tidak ada tambahan waktu karena seharusnya kalian bisa memanfaatkan detik dan menit yang sudah berlalu." Setengah puitis memang ucapan dari Pak Suhe, mungkin sang istri bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia.
"Anjir!" seru beberapa orang siswa. Lagi pula waktu istirahat juga mereka gunakan untuk mengisi perut, apakah guru gendut berbibir cokelat ini tak memiliki toleransi?
"Sepuluh menit, deh, Pak. Gimana?" Salah seorang murid mulai membuka suara, sementara yang lainnya tampak mendukung usulan tersebut.
"Enggak ada tawar-menawar waktu."
Edel pun ikut menghela napas bersama murid lainnya. Sudahlah ... ia hanya bisa berpasrah ria.
Tak berselang lama, suara melengking itu kembali menginterupsi seisi kelas X IPA 3. "Sudah, ya, sudah lima menit. Tutup buku kalian dan simpan di tas."
Semua murid sontak bergegas membereskan semua catatan yang ada di atas meja. Mungkin menyalin jawaban Edel adalah satu-satunya cara untuk lulus.
Mata Edel sedikit memanas. Namun dengan cepat sang punggung tangan mengusap bulir-bulir itu agar tak kembali bermain. Bisa menjadi panjang pula urusannya jika menangis saat ujian.
"Tumben Edel kamu remedial, biasanya kamu selalu dapet nilai sempurna," ucap Pak Suhe sembari membagikan beberapa lembar kertas ulangan. Dirinya cukup dibuat terkejut.
"Kayaknya karena hubungan dia sama Regan, Pak," sahut salah seorang siswa dari pojok belakang.
Ya ... berita terkait adanya jalinan kasih antara Edel dan juga Regan sudah tersebar di seluruh lantai kelas sepuluh. Terbukti dari bagaimana perlakuan Edel tiap kali istirahat. Selalu menunggu di samping layaknya seorang dayang istana. Padahal biasanya gadis itu hobi bersembunyi di dalam kelas.
"Regan siapa?" Sekarang bola matanya menatap ke seisi ruangan. Ikut penasaran dengan siapa sosok yang sudah membuat murid kesayangannya mendapat nilai jelek.
"Anak IPS, Pak!"
Pak Suhe hanya menggelengkan kepala beberapa kali. Baru mendengar nama Regan. Tunggu ... itu artinya, jika tidak terkenal di ruang guru, berarti manusia itu tergolong sebagai anak baik. Lantas mengapa memberi pengaruh buruk pada siswi IPA ini?
"Sudah jangan gibah, kalian kerjakan soal-soalnya. Siapa yang cepat, dia bisa pulang." Pak Suhe berusaha membuat pikirannya tak terkecoh. Andai semuanya terjadi, bisa bahaya.
Suara helaan napas berhasil memenuhi seisi ruangan. Bola mata mereka pun dengan kompak menatap berbagai macam huruf horror di hadapannya. Hanya nomor satu yang bisa mereka jawab.
Benar pula himbauan dari guru Kimia tersebut, andai dilaksanakan remedial, pasti soalnya akan dibuat menjadi lebih sulit.
Bukan karena mengharapkan nilai merah untuk mereka semua, melainkan agar tak ada lagi siswa yang meremehkan soal ujian—agar mengerti apa itu fungsi belajar.
Sementara Edel yang sedari tadi terlihat fokus dengan kertas ulangan sontak membuat siswa lainnya menoleh. Memberikan keagungan pada Edel sebagai ratu dari pelajaran Kimia.
Edel memang tak fokus saat belajar tadi, tapi saat menatap segelintir soal, semua ingatan tentang penjelasan dari Pak Suhe kembali. Ya ... hatinya kembali dibuat ceria, maka akan dengan mudah melayani soal yang sudah mengantre.
"Stt ... Del ...!" desis siswa berambut botak yang duduk di belakang Edel. Guru Kimia yang mengawas sedang fokus pada buku paket—sibuk mencerna soal-soal uji kompetensi—yang ia niatkan untuk diberi pada muridnya besok.
Edel tak menoleh sama sekali. Ia tak mau membiarkan sang pikiran kembali buyar. Ia harus lulus, dan tak boleh mendengarkan panggilan dari teman-temannya. Ia memang tak memiliki seorang pun sahabat, jadi sepertinya akan sama saja dampak yang ia terima.
Sang guru pun akhirnya bangkit, kemudian berjalan ke arah pojok belakang. Ini adalah kesempatan emas bagi semua orang. Karakter Pak Suhe yang mudah dipecahkan fokusnya merupakan sebuah keberuntungan bagi anak IPA.
"Pak, tau nggak? Edel sama Regan pacaran, loh."
Tatapan pria paruh baya itu beralih fokus pada lelaki yang mengajaknya berbincang. Salah satu dari perwakilan siswa pun langsung melemparkan sebuah lipatan kertas kecil yang diselipkan dalam tipex cair bergagang.
Edel yang baru saja selesai menjawab semua soal dibuat membelalakkan mata lebar. Astaga ia pikir, setelah ini bisa terburu-buru pergi bekerja. Tapi ternyata ... semua ekpektasinya buyar.
"Tulisin jawaban lo," desis siswi berambut pendek yang duduk di sebelahnya. Jawaban itu tak akan ia gunakan sendiri, melainkan semuanya akan dibagi ke grup kelas yang dibuat tanpa wali kelas.
Edel mengangguk pelan. Baiklah, rasa tak enak untuk menolak kembali menyerbu.
Siswi itu segera mengulas senyum. Tak menyesal pula sudah duduk di sebelah Edel, bisa mendapat jawaban paling cepat.
Setelah jari-jari Edel selesai menuliskan jawaban pilihan berganda itu, ia langsung bangkit dan melempar alat contekan tersebut pelan.
"Edel kamu lempar apa?" Pak Suhe yang sudah selesai berbincang dan tersadar bahwa dirinya dibuat terkecoh segera melangkah maju menghampiri siswi kesayangannya tersebut.
"Dia pinjem tipex saya, Pak. Jangan curigaan gitu, dong."
"Loh, kan pelajaran saya tidak boleh pinjam-meminjam." Astaga ada yang mereka lupakan sepertinya. Sumpah, ini adalah kali pertama mereka salah menggunakan trik menyontek.
Pak Suhe segera melangkah menghampiri Edel, lalu mengambil kertas ulangan miliknya beserta tipex dari siswi berambut pendek tersebut.
Semua orang sontak menundukkan kepala. Habis pula nasib mereka hari ini.
Happy reading!
Oh, ya, mampir ke lapak The Blindness of Love juga boleh sambil nunggu lusa🤣
Love you,
Bong-Bong ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top