🐯15: Interupsi

"Dari mana kamu?" Suara berat yang berasal dari balik pintu masuk menginterupsi langkah Edel. Rambutnya sudah tak karuan, bahkan aroma rokok pun bisa tercium oleh hidung Edel.

Suasana sunyi dan sepi di malam hari tentunya membuat perasaan Edel semakin menegang. Tak ada siapa pun di luar sana, bahkan para tetangga pun sibuk beristirahat di dalam rumah.

Ariyanto berkacak pinggang dengan tatapan garang. Walau ia selalu berbuat kejam pada sang putri, tapi masih terbesit dalam hatinya 'tuk peduli walau sedikit. Masih ada rasa tak mau jika anaknya menjadi seperti apa yang ia lakukan sehari-hari.

Edel masih tak melanjutkan langkahnya sama sekali.  Tapi tetesan bening itu dengan berani menampakkan diri di depan Ariyanto seolah tak takut dengan apa yang terjadi selanjutnya.

"Kalau saya nanya ya ... dijawab, dong! Emang saya barang? Patung? Jangan berani-beraninya kamu kurang ajar!"

"Tata ker-kerja, Pa."

"Kerja apaan kamu? Mucikari?!" Belum sempat Edel menjawab, tapi sebuah tamparan sudah mendarat dengan sempurna di pipi Edel.

"Enggak, Pa. Tata kerja di kafe." Bibirnya bergetar, sementara hatinya terasa begitu pilu. Walau ia bersahabat dengan batang rokok, tapi pikiran 'tuk menjadi seorang mucikari tak pernah terbesit.

Seketika pria itu terdiam, kemudian melangkah masuk dan tak peduli bagaimana perasaan Edel saat itu. Sedikit rasa lega sempat singgah walau sementara.

"Cepet masuk! Siapin makanan!" Ariyanto kembali berteriak dari dalam. Pria itu sedang menyaksikan layar televisi dengan kaki kanan yang menopang kaki kiri. Hari ini hatinya sedang bahagia, sebab ia sudah memenangkan perjudian sebanyak tiga kali. Rencananya besok akan ia hamburkan uang itu untuk berjudi lagi atau mungkin membeli obat candu.

Edel menurut begitu saja. Memang sudah biasa ia diperlakukan bagai seorang pembantu di rumah. Lagi pula keluarganya tak sanggup menyewa tukang bersih-bersih, dan andai memiliki uang pun, pasti akan habis dalam waktu singkat.

Gadis itu segera melangkah ke dapur, lalu mengecek sisa persediaan bahan makanan. Kosong. Itulah yang terpampang di depan wajah Edel. Bagaimana bisa ia memasak? Belum memiliki bahan apa pun, sedangkan Ariyanto pasti akan mengamuk andai ia tidak bisa menciptakan suatu hidangan.

"Maaf, Pa. Stok bahan makanan kita habis. Tata masakin mie instan aja, ya?" tanya Edel ragu. Mungkin bagi ia sendiri, itu adalah makanan yang nikmat. Tapi bagi Ariyanto, belum tentu. Pria itu sangat pemilih, bahkan ia selalu meminta yang aneh-aneh.

Sedikit tak sadar diri akan kondisi keuangan, tapi ia memiliki gaya hidup hedon. Sebab terbiasa sejak menikah dengan Tiara dan diperlakukan layaknya seorang atasan. Walau keduanya sudah berpisah, tapi sikap Ariyanto tak pernah berubah sekalipun kondisi keuangan tidak memungkinkan.

Ariyanto enggan menjawab. Terlalu serius dengan tayangan di depan mata sampai memasuki alam mimpi.

Dengan perlahan gadis itu mengintip. Ah, syukurlah ayahnya sudah tidur. Itu artinya tinggal membuat hidangan khusus dirinya sendiri. Hari ini ia aman walau sekujur badan terasa begitu pegal.

Tangannya ia angkat ke atas, kemudian memiringkan lehernya ke kiri dan kanan untuk melepas rasa pegal yang ikut pulang ke rumah.

"Andai setiap hari Papa kayak gitu. Merem terus tiap aku udah sampe rumah. Pasti hidupku bakal tenang." Senyum sinisnya kini terulas. Sudah beribu kali disiksa sejak kecil, dan pastinya ada harapan agar salah satu dari mereka pergi. Entahlah ... siapa pun itu, pergi bersama alasan ataupun tidak, Edel tak peduli.

🎃🎃🎃

Sekolah—biasanya ini adalah tempat favorit Edel 'tuk berkunjung dengan semangat, tapi pagi ini rasanya begitu melelahkan. Yang biasanya selalu sampai di sekolah setengah jam sebelum bel, kini semuanya berbalik. Ia jadi sampai di sekolah mendekati menit menuju sirinye dibunyikan.

Sejak bekerja di kafe milik orang tua Josh, segala kegiatan sekolah terasa sebagai beban. Tugas rumah, ulangan, kerja kelompok.

Pikirannya sungguh merasa terbebani. Ia sudah lelah bekerja, dan saat pulang pun otaknya harus dipaksa 'tuk melihat tulisan. Tidak seperti karyawan lain yang bekerja secara full time—menikmati nyamannya pulau kapuk setelah sampai.

Edel menghela napas sembari berjalan melewati koridor. Diusapnya sang dahi walau tak ada keringat sama sekali. Tapi hal itu secara otomatis terjadi saat memikirkan hal-hal melelahkan setelah pulang sekolah.

Ayo, kamu harus berjuang biar nggak dipukul papa, Hati Edel seolah ikut memberikan semangat.

Edel menganggukkan kepala di tengah sepi, segera berjalan masuk ke dalam kelas 'tuk menyapa rangkaian rumus pelajaran Kimia.

Setelah duduk dan mengeluarkan buku ke atas meja, beberapa siswa sontak bergerombol. Edel adalah ahli dari segala bidang pelajaran, tak heran jika tiap ada ulangan, ia selalu menjadi sasaran utama.

"Edel, ajarin kita, dong. Biar kita sama-sama belajar. Kamu mau kan kita semua lulus?" Kalimat serupa yang selalu terucap tiap melaksanakan ujian. Bukannya belajar, tapi justru menjadi mengajar. Fokusnya benar-benar terpecah.

"Eh, iya." Gadis lugu itu mengangguk.

"Tulisin rumusnya juga, dong, di sini." Seorang siswa tiba-tiba saja datang tanpa rasa malu. Ia menyodorkan selembar kertas  post it kuning.

Edel mendongakkan kepala saat hendak menjelaskan cara-cara untuk mengerjakan. Tangannya meraih kertas polos yang masih merekat pada genggaman tangan seseorang.

"Ih, ajarin aku duluan, dong! Tulis rumus mah nanti aja!" Protes—hal ini kerap terjadi. Mereka semua sama sekali tak sabar 'tuk mendapat giliran.

"Elah, emang kalau gue tulis rumus, lo pada nggak mau minta pas ulangan? Munafik lo pada. Sok-sok belajar." Siswa itu sekarang membuka fakta. Mereka semua hanya mencari muka, apalagi saat guru di bidang tersebut datang.

"Dah, lo nggak usah ngajarin mereka. Lo tulisin aja rumusnya."

Edel mengangguk paham. Sesekali matanya melirik ke arah buku catatan sebab tidak terlalu ingat dengan rumus yang ia pelajari semalam.

"Tumben nggak hafal di luar kepala."

Edel terdiam. Kalimat itu terasa sarkas baginya. Ah, sungguh ... pekerjaannya berhasil merenggut semua kemampuan dalam menghafal rumus.

Seketika pula ia tersadar. Sekarang ia sama sekali tak menghafal rumus, bagaimana melaksanakan ujian nanti? Haruskah ia mendapat telur dadar gratis di atas kertas ulangannya? Tak mungkin, tak boleh terjadi. Ia harus tetap menjadi siswi yang pintar—agar bisa mendapatkan beasiswa saat berada di kelas XI nanti.

"Aku boleh ngafalin rumusnya bentar, nggak?" tanya Edel pada sekumpulan orang di hadapannya.

Mereka semua menggeleng kompak. Waktu hanya tersisa beberapa menit lagi, bagaimana bisa menunggu Edel menghafal rumus? Bisa-bisa mereka semua mendapat nilai jelek lagi di pelajaran Kimia. Mau dijadikan apa mereka oleh orang tua di rumah? Daging cincangkah?


Yawlah kalo ngga ngeliat template wp org di ig hampir aja lupa up WKKWKWWKWKW

Pdhl tinggal revisi trs pub

Happy reading!

Love u,

Bong-Bong❤️

Eh btw, anw, busway, kalian bosen ngga sih diucapin love u terus?🤣

Gavava tavi ya, siapa tau kalian belum pernah diucapin gitu, nah bongbong dengan suka rela dan baik hati mengucapkan. Anggap saja itu adalah bentuk rasa cinta bongbong yang paling dalam buat kalian yang udah mau baca Edelweiss

Terhura bongbong tuh, ternyata selain bongbong yang suka, ada juga yang mawu bacaaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top