🍮14: Kenapa Bisa?

Edel tersentak saat salah seorang lelaki yang menjadi titik fokusnya memanggil. Benar ternyata, cowok itu adalah Josh—sahabat karib Biskuit Regal, eh Regan.

Tangannya masih sibuk mengaduk pesanan, tapi lirikan matanya terus mengarah pada wajah Josh bersama kebingungan.

Cewek yang mengajarkan Edel pun ikut menoleh. Merasa aneh dengan reaksi Josh. Apakah cowok itu akan memulai aksi seperti biasanya? Ya ... Josh menjadi playboy tidak hanya di sekolah, melainkan juga di kafe. Memang sepertinya sudah menjadi tradisi turun temurun di keluarga Josh.

"Sini ... sini!" panggil Josh.

Sebuah kerutan kini tampak di kening Edel. Ia sedang bekerja, bagaimana bisa menanggapi ketidakjelasan Josh yang mungkin sedang bosan.

"Nanti, ya," balas perempuan di samping Edel. Tentu saja Edel merasa lega karena sudah dibantu.

"Dih, kok lo yang jawab?" seru Josh tak terima. Dirinya sudah merasa geregetan 'tuk mengajak Edel berbicara. Ada sesuatu yang perlu ia sampaikan.

Edel tertawa kecil sembari menutup mulut, kemudian segera melanjutkan pekerjaannya.

Setelah selesai, dengan tak sabar manusia playboy itu menarik Edel dan mengajaknya duduk di salah satu kursi kosong.

Edel menatap sekitar. Bagaimana bisa cowok ini berbuat seenaknya? Tak takutkah mendapat omelan dari manager?

"Aduh ... nanti diomelin." Matanya sudah berkaca-kaca. Ia benar-benar takut. Tak mungkin di hari pertama bekerja sudah dimarahi. Bagaimana jika sampai dipecat? Gagal sudah tujuan Edel andai semuanya terjadi.

"Jangan nangis, dong. Nanti gue disangka ngapa-ngapain lo lagi."

Edel segera mengusap kedua matanya agar sang bola kristal tidak menggelinding, kemudian sebuah senyum ia ukir agar terlihat bahagia saat berada di tengah keramaian pengunjung kafe.

"Lo kerja di sini karena mau nemuin gue, ya? Lo suka kan sama gue, jadinya lo nyamperin?" tanya Josh percaya diri seraya mengangkat dagunya ke atas sedikit. Ia merasa tampan, buktinya banyak cewek yang mengantri untuk menjadi pacarnya. Kalau diingat-ingat pun, si gadis yang memiliki paras serupa dengan Boboho pun tak rela jika hubungannya berakhir.

Edel terdiam. Tak tahu mau menjawab apa. Lebih baik membiarkan cowok ini terus berhalusinasi daripada membuat permasalahan semakin panjang.

Tiba-tiba saja seorang wanita berambut pendek seleher, serta make up yang cukup tebal dengan pakaian serba branded turun dari mobil. Lalu satpam yang berjaga pun segera berlari keluar dan memberikan hormat.

Edel dibuat bingung dengan siapa sosok wanita itu, apakah ia adalah pemilik kafe ini? Sangat cantik.

"Bu Boss dateng! Josh, Edel, sini! Ayo, kerja!" teriak salah satu barista. Semua karyawan riuh—seketika sibuk bekerja—membersihkan meja dan mengecek ketersediaan produk.

Edel segera bangkit dan mengajak Josh 'tuk kembali, sementara cowok itu tampak santai. Wajahnya sama sekali tenang.

Saat wanita itu masuk, semua karyawan sontak memberikan salam. "Selamat sore, Bu."

Wanita itu hanya melempar senyum sambil mengangguk. Tatapan matanya seketika mengarah pada Josh dan juga Edel. Edel dibuat semakin panik, dan seperti biasa pula air matanya jatuh. Ia segera berjalan cepat memasuki tempat kerja.

"Udah lain kali kalau diisengin sama Josh, jangan nurut, ya," bisik seseorang yang kemudian mengambil selembar tisu dan memberikannya pada Edel. Cewek itu sebenarnya sedikit bingung dengan karakter Edel. Mengapa gadis ini begitu mudah menangis? Tapi itu artinya, Edel harus diperlakukan special. Semuanya harus diutarakan melalui kelembutan.

Edel mengangguk paham.

Sebuah dehaman berhasil menginterupsi semua pegawai, dan semua kepala langsung tertunduk ke bawah. Wanita itu berjalan menghampiri Josh. Matanya dibuat terbelalak lebar—melihat putra tunggalnya yang tidak menjalankan tugas dengan baik.

"Hai, Bunda Cantik," sapa Josh cengengesan.

Bunda Cantik. Panggilan ajaib ini membuat semua mata pegawai juga terbelalak. Memang atasan mereka senang dipanggil Bunda, tapi dari cara menyapa, nadanya terlihat berbeda.

Alya adalah nama wanita itu. Usianya masih berkisar di angka empat puluh tahun. Tapi walau beliau menjadi seorang atasan, ia tak pernah membedakan. Sosoknya yang tegas dan ramah membuat para karyawan semakin betah bekerja.

"Kok kamu duduk di sini, bukannya kerja?" Alya mendaratkan bokong di samping Josh.

"Hehe ... iya, Bun. Tadi habis ngisengin temen yang kerja di sini juga, Bun. Hebat, 'kan, dia? Temen Josh itu, Bun. Tadi Josh suruh dia duduk di sini temenin ngobrol. Pinter, 'kan?" Jari telunjuknya mengarah ke tubuh Edel.

Kalau diteliti dari cara Josh berbicara, tampaknya ia memiliki hubungan darah dengan Alya. Dapat disimpulkan bahwa ini adalah penyebab Josh tak pernah ditegur oleh manager. Mereka semua baru tahu sekarang, dan biasanya pula selalu memperlakukan Josh seperti teman sendiri. Tak pernah dihormati, bahkan dihargai. Yang ada ... cowok itu sering dimarahi karena kecentilannya.

Sumpah ... kelakuan Josh membuat Edel semakin takut. Jantungnya berdetak semakin berdetak. Tatapannya sengaja ia alihkan ke samping. Tak lagi berani menatap dua manusia yang sedang terduduk di dekat pintu.

"Siapa namanya?"

"Crying Girl, Bun," jawab Josh dengan tampang tak berdosa.

"Hah, mana ada nama kayak gitu?" Alya bingung. Sungguh ... anaknya ini sudah hampir sebulan dipaksa bekerja, tapi perbuatannya masih sama. Tak ada yang berubah, bahkan letak kedewasaan pun tak terlihat sama sekali. Ia pikir anaknya akan menjadi pribadi yang dewasa—bisa mencontoh teman-teman lainnya yang juga bekerja paruh waktu.

"Sini kamu ...." Kelima jari Alya merunduk ke bawah, tapi arahnya menuju pada raga Edel.

Edel segera mengangguk takut-takut. Sudahlah, andai nasibnya berakhir sampai di sini, gadis itu pasrah. Tak lagi tahu bagaimana nasib ke depan andai ia dipecat.

"I-iya, Bu? Maaf, tadi saya malah duduk di sini."

"Duduk sini."

Edel menurut begitu saja sembari mendaratkan bokong di atas kursi yang berhadapan dengan keduanya. Ia masih tak berani menatap wajah Alya. Tidak seram sama sekali memang, tapi apa yang sudah diperbuat Edel tadi, dirinya jadi  merasa sedang duduk di kadang harimau.

"Nama kamu siapa?"

"Edel, Bu."

"Jangan panggil saya Ibu, ya. Panggil Bunda Alya aja."

Edel kembali mengangguk takut, sementara Josh sibuk menahan tawa. Ia yakin, ibunya ini tidak akan marah, paling hanya kesal.

"Iya, Bu. Eh, Bunda."

"Lain kali kalau digodain Josh, cuekkin aja, ya, Sayang. Anaknya emang nakal. Makanya Bunda suruh dia kerja biar tau kerasnya hidup. Dia pikir, hidup cuman bisa leha-leha sambil rebahan aja kali di rumah, terus tiba-tiba dapet duit," jelas Alya ramah.

Seukir senyum kini terbit di wajah Edel. Jantungnya berhenti melakukan senam irama. Pemilik kafe ini sangat baik, dan Edel merasa tidak menyesal karena sudah memilih 'tuk bekerja di sini. Walau ia dibuat sedikit terkejut dengan fakta yang baru saja terkuak. Walau Josh merupakan anak dari orang berada, tapi sang orang tua tak mau membiarkan masa depan anaknya menjadi suram karena merebahkan tubuh sepanjang hari.

"Siap."

"Oh, ya, kamu sekelas sama Josh?"

"Enggak, Bun. Saya anak kelas IPA."

"Lalu kok bisa kenal anak badung ini?" Matanya sedikit menyipit saat melirik Josh.

"Iya, Josh ajak dia kenalan waktu ketemu di kantin." Tentu saja Josh berbohong. Bisa mati pula nasibnya andai  tertangkap basah sudah membantu Regan mengurung gadis itu di dalam gudang. Bisa-bisa malam ini ia tidak tidur di dalam kamar, tapi dipaksa menginap di kafe sendirian.

Alya mengangguk paham. Tapi ada bagusnya juga Josh melakukan itu semua walau tak tahu apa tujuan anaknya mengajak seorang gadis berkenalan di kantin. Memang ia tak mengetahui bahwa sang anak merupakan playboy kakap di sekolah. Tapi setidaknya, Alya sungguh berharap supaya Josh bisa menjadi pribadi yang baik asal lingkungannya pun positif.

"Nah, bagus itu. Edel, kalau bisa kamu ajarkan hal-hal baik ke Josh, ya. Jangan sampai dia cuman bisa males-malesan."

Edel mengangguk paham walau tak yakin dengan permintaan Alya. Mana bisa ia mengajarkan seseorang, berinteraksi dengan baik saja rasanya sulit. Di pikirannya itu tak pernah terbesit bagaimana cara membuka topik. Jadi, ia hanya akan menjawab siapa pun yang mengajaknya berbincang. Terkecuali saat ada kepentingan di antara mereka.

"Awas kamu Josh kalau berani isengin dia."

Josh mengangguk pasrah. Terus berdoa agar ibunya tak tahu apa yang sudah diperbuat selama berada di sekolah.

🧁🧁🧁

Josh benar-benar memiliki sikap yang berbeda saat bersama Regan. Cowok itu sama sekali tidak menyapa Edel, bahkan berniat mengajaknya berbicara. Padahal saat di kafe pun keduanya melakukan perbincangan.

Seperti biasa, Edel harus menemani ketiganya menyantap makanan. Terus berdiri di samping—menunggu perintah apabila harus membeli menu tambahan. Ketiganya fokus pada hidangan di depan mata—tanpa peduli bagaimana perasaan Edel sekarang.

Sebenarnya andai Edel merasa lapar pun, gadis itu boleh saja bergabung dan ikut menyantap makanan. Tapi sayangnya cewek itu tak pernah bertanya perihal itu, jadi akan terus berkesimpulan bahwa ia hanya boleh berdiri seperti patung.

"Lo nggak laper, Manusia?" tanya Regan. Tatapannya sedikit iba. Jika dilihat-lihat ke belakang,  ia jahat juga. Tapi tak apa. Ia harus berpegang teguh pada prinsipnya. Harus membalas kejahatan dengan kejahatan.

Edel menggeleng. Sebenarnya ia sudah merasa pusing karena terus berada di keramaian, tapi demi Regan, ia harus bisa bertahan agar ancaman itu tak lagi dilontarkan.

"Udah ... nggak usah nunggu di sini terus. Lo balik aja ke kelas. Kasian gue liat lo kayak gini." Entah dari mana rasa kasihan itu muncul, tapi yang jelas tak tahu kenapa, sejak adegan mengantar Edel pulang, cowok itu jadi merasa tidak tega.

"Beneran nggak apa-apa?"

"Iya, udah sono!" Edel segera berbalik dan melangkah ke kelas. Cacing-cacingnya sudah tak sabar untuk mendapat asupan gizi, dan akhirnya semua itu terkabulkan.

"Lo suka sama Edel?" tanya Doxy. Sebab tak biasanya Regan berbuat seperti ini.

"Kalau diliat-liat, kasian juga, ya anak itu jadi babu kita terus. Jadi donatur uang jajan pula." Josh ikut membuka suara.

"Kok lo juga jadi ikutan kasian? Sejak kapan lo waras?" tanya Doxy. Ada apa dengan teman-temannya? Mengapa mereka semua berubah?

"Enggak, biasa aja. Najis banget kalau harus suka sama dia," balas Regan.

Doxy melempar tatapan pada Josh. Menunggu jawaban. Tapi seketika saja perbuatan Josh selama ini di sekolah tampaknya bisa menjawab pertanyaan darinya.


Iyap bab ini 1556 kata. Uhlala banyaque uga. Ngga tau kemaren kesambet apa sampe sekali nulis dapet segini~

Happy reading, Bebsky!

Love u,

Bong-Bong ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top