4. Rainbow
Media : Jaz - Teman Bahagia
“Terkadang kita harus menangis terlebih dahulu sebelum akhirnya bahagia. Meski tak ada yang tahu kapan akan terjadi. Seperti pelangi setelah hujan.”
----
Cuaca ibu kota kini sangat bersahabat, matahari bersinar dengan terik di tempatnya. Tepat pukul dua siang saat kegiatan belajar mengajar di sekolah telah usai.
Satu persatu siswa Pertiwi meninggalkan ruangan kelas masing-masing. Begitu juga Vanila yang sudah siap keluar kelas dengan menenteng beberapa buku di tangan kirinya. Sementara tangan kanannya membawa gulungan kertas manila, project mading katanya.
Kedua sahabatnya, Virgo dan Vera pun berjalan beriringan. Mereka bertiga memang sudah biasa keluar kelas bersama.
“Jadi kapan mau main? Sok sibuk emang kalian,” dengus Vanila.
“Weekend deh!” jawab Vera dan Virgo kompak.
“Ada jadwal apa lagi sih?”
“Kucing Vey lahiran, Van. Masa Vey tinggalin sendiri? Kan masih butuh perawatan intensif.”
“Lebay lo. Lagian itu si Vivi (nama kucing Vera) di hamilin siapa? Gak sembarangan kan?” tanya Vanila absurd.
“Gak sembarangan ih. Itu bapaknya anak-anak kucingnya Mas Edwin, dokter ganteng yang samping rumah gue. Uh, Vey mau juga di hamilin.”
“Sembarangan!” Vanila dan Virgo menoyor kening Vera yang omongannya mulai melantur.
“Salah! Maksud Vey di halalin.”
Vanila dan Virgo lagi-lagi kompak mencebik karena ulah sahabatnya itu.
“Nyoto dulu sambil ngobrol, tadi gak ada waktu ngerumpi banget kita,” ujar Virgo.
Jangan salah, Virgo itu bukan lelaki setengah bengkok karena bersahabat dengan dua perempuan, ia bisa di katakan jauh diatas gagah dan tidak ada kemayunya sama sekali.
“Boljug!”
Mereka bertiga masuk ke warung soto di seberang SMA Pertiwi.
“Terus lo, Vir? Sibuk apa lo?” tanya Vanila sambil menunggu pesanannya datang.
“Mau jemput princess ke bandara.” Jawab Virgo.
“Nakitha maksud lo?” tanya Vanila memastikan.
“Emang princessnya dia ada lagi yang lain? Iyalah si Naki,” kini Vera yang menimpali.
“Emang udah libur ya disana?”
“Gak juga. Kan lusa Mbak Naominya nikah, jadi dia pulang dulu.” Jelas Virgo.
Keduanya Ber-O ria.
“Tapi oleh-oleh buat gue ada kan?” tanya Vera.
“Ada. Tapi kata Naki kejutan!”
Nakitha Violeta, atau biasa di panggil Naki adalah kekasih Virgo yang tengah menempuh pendidikannya di Australia. Mereka satu sekolah saat menengah pertama, namun gadis itu memilih ikut pindah dengan kedua orang tuanya.
“Harus terkejut pokoknya. Awas kalo enggak!” ancam Vera.
“Tenang pemirsa. Saya jamin anda tidak akan kecewa.” Kemudian diiringi gelak tawa ketiganya.
“Naki masih chubby, Vir?”
Akhirnya mereka melanjutkan obrolan tentang kekasih Virgo itu.
“Masih. Makanya gue kangen uyel-uyel pipinya,” ujar Virgo gemas membayangkan pipi kekasihnya.
“Uuu langsung aja!” cibir Vanila.
Virgo hanya nyengir menanggapi cibiran Vanila.
“Balik yuk! Kasian ibu kalo guenya kesorean.”
“Yuk!” ketiganya bangkit dan keluar warung kaki lima tersebut setelah membayar.
“Bye!” Vanila melambaikan tangannya saat mobil yang di kendarai Virgo menjauh.
Vanila berjalan santai menuju rumahnya yang hanya menghabiskan waktu kurang dari sepuluh menit untuk sampai.
“Kok gue kayak kelupaan sesuatu ya,” gumam Vanila celingukan saat sudah tiba di depan tokonya.
“Ampun, project gue!” ia menepuk dahinya sendiri.
Dengan hanya menyimpan tasnya dan berpamitan kembali pada ibunya, gadis itu sudah ngacir ke warung soto tempatnya tadi makan.
“Mang, hoshh, tadi, hmmm, liat buku sama kertas Vani gak disitu?” tanya Vanila pada sang penjual soto dengan napas ngos-ngosan karena berlari.
“Loh tadi udah ada yang ngambil, Neng. Temen Neng Vani kali, da anak Pertiwi juga kalo Mamang gak salah mah, kitu.” Jawab sang pedagang yang membuat Vanila ketar-ketir.
“Mamang tanya gak siapa?”
“Enggak, Neng. Tapi anaknya kasep, tapi berantakan kitu. Yang suka nongkrong juga, tapi Mamang lupa namanya, soalnya suka pas banyakan.”
Vanila semakin panik di buatnya. Terlebih project mading itu sudah setengah jadi dan harus selesai lusa.
“Ya udah, Mang. Vani permisi ya, makasih.”
“Iya, Neng sama-sama.”
“Eh kok ujan?” Vanila menengadahkan kepalanya saat tetesan hujan mulai turun ketika ia baru beberapa langkah meninggalkan warung soto.
“Apes banget sih gue hari ini,” Vanila menghentak sambil berancang-ancang untuk kembali lari.
“Jangan lari-larian, ntar lo jatoh!” suara di belakangnya menahan gerakan kaki Vanila, dan gadis itu menoleh.
Aly berdiri membawa tumpukan buku dan gulungan kertas manila di tangan kanannya, sementara tangan kirinya membawa payung.
“Jadi lo yang ngambil tugas gue, Al? Ya ampun gue udah panik setengah mati juga,” Vanila hendak mengambil barangnya namun Aly mencegahnya.
“Biar gue yang bawa! Silakan tuan putri berjalan di samping pangeran berpayung bunga-bunga ini,”
Vanila tergelak mendengar penuturan Aly yang menurutnya sangat menggelikan.
“Lagian lo segala bawa payung gitu, kayak emak-emak mau ke pasar,” kekeh Vanila.
“Namanya juga pinjem, Van. Udah jalan! Jangan ngejek mulu!” dengus Aly.
“Iya dah iya! Lagian niat banget sih,”
“Ini tugas lo mau kehujanan? Gue kan mau nganterin ini, tapi berhubung lo ada disini juga, jadi gue dapet bonus. Yaitu nganterin tuan putri pake payung.”
Keduanya tegelak.
“Lagian aneh banget, orang panas gini kok ujan ya?”
“Gak ada yang aneh, Van. Tuhan Maha kuasa. Jangankan cuaca yang umum, hati kita yang satu-satu punya aja dengan mudah Ia bolak-balikkan.”
“Kesurupan apa lo? Bijak banget!” Vanila menyentuh dahi Aly dengan punggung tangannya dan sontak itu membuat anak lelaki bertubuh tegap itu membeku.
“Al?”
“…”
“Al? Lo kesurupan beneran ya? Aduh bener nih kesurupan. Kan kata orang tua kalo ujan panas suka banyak setan.” Vanila panik.
“Sembarangan! Gue, em, tadi cuma, tangan lo ngalingin,”
Seorang Alyanshah Pradipta terlihat sangat lucu saat gugup dan belum pernah terjadi sebelumnya. Beruntung tidak ada Bima saat ini, kalau saja ada, sahabatnya itu akan mengejeknya habis-habisan.
“Oh sorry.” Cengir Vanila.
Hening kembali, hanya ada suara sepatu yang beradu dengan dasar trotoar yang agak becek.
“Al, liat deh!” tunjuk Vanila pada benda melengkung warna-warni di langit.
Refleks Aly menghentikan langkahnya dan melihat ke arah tangan Vanila menunjuk.
“Langka banget, pelangi di tengah kota. Cantik!” Vanila kegirangan.
Aly tidak ikut memperhatikan pelangi yang membuat Vanila jingkrak-jingkrak kegirangan, melainkan menatap dalam wajah gadis di sebelahnya yang tampak sangat bahagia.
Perasaannya menghangat, wajah ceria gadis itu pasti akan terekam penuh di pikirannya. Tanpa sadar, Aly menyunggingkan senyumnya.
“Yah, pudar lagi. Cepet banget sih.” Keluh Vanila.
Aly masih belum sadar dari lamunannya hingga tidak menyimak kata-kata Vanila.
“Al? Lo bengong?”
“Ah iya kenapa?”
“Pelanginya udah gak ada,” Vanila mengerucutkan bibirnya.
“Iya udah gak ada,”
“Lo gak liat juga!”
“Gue liat kok,”
“Gue tau lo bengong dari tadi, Al. Fix ini mah kesambet!”
“Enggak! Gue serius kok liat pelangi. Sekarang aja masih ada,”
“Ha? Mana?”
“Tuh, ada pelangi, di matamu.” Tunjuk Aly pada mata coklat milik Vanila.
Hanya beberapa detik keduanya menyelami kedalaman mata mereka sampai akhirnya Vanila meninju pelan lengan kiri Aly.
“Ah elah judul lagu kali.”
Gadis itu membuyarkan tatapan indah Aly dan merebut tugasnya dari tangan Aly.
“By the way thanks ya!” Vanila menaik turunkan alisnya.
Aly hanya membalasnya dengan senyuman termanis yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya. Ia berdiri disana hingga punggung Vanila menghilang di balik pintu kaca tokonya.
Karena gue up bukan di PC, jadi gue sebutin aja, bab ini gue persembahkan spesial *cia* buat temen canci gue taenaki 😘
Jangan lupa vomment!
#SalamKetjupBasyah 😘💦
#authorterjomblosedunia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top