That Day He Regret His Final High School Year

Moon

Sampai kapan aku harus menunggu? Aku sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Sudah dua tahun lebih kamu dekat denganku dan keluargaku, jadi potongan dari kehidupanku. Apa yang kamu ragukan? Apa yang kamu takutkan? Aku tidak mengerti.

Ini tahun ketiga kita berseragam putih abu-abu. Kita sama-sama sibuk mempersiapkan ujian akhir dan ujian masuk universitas pilihan kita. Mungkin itu alasanmu sedikit menjauh. Aku pun mulai terbiasa dengan berkurangnya kehadiranmu di sekitarku.

Bukannya aku tak mau menunggumu, ada orang lain yang mulai mengusik posisimu dalam hatiku. Ia baik dan tulus memperhatikanku, sama seperti kamu. Walaupun aku berusaha keras untuk menutup kesempatannya bersamaku, ia dengan setia ada disana tiap kali aku membutuhkan seseorang di dekatku. Kadang usahanya mengingatkanku pada dirimu dulu.

Sesekali aku masih berusaha menghubungimu, kamu pun begitu. Aku tahu di dalam hatimu kamu merindukanku, sama seperti aku yang merindukanmu. Apa yang terjadi dengan aku dan kamu? Tidak adakah cara untuk mengembalikan kita yang dulu?

Memikirkan semua ini membuatku tak semangat untuk keluar dari kamarku. Ibuku sudah mengetuk pintu mengatakan ada temanku di depan rumah. Senyumku mengembang, mungkinkah itu kamu?

Aku bergegas keluar kamarku ke arah teras untuk menemuimu. Ternyata bukan kamu yang berdiri dengan kikuk di depan pagarku. Lagi-lagi temanmu yang sedang berusaha mendekatiku. Aku pun menyapanya, ia memberikan helmnya kepadaku dan menawarkan untuk berangkat bersamanya ke sekolah.

Aku bisa melihat gelagatnya, ia pun mengautarakan perasaannya padaku. Aku mengangguk, tanda memberikannya kesempatan untuk mencoba mengisi hatiku. Sudah hampir habis caraku untuk menghindarinya. Ini batasku Sam, ia terlalu baik untuk kutolak.

Sesampainya di sekolah, aku melihat ke arah pos satpam tempatmu biasa bersenda gurau dengan sahabat-sahabatmu sebelum bel masuk sekolah. Salah satu sahabatmu melihatku dan menggeleng ke arahku tanda tidak ada kamu disana.

Aku pun pamit untuk menghampiri sahabatmu. Ia hanya mengangguk dan tersenyum hangat kepadaku. Ada perasaan menenangkan yang kurasakan saat itu. Apakah kamu membiarkan hari ini tiba Sam? Hari dimana aku harus melepaskanmu.

Sahabatmu menghampiriku dan bertanya ada apa dengan hubunganku denganmu. Aku tak bisa menjawab pertanyaannya, aku benar-benar tak tahu. Aku bertanya balik kepadanya, ia pun tak mengerti. Kepada siapa kamu membuka kehidupanmu Sam? Bukan sahabatmu, bukan aku.

Aku masuk ke kelas dengan perasaan yang tak karuan. Tak lama bel masuk pun berbunyi. Terlihat kamu berjalan di luar dengan earpod di kedua telingamu seperti biasa. Tak kusangka kamu melihat ke arahku, aku berusaha menyembunyikan kegundahanku dengan tersenyum di depanmu. Kamu pun tersenyum ke arahku, tapi ada yang berbeda dengan senyum itu.

Aku tak sabar untuk cepat jam istirahat, karena aku tahu kamu tak akan mengingkari janjimu untuk selalu menemaniku makan di kantin. Tiba-tiba handphone ku berbunyi, ada pesan darimu. Hanya ucapan selamat pagi dan selamat belajar. Baru saja aku mengetik satu kata untuk membalas pesanmu, kamu mengatakan untuk melihat ke dalam lokerku.

Aku berjalan ke belakang kelas dan langsung membuka lokerku. Kamu, memang selalu tahu cara untuk memenangkan hatiku. Sebungkus roti keju dan susu kotak strawberry kesukaanku. Aku jadi ingat hari pertamaku dekat denganmu.

Kamu kembali berpesan untuk sarapan terlebih dahulu, aku hanya bisa tersipu-sipu sambil membuka roti penuh nostalgia ini. Tunggu, aku tak mengenal kotak pensil polka dot yang tergeletak di ujung lokerku. Aku mengambilnya dan bertanya-tanya siapa pemiliknya.

Aku membuka kotak pensil itu dan menemukan sebuah kartu ucapan di dalamnya. Tak perlu kuterka, lagi-lagi kamu dan semua kejutanmu.

"Hai, maafin aku. Aku tahu kamu paling gak suka dikasih barang-barang kayak gini. Tapi aku gak tega liat kamu yang kepengen banget kotak pensil paperchase polka dot ini. Tabungannya kamu pake buat yang lain aja ya? :)"

Kamu selalu tahu keinginanku. Kamu selalu mengerti keadaanku dan keluargaku. Bagaimana mungkin aku mencegah hatiku untuk terus jatuh kepadamu? Aku harus menghentikanmu, aku sudah berjanji dalam hati untuk membuka pintuku pada orang selainmu.

Saat bel istirahat aku langsung berlari ke arah kantin. Tak kusangka laki-laki itu sedang berbincang denganmu. Aku pun menghampiri kalian. Ia pun memberikan kesempatan padaku untuk menjelaskan semua kepadamu.

Belum sempat aku berkata banyak, ternyata ia sudah menceritakan semuanya kepadamu dari dulu. Apa itu alasanmu menjauhiku Sam? Tak adakah keinginanmu untuk memperjuangkanku? Apa dua tahun yang kita lewati berdua hanya sebuah bayang semu?

Kamu mengucapkan selamat kepadaku sebelum pergi meninggalkanku. Laki-laki itu kemudian merangkulmu, bagaimanapun ia memang salah satu teman dekatmu. Aku berusaha keras untuk menghentikan air mataku yang mulai turun melihatmu berjalan menjauhiku.

Laki-laki itu menghampiriku dan bertanya hubungan aku dan kamu. "Kita sahabat dekat," jawabku. 'Untuk sekarang,' ucapku lagi dalam hati.

Sun

Aku terlalu takut kehilanganmu. Aku takut tak bisa membuka kehidupanku untukmu. Aku terlalu egois, aku belum pantas untukmu. Saat sahabatku menyampaikan niatnya untuk mendekatimu, aku pun mengangguk tanda setuju.

Ia baik, aku tahu ia bisa menjagamu dan keluargamu. Yang kutahu pasti, ia bisa melakukan apa yang seharusnya kulakukan dari dulu. Maafkan aku kalau aku harus menjauhimu, andaikan kamu tahu perasaanku saat harus merelakanmu.

Hari ini aku tak ke rumahmu, sahabatku sudah punya rencana lain untukmu. Padahal kemarin aku baru saja membelikanmu tempat pensil yang kamu lihat dengan mata berbinar-binar hari itu. Aku tak tega melihat kekecewaanmu karena tak bisa meminangnya karena kebutuhan keluargamu.

Baiklah, tempat pensil ini kuletakan di lokermu saja. Aku pun ke kantin terlebih dahulu untuk membeli roti keju dan susu strawberry seperti biasa. Entah mengapa kedua hal itu menjadi sesuatu yang tak bisa terlewatkan dalam hariku. Kuputuskan untuk membelikannya untukmu juga.

Aku ke kelasmu yang masih sepi penghuninya. Bergegas aku ke arah lokermu lalu kuletakan tempat pensil, roti, dan sekotak susu di dalamnya. Tak lupa kusisipkan sebuah ucapan di dalamnya, berharap perasaanku tersampaikan.

Sungguh, hari ini rasanya aku ingin tak masuk sekolah saja. Aku langsung ke lantai paling atas sekolahku dan memanjat ke balkon tempatku biasa menyendiri. Aku membakar sebatang rokok yang kusembunyikan di dalam kaus kakiku dan menikmati udara pagi yang lama tak kusapa dari atas sini.

Sekolahku mulai ramai, aku pun turun dari balkon dan kembali ke dalam kelas. Aku sedang tak berminat bercengkrama dengan sahabat-sahabatku.

Di perjalanan kembali ke kelasku, aku harus melewati kelasmu. Aku berusaha keras untuk tak tertarik pada gravitasimu. Tapi aku tak sanggup, aku pun melihat ke dalam, ke arah kelasmu, ke arahmu, ke arah dua bola mata besar yang indah itu.

Kamu tersenyum kepadaku, aku hanya bisa membalas dengan senyum kesedihan terbaikku. Aku mengeluarkan handphone dari sakuku dan menulis beberapa pesan untukmu.

Sesampainya di dalam kelasku, beberapa sahabatku menyapaku dan menanyakan kemana saja aku dari tadi. Laki-laki yang sedang mendekatimu menghampiriku. Ia bercerita tentang pagi ini bersamamu, dan terus menanyakan apakah aku baik-baik saja dengan hal itu? Hari ini aku banyak berbohong. Semoga tuhan masih mau menerima kebaikanku yang lainnya.

Bel masuk pun berbunyi, aku duduk di bangkuku dan mendengarkan guruku menjelaskan pelajaran yang sama sekali tak bisa kucerna karena pikiranku entah dimana. Aku tak sabar untuk istirahat, aku tahu kita harus berbicara.

Begitu jam istirahat tiba, aku langsung bergegas ke kantin untuk menunggumu. Tak kusangka, lagi-lagi laki-laki itu menghampiriku. Aku tak punya masalah apa-apa dengannya, tapi tak cukupkah kesedihanku ia harus membahasnya terus-menerus?

Tak lama kamu datang dengan penuh keraguan di matamu. Aku tahu kamu rindu denganku, begitu pun aku, sungguh. Laki-laki itu memberikan kesempatan untuk aku dan kamu membicarakan tentang hari ini.

Aku mengatakan bahwa aku sudah tahu dan mengucapkan beberapa patah kata kepadamu. Matamu mulai berkaca-kaca, aku tak sanggup, aku harus pergi. Aku paling tak bisa melihat kesedihanmu.

Aku menghampiri sahabatku, merangkulnya, dan mengucapkan selamat lagi kepadanya. Sesungguhnya hanya untuk menghentikan mulutnya terus membicarakan hal ini. Ia lalu menanyakan tentang hubungan aku dan kamu.
"Kita sahabat dekat," jawabku. 'Untuk sekarang,' tambahku dalam hati.

Aku tahu aku akan langsung berlari kembali kepadamu jika aku melihat ekspresi kesedihanmu. Karena itu hanya bisa memunggungimu hari ini, berharap suatu saat aku punya keberanian dan usaha untuk mengatakan semuanya padamu.

'May one day you find out, Ndien.'

Mungkin aku akan menyesali hari ini. Biarlah, kuanggap ini jadi pelajaran agar aku tahu bagaimana rasanya kehilanganmu untuk sesaat. Aku berdo'a dalam hati kesempatanku akan datang lagi suatu hari nanti. Akan kutunggu hari itu tiba, tak perduli berapa lama.

Aku memasang earphone ke telingaku dan menyalakan iPod ku. N' Sync? Sial, kenapa harus playlist darimu yang dimainkan? Semesta memang suka bercanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top